Glara berdiri di depan bangunan yang menjulang tinggi di depannya, rasanya sudah begitu lama ia tak menginjakkan kakinya di bangunan itu. Rasa canggung dan malu menyelinap di benak Glara. Namun, Glara tak memiliki pilihan lain demi keselamatan buah hatinya.
Sebelum masuk ke dalam bangunan itu, Glara menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Kedatangan Glara disambut manis oleh jajaran wanita yang berbaris di balik meja resepsionis. “Selamat datang nona Glara, tuan besar sudah menunggu kedatangan Nona. Mari saya antar.”
Glara hanya tersenyum dan mengangguk, ia mengikuti langkah kaki wanita ramping di depannya. Hingga langkah kakinya berhenti tepat di depan pintu lift yang masih tertutup. Tak lama, pintu lift terbuka, wanita ramping itu mempersilakan Glara masuk ke dalamnya. Setelahnya, ia menekan angka paling tinggi di bangunan itu.
Degup jantung Glara semakin berpacu tak karuan, rasa gugup dan gelisah berkecamuk di dalam hatinya. Ia sangat takut jika saja orang yang ia tuju enggan mengulurkan tangannya untuk membantu Glara dan putra semata wayangnya.
“Maaf nona, saya hanya bisa mengantarkan sampai sini. Setelah ini Nona hanya perlu berjalan sepuluh langkah ke depan. Ruangan Tuan Besar ada di paling ujung lantai ini,” papar wanita tadi dengan sopan dan menatap Glara hormat.
“Terima kasih,” balas Glara membalas senyumannya.
Glara pun melangkah sesuai dengan intruksi yang diberikan resepsionis tadi. Tepat di langkah ke sepuluh, Glara berhenti di depan sebuah pintu tinggi yang bertengger papan nama ‘Presiden dan Chief Executive Officer’ Glara memejamkan matanya sejenak. Berulang kali ia menyentuh knop pintu namun, berulang kali juga ia mengurungkan niatnya.
“Ck!” Glara berdecak lantas berbalik hendak meninggalkan ruangan di depannya.
“Kenapa berbalik?” tanya seorang pria dengan suara yang begitu ia kenali.
Glara mendongak manik abu-abunya menatap lurus ke arah pria tua yang berdiri dengan beberapa bodyguard di belakangnya. “Ayo masuk.”
Glara mati kutu, ia tak bisa lagi mengelak ataupun menghindar dari pria itu. Dengan terpaksa, Glara mengikuti langkah pria itu masuk ke dalam ruangan berukuran ekstra besar.
“Jadi berapa yang, cucuku ini butuhkan?” tanya pria itu setibanya di dalam ruangan bernuansa abu.
Glara menggeleng lirih. “Kakek, maafkan aku. Aku tak menuruti ucapanmu dan justru terbuai dengan cinta. Kakek, aku benar-benar tidak tahu harus ke mana lagi.”
Pria itu tertawa ringan, ia duduk di kursi kebangsaannya seraya menatap Glara teduh. “Kenapa musti tidak enak? Aku ini kakek kandungmu, keluargamu satu-satunya keluarga yang tersisa bukan? Kenapa musti sungkan? Duduklah dulu.”
Glara masih tertunduk ia benar-benar malu dengan kakeknya sendiri. “Ayolah, Glara Latusha Seraphine. Kau ini seperti dengan siapa saja. Duduk dulu, aku sudah tahu apa yang terjadi padamu. Dan yah semua sudah terjadi tidak ada yang bisa dirubah lagi, bukan?”
Glara masih bergeming di tempatnya. “Glara kau tidak rindu dengan kakek? Setelah lima tahun kau pergi kau tak rindu sedikitpun pada kakek?” imbuh pria itu membentangkan tangan seraya berjalan mendekati Glara.
Glara menitika air mata ia tak menyangka jika kakeknya masih menerima Glara dengan baik setelah apa yang Glara lakukan padanya beberapa tahun silam. “Kakek,” lirih Glara seraya memeluk sang kakek begitu erat.
“Maafkan Glara, maafkan Glara.” Glara terus merapalkan kata itu di dalam dekapan hangat sang kakek yang penuh kasih sayang seperti masa kecilnya dulu.
“It’s okay, Glara. Semua sudah terjadi, sekarang kamu tahu sendiri ‘kan alasan kenapa kakek selalu menentang hubungan kalian?” Glara mengangguk di dalam dekapannya.
Cukup lama mereka berpelukan, menuntaskan rasa rindu antara orang tua dan anaknya. Kini Glara dan Louis –Kakek Glara– duduk berdampingan di sofa yang terdapat di dalam ruangannya.
“Jadi apa yang bisa kakek bantu?” tanyanya setelah Glara selesai menegak minuman dingin yang ia sajikan.
Glara menarik napas dalam-dalam dan berkata, “Gama, Kakek. Dia adalah—“
“Putramu, ‘kan?” tanya Kakek memotong ucapan Glara.
Glara mengangguk, ia enggan bertanya dari mana Louis tahu akan identitas putranya. Karena Glara tahu pasti siapa orang yang duduk di hadapannya. Jangankan anak Glara, semut melahirkan pun Loius akan tahu. “Dia mengidap sakit gagal fungsi hati kronis yang kondisinya… .”
“Nanti kita bawa Gama ke rumah sakit yang lebih besar. Kakek akan mencarikan pendonor yang baik dan tepat untuk Gama. Tetapi sebelum itu, kakek ada satu permintaan yang kakek sangat berharap kamu tidak menolaknya.”
“Apa kek?” tanya Glara, Louis pun tersenyum dan menatap Glara penuh harap.
∞
Glara menatap tubuh lemah putranya yang terbaring dengan serangkaian peralatan medis penunjang hidup Gama. Ucapan dan permintaan sang kakek terus terngiang di kepalanya bak kaset rusak. Glara bisa saja menyetujui keinginan sang kakek namun, ia tak terlalu yakin pada kemampuannya.
Ia terus melamun, hingga sebuah suara lembut mengalun di telinganya. “Selamat siang, bu. Dokter ingin bertemu dengan ibu, mari saya antarkan.” Glara mengangguk dan mengikuti langkah kaki perawat muda di depannya.
Setibanya di depan ruangan berkaca dengan nuansa putih di sekelilingnya, perawat itu mendorong pintu dan mempersilakan Glara untuk masuk. “Hallo bu Glara, silakan duduk,” sapa dokter yang kini berdiri berhadapan dengan Glara.
Glara membalas jabatan tangan dokter itu dan kemudian duduk di depannya. “Ada apa ya, dok?”
“Begini ibu Glara, saya ingin membicarakan kondisi putra ibu. Berdasarkan pemeriksaan yang kami lakukan tadi, kami mendapatkan hasil yang kurang baik.”
Glara terkejut dan bertanya tentang penjelasan dokter tadi. “Kondisi hati Gama hanya berfungsi sebanyak 50 persen saja. Karena kerusakannya sudah menjalar cukup lama. Penanganan yang terlambat juga pertumbuhan Gama yang kurang sempurna membuat virus ini menyebar lebih cepat dari biasanya.”
Napas Glara tercekat, ia seakan kehilangan pasokan oksigen di sekitarnya. “Tetapi, Gama masih bisa sembuh ‘kan dok?”
Wanita berbaju putih itu tersenyum dan mengatakan, “Kemungkinan Gama sembuh tentu ada, jika saja… Gama cepat mendapatkan tindakan lanjutan seperti operasi transplantasi hati. Tetapi untuk mendapatkan itu tentu ada proses yang harus dijalani. Selain itu, kita juga harus menemukan kondisi hati yang baik dan sesuai untuk balita seusia Gama.”
Glara semakin lemas ia tak menyangka jika putra semata wayangnya harus mengalami nasib seburuk ini. “Dan, sebagai perhatian ibu. Mengingat usia Gama yang terbilang muda bahkan sangat muda tentu akan memiliki faktor risiko yang jauh lebih tinggi. Sehingga ibu harus mencari rumah sakit dengan peralatan serta penanganan yang lebih mumpuni.” Glara hanya diam menyimak setiap kata yang wanita itu lontarkan.
Kini Glara kembali menatap ke dalam ruangan Gama dirawat. Ia terpejam sejenak dan kemudian meraih ponselnya serta mengirimkan sebuah pesan kepada seseorang.
Tak lama datanglah beberapa pria tegap dengan pakaian serba hitam dan salah seorang pria berpakaian jas rapi yang menghammpiri Glara di depan ruang rawat Gama. “Permisi nona, kami sudah mengurus surat perpindahan Tuan Muda Gama dan mempersiapkan perawatan di rumah sakit baru. Sebentar lagi Tuan Muda Gama akan kami pindahkan,” lapornya seraya memberikan map berisi data-data Gama.“Terima kasih atas bantuannya,” sahut Glara bernapas lega.“Tuan besar berpesan agar Nona segera menjalankan bagian nona.” Glara mengangguk mendengar ucapan salah seorang kepercayaan sang kakek.Saat Glara akan menanyakan lebih rinci tentang tugasnya, beberapa perawat masuk ke dalam ruangan Gama. Glara tak begitu panik, karena ia sudah tahu jika Gama akan dipersiapkan untuk dipindahkan rumah sakit yang lebih besar dari ini.“Pasien sudah siap dipindahkan,” ujar salah seorang perawat yang memimpin barisan perawat lainnya yang sedang mendorong brankar Gama.Glara mengangguk dan mempersilakan tangan kanan kakekny
“Kenapa ada masalah, Gla?” tanya Louis kala melihat gelagat aneh di wajah cucunya.Glara menggeleng dan tersenyum simpul. Ia lantas mengambil berkas yang diserahkan Louis dan mulai mempelajari isi di dalamnya. Keningnya berkerut kala melihat isi yang dipaparkan. “Kakek, bagaimana jika aku tidak menyetujui proposal ini? Apa yang akan terjadi?” tanya Glara pada Louis yang duduk di sofa bersebrangan dengannya.Louis tampak berpikir sejenak ia lantas tersenyum. “Memangnya kenapa? Kamu mengenal pemimpin perusahaan itu?”Glara mengangguk lirih. “Aku tidak asing dengan nama pemiliknya namun, aku tidak terlalu yakin apakah dia orangnya atau bukan. Tetapi, selain itu aku juga tidak menemukan inovasi apapun dari proposalnya. Semua terlihat monoton dan kita pernah melakukan hal ini.”Louis menganggukkan kepala dan berkata, jika ia menyerahkan semua keputusan ke tangan Glara dan Glara berhak mengambil keputusan apapun tentunya dengan pertimbangan yang matang dan bukan hanya memutuskan dari sisi e
Melihat sang lawan mati kutu, Glara tersenyum tipis dan berjalan meninggalkan restaurant. Tak ada satupun yang tahu apa yang telah Glara ucapkan pada Marta hingga wanita itu tak berkutik.Sepanjang jalan, Glara hanya diam memandang ke luar jendela hingga tanpa sadar mobil telah tiba di rumah sakit di mana putranya tengah dirawat. Glara meminta Rose untuk kembali ke perusahaan dan membuat jadwal ulang tentang pertemuan bisnis lainnya. Ia ingin bertemu dengan Gama dan juga Louis yang tengah menunggu kehadirannya untuk menghabiskan makan siang bersama.Glara merapikan pakaian dan mengubah raut wajahnya menjadi lebih ceria, ia tak mau Louis atau Gama mengetahui kesedihannya atas sikap Damian yang merendahkannya. ‘Haiii ibu datang‼” ujar Glara penuh semangat seraya membuka pintu kamar rawat Gama.“Ibuu‼!” pekik Gama senang melihat wanita yang melahirkannya sudah berada di hadapannya.“Coba lihat ibu membawa apa?” tanya Glara menunjukkan paper bag yang sempat ia beli saat di restaurant tad
Damian tersenyum lebar mendengar respon dari Glara. “Sungguh sayang, aku sangat mencintaimu. Hanya kamu yang ada di hatiku.”Glara menatap Damian dengan sorot mata yang tak bisa dijelaskan. Ia seakan terharu dengan ucapan Damian. “Kembalilah padaku, aku akan membahagiakan kalian berdua setelah menyelesaikan misiku.”Dalam hitungan detik, raut wajah Glara berubah menjadi tajam dengan senyum smirk di wajahnya. “Kembali padamu? Jangan berharap, Damian!” ketus Glara membuat harapan yang Damian bangun tadi menghilang begitu saja.“Aku sungguh mencintaimu Glara. Aku akan –““Akan apa? Berhenti berdrama! Kamu ke sini bukan karena masih mencintaiku tetapi kamu sekarang tahu siapa aku, Kan? Coba kalau aku masih miskin seperti kemarin. Jangankan ke mari, menyebut namaku saja kamu jijik kan, Damian? Jadi, buat apa masih di sini? Pergilah, bukannya kamu sendiri yang membuang kami?”Damian tertegun, baru kali ini Glara berani melawannya. Bahkan Damian tak menyangka jika Glara berani menatapnya set
"Makan.”Kening Glara berkerut mendengar ucapan Bhuvi yang secara mendadak mengajaknya makan itu. “Daritadi anda tidak fokus pada pembahasan konsep. Saya rasa itu karena anda menahan lapar.”Glara meringis malu, sebenarnya ia memang lapar, sejak siang tadi ia belum menyantap apapun. Padahal tadi Glara berniat memesan zuppa soup untuknya dan juga Gama, sayangnya semua harus gagal karena kedatangan Damian yang membuat moodnya hancur.“Makan dulu, Glara. Kamu bisa sakit jika sering mengabaikan jam makanmu. Pergilah, biar kakek yang menjaga Gama di sini,” ujar Louis menyuruh cucu tunggalnya untuk menerima ajakan Bhuvi.Akhirnya Glara mengangguk mengikuti perintah dari Louis. Glara meraih ponselnya dan berjalan mengikuti langkah kaki jenjang Bhuvi yang berjalan di depannya. Tak berselang lama, Glara dan Bhuvi tiba di kantin rumah sakit. Mereka mengedarkan pandangan mencari tempat duduk yang kosong. “Di sana,” ujar keduanya secara bersamaan dan menunjuk ke salah satu meja kosong yang berada
“Bisa pertemukan saya dengan psikolog itu?” ujar Glara penuh harap.Bhuvi sempat terdiam sejenak namun, di detik selanjutnya pria itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ia lantas menghubungi psikolog itu. Glara memperhatikan Bhuvi yang sedang berbincang dengan seseorang melalui sambungan telepon. Sedangkan Glara dan Louis menunggu kabar dari Bhuvi dengan perasaan gelisah.“Terima kasih, dok,” ucap Bhuvi mengakhiri sambungan teleponnya.Bhuvi mendongak dan netranya bertabrakan dengan netra Glara yang menatapnya penuh harap. “Besuk pagi, psikolognya akan ke mari.” Glara menghela napas lega mendengar penuturan Bhuvi.“Terima kasih, Bhuvi.” Bhuvi mengangguk dan tersenyum tipis.Hari pun semakin larut, matahari telah berganti senja yang menguning. Glara kini seorang diri menemani putranya yang masih tertidur karena efek dari obat penenang yang diberikan beberapa jam lalu. Louis dan Bhuvi sudah pamit pulang meninggalkan Glara di sana.Denting singkat di ponselnya mengalihkan perhatian G
“Maaf mengejutkanmu,” ujarnya tak enak hati.Glara mengangguk dan bergegas membersihkan diri ke kamar mandi. Tak lama, Glara keluar dari kamar mandi dengan penampilan yang jauh lebih segar dari sebelumnya. Glara pun menghampiri Bhuvi yang duduk di salah satu sofa di kamar rawat Gama.“Ada perlu apa?”“Aku mengantarkan psikolog yang akan menangani Gama. Sekarang ia sedang berbincang dengan dokter pribadi Gama di sini.” Glara mengangguk mendengar penjelasan dari Bhuvi.Glara pun bergerak menuangkan kopi hitam yang sudah tersaji di teko listrik di dalam kamar rawat. Lantas menyerahkannya pada Bhuvi. “Silakan diminum terlebih dahulu.” Bhuvi mengangguk dan menyesap sedikit kopi pemberian Glara.Glara dan Bhuvi terlibat perbincangan singkat mengenai progres proyek kepedulian yang mereka buat. Glara menyerahkan konsep yang semalaman ia bua
“Ke mana?” Bhuvi tersenyum dan mengajak Glara bertemu dengan dokter pribadinya.Glara pun mengikuti langkah kaki Bhuvi yang terus berjalan di depannya. Hingga langkah kakinya berhenti di depan ruangan berwarna putih. Bhuvi bergerak mengetuk pintu hingga muncullah seorang perawat yang menyambut kedatangan Glara dan Bhuvi dengan senyum ramah.“Saya ingin bertemu dengan dokter Shapire.” Perawat itu mengangguk lantas mempersilakan Glara dan Bhuvi masuk ke dalam ruangan dokter Abel.Dokter Abel berdiri dan memyambut kedatangan Glara dan juga Bhuvi. Ia mempersilakan keduanya untuk duduk dan bertanya, “Ada yang perlu dibicarakan?”Bhuvi mengangguk sedangkan Glara hanya diam saja, karena sejujurnya ia tak tahu apa tujuan Bhuvi mengajaknya bertemu dengan dokter Abel. “Kapan Gama bisa kami bawa pulang?”“Kami akan melakukan pemeri