Share

Kenapa balik lagi?!

Glara berdiri di depan bangunan yang menjulang tinggi di depannya, rasanya sudah begitu lama ia tak menginjakkan kakinya di bangunan itu. Rasa canggung dan malu menyelinap di benak Glara. Namun, Glara tak memiliki pilihan lain demi keselamatan buah hatinya.

Sebelum masuk ke dalam bangunan itu, Glara menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Kedatangan Glara disambut manis oleh jajaran wanita yang berbaris di balik meja resepsionis. “Selamat datang nona Glara, tuan besar sudah menunggu kedatangan Nona. Mari saya antar.”

Glara hanya tersenyum dan mengangguk, ia mengikuti langkah kaki wanita ramping di depannya. Hingga langkah kakinya berhenti tepat di depan pintu lift yang masih tertutup. Tak lama, pintu lift terbuka, wanita ramping itu mempersilakan Glara masuk ke dalamnya. Setelahnya, ia menekan angka paling tinggi di bangunan itu.

Degup jantung Glara semakin berpacu tak karuan, rasa gugup dan gelisah berkecamuk di dalam hatinya. Ia sangat takut jika saja orang yang ia tuju enggan mengulurkan tangannya untuk membantu Glara dan putra semata wayangnya.

“Maaf nona, saya hanya bisa mengantarkan sampai sini. Setelah ini Nona hanya perlu berjalan sepuluh langkah ke depan. Ruangan Tuan Besar ada di paling ujung lantai ini,” papar wanita tadi dengan sopan dan menatap Glara hormat.

“Terima kasih,” balas Glara membalas senyumannya.

Glara pun melangkah sesuai dengan intruksi yang diberikan resepsionis tadi. Tepat di langkah ke sepuluh, Glara berhenti di depan sebuah pintu tinggi yang bertengger papan nama ‘Presiden dan Chief Executive Officer’ Glara memejamkan matanya sejenak. Berulang kali ia menyentuh knop pintu namun, berulang kali juga ia mengurungkan niatnya.

“Ck!” Glara berdecak lantas berbalik hendak meninggalkan ruangan di depannya.

“Kenapa berbalik?” tanya seorang pria dengan suara yang begitu ia kenali.

Glara mendongak manik abu-abunya menatap lurus ke arah pria tua yang berdiri dengan beberapa bodyguard di belakangnya. “Ayo masuk.”

Glara mati kutu, ia tak bisa lagi mengelak ataupun menghindar dari pria itu. Dengan terpaksa, Glara mengikuti langkah pria itu masuk ke dalam ruangan berukuran ekstra besar.

“Jadi berapa yang, cucuku ini butuhkan?” tanya pria itu setibanya di dalam ruangan bernuansa abu.

Glara menggeleng lirih. “Kakek, maafkan aku. Aku tak menuruti ucapanmu dan justru terbuai dengan cinta. Kakek, aku benar-benar tidak tahu harus ke mana lagi.”

Pria itu tertawa ringan, ia duduk di kursi kebangsaannya seraya menatap Glara teduh. “Kenapa musti tidak enak? Aku ini kakek kandungmu, keluargamu satu-satunya keluarga yang tersisa bukan? Kenapa musti sungkan? Duduklah dulu.”

Glara masih tertunduk ia benar-benar malu dengan kakeknya sendiri. “Ayolah, Glara Latusha Seraphine. Kau ini seperti dengan siapa saja. Duduk dulu, aku sudah tahu apa yang terjadi padamu. Dan yah semua sudah terjadi tidak ada yang bisa dirubah lagi, bukan?”

Glara masih bergeming di tempatnya. “Glara kau tidak rindu dengan kakek? Setelah lima tahun kau pergi kau tak rindu sedikitpun pada kakek?” imbuh pria itu membentangkan tangan seraya berjalan mendekati Glara.

Glara menitika air mata ia tak menyangka jika kakeknya masih menerima Glara dengan baik setelah apa yang Glara lakukan padanya beberapa tahun silam. “Kakek,” lirih Glara seraya memeluk sang kakek begitu erat.

“Maafkan Glara, maafkan Glara.” Glara terus merapalkan kata itu di dalam dekapan hangat sang kakek yang penuh kasih sayang seperti masa kecilnya dulu.

“It’s okay, Glara. Semua sudah terjadi, sekarang kamu tahu sendiri ‘kan alasan kenapa kakek selalu menentang hubungan kalian?” Glara mengangguk di dalam dekapannya.

Cukup lama mereka berpelukan, menuntaskan rasa rindu antara orang tua dan anaknya. Kini Glara dan Louis –Kakek Glara– duduk berdampingan di sofa yang terdapat di dalam ruangannya.

“Jadi apa yang bisa kakek bantu?” tanyanya setelah Glara selesai menegak minuman dingin yang ia sajikan.

Glara menarik napas dalam-dalam dan berkata, “Gama, Kakek. Dia adalah—“

“Putramu, ‘kan?” tanya Kakek memotong ucapan Glara.

Glara mengangguk, ia enggan bertanya dari mana Louis tahu akan identitas putranya. Karena Glara tahu pasti siapa orang yang duduk di hadapannya. Jangankan anak Glara, semut melahirkan pun Loius akan tahu. “Dia mengidap sakit gagal fungsi hati kronis yang kondisinya… .”

“Nanti kita bawa Gama ke rumah sakit yang lebih besar. Kakek akan mencarikan pendonor yang baik dan tepat untuk Gama. Tetapi sebelum itu, kakek ada satu permintaan yang kakek sangat berharap kamu tidak menolaknya.”

“Apa kek?” tanya Glara, Louis pun tersenyum dan menatap Glara penuh harap.

Glara menatap tubuh lemah putranya yang terbaring dengan serangkaian peralatan medis penunjang hidup Gama. Ucapan dan permintaan sang kakek terus terngiang di kepalanya bak kaset rusak. Glara bisa saja menyetujui keinginan sang kakek namun, ia tak terlalu yakin pada kemampuannya.

Ia terus melamun, hingga sebuah suara lembut mengalun di telinganya. “Selamat siang, bu. Dokter ingin bertemu dengan ibu, mari saya antarkan.” Glara mengangguk dan mengikuti langkah kaki perawat muda di depannya.

Setibanya di depan ruangan berkaca dengan nuansa putih di sekelilingnya, perawat itu mendorong pintu dan mempersilakan Glara untuk masuk. “Hallo bu Glara, silakan duduk,” sapa dokter yang kini berdiri berhadapan dengan Glara.

Glara membalas jabatan tangan dokter itu dan kemudian duduk di depannya. “Ada apa ya, dok?”

“Begini ibu Glara, saya ingin membicarakan kondisi putra ibu. Berdasarkan pemeriksaan yang kami lakukan tadi, kami mendapatkan hasil yang kurang baik.”

Glara terkejut dan bertanya tentang penjelasan dokter tadi. “Kondisi hati Gama hanya berfungsi sebanyak 50 persen saja. Karena kerusakannya sudah menjalar cukup lama. Penanganan yang terlambat juga pertumbuhan Gama yang kurang sempurna membuat virus ini menyebar lebih cepat dari biasanya.”

Napas Glara tercekat, ia seakan kehilangan pasokan oksigen di sekitarnya. “Tetapi, Gama masih bisa sembuh ‘kan dok?”

Wanita berbaju putih itu tersenyum dan mengatakan, “Kemungkinan Gama sembuh tentu ada, jika saja… Gama cepat mendapatkan tindakan lanjutan seperti operasi transplantasi hati. Tetapi untuk mendapatkan itu tentu ada proses yang harus dijalani. Selain itu, kita juga harus menemukan kondisi hati yang baik dan sesuai untuk balita seusia Gama.”

Glara semakin lemas ia tak menyangka jika putra semata wayangnya harus mengalami nasib seburuk ini. “Dan, sebagai perhatian ibu. Mengingat usia Gama yang terbilang muda bahkan sangat muda tentu akan memiliki faktor risiko yang jauh lebih tinggi. Sehingga ibu harus mencari rumah sakit dengan peralatan serta penanganan yang lebih mumpuni.” Glara hanya diam menyimak setiap kata yang wanita itu lontarkan.

Kini Glara kembali menatap ke dalam ruangan Gama dirawat. Ia terpejam sejenak dan kemudian meraih ponselnya serta mengirimkan sebuah pesan kepada seseorang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status