“Kamu begitu basah....”
Aku menggigit bibir bawahku ketika mendengar suara seraknya. Entah itu pujian atau ejekan, aku tidak bisa membedakannya. Dia memang selalu menggunakan nada seperti itu ketika berbicara kepadaku... dan jangan lupakan senyum miring dengan kerlingan mata tajamnya.
Ruangan bernuansa merah dengan aroma musk yang kuat membuat tubuhku semakin panas. Temaramnya lampu membuat pria di atasku itu terlihat semakin menggoda. Tubuhnya yang berkeringat bergerak seperti binatang liar di atasku. Bibirnya yang tebal tersenyum penuh sensual, memberikan siluet tegas di garis rahangnya.
“Apa boleh aku menyentuhnya?” dia bertanya lagi, kali ini sambil membelaiku dari luar celana dalam. Sial! Kalau begitu, kenapa harus bertanya?
Aku ingin mengumpat, tapi desahan di ujung lidahku menghentikannya. “K-kamu... ugh!”
“Ssst...” Pria itu kembali merangkak ke atas, meskipun tangannya masih ada di bawah sana. Napasnya yang panas terasa menyentuh bibirku. “Aku sudah bilang, yang perlu kamu lakukan hanya menikmati saja.”
Kepalaku semakin kosong saat jarinya mulai memasukiku. Begitu perlahan, tapi menimbulkan sensasi yang luar biasa. Rasanya perih bercampur geli, hingga membuatku meringis. Sekali lagi, aku menahan suara-suara laknat itu agar tidak lolos dari mulutku.
“Keluarkan saja,” pintanya sambil bergerak perlahan. Aku pun menggelinjang ketika ia menemukan satu titik lembut di dalam tubuhku.
“...Pi...”
“Apa?”
“...ppy.”
“Poppy!” eh? Siapa Poppy? “Ih, serius banget, sih!”
Srug!
***
Senggolan di lengannya membuat wanita berambut sebahu itu menutup laptopnya. Seketika ruangan bernuansa merah itu berubah menjadi ruang guru Serenity Spring School—sebuah pre-school elit di ibu kota. Di sebelahnya, ada seorang wanita berambut ikal sedang mencondongkan tubuh ke arahnya.
“E-eh?! Kenapa, Lay?” Poppy Sofia bertanya dengan wajah kaku. Layla gak lihat apa yang aku tulis, kan?
Layla terlihat mengerutkan dahi dan menyipitkan matanya. Melihat itu, Poppy meneguk air liurnya yang terasa lebih pahit diam-diam. Walaupun ia sudah berteman cukup lama dengan Layla, tetap saja ini belum waktunya untuk memberitahu soal pekerjaan sampingan itu.
“Kamu ada ide gak kado yang pas buat laki-laki itu apa, ya?”
Poppy menghela napas ketika Layla menanyakan hal lain. Ia terlalu serius mengetik sampai tidak menyadari kalau Layla bertanya kepadanya sedari tadi. Sebenarnya, tidak masalah kalau tulisan yang Poppy ketik adalah laporan perkembangan anak murid, atau paling tidak cerita romansa biasa. Namun tentu saja, itu terlalu “tidak biasa” sampai Poppy harus menyembunyikan hal ini dari siapa pun.
Tidak ada yang menyangka kalau guru pre-school berambut sebahu itu memiliki pekerjaan sampingan yang lain. Ia adalah penulis novel online, spesialis dark-romance dengan bumbu adegan 18+. Awalnya, Poppy hanya coba-coba saja untuk menyalurkan hobinya. Dia suka membaca cerita dark-romance, jadi ingin mencoba untuk membuatnya satu. Namun ternyata, boom! Ceritanya meledak.
Kalau ada yang mengetahui siapa sosok di balik nama pena Maria Quinn adalah Poppy Sofia, maka hancurlah persona polos dan manis yang dibangunnya sebagai guru.
Poppy menggeser kursinya sambil perlahan menjauhkan laptop yang sudah ditutup itu dari Layla. “Buat suami kamu?”
Layla mengangguk. “Aku dulu selalu kasih kado kamera ke baji—maksudku, Raikhal, pas ulang tahun. Dia, kan, suka fotografi.”
“Dan Pak Aldimas sukanya apa?”
Ada kalanya Poppy iri dengan Layla yang sudah menikah. Bukan iri karena suami Layla adalah direktur MD Group, yang juga menanungi yayasan sekolah ini, melainkan karena Layla pasti punya banyak pengalaman dengan suaminya. Sedangkan Poppy, berpacaran saja baru satu kali waktu kelas 2 SMP.
Terlebih, kali ini Poppy sedang dilanda frustrasi karena deadline dari sang editor untuk sekuel ceritanya. Ia harus membuat seri baru, tentunya dengan adegan seks yang lebih menantang. Berkali-kali Poppy menyerahkan draft, editornya itu selalu bilang, “Kayaknya kurang deh, Kak.”, dan menyarankan Poppu untuk mengeksplor lebih jauh.
Gimana mau eksplor lebih jauh? Pengalaman aja aku gak punya!
Faktanya, Poppy masih perawan—belum pernah berhubungan seks dengan siapa pun.
“Aku mau kasih kejutan gitu,” suara Layla membuat Poppy kembali ke alam sadar. Oke, mari lupakan soal deadline itu sekarang.
“Hm....” Poppy melepaskan kacamata bulat yang selalu dipakainya ketika mengetik di laptop. Ia pun mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari. “Aku pernah, sih, kasih kado jam tangan ke kakak aku. Pernah juga dasi dan notebook sampul kulit gitu. Tapi pas dia tahu harga barang-barang itu, aku malah diomelin. Katanya, dia gak butuh apa-apa. Diucapin aja udah senang.”
Layla mendesah, menyandarkan punggungnya ke kursi. “Tapi, kan, tetap aja....”
Poppy menguap lebar sambil mengangguk-angguk. “Ya, kan... aku juga berpikir begitu.”
Ah... deadline tidak manusiawi itu sudah menyita waktu tidur Poppy selama beberapa hari. Ia dilanda insomnia. Setiap menutup mata, yang terbayang hanyalah ekspresi terangsang Flora—si tokoh utama cerita barunya—saat disentuh oleh Gerald—tokohnya yang lain. Belum lagi editornya yang pantang menyerah walaupun hujan badai menyerang, selalu mengingatkannya tentang deadline.
“Kak, udah belum, ya?”
“Kak, bagian ini kurang deh.”
“Kak, aku tunggu revisian bab selanjutnya ya.”
ARGH!
“Kamu capek banget kelihatannya, Pop. Kurang tidur?”
Poppy melirik Layla yang menatapnya penuh khawatir. Ia pun hanya mengangkat bahu, tidak menampik soal keadaannya yang kurang fit.
Drrt! Drrt!
+62 8217 6xxx is calling....
“Bentar, ya, ada telepon.” Poppy berbalik badan untuk mengambil ponselnya. Ada nomor yang tak dikenal memanggil.
Poppy adalah manusia introver yang jarang berkenalan dengan orang. Jadi, jarang sekali orang yang mengetahui nomor ponselnya selain keluarga, teman dekat, rekan kerja, dan... editornya. Dia tidak pernah berurusan dengan kartu kredit atau pinjaman online, karena sang kakak selalu melarangnya. Jadi, mungkin saja ini adalah nomor darurat dari salah satu kontak yang ia kenal.
Dengan pemikiran seperti itu, Poppy pun menjawab panggilan itu sambil berdiri dari kursinya. “Halo?”
Poppy sengaja keluar dari ruang guru itu sambil mendengarkan orang di seberang berbicara, “Apa benar ini Mbak Poppy? Keluarganya Pak Dante Januar?”
Gerakan tangan Poppy yang baru saja menutup pintu ruang guru di belakangnya pun terhenti. Dahinya sedikit mengeryit. Wanita di seberang sana menyebutkan nama kakaknya yang merupakan seorang legal perusahaan besar. Apa... Dante tiba-tiba dituntut balik kliennya karena kalah di pengadilan?Asal tahu saja, walaupun Dante adalah kakak yang baik, ia tidak cukup yakin dengan kemampuannya sebagai orang legal.“Iya, benar?” walaupun itu kalimat pernyataan, entah kenapa Poppy malah terdengar seperti sedang bertanya.“Begini, Mbak Poppy. Saya disuruh untuk menghubungi Mbak Poppy oleh Dokter Regan karena... Bapak Dante pingsan—““HAH?!”Seperti kata pepatah, orang bodoh itu jarang sekali sakit. Itulah yang selalu terjadi kepada Dante. Kakaknya memang orang legal, tapi—sekali lagi—Poppy tidak pernah menyangka kalau itu adalah profesi kakaknya. Sekeras apa pun Dante bekerja, lembur berhari-hari, sampai rela ke luar kota, pria itu kuat bagaikan tembok bendungan.Namun... apa kata orang itu? Dante p
Poppy melangkah lebar di lorong rumah sakit menuju ruangan Dante. Ia memang berada di hubungan benci dan sayang dengan Dante. Kakaknya itu sangat menyebalkan, suka bertindak manja, dan selalu memperlakukan Poppy selayaknya anak kecil. Poppy sangat ingin mencekiknya sampai wajah Dante membiru, tapi di satu sisi, pria itu adalah satu-satunya keluarga yang tersisa.Orang tua Poppy meninggal karena kecelakaan ketika Poppy berusia 12 tahun. Sejak saat itu, Dante-lah yang berperan sebagai orang tua sekaligus kakak untuk Poppy. Jika diingat lagi, pasti berat bagi anak berusia 18 tahun untuk menjalani dua peran sekaligus di rumah. Hebatnya, Dante tidak pernah mengeluh—hanya terlalu protektif dan manja saja.“Kak Dante!” Poppy berteriak sambil membuka pintu ruang rawat itu. Ia sampai tidak mempedulikan ada dua pasien lain di sana.Poppy dengan segera ia menghampiri brankar kakaknya itu. “Kak Dante gak apa-apa? Mana yang sakit? Kok, bisa pingsan? Kak Dante pasti lupa minum vitamin, kan?!”“Popp
“Eh, eh, mau ke mana?” Dante menghentikan Poppy yang baru mau beranjak. “Kalau mau ngobrol, di sini aja.”“Pasien itu harus istirahat, jangan bawel.” Regan menarik tangan Poppy ke arahnya. “Dan inget, lo harus puasa abis ini, sebelum operasi besok pagi.”Gerutuan Dante tidak bisa Poppy dengar dengan jelas karena Regan sudah menariknya lebih dulu. Pikiran Poppy sudah berkelana entah ke mana. Apa ini soal penyakit Dante? Apa begitu serius sampai-sampai Dante sendiri tidak boleh mendengarnya?Regan membawa Poppy menuju ruangannya yang berada satu lantai di atas. Selama perjalanan itu, mereka berdua hanya diam. Terlalu banyak yang Poppy pikirkan sampai tidak tahu harus mengucapkan apa. Ia hanya memandangi punggung tegap Regan yang tampak semakin gagah dengan sneli itu.Ia baru mendapatkan pijakannya kembali ketika Regan membuka pintu ruangannya.“Sakitnya Kak Dante parah, ya?” tanya Poppy pelan sambil melangkah masuk.Regan menutup pintu itu. “Kamu gak perlu khawatir, dia bakal baik-baik
Air liur Poppy terasa jauh lebih pahit sekarang. Salah satu yang paling ia takuti di dunia ini adalah saat identitas rahasianya terbongkar. Belum lagi, Regan sangat dekat dengan kakaknya.Bagaimana kalau ia langsung mengadukan itu kepada Dante? Apakah Poppy bakal dikurung seumur hidup di kamarnya, tanpa ponsel, laptop, dan internet?Poppy tidak mau membayangkan itu!“I-itu... itu bukan tulisan aku. Iya, hahahaha, aku copy itu dari web tulisan orang lain.” Poppy menghindari tatapan Regan dan tertawa canggung. Jari telunjuk kanannya memainkan cincin yang melingkar di telunjuk kirinya. “Karena bagus dan mau aku baca jadinya aku masukin dokumen.”Regan masih menatap Poppy dengan senyum tipis itu. Dari ujung matanya, Poppy bisa melihat kepala pria itu mengangguk.“Begitu?”Pertanyaan Regan seolah hanya formalitas, tidak perlu mendapat jawaban dari Poppy. Namun, wanita itu tetap mengangguk dengan penuh keyakinan.“Kamu fans banget sama Maria Quinn, ya?” tanya Regan lagi.Poppy tidak tahu ap
Walupun sudah hampir bertahun-tahun menghadapi wajah Regan, nyatanya Poppy tetap tidak terbiasa. Pria itu terlalu bercahaya untuk dikatakan “tampan”, dan terlalu berkarisma untuk dikatakan “keren”.Ujung jari Regan yang menyentuh lembut pipinya menghantarkan sensasi panas ke seluruh tubuhnya. Poppy tidak berkutik. Bahkan setelah mendengar dering panggilan darurat dari ponsel khusus Regan.“Oke, saya akan segera ke sana.”Suara Regan menyadarkan Poppy. Ia melihat pria itu sudah berdiri kembali di balik mejanya, merapikan sneli. Namun, entah kenapa matanya tetap mengarah kepada Poppy.Poppy tanpa sadar menegang kembali, hingga menimbulkan suara kekehan dari Regan.“Sayang sekali, aku harus kerja lagi,” ucap Regan sambil berjalan memutari mejanya.“O-oh... g-gitu, ya.”Ngomong apa sih aku! Poppy menggerutu dalam hati. Ia bahkan sampai mencubit pahanya sendiri.Regan kembali terkekeh, lalu mengusap pelan pipi Poppy. “Kamu bisa di sini dulu lebih lama.”“Hah?”“Aku khawatir, mereka berpiki
Mata Poppy membulat. “O-omongan Kakak bisa masuk pelecehan seksual, tau!”Poppy terlalu malu untuk menyatakan diri seorang perawan. Pada saat teman-teman seusianya memamerkan kehidupan seks yang bergelora—baik bersama suami, pacar, ataupun ‘partner’—Poppy malah terjebak dalam imajinasinya sendiri. Terlebih, ia menuangkan imajinasinya itu dalam bentuk tulisan dan dipublikasikan. Apa kata dunia jika cerita dewasa ini dibuat oleh seorang wanita yang sama sekali tidak memiliki pengalaman seks?!“Jadi benar, kamu gak punya pengalaman?” Regan malah membalikkan kata-kata Poppy.Wanita itu terjebak. Regan memang tidak menuduhnya secara langsung tadi. Namun, harga diri Poppy yang tersenggol malah membongkar semuanya.Poppy menghindari mata Regan yang menatap lurus ke arahnya. “Hm.”“Berciuman?”Sekarang, Poppy menelan air liurnya sendiri. “P-pernah. Waktu kelas 2 SMP....”“Apa itu bisa disebut ciuman?”Sekali lagi, harga diri Poppy tersenggol. Tidak ada aturan tertulis bahwa penulis cerita dew
Bibir Regan terasa seperti cokelat yang meleleh di mulut Poppy. Rasanya seperti perpaduan pahit dan manis, serta sensasi hangat daun mint. Regan seperti hidangan penutup premium untuknya.Semakin dicecap, semakin Poppy ketagihan. Ia ingin merasakan lebih dari sekadar rasa manis dan pahit itu. Poppy membuka mulutnya, tetapi sesuatu benda basah dan lunak menyusup di sela bibirnya dengan cepat. Lidah Regan membelai permukaan bibirnya, sebelum bertemu dengan lidah Poppy di dalam mulutnya.“Hm....”Poppy tidak sadar kapan tepatnya tangan itu bersandar di dada Regan. Ia juga tidak sadar ketika pria itu menarik pinggangnya untuk lebih mendekat. Kepalanya hanya penuh dengan suara kecapan yang basah itu. Sampai Poppy merasakan dadanya mulai sesak dan mulai meremas kaus Regan.Regan menjauhkan bibirnya. “Bernapas, Poppy....”Meskipun begitu, napas Regan sama memburunya. Poppy pun membuka mata dan langsung berhadapan dengan tatapan berkabut milik Regan. Itu adalah ekspresi yang tidak pernah Rega