Walupun sudah hampir bertahun-tahun menghadapi wajah Regan, nyatanya Poppy tetap tidak terbiasa. Pria itu terlalu bercahaya untuk dikatakan “tampan”, dan terlalu berkarisma untuk dikatakan “keren”.
Ujung jari Regan yang menyentuh lembut pipinya menghantarkan sensasi panas ke seluruh tubuhnya. Poppy tidak berkutik. Bahkan setelah mendengar dering panggilan darurat dari ponsel khusus Regan.
“Oke, saya akan segera ke sana.”
Suara Regan menyadarkan Poppy. Ia melihat pria itu sudah berdiri kembali di balik mejanya, merapikan sneli. Namun, entah kenapa matanya tetap mengarah kepada Poppy.
Poppy tanpa sadar menegang kembali, hingga menimbulkan suara kekehan dari Regan.
“Sayang sekali, aku harus kerja lagi,” ucap Regan sambil berjalan memutari mejanya.
“O-oh... g-gitu, ya.”
Ngomong apa sih aku! Poppy menggerutu dalam hati. Ia bahkan sampai mencubit pahanya sendiri.
Regan kembali terkekeh, lalu mengusap pelan pipi Poppy. “Kamu bisa di sini dulu lebih lama.”
“Hah?”
“Aku khawatir, mereka berpikir macam-macam kalau kamu keluar dengan keadaan begitu,” jawab Regan ambigu sebelum membuka pintu ruangannya.
Blam!
Suhu tubuh Poppy meningkat drastis setelah pintu tertutup dari luar. Punggungnya merosot di kursi, bersamaan dengan suara napas yang terdengar berat. Apa tadi itu? Apa Regan memang biasa bersikap seperti ini kepada wanita?
Poppy memang pernah mendengar dari Dante kalau Regan mempunyai banyak pengalaman dengan wanita di Amerika. Ia terus mewanti-wanti Poppy agar jangan mendekati pria seperti Regan. Mulai dari mahasiswi sampai model terkenal, katanya Regan pernah tidur dengan beberapa dari mereka.
Lalu sekarang, apa Regan sedang menggodanya?
Jangan bego deh, Pop! Poppy menghujat dirinya sendiri.
Semakin lama berdiam di ruangan Regan, semakin otaknya tidak bekerja dengan baik. Aroma pria itu tertinggal jelas di sana, membuat jantung Poppy terus berdetak cepat. Dengan terburu-buru, akhirnya ia keluar dari ruangan itu. Untungnya tidak ada yang mencurigai ketika seseorang biasa sepertinya keluar dari ruangan Dokter Regantara Dashar.
“Kamu kenapa?” tanya Dante langsung begitu Poppy kembali ke sampingnya.
“A-aku kenapa?” Poppy bertanya balik dengan sedikit panik. Ia berusaha untuk terlihat biasa saja.
Dahi Dante berkerut. “Muka kamu merah. Kamu demam? Pusing? Heatstroke?”
Poppy refleks menyentuh pipinya sendiri yang memang terasa panas. Namun ia yakin, itu bukan karena demam atau sakit. Ini semua... gara-gara Regan.
“Aku panggilin dokter—”
“Gak apa-apa, Kak!” Poppy menahan tangan Dante yang sudah ingin beranjak dari brankar. Dasar! Padahal dirinya sendiri adalah pasien, tapi tetap saja mengkhawatirkan Poppy.
“Aku gak apa-apa, kok,” ulang Poppy.
Dante sepertinya tidak langsung percaya. Ia terus menatap Poppy selama beberapa detik, membuat wanita itu harus menunjukkan senyum terbaiknya. Sampai akhirnya, pria itu menghela napas panjang dan kembali duduk dengan nyaman di brankar.
Poppy sendiri juga menjadi lega. Bisa malu seumur hidup kalau dokter mengetahui apa yang membuat wajahnya memerah.
Ia pun duduk di kursi, di sebelah brankar Dante, dan mulai merebahkan kepalanya di sana. Begitu banyak yang terjadi dalam satu hari ini, hingga membuat kepalanya lumayan berdenyut. Dari novel keduanya yang belum dimulai, dikejar tagihan naskah, Dante masuk rumah sakit, sampai... rahasianya yang terbongkar oleh Regan. Kalau bisa, Poppy ingin sekali membongkar pasang kepalanya ini.
“Beneran gak apa-apa, Dek?” tanya Dante lembut sambil mengusap kepala Poppy.
“Hm.”
Yah... gak mungkin juga aku ngadu kalau ada apa-apa, dan itu berhubungan sama teman Kak Dante sendiri!
***
Nyatanya, Poppy tidak bisa menghindari Regan walaupun ia sangat ingin. Sudah hampir dua bulan Regan tinggal di rumah Poppy dan Dante karena rumahnya belum selesai direnovasi. Sebenarnya, bisa saja Regan menyewa apartemen sendiri, tetapi ibu Regan menyuruhnya untuk tinggal bersama Dante saja karena jaraknya lebih dekat dari rumah sakit.
Namun menurut Dante, ada alasan lain di balik itu. Ibu Regan pasti ingin Dante dan Poppy mengawasi anaknya setelah rumor-rumor percintaannya di Amerika itu.
Saking jarangnya mereka bertemu di rumah, Poppy terkadang lupa kalau Regan bisa saja duduk di ruang tengah rumahnya dengan secangkir teh dan buku pada tengah malam seperti ini.
“Belum tidur?” tanya Regan yang duduk berselonjor kaki di sofa.
Air yang sedang diminum Poppy sampai tersebur keluar dan membasahi bagian atas piyamanya.
“A-aku cuma mau minum.” Poppy mengangkat gelasnya yang berisi air putih. Sial, kenapa dia jadi gugup begini?
“Revisi kamu sudah?”
Poppy sering mendapat tagihan revisi dari editornya, tapi entah kenapa ucapan Regan jauh lebih menegangkan. Mau berbohong pun rasanya sulit, yang ada, Poppy hanya mengangguk patuh seperti anak anjing.
“Mana, coba kulihat.”
Lagi-lagi seperti mantra, Poppy melesat ke kamarnya untuk mengambil laptop. Setelah mengantar barang-barang Dante ke rumah sakit, Poppy segera menyelesaikan revisinya. Sebenarnya ia mau menjadikan Dante alasan untuk telat mengirimkan revisi, tetapi kakaknya itu justru melarang Poppy untuk menginap di rumah sakit. Alhasil, sekarang ia hanya berduaan dengan Regan di rumah ini—walaupun Poppy awalnya tidak menyadari.
Poppy dan Regan sudah duduk bersebelahan di sofa. Pria itu meletakkan bukunya di meja, dan berganti memperhatikan layar laptop Poppy. Alisnya berkerut-kerut sambil membaca baris demi baris, membuat Poppy tanpa sadar menggigit bibir bawahnya.
Dibanding takut, Poppy malah tegang karena melihat garis wajah Regan yang tersorot cahaya dari laptopnya. Ruangan ini memang memakai lampu temaram di malam hari, sehingga sosok Regan seperti tokoh dalam drama klasik yang tampak memesona.
Pria itu hanya memakai kaus hitam polos dan celana bahan berwarna abu-abu. Walaupun kaus itu tidak ketat, tapi Poppy bisa melihat samar otot lengannya yang tersingkap. Rambutnya yang tadi ditata ke atas, sudah turun menutupi dahinya. Regan tampak jauh lebih lembut daripada saat di rumah sakit tadi.
“Jelek.”
Yah, tapi tidak dengan ucapannya.
“Gak ada perkembangan karakter di dua bab ini. Percakapannya flat, cuma dibuat sensual aja. A gentleman doesn’t talk that way, Poppy. He’s just being a jerk.”
Setiap ucapan Regan seperti belati berkarat yang menghujam dada Poppy. Bukannya anti-kritik, tapi ini pertama kalinya Poppy mendapat kritikan setajam itu. Biasanya, sang editor memperhalus kata-katanya sambil memberikan beberapa masukan. Tidak seperti Regan yang terlalu to the point.
“Kali ini, tulisan kamu seperti amatir,” tutup Regan sambil meletakkan laptop Poppy ke meja. “Seperti tulisan seorang virgin.”
Mata Poppy membulat. “O-omongan Kakak bisa masuk pelecehan seksual, tau!”Poppy terlalu malu untuk menyatakan diri seorang perawan. Pada saat teman-teman seusianya memamerkan kehidupan seks yang bergelora—baik bersama suami, pacar, ataupun ‘partner’—Poppy malah terjebak dalam imajinasinya sendiri. Terlebih, ia menuangkan imajinasinya itu dalam bentuk tulisan dan dipublikasikan. Apa kata dunia jika cerita dewasa ini dibuat oleh seorang wanita yang sama sekali tidak memiliki pengalaman seks?!“Jadi benar, kamu gak punya pengalaman?” Regan malah membalikkan kata-kata Poppy.Wanita itu terjebak. Regan memang tidak menuduhnya secara langsung tadi. Namun, harga diri Poppy yang tersenggol malah membongkar semuanya.Poppy menghindari mata Regan yang menatap lurus ke arahnya. “Hm.”“Berciuman?”Sekarang, Poppy menelan air liurnya sendiri. “P-pernah. Waktu kelas 2 SMP....”“Apa itu bisa disebut ciuman?”Sekali lagi, harga diri Poppy tersenggol. Tidak ada aturan tertulis bahwa penulis cerita dew
Bibir Regan terasa seperti cokelat yang meleleh di mulut Poppy. Rasanya seperti perpaduan pahit dan manis, serta sensasi hangat daun mint. Regan seperti hidangan penutup premium untuknya.Semakin dicecap, semakin Poppy ketagihan. Ia ingin merasakan lebih dari sekadar rasa manis dan pahit itu. Poppy membuka mulutnya, tetapi sesuatu benda basah dan lunak menyusup di sela bibirnya dengan cepat. Lidah Regan membelai permukaan bibirnya, sebelum bertemu dengan lidah Poppy di dalam mulutnya.“Hm....”Poppy tidak sadar kapan tepatnya tangan itu bersandar di dada Regan. Ia juga tidak sadar ketika pria itu menarik pinggangnya untuk lebih mendekat. Kepalanya hanya penuh dengan suara kecapan yang basah itu. Sampai Poppy merasakan dadanya mulai sesak dan mulai meremas kaus Regan.Regan menjauhkan bibirnya. “Bernapas, Poppy....”Meskipun begitu, napas Regan sama memburunya. Poppy pun membuka mata dan langsung berhadapan dengan tatapan berkabut milik Regan. Itu adalah ekspresi yang tidak pernah Rega
“Apa yang buat kamu penasaran?”Entah ini hanya perasaan Poppy atau memang Regan semakin menundukkan kepalanya. Suara pria itu pun semakin berat dan dalam, bahkan terdengar hampir seperti bisikan saja.“Apa... bedanya dengan ciuman biasa?” tanya Poppy dengan suara pelan.Mata hitam itu membuat Poppy tenggelam semakin dalam. Napasnya yang beraroma mint membentur ujung hidung Poppy.“Gimana kalau kamu coba sendiri?”Poppy menelan air liurnya. Ciuman semalam masih terbayang, tetapi ia terus menyakinkan dirinya bahwa Regan melakukan itu hanya untuk pelajaran saja. Lantas, apakah Poppy harus melakukan itu lagi demi adegan yang sedang ditulisnya? Apa... itu tidak apa-apa.Kebimbangan itu membuat Poppy tanpa sadar menggigit bibir bawahnya. Beberapa kali ia melihat film dewasa dengan adegan ciuman, tapi belum bisa membedakan mana french kiss,
Setelah mendapat satu kata “ACC” dari Regan, Poppy segera mengirimkan draf itu kepada editornya. Ia sudah siap mendapat kritikan kedua, tetapi respons editornya justru di luar dugaan. Dia sangat senang, bahkan memuji-muji tulisan Poppy dan mengatakan kalau ini adalah karya besar. Dia tidak sabar untuk Poppy membuat draf lanjutan sampai siap diterbitkan kembali.Ternyata efektif juga ya belajar sama Kak Regan, pikiran itu langsung terlintas di kepala Poppy setelah mendapat rentetan pujian dari editornya. Ternyata benar, pengalaman adalah guru yang paling baik.Poppy melihat lagi tulisan yang dibuatnya. Sejujurnya, kata-kata itu tidak sepenuhnya menggambarkan apa yang Poppy rasakan saat itu. Ciuman Regan... lebih dari sekadar “manis”, “basah”, dan “indah” yang Poppy gambarkan di sana. Ada sesuatu yang membuat dadanya berdesir lebih hebat.Tangan wanita itu
Ketika Regan mengatakan ‘sampai jumpa’, Poppy tidak menyangka kalau mereka akan bertemu secepat ini. Pukul 5 sore, Poppy akhirnya keluar dari sekolah itu, dan mendapati mobil Regan sudah berhenti di depan lobi.Kaca jendela mobil Regan pun turun ketika Poppy mendekat. “Kakak ngapain di sini?”“Jemput kamu,” jawab Regan, masih duduk anteng di belakang kemudi. “Dante yang suruh.”Masuk akal juga. Memang biasanya Poppy pulang-pergi sendiri dengan ojek online atau diantar-jemput Dante. Kakaknya itu pasti sangat khawatir karena tidak bisa menjaga Poppy selama beberapa hari ke depan. Namun, ia tidak menyangka kalau Dante benar-benar menitipkannya kepada Regan.Untuk menghargai usaha Regan—dan Dante—Poppy akhirnya naik ke mobil itu. Sepertinya setelah ini ia harus memberitahu Dante untuk tidak mengkhawatirkannya. Bagaimanapun, Regan adalah seorang dokter bedah yang sibuk, Poppy jadi tidak
Jari-jari Regan mencengkeram roda kemudi dengan erat. Buku-bukunya pun memutih. Sial sekali. Sudah dua kali ia hampir terjebak dalam hasrat bejat itu.Regan menarik napas panjang, lalu kembali melihat ke depan. Ia sedang berusaha menenangkan isi kepalanya.“Kamu tahu maksud ucapan kamu tadi, kan?” tanya Regan dengan suara rendah dan sedikit serak, sambil menjalankan lagi mobilnya kembali.Poppy menelan air liurnya sendiri. Tentu saja ia tahu. Memahami soal gairah, artinya ia harus menyentuh titik tersensitif tubuhnya. Sebagai seorang perawan yang sama sekali tidak berpengalaman, tawaran Regan tadi terdengar sangat gila. Namun di satu sisi, kepala Poppy terus menantangnya untuk mencoba.Perlahan, Poppy mengangkat kepalanya. Dari samping sini, ia bisa melihat perubahan ekspresi Regan. Tidak ada senyum seperti tadi. Rahangnya pun tampak mengeras, dan jakunnya naik turun seperti menahan kesa
“Kak—“ Poppy mendesah di antara ciuman Regan dan gerakan jarinya.Ciuman Regan terputus, dan bibir pria itu berpindah ke belakang telinga Poppy. Napas panasnya menghantarkan getaran yang membuat tubuh Poppy semakin lemas. Seluruhnya ia bersandar pada tubuh kekar Regan.Ting! Tong!“Permisi! Paket!”Poppy menoleh ke arah pintu, tetapi Regan masih belum berhenti menciumi telinga dan leher Poppy. Begitu pun jarinya yang masih berusaha menurunkan celana dalam Poppy.“Kak....”“Paket buat Mas Dante Januar!” teriak seseorang itu lagi dari luar pintu.Nama lengkap Dante sukses membuat Regan mendesah berat, Ia menjauhkan kepalanya dari leher Poppy dan menatap wanita itu dengan frustrasi. Meskipun begitu, tangannya masih berada di balik rok Poppy itu.“P-paket, Kak,” ucap Poppy terbata.Wajah wanita itu sudah sangat merah, bahkan bibirnya jug
Ceklek!Mata Regan membesar ketika pintu itu bisa dibukanya. Tidak terkunci.“Poppy?” panggil Regan pelan sambil melangkah masuk. Ini adalah kali pertamanya ia masuk ke kamar wanita itu.Seperti kamar wanita pada umumnya, kamar Poppy sangat rapi dan tertata. Ruangannya didominasi warna peach, dengan sentuhan pastel. Ada rak berisi penuh buku di salah satu sudut ruangan, sebuah lemari pakaian, meja rias, kasur dengan seprai merah muda, dan....Poppy yang tertidur di atas meja belajar.Wanita itu sudah mengganti pakaiannya dengan kaus oblong dan celana pendek. Sepertinya dia juga sudah mandi. Poppy merebahkan kepalanya di atas meja, dan menjadikan satu lengannya sebagai bantal. Laptop di depannya masih menyala, dan ada satu buku terbuka berisi tulisan tangannya.Regan menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Poppy. Mulut wanita itu sedikit terbuka. Jika dilihat dari air liur itu, sepertinya memang Poppy sudah terlelap dalam.Regan mendengkus geli. “Baru beberapa menit yan
Pasti gara-gara yang tadi.Satu kesimpulan muncul di kepala Regan ketika melihat Poppy berjalan satu langkah di depannya. Ia bukan pria yang tidak peka. Memiliki beberapa pengalaman di masa lalu, membuat dia sadar apa yang terjadi kepada Poppy sekarang. Hanya saja, ia bingung harus memulai dari mana.“Poppy,” panggil Regan, membuat wanita yang tadi menatap layar ponselnya pun mengangkat kepala.“Kenapa?” tanya Poppy.“Maaf.”Alis Poppy berkerut.“Soal....” Regan berdeham sekali, berusaha untuk tidak terlihat gugup. “Soal di restoran tadi.”Regan bisa melihat sedikit perubahan dalam ekspresi Poppy. Wajah penasaran wanita itu mendadak jadi dingin. Namun, sepertinya Poppy tidak ingin Regan menyadarinya—walaupun sudah terlambat. Wanita itu menarik sudut bibirnya sedikit, berusaha untuk sedang ters
Poppy mengerjap. Pikirannya yang kacau tiba-tiba menjadi kosong gara-gara wajah tampan itu begitu dekat dengannya. Bahkan Poppy bisa merasakan sisa aroma mint dari permen yang Regan makan setelah omakase tadi.“E-eh, iya. Gak apa-apa.” Seperti robot, Poppy menjawab dengan kaku.Regan tidak langsung menjauhkan wajahnya. Ia tetap menatap lurus Poppy dalam jarak sedekat itu, sehingga membuat wanita itu harus mengalihkan pandangannya. Sampai akhirnya, terdengar helaan napas dari Regan, dan pria itu kembali menegakkan tubuhnya.“Saya ambil yang hitam aja, ya, Mbak,” ucap Regan kepada pramuniaga di sana.“Baik, Pak.”Sementara Regan membayar, Poppy memutar badannya dan melihat sekeiling. Ini memang bukan pertama kalinya Poppy memasuki toko sejenis ini, tetapi tetap saja ia merasa takjub. Satu barang di sini hampir setara dengan dua bulan pen
Regan bersiap membantah. Bagaimanapun, usia Claudia dan Poppy hanya berjarak dua tahun. Namun sebelum itu, Claudia sudah memotongnya lebih dulu.“Oh, whatever.” Wanita itu akhirnya melepaskan rangkulan itu, dan merogoh sesuatu dari tas hitam kecil yang dibawanya. “If you bored, you can call me.”Dibanding wanita Indonesia lain yang Regan kenal saat berkuliah, Claudia memang yang paling ekstentrik. Lihat saja sekarang. Sebelum menyerahkan kartu namanya kepada Regan, wanita itu lebih dulu mencium kartu itu hingga meninggalkan bekas lipstik berwarna merah di sana. Tidak hanya itu, Claudia pun langsung menyelipkannya di saku celana Regan sambil memberinya sedikit belaian di paha pria itu.“Bye, Baby....” Claudia melayangkan ciuman, sebelum menghampiri dua orang wanita lain yang menunggunya di meja yang berbeda.Regan mendesah sambil memijat
Satu lagi yang aneh dengan tingkah aneh Regan hari ini. Setelah memarkir mobil di basemen mall, Regan terus menggenggam tangan Poppy dan membawanya masuk ke lobi. Tidak hanya itu, alih-alih langsung masuk ke toko perhiasan atau toko fesyen, Regan malah membawa Poppy ke sebuah restoran Jepang mewah yang meyajikan menu omakase di mall itu.“Kakak gak sibuk?” tanya Poppy setelah duduk di meja yang ditunjukkan seorang pelayan.“Tenang aja.”Jawaban itu sama sekali tidak menjawab pertanyaan Poppy. Pria itu sudah sibuk menyapa chef yang bertanggung jawab melayani mereka. Melihat dari interaksi Regan dan chef itu, entah kenapa Poppy merasa kalau Regan memang sering datang ke sini.Karena konsepnya omakase, Poppy jadi tidak perlu pusing ingin makan apa. Chef di depannya sangat terampil meyajikan sushi dan sashimi untuk Po
Pukul 12.30.Poppy yang sudah berpakaian rapi mengenakan rok biru dongker dan kemeja putih bermotif bunga itu hanya bisa menekuk wajah. Ponselnya masih menempel di telinga, mendengarkan segala alasan Dante sejak lima menit yang lalu. Kakaknya itu tidak jadi pulang cepat, dan memberitahunya secara mendadak seperti ini. Padahal, Poppy sudah bersiap untuk mengambil kado Mami sambil—mungkin—quality time berdua dengan Dante.“Maaf banget, ya, Dek....” Itu kata maaf yang entah keberapa kalinya Dante ucapkan. Dante bilang, Papi—alias ayahnya Regan sekaligus pimpinan Dashar Group—mengajaknya bermain golf secara mendadak. Dante tidak bisa menolak, terlebih ada klien penting yang ikut bermain.“Kakak padahal udah janji, loh. Kak Regan emang ke mana? Kenapa gak dia aja yang ikut,” keluh Poppy. Walaupun posisinya Regan hanya masih seorang dokter, tetap saja
Pada hari libur, Poppy dan Dante memang biasa bangun lebih siang. Poppy pun tidak harus membuat sarapan. Dante lebih suka membeli makan di luar setelah pulang berolahraga daripada menyuruh Poppy memasak di hari libur.Namun, ada yang berbeda pada hari Sabtu ini. Setelah beberapa hari lalu Dante resmi kembali bekerja, pria itu jadi dua kali lebih sibuk. Pekerjaannya menumpuk, sehingga dia terpaksa mengambil lembur setengah hari di Sabtu ini. Jadi, alih-alih membeli sarapan di luar, Dante malah sibuk sendiri di dapur sejak pagi buta. Suaranya sangat berisik sampai-sampai membangunkan Poppy.“Kenapa gak bangunin aku aja, sih, Kak?” tanya Poppy agak kesal. “Tuh, kan, dapurnya jadi berantakan gini.”Poppy lebih kesal melihat dapurnya berantakan daripada dibangunkan untuk membuat sarapan. Lagi pula ini untuk Dante, bukan orang lain. Kalau saja Dante bilang dari malam, Poppy pasti bangun seperti biasanya.“Yah... ini,
Regan tidak pernah membayangkan akan menunjukkan sisi memalukan ini kepada Poppy. Dia adalah seorang dokter, tetapi harus menderita gara-gara mi instan. Dia tidak menyalahkan Poppy, karena keputusannya sendiri yang menyantap mi itu tanpa persetujuannya.Semalam, Regan tidak tega begitu melihat wajah panik Poppy yang harus makan mi lagi demi membohongi Dante. Hidup dua bulan lebih bersama, membuat Regan sadar berapa banyak porsi makan wanita itu. Dan makan mi instan tengah malam—setelah makan malam—sama sekali di luar kebiasaan Poppy.Mulutnya bergerak sebelum otaknya bekerja. Dante meminta nasi, menyendok mi instan Poppy, dan langsung menyuap. Ia bahkan baru sadar potongan cabai di mangkuk itu begitu lidahnya merasakan efeknya. Dari dulu, Regan memang tidak bisa makan pedas. Mi instan Poppy semalam sama saja seperti makanan setan untuknya.Alhasil, beginilah sekarang. Sejak pagi buta, Regan sudah lima kali bolak-balik kamar mandi. Perutnya sakit dan tubuhnya lemas karena terlalu banya
Suara itu membuat Poppy mengangkat pandangannya. Ia tidak akan begitu kaget kalau Dante yang bertanya. Namun, di sini Regan-lah yang bertanya—seorang Regantara Dashar yang mempunyai sejuta martabat itu menanyakan nasi kepadanya?!“Buat?” dengan bodohnya, Poppy malah bertanya balik.“Aku kayaknya laper juga,” jawab Regan sambil menggeser kursinya, lalu berjalan menuju dapur. “Aku boleh minta mi kamu sedikit?”Terdengar decakan berulang dari Dante. “Gelar doang dokter, kalau laper kepepet tetap aja makan mi instan pakai nasi.”“Dokter juga manusia,” sahut Regan dari dapur.Tak berapa lama kemudian, pria itu kembali dengan semangkuk nasi. Dia pun pindah duduk di sebelah Poppy. Wanita yang masih kebingungan itu pun diam saja saat Regan memindahkan setengah porsi mi-nya ke mangkuk berisi nasi itu.Regan yang Poppy tah
Dante yang merasa haus pun menyalakan lampu tidur untuk melihat jam yang baru menunjukkan pukul 11 malam. Mungkin karena efek pasca-operasi, Dante jadi cepat merasa lelah dan tidur lebih awal. Biasanya, dia masih bisa mengobrol dengan Regan sampai tengah malam dan tetap bangun pagi-pagi keesokan harinya.Air di gelasnya kosong, membuat Dante dengan terpaksa harus keluar dari kamar. Sialnya, air di dispenser atas pun kosong, galonnya belum diganti. Akhirnya, Dante terpaksa melangkahkan kakinya dengan malas ke lantai bawah.Pada saat itulah ia melihat lampu kamar Poppy masih menyala dari celah pintu. Heran sekali. Walaupun sudah berusia 27 tahun, Poppy tidak biasanya masih bangun sampai pukul 11 malam. Ia pun mengetuk pintu itu. Namun, karena tidak ada jawaban, Dante mencoba untuk membukanya—dan tak terkunci.“Dek? Kok, lampunya belum mati?”Kosong. Hanya lampu kamarnya yang menyala, tapi pemiliknya tidak ada. Kamar mandinya