Walupun sudah hampir bertahun-tahun menghadapi wajah Regan, nyatanya Poppy tetap tidak terbiasa. Pria itu terlalu bercahaya untuk dikatakan “tampan”, dan terlalu berkarisma untuk dikatakan “keren”.
Ujung jari Regan yang menyentuh lembut pipinya menghantarkan sensasi panas ke seluruh tubuhnya. Poppy tidak berkutik. Bahkan setelah mendengar dering panggilan darurat dari ponsel khusus Regan.
“Oke, saya akan segera ke sana.”
Suara Regan menyadarkan Poppy. Ia melihat pria itu sudah berdiri kembali di balik mejanya, merapikan sneli. Namun, entah kenapa matanya tetap mengarah kepada Poppy.
Poppy tanpa sadar menegang kembali, hingga menimbulkan suara kekehan dari Regan.
“Sayang sekali, aku harus kerja lagi,” ucap Regan sambil berjalan memutari mejanya.
“O-oh... g-gitu, ya.”
Ngomong apa sih aku! Poppy menggerutu dalam hati. Ia bahkan sampai mencubit pahanya sendiri.
Regan kembali terkekeh, lalu mengusap pelan pipi Poppy. “Kamu bisa di sini dulu lebih lama.”
“Hah?”
“Aku khawatir, mereka berpikir macam-macam kalau kamu keluar dengan keadaan begitu,” jawab Regan ambigu sebelum membuka pintu ruangannya.
Blam!
Suhu tubuh Poppy meningkat drastis setelah pintu tertutup dari luar. Punggungnya merosot di kursi, bersamaan dengan suara napas yang terdengar berat. Apa tadi itu? Apa Regan memang biasa bersikap seperti ini kepada wanita?
Poppy memang pernah mendengar dari Dante kalau Regan mempunyai banyak pengalaman dengan wanita di Amerika. Ia terus mewanti-wanti Poppy agar jangan mendekati pria seperti Regan. Mulai dari mahasiswi sampai model terkenal, katanya Regan pernah tidur dengan beberapa dari mereka.
Lalu sekarang, apa Regan sedang menggodanya?
Jangan bego deh, Pop! Poppy menghujat dirinya sendiri.
Semakin lama berdiam di ruangan Regan, semakin otaknya tidak bekerja dengan baik. Aroma pria itu tertinggal jelas di sana, membuat jantung Poppy terus berdetak cepat. Dengan terburu-buru, akhirnya ia keluar dari ruangan itu. Untungnya tidak ada yang mencurigai ketika seseorang biasa sepertinya keluar dari ruangan Dokter Regantara Dashar.
“Kamu kenapa?” tanya Dante langsung begitu Poppy kembali ke sampingnya.
“A-aku kenapa?” Poppy bertanya balik dengan sedikit panik. Ia berusaha untuk terlihat biasa saja.
Dahi Dante berkerut. “Muka kamu merah. Kamu demam? Pusing? Heatstroke?”
Poppy refleks menyentuh pipinya sendiri yang memang terasa panas. Namun ia yakin, itu bukan karena demam atau sakit. Ini semua... gara-gara Regan.
“Aku panggilin dokter—”
“Gak apa-apa, Kak!” Poppy menahan tangan Dante yang sudah ingin beranjak dari brankar. Dasar! Padahal dirinya sendiri adalah pasien, tapi tetap saja mengkhawatirkan Poppy.
“Aku gak apa-apa, kok,” ulang Poppy.
Dante sepertinya tidak langsung percaya. Ia terus menatap Poppy selama beberapa detik, membuat wanita itu harus menunjukkan senyum terbaiknya. Sampai akhirnya, pria itu menghela napas panjang dan kembali duduk dengan nyaman di brankar.
Poppy sendiri juga menjadi lega. Bisa malu seumur hidup kalau dokter mengetahui apa yang membuat wajahnya memerah.
Ia pun duduk di kursi, di sebelah brankar Dante, dan mulai merebahkan kepalanya di sana. Begitu banyak yang terjadi dalam satu hari ini, hingga membuat kepalanya lumayan berdenyut. Dari novel keduanya yang belum dimulai, dikejar tagihan naskah, Dante masuk rumah sakit, sampai... rahasianya yang terbongkar oleh Regan. Kalau bisa, Poppy ingin sekali membongkar pasang kepalanya ini.
“Beneran gak apa-apa, Dek?” tanya Dante lembut sambil mengusap kepala Poppy.
“Hm.”
Yah... gak mungkin juga aku ngadu kalau ada apa-apa, dan itu berhubungan sama teman Kak Dante sendiri!
***
Nyatanya, Poppy tidak bisa menghindari Regan walaupun ia sangat ingin. Sudah hampir dua bulan Regan tinggal di rumah Poppy dan Dante karena rumahnya belum selesai direnovasi. Sebenarnya, bisa saja Regan menyewa apartemen sendiri, tetapi ibu Regan menyuruhnya untuk tinggal bersama Dante saja karena jaraknya lebih dekat dari rumah sakit.
Namun menurut Dante, ada alasan lain di balik itu. Ibu Regan pasti ingin Dante dan Poppy mengawasi anaknya setelah rumor-rumor percintaannya di Amerika itu.
Saking jarangnya mereka bertemu di rumah, Poppy terkadang lupa kalau Regan bisa saja duduk di ruang tengah rumahnya dengan secangkir teh dan buku pada tengah malam seperti ini.
“Belum tidur?” tanya Regan yang duduk berselonjor kaki di sofa.
Air yang sedang diminum Poppy sampai tersebur keluar dan membasahi bagian atas piyamanya.
“A-aku cuma mau minum.” Poppy mengangkat gelasnya yang berisi air putih. Sial, kenapa dia jadi gugup begini?
“Revisi kamu sudah?”
Poppy sering mendapat tagihan revisi dari editornya, tapi entah kenapa ucapan Regan jauh lebih menegangkan. Mau berbohong pun rasanya sulit, yang ada, Poppy hanya mengangguk patuh seperti anak anjing.
“Mana, coba kulihat.”
Lagi-lagi seperti mantra, Poppy melesat ke kamarnya untuk mengambil laptop. Setelah mengantar barang-barang Dante ke rumah sakit, Poppy segera menyelesaikan revisinya. Sebenarnya ia mau menjadikan Dante alasan untuk telat mengirimkan revisi, tetapi kakaknya itu justru melarang Poppy untuk menginap di rumah sakit. Alhasil, sekarang ia hanya berduaan dengan Regan di rumah ini—walaupun Poppy awalnya tidak menyadari.
Poppy dan Regan sudah duduk bersebelahan di sofa. Pria itu meletakkan bukunya di meja, dan berganti memperhatikan layar laptop Poppy. Alisnya berkerut-kerut sambil membaca baris demi baris, membuat Poppy tanpa sadar menggigit bibir bawahnya.
Dibanding takut, Poppy malah tegang karena melihat garis wajah Regan yang tersorot cahaya dari laptopnya. Ruangan ini memang memakai lampu temaram di malam hari, sehingga sosok Regan seperti tokoh dalam drama klasik yang tampak memesona.
Pria itu hanya memakai kaus hitam polos dan celana bahan berwarna abu-abu. Walaupun kaus itu tidak ketat, tapi Poppy bisa melihat samar otot lengannya yang tersingkap. Rambutnya yang tadi ditata ke atas, sudah turun menutupi dahinya. Regan tampak jauh lebih lembut daripada saat di rumah sakit tadi.
“Jelek.”
Yah, tapi tidak dengan ucapannya.
“Gak ada perkembangan karakter di dua bab ini. Percakapannya flat, cuma dibuat sensual aja. A gentleman doesn’t talk that way, Poppy. He’s just being a jerk.”
Setiap ucapan Regan seperti belati berkarat yang menghujam dada Poppy. Bukannya anti-kritik, tapi ini pertama kalinya Poppy mendapat kritikan setajam itu. Biasanya, sang editor memperhalus kata-katanya sambil memberikan beberapa masukan. Tidak seperti Regan yang terlalu to the point.
“Kali ini, tulisan kamu seperti amatir,” tutup Regan sambil meletakkan laptop Poppy ke meja. “Seperti tulisan seorang virgin.”
Mata Poppy membulat. “O-omongan Kakak bisa masuk pelecehan seksual, tau!”Poppy terlalu malu untuk menyatakan diri seorang perawan. Pada saat teman-teman seusianya memamerkan kehidupan seks yang bergelora—baik bersama suami, pacar, ataupun ‘partner’—Poppy malah terjebak dalam imajinasinya sendiri. Terlebih, ia menuangkan imajinasinya itu dalam bentuk tulisan dan dipublikasikan. Apa kata dunia jika cerita dewasa ini dibuat oleh seorang wanita yang sama sekali tidak memiliki pengalaman seks?!“Jadi benar, kamu gak punya pengalaman?” Regan malah membalikkan kata-kata Poppy.Wanita itu terjebak. Regan memang tidak menuduhnya secara langsung tadi. Namun, harga diri Poppy yang tersenggol malah membongkar semuanya.Poppy menghindari mata Regan yang menatap lurus ke arahnya. “Hm.”“Berciuman?”Sekarang, Poppy menelan air liurnya sendiri. “P-pernah. Waktu kelas 2 SMP....”“Apa itu bisa disebut ciuman?”Sekali lagi, harga diri Poppy tersenggol. Tidak ada aturan tertulis bahwa penulis cerita dew
Bibir Regan terasa seperti cokelat yang meleleh di mulut Poppy. Rasanya seperti perpaduan pahit dan manis, serta sensasi hangat daun mint. Regan seperti hidangan penutup premium untuknya.Semakin dicecap, semakin Poppy ketagihan. Ia ingin merasakan lebih dari sekadar rasa manis dan pahit itu. Poppy membuka mulutnya, tetapi sesuatu benda basah dan lunak menyusup di sela bibirnya dengan cepat. Lidah Regan membelai permukaan bibirnya, sebelum bertemu dengan lidah Poppy di dalam mulutnya.“Hm....”Poppy tidak sadar kapan tepatnya tangan itu bersandar di dada Regan. Ia juga tidak sadar ketika pria itu menarik pinggangnya untuk lebih mendekat. Kepalanya hanya penuh dengan suara kecapan yang basah itu. Sampai Poppy merasakan dadanya mulai sesak dan mulai meremas kaus Regan.Regan menjauhkan bibirnya. “Bernapas, Poppy....”Meskipun begitu, napas Regan sama memburunya. Poppy pun membuka mata dan langsung berhadapan dengan tatapan berkabut milik Regan. Itu adalah ekspresi yang tidak pernah Rega
“Kamu begitu basah....”Aku menggigit bibir bawahku ketika mendengar suara seraknya. Entah itu pujian atau ejekan, aku tidak bisa membedakannya. Dia memang selalu menggunakan nada seperti itu ketika berbicara kepadaku... dan jangan lupakan senyum miring dengan kerlingan mata tajamnya.Ruangan bernuansa merah dengan aroma musk yang kuat membuat tubuhku semakin panas. Temaramnya lampu membuat pria di atasku itu terlihat semakin menggoda. Tubuhnya yang berkeringat bergerak seperti binatang liar di atasku. Bibirnya yang tebal tersenyum penuh sensual, memberikan siluet tegas di garis rahangnya.“Apa boleh aku menyentuhnya?” dia bertanya lagi, kali ini sambil membelaiku dari luar celana dalam. Sial! Kalau begitu, kenapa harus bertanya?Aku ingin mengumpat, tapi desahan di ujung lidahku menghentikannya. “K-kamu... ugh!”“Ssst...” Pria itu kembali merangkak ke atas, meskipun tangannya masih ada di bawah sana. Napasnya yang panas terasa menyentuh bibirku. “Aku sudah bilang, yang perlu kamu lak
Gerakan tangan Poppy yang baru saja menutup pintu ruang guru di belakangnya pun terhenti. Dahinya sedikit mengeryit. Wanita di seberang sana menyebutkan nama kakaknya yang merupakan seorang legal perusahaan besar. Apa... Dante tiba-tiba dituntut balik kliennya karena kalah di pengadilan?Asal tahu saja, walaupun Dante adalah kakak yang baik, ia tidak cukup yakin dengan kemampuannya sebagai orang legal.“Iya, benar?” walaupun itu kalimat pernyataan, entah kenapa Poppy malah terdengar seperti sedang bertanya.“Begini, Mbak Poppy. Saya disuruh untuk menghubungi Mbak Poppy oleh Dokter Regan karena... Bapak Dante pingsan—““HAH?!”Seperti kata pepatah, orang bodoh itu jarang sekali sakit. Itulah yang selalu terjadi kepada Dante. Kakaknya memang orang legal, tapi—sekali lagi—Poppy tidak pernah menyangka kalau itu adalah profesi kakaknya. Sekeras apa pun Dante bekerja, lembur berhari-hari, sampai rela ke luar kota, pria itu kuat bagaikan tembok bendungan.Namun... apa kata orang itu? Dante p
Poppy melangkah lebar di lorong rumah sakit menuju ruangan Dante. Ia memang berada di hubungan benci dan sayang dengan Dante. Kakaknya itu sangat menyebalkan, suka bertindak manja, dan selalu memperlakukan Poppy selayaknya anak kecil. Poppy sangat ingin mencekiknya sampai wajah Dante membiru, tapi di satu sisi, pria itu adalah satu-satunya keluarga yang tersisa.Orang tua Poppy meninggal karena kecelakaan ketika Poppy berusia 12 tahun. Sejak saat itu, Dante-lah yang berperan sebagai orang tua sekaligus kakak untuk Poppy. Jika diingat lagi, pasti berat bagi anak berusia 18 tahun untuk menjalani dua peran sekaligus di rumah. Hebatnya, Dante tidak pernah mengeluh—hanya terlalu protektif dan manja saja.“Kak Dante!” Poppy berteriak sambil membuka pintu ruang rawat itu. Ia sampai tidak mempedulikan ada dua pasien lain di sana.Poppy dengan segera ia menghampiri brankar kakaknya itu. “Kak Dante gak apa-apa? Mana yang sakit? Kok, bisa pingsan? Kak Dante pasti lupa minum vitamin, kan?!”“Popp
“Eh, eh, mau ke mana?” Dante menghentikan Poppy yang baru mau beranjak. “Kalau mau ngobrol, di sini aja.”“Pasien itu harus istirahat, jangan bawel.” Regan menarik tangan Poppy ke arahnya. “Dan inget, lo harus puasa abis ini, sebelum operasi besok pagi.”Gerutuan Dante tidak bisa Poppy dengar dengan jelas karena Regan sudah menariknya lebih dulu. Pikiran Poppy sudah berkelana entah ke mana. Apa ini soal penyakit Dante? Apa begitu serius sampai-sampai Dante sendiri tidak boleh mendengarnya?Regan membawa Poppy menuju ruangannya yang berada satu lantai di atas. Selama perjalanan itu, mereka berdua hanya diam. Terlalu banyak yang Poppy pikirkan sampai tidak tahu harus mengucapkan apa. Ia hanya memandangi punggung tegap Regan yang tampak semakin gagah dengan sneli itu.Ia baru mendapatkan pijakannya kembali ketika Regan membuka pintu ruangannya.“Sakitnya Kak Dante parah, ya?” tanya Poppy pelan sambil melangkah masuk.Regan menutup pintu itu. “Kamu gak perlu khawatir, dia bakal baik-baik
Air liur Poppy terasa jauh lebih pahit sekarang. Salah satu yang paling ia takuti di dunia ini adalah saat identitas rahasianya terbongkar. Belum lagi, Regan sangat dekat dengan kakaknya.Bagaimana kalau ia langsung mengadukan itu kepada Dante? Apakah Poppy bakal dikurung seumur hidup di kamarnya, tanpa ponsel, laptop, dan internet?Poppy tidak mau membayangkan itu!“I-itu... itu bukan tulisan aku. Iya, hahahaha, aku copy itu dari web tulisan orang lain.” Poppy menghindari tatapan Regan dan tertawa canggung. Jari telunjuk kanannya memainkan cincin yang melingkar di telunjuk kirinya. “Karena bagus dan mau aku baca jadinya aku masukin dokumen.”Regan masih menatap Poppy dengan senyum tipis itu. Dari ujung matanya, Poppy bisa melihat kepala pria itu mengangguk.“Begitu?”Pertanyaan Regan seolah hanya formalitas, tidak perlu mendapat jawaban dari Poppy. Namun, wanita itu tetap mengangguk dengan penuh keyakinan.“Kamu fans banget sama Maria Quinn, ya?” tanya Regan lagi.Poppy tidak tahu ap