Share

BAB 6

Walupun sudah hampir bertahun-tahun menghadapi wajah Regan, nyatanya Poppy tetap tidak terbiasa. Pria itu terlalu bercahaya untuk dikatakan “tampan”, dan terlalu berkarisma untuk dikatakan “keren”.

Ujung jari Regan yang menyentuh lembut pipinya menghantarkan sensasi panas ke seluruh tubuhnya. Poppy tidak berkutik. Bahkan setelah mendengar dering panggilan darurat dari ponsel khusus Regan.

“Oke, saya akan segera ke sana.”

Suara Regan menyadarkan Poppy. Ia melihat pria itu sudah berdiri kembali di balik mejanya, merapikan sneli. Namun, entah kenapa matanya tetap mengarah kepada Poppy.

Poppy tanpa sadar menegang kembali, hingga menimbulkan suara kekehan dari Regan.

“Sayang sekali, aku harus kerja lagi,” ucap Regan sambil berjalan memutari mejanya.

“O-oh... g-gitu, ya.”

Ngomong apa sih aku! Poppy menggerutu dalam hati. Ia bahkan sampai mencubit pahanya sendiri.

Regan kembali terkekeh, lalu mengusap pelan pipi Poppy. “Kamu bisa di sini dulu lebih lama.”

“Hah?”

“Aku khawatir, mereka berpikir macam-macam kalau kamu keluar dengan keadaan begitu,” jawab Regan ambigu sebelum membuka pintu ruangannya.

Blam!

Suhu tubuh Poppy meningkat drastis setelah pintu tertutup dari luar. Punggungnya merosot di kursi, bersamaan dengan suara napas yang terdengar berat. Apa tadi itu? Apa Regan memang biasa bersikap seperti ini kepada wanita?

Poppy memang pernah mendengar dari Dante kalau Regan mempunyai banyak pengalaman dengan wanita di Amerika. Ia terus mewanti-wanti Poppy agar jangan mendekati pria seperti Regan. Mulai dari mahasiswi sampai model terkenal, katanya Regan pernah tidur dengan beberapa dari mereka.

Lalu sekarang, apa Regan sedang menggodanya?

Jangan bego deh, Pop! Poppy menghujat dirinya sendiri.

Semakin lama berdiam di ruangan Regan, semakin otaknya tidak bekerja dengan baik. Aroma pria itu tertinggal jelas di sana, membuat jantung Poppy terus berdetak cepat. Dengan terburu-buru, akhirnya ia keluar dari ruangan itu. Untungnya tidak ada yang mencurigai ketika seseorang biasa sepertinya keluar dari ruangan Dokter Regantara Dashar.

“Kamu kenapa?” tanya Dante langsung begitu Poppy kembali ke sampingnya.

“A-aku kenapa?” Poppy bertanya balik dengan sedikit panik. Ia berusaha untuk terlihat biasa saja.

Dahi Dante berkerut. “Muka kamu merah. Kamu demam? Pusing? Heatstroke?”

Poppy refleks menyentuh pipinya sendiri yang memang terasa panas. Namun ia yakin, itu bukan karena demam atau sakit. Ini semua... gara-gara Regan.

“Aku panggilin dokter—”

“Gak apa-apa, Kak!” Poppy menahan tangan Dante yang sudah ingin beranjak dari brankar. Dasar! Padahal dirinya sendiri adalah pasien, tapi tetap saja mengkhawatirkan Poppy.

“Aku gak apa-apa, kok,” ulang Poppy.

Dante sepertinya tidak langsung percaya. Ia terus menatap Poppy selama beberapa detik, membuat wanita itu harus menunjukkan senyum terbaiknya. Sampai akhirnya, pria itu menghela napas panjang dan kembali duduk dengan nyaman di brankar.

Poppy sendiri juga menjadi lega. Bisa malu seumur hidup kalau dokter mengetahui apa yang membuat wajahnya memerah.

Ia pun duduk di kursi, di sebelah brankar Dante, dan mulai merebahkan kepalanya di sana. Begitu banyak yang terjadi dalam satu hari ini, hingga membuat kepalanya lumayan berdenyut. Dari novel keduanya yang belum dimulai, dikejar tagihan naskah, Dante masuk rumah sakit, sampai... rahasianya yang terbongkar oleh Regan. Kalau bisa, Poppy ingin sekali membongkar pasang kepalanya ini.

“Beneran gak apa-apa, Dek?” tanya Dante lembut sambil mengusap kepala Poppy.

“Hm.”

Yah... gak mungkin juga aku ngadu kalau ada apa-apa, dan itu berhubungan sama teman Kak Dante sendiri!

***

Nyatanya, Poppy tidak bisa menghindari Regan walaupun ia sangat ingin. Sudah hampir dua bulan Regan tinggal di rumah Poppy dan Dante karena rumahnya belum selesai direnovasi. Sebenarnya, bisa saja Regan menyewa apartemen sendiri, tetapi ibu Regan menyuruhnya untuk tinggal bersama Dante saja karena jaraknya lebih dekat dari rumah sakit.

Namun menurut Dante, ada alasan lain di balik itu. Ibu Regan pasti ingin Dante dan Poppy mengawasi anaknya setelah rumor-rumor percintaannya di Amerika itu.

Saking jarangnya mereka bertemu di rumah, Poppy terkadang lupa kalau Regan bisa saja duduk di ruang tengah rumahnya dengan secangkir teh dan buku pada tengah malam seperti ini.

“Belum tidur?” tanya Regan yang duduk berselonjor kaki di sofa.

Air yang sedang diminum Poppy sampai tersebur keluar dan membasahi bagian atas piyamanya.

“A-aku cuma mau minum.” Poppy mengangkat gelasnya yang berisi air putih. Sial, kenapa dia jadi gugup begini?

“Revisi kamu sudah?”

Poppy sering mendapat tagihan revisi dari editornya, tapi entah kenapa ucapan Regan jauh lebih menegangkan. Mau berbohong pun rasanya sulit, yang ada, Poppy hanya mengangguk patuh seperti anak anjing.

“Mana, coba kulihat.”

Lagi-lagi seperti mantra, Poppy melesat ke kamarnya untuk mengambil laptop. Setelah mengantar barang-barang Dante ke rumah sakit, Poppy segera menyelesaikan revisinya. Sebenarnya ia mau menjadikan Dante alasan untuk telat mengirimkan revisi, tetapi kakaknya itu justru melarang Poppy untuk menginap di rumah sakit. Alhasil, sekarang ia hanya berduaan dengan Regan di rumah ini—walaupun Poppy awalnya tidak menyadari.

Poppy dan Regan sudah duduk bersebelahan di sofa. Pria itu meletakkan bukunya di meja, dan berganti memperhatikan layar laptop Poppy. Alisnya berkerut-kerut sambil membaca baris demi baris, membuat Poppy tanpa sadar menggigit bibir bawahnya.

Dibanding takut, Poppy malah tegang karena melihat garis wajah Regan yang tersorot cahaya dari laptopnya. Ruangan ini memang memakai lampu temaram di malam hari, sehingga sosok Regan seperti tokoh dalam drama klasik yang tampak memesona.

Pria itu hanya memakai kaus hitam polos dan celana bahan berwarna abu-abu. Walaupun kaus itu tidak ketat, tapi Poppy bisa melihat samar otot lengannya yang tersingkap. Rambutnya yang tadi ditata ke atas, sudah turun menutupi dahinya. Regan tampak jauh lebih lembut daripada saat di rumah sakit tadi.

“Jelek.”

Yah, tapi tidak dengan ucapannya.

“Gak ada perkembangan karakter di dua bab ini. Percakapannya flat, cuma dibuat sensual aja. A gentleman doesn’t talk that way, Poppy. He’s just being a jerk.”

Setiap ucapan Regan seperti belati berkarat yang menghujam dada Poppy. Bukannya anti-kritik, tapi ini pertama kalinya Poppy mendapat kritikan setajam itu. Biasanya, sang editor memperhalus kata-katanya sambil memberikan beberapa masukan. Tidak seperti Regan yang terlalu to the point.

“Kali ini, tulisan kamu seperti amatir,” tutup Regan sambil meletakkan laptop Poppy ke meja. “Seperti tulisan seorang virgin.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status