Mata Poppy membulat. “O-omongan Kakak bisa masuk pelecehan seksual, tau!”
Poppy terlalu malu untuk menyatakan diri seorang perawan. Pada saat teman-teman seusianya memamerkan kehidupan seks yang bergelora—baik bersama suami, pacar, ataupun ‘partner’—Poppy malah terjebak dalam imajinasinya sendiri. Terlebih, ia menuangkan imajinasinya itu dalam bentuk tulisan dan dipublikasikan. Apa kata dunia jika cerita dewasa ini dibuat oleh seorang wanita yang sama sekali tidak memiliki pengalaman seks?!
“Jadi benar, kamu gak punya pengalaman?” Regan malah membalikkan kata-kata Poppy.
Wanita itu terjebak. Regan memang tidak menuduhnya secara langsung tadi. Namun, harga diri Poppy yang tersenggol malah membongkar semuanya.
Poppy menghindari mata Regan yang menatap lurus ke arahnya. “Hm.”
“Berciuman?”
Sekarang, Poppy menelan air liurnya sendiri. “P-pernah. Waktu kelas 2 SMP....”
“Apa itu bisa disebut ciuman?”
Sekali lagi, harga diri Poppy tersenggol. Tidak ada aturan tertulis bahwa penulis cerita dewasa harus memiliki pengalaman seks—walaupun itu pasti memberikan nilai tambah. Apalagi Regan meremehkan ciuman pertamanya dengan seorang teman sekelasnya waktu kelas 2 SMP. Padahal waktu itu, Poppy masih menganggap ciuman adalah sesuatu yang sakral dan melambangkan cinta sejati.
Wajah Poppy memberengut. “Aku tau ciuman kayak apa kok! Aku sering nonton film.”
“P**n?”
Poppy sontak menoleh dengan mata membulat. “Bukan, ya!”
“Kamu udah 27, Poppy. Sah-sah saja kalau memang nonton p**n.” Regan mengangkat bahu, lalu kembali meraih cangkir tehnya. “Tapi tetap, itu tidak cukup, kan.”
“Tapi buku pertama aku sukses kok dengan referensi itu!”
Poppy sepertinya tidak sadar kalau dirinya baru saja membongkar aib sendiri. Ia juga tidak menyadari kalau sudut bibir Regan sudah terangkat karena jawabannya itu. Umur hanyalah angka, pada kenyataannya, Poppy masih sepolos itu.
“Kalau kamu masih pakai formula yang sama, ya pembaca akan bosan,” sahut Regan masih tenang sambil meletakkan cangkir tehnya kembali.
Poppy tidak memperhitungkan ini sebelumnya. Memberikan draf mentahnya kepada Regan sama saja dikuliti habis-habisan. Pria itu tidak hanya mengkritik tulisannya, tetapi juga kehidupan seksnya. Dan Poppy jadi semakin kesal karena ia sama sekali tidak bisa membantah ucapan Regan.
“Jadi aku harus gimana?” tanya Poppy dengan perasaan setengah kesal. Ia meraih laptop itu, bersiap untuk mencatat revisi dari Regan.
Regan duduk bersandar sambil bersilang kaki. Matanya menatap lurus Poppy dengan senyum tipis di sudut bibirnya. “Mau aku ajarin?”
“Apa?”
Alis Poppy berkerut. Bukan hanya terkejut, ia juga bingung apa yang dimaksud Regan. Apa yang ingin diajarkan pria itu?
“Ciuman,” jawab Regan.
Jari-jari Poppy berhenti di atas keyboard laptopnya. Ia tidak tahu apakah Regan sedang bercanda atau tidak. Senyum pria itu belum pudar, tetapi tatapan matanya masih lurus mengarah kepada Poppy.
Apa maksud ucapan Regan? Apa pria itu serius? Mengajari ciuman... terdengar klise, tapi entah kenapa seperti sebuah penawaran menarik untuk Poppy. Bibirnya yang belum pernah tersentuh sejak belasan tahun lalu itu, pasti juga penasaran.
Regan menyadari perubahan raut wajah Poppy. Wanita itu memang tampak terkejut tadi, tapi sekarang malah bungkam seribu bahasa. Poppy seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri.
“Sudahlah, aku cuma—“
“Boleh,” Poppy menjawab sebelum Regan menyelesaikan ucapannya. “Aku mau... diajarin ciuman.”
Regan tidak langsung bereaksi. Pria itu malah terdiam beberapa saat, sebelum tawanya pecah. Begitu geli sampai ia menurunkan kaki dan menutup wajahnya dengan satu tangan. Sementara itu, Poppy malah bingung sendiri. Apa ada yang salah dengan jawabannya?
“I don’t know you were this attractive, Sweetheart.”
Dada Poppy berdesir kala Regan memanggilnya begitu. Sekali lagi, Poppy berpikir apakah ia sudah membuat keputusan yang benar atau tidak. Terlebih, yang dihadapinya adalah Regantara Dashar, seorang pria matang yang—kata Dante—playboy.
“Come here,” setelah puas tertawa, Regan menepuk sofa di dekatnya, menyuruh Poppy untuk mendekat.
Wanita itu pun meletakkan laptopnya ke meja dan bergeser. Mereka sudah duduk berhadapan di sofa besar itu. Kedua kaki Poppy bersilang di atas sofa, sedangkan Regan sengaja mengulurkan satu kakinya ke bawah. Satu tangan pria itu ada di punggung sofa, dan satunya lagi menuntun pinggang Poppy agar lebih mendekat.
“Tutup mata kamu,” ucap Regan dengan suara dalam dan lembut.
Poppy menurut. Wanita itu perlahan menutup matanya, dan mulai merasakan napas beraroma mint itu menyentuh ujung hidungnya. Regan tidak langsung menciumnya, tetapi hanya menggesekkan ujung hidungnya ke hidung Poppy.
“Apa yang kamu rasakan?” bisik Regan tepat di depan bibir Poppy.
Bibir Poppy terbuka, tapi kesulitan untuk mengeluarkan kata-katanya. Napasnya terasa semakin berat setelah merasakan kehangatan napas Regan. Ia bahkan tidak mampu membuka matanya, seolah Regan telah menarik semua kekuatan dalam dirinya.
“... Gak tau...,” jawab Poppy akhirnya.
“Gak apa-apa. We can take it slow.”
Dan bibir hangat itu bertemu dengan bibir Poppy.
Bibir Regan terasa seperti cokelat yang meleleh di mulut Poppy. Rasanya seperti perpaduan pahit dan manis, serta sensasi hangat daun mint. Regan seperti hidangan penutup premium untuknya.Semakin dicecap, semakin Poppy ketagihan. Ia ingin merasakan lebih dari sekadar rasa manis dan pahit itu. Poppy membuka mulutnya, tetapi sesuatu benda basah dan lunak menyusup di sela bibirnya dengan cepat. Lidah Regan membelai permukaan bibirnya, sebelum bertemu dengan lidah Poppy di dalam mulutnya.“Hm....”Poppy tidak sadar kapan tepatnya tangan itu bersandar di dada Regan. Ia juga tidak sadar ketika pria itu menarik pinggangnya untuk lebih mendekat. Kepalanya hanya penuh dengan suara kecapan yang basah itu. Sampai Poppy merasakan dadanya mulai sesak dan mulai meremas kaus Regan.Regan menjauhkan bibirnya. “Bernapas, Poppy....”Meskipun begitu, napas Regan sama memburunya. Poppy pun membuka mata dan langsung berhadapan dengan tatapan berkabut milik Regan. Itu adalah ekspresi yang tidak pernah Rega
“Kamu begitu basah....”Aku menggigit bibir bawahku ketika mendengar suara seraknya. Entah itu pujian atau ejekan, aku tidak bisa membedakannya. Dia memang selalu menggunakan nada seperti itu ketika berbicara kepadaku... dan jangan lupakan senyum miring dengan kerlingan mata tajamnya.Ruangan bernuansa merah dengan aroma musk yang kuat membuat tubuhku semakin panas. Temaramnya lampu membuat pria di atasku itu terlihat semakin menggoda. Tubuhnya yang berkeringat bergerak seperti binatang liar di atasku. Bibirnya yang tebal tersenyum penuh sensual, memberikan siluet tegas di garis rahangnya.“Apa boleh aku menyentuhnya?” dia bertanya lagi, kali ini sambil membelaiku dari luar celana dalam. Sial! Kalau begitu, kenapa harus bertanya?Aku ingin mengumpat, tapi desahan di ujung lidahku menghentikannya. “K-kamu... ugh!”“Ssst...” Pria itu kembali merangkak ke atas, meskipun tangannya masih ada di bawah sana. Napasnya yang panas terasa menyentuh bibirku. “Aku sudah bilang, yang perlu kamu lak
Gerakan tangan Poppy yang baru saja menutup pintu ruang guru di belakangnya pun terhenti. Dahinya sedikit mengeryit. Wanita di seberang sana menyebutkan nama kakaknya yang merupakan seorang legal perusahaan besar. Apa... Dante tiba-tiba dituntut balik kliennya karena kalah di pengadilan?Asal tahu saja, walaupun Dante adalah kakak yang baik, ia tidak cukup yakin dengan kemampuannya sebagai orang legal.“Iya, benar?” walaupun itu kalimat pernyataan, entah kenapa Poppy malah terdengar seperti sedang bertanya.“Begini, Mbak Poppy. Saya disuruh untuk menghubungi Mbak Poppy oleh Dokter Regan karena... Bapak Dante pingsan—““HAH?!”Seperti kata pepatah, orang bodoh itu jarang sekali sakit. Itulah yang selalu terjadi kepada Dante. Kakaknya memang orang legal, tapi—sekali lagi—Poppy tidak pernah menyangka kalau itu adalah profesi kakaknya. Sekeras apa pun Dante bekerja, lembur berhari-hari, sampai rela ke luar kota, pria itu kuat bagaikan tembok bendungan.Namun... apa kata orang itu? Dante p
Poppy melangkah lebar di lorong rumah sakit menuju ruangan Dante. Ia memang berada di hubungan benci dan sayang dengan Dante. Kakaknya itu sangat menyebalkan, suka bertindak manja, dan selalu memperlakukan Poppy selayaknya anak kecil. Poppy sangat ingin mencekiknya sampai wajah Dante membiru, tapi di satu sisi, pria itu adalah satu-satunya keluarga yang tersisa.Orang tua Poppy meninggal karena kecelakaan ketika Poppy berusia 12 tahun. Sejak saat itu, Dante-lah yang berperan sebagai orang tua sekaligus kakak untuk Poppy. Jika diingat lagi, pasti berat bagi anak berusia 18 tahun untuk menjalani dua peran sekaligus di rumah. Hebatnya, Dante tidak pernah mengeluh—hanya terlalu protektif dan manja saja.“Kak Dante!” Poppy berteriak sambil membuka pintu ruang rawat itu. Ia sampai tidak mempedulikan ada dua pasien lain di sana.Poppy dengan segera ia menghampiri brankar kakaknya itu. “Kak Dante gak apa-apa? Mana yang sakit? Kok, bisa pingsan? Kak Dante pasti lupa minum vitamin, kan?!”“Popp
“Eh, eh, mau ke mana?” Dante menghentikan Poppy yang baru mau beranjak. “Kalau mau ngobrol, di sini aja.”“Pasien itu harus istirahat, jangan bawel.” Regan menarik tangan Poppy ke arahnya. “Dan inget, lo harus puasa abis ini, sebelum operasi besok pagi.”Gerutuan Dante tidak bisa Poppy dengar dengan jelas karena Regan sudah menariknya lebih dulu. Pikiran Poppy sudah berkelana entah ke mana. Apa ini soal penyakit Dante? Apa begitu serius sampai-sampai Dante sendiri tidak boleh mendengarnya?Regan membawa Poppy menuju ruangannya yang berada satu lantai di atas. Selama perjalanan itu, mereka berdua hanya diam. Terlalu banyak yang Poppy pikirkan sampai tidak tahu harus mengucapkan apa. Ia hanya memandangi punggung tegap Regan yang tampak semakin gagah dengan sneli itu.Ia baru mendapatkan pijakannya kembali ketika Regan membuka pintu ruangannya.“Sakitnya Kak Dante parah, ya?” tanya Poppy pelan sambil melangkah masuk.Regan menutup pintu itu. “Kamu gak perlu khawatir, dia bakal baik-baik
Air liur Poppy terasa jauh lebih pahit sekarang. Salah satu yang paling ia takuti di dunia ini adalah saat identitas rahasianya terbongkar. Belum lagi, Regan sangat dekat dengan kakaknya.Bagaimana kalau ia langsung mengadukan itu kepada Dante? Apakah Poppy bakal dikurung seumur hidup di kamarnya, tanpa ponsel, laptop, dan internet?Poppy tidak mau membayangkan itu!“I-itu... itu bukan tulisan aku. Iya, hahahaha, aku copy itu dari web tulisan orang lain.” Poppy menghindari tatapan Regan dan tertawa canggung. Jari telunjuk kanannya memainkan cincin yang melingkar di telunjuk kirinya. “Karena bagus dan mau aku baca jadinya aku masukin dokumen.”Regan masih menatap Poppy dengan senyum tipis itu. Dari ujung matanya, Poppy bisa melihat kepala pria itu mengangguk.“Begitu?”Pertanyaan Regan seolah hanya formalitas, tidak perlu mendapat jawaban dari Poppy. Namun, wanita itu tetap mengangguk dengan penuh keyakinan.“Kamu fans banget sama Maria Quinn, ya?” tanya Regan lagi.Poppy tidak tahu ap
Walupun sudah hampir bertahun-tahun menghadapi wajah Regan, nyatanya Poppy tetap tidak terbiasa. Pria itu terlalu bercahaya untuk dikatakan “tampan”, dan terlalu berkarisma untuk dikatakan “keren”.Ujung jari Regan yang menyentuh lembut pipinya menghantarkan sensasi panas ke seluruh tubuhnya. Poppy tidak berkutik. Bahkan setelah mendengar dering panggilan darurat dari ponsel khusus Regan.“Oke, saya akan segera ke sana.”Suara Regan menyadarkan Poppy. Ia melihat pria itu sudah berdiri kembali di balik mejanya, merapikan sneli. Namun, entah kenapa matanya tetap mengarah kepada Poppy.Poppy tanpa sadar menegang kembali, hingga menimbulkan suara kekehan dari Regan.“Sayang sekali, aku harus kerja lagi,” ucap Regan sambil berjalan memutari mejanya.“O-oh... g-gitu, ya.”Ngomong apa sih aku! Poppy menggerutu dalam hati. Ia bahkan sampai mencubit pahanya sendiri.Regan kembali terkekeh, lalu mengusap pelan pipi Poppy. “Kamu bisa di sini dulu lebih lama.”“Hah?”“Aku khawatir, mereka berpiki