Eh?
Apaan sih, Poppy Sofia! Poppy mengumpat dirinya sendiri. Ia pun menggeleng keras dan mulai mengangkat sendoknya. Sepertinya, rasa lapar ini sudah mempengaruhi kerja otaknya.
“Kenapa?”
Uhuk!
Pertanyaan Regan yang tiba-tiba membuat Poppy tersedak kuah soto. Apalagi kuahnya masih panas dan terasa pedas, rasa menyengat itu sampai menusuk hidungnya.
“Pelan-pelan aja, aku gak bakal minta,” ucap Regan kemudian sambil menggeser gelas berisi air putih ke hadapan Poppy.
“Makasih,” dengan masih sedikit terbatuk, Poppy meraih gelas itu.
Regan tidak menyahut dan kembali ke tabletnya. Ia juga tidak melanjutkan pertanyaannya tadi. Suasana dapur yang temaram itu menjadi hening seperti sebelumnya.
Tanpa sadar, Poppy melirik sinis tablet di hadapan Regan. Pria itu memakai earphone di salah satu telinganya, j
Poppy terpaku. Entah karena ucapan Regan, atau karena ibu jari pria itu yang mengusap ujung bibirnya. Dari jarak sedekat ini, Poppy bisa melihat jelas detail wajah Regan di bawah temaramnya lampu dapur. Lesung pipi pria itu tampak dalam saat tersenyum. Sepasang mata tajam itu menatap lurus dirinya, seolah ingin membaca seluruh isi kepala Poppy. Dan bibir itu... bibir yang sudah menciumnya beberapa kali, tapi tetap terlihat sangat menggoda.“Aku sendiri kaget waktu Dante bilang kamu sekarang udah jadi guru.”Suara Regan berikutnya membuat Poppy akhirnya tersadar. Wanita itu mengerjap, dan buru-buru melap bibirnya sendiri. Mungkin ada sisa kuah soto yang belepotan di sana.“K-kenapa?” tanya Poppy untuk mengurangi rasa gugupnya.“Dante manjain kamu banget dari dulu. Walaupun dia selalu bebasin kamu ikut ekskul apa pun sampai pilih jurusan kuliah. Dia sama sekali gak expect
Poppy semakin tidak mengerti arah pembicaraan ini. Beberapa detik lalu, mereka masih membahas Dante, lalu tiba-tiba Regan berkata “ayo”. Kalau artinya untuk menjemput Dante, bukankah pria itu yang bilang sendiri kalau Poppy tidak perlu khawatir?Regan yang sudah berjalan untuk mengambil kunci mobilnya yang ada di meja dekat TV pun menyahut, “Aku antar kamu ke sekolah.”Poppy tidak bisa membantah apa pun karena Regan sudah berjalan lebih dulu menuju halaman depan. Seketika, ia menjadi panik. Ini sudah hari kedua Regan menawarkan diri untuk mengantar Poppy bekerja. Biasanya tidak pernah. Sekalipun berangkat bersama, pasti ada Dante di antara mereka.Akhirnya, mau tidak mau Poppy menyelesaikan suapan terakhir nasi gorengnya dengan sedikit terburu-buru. Setelah meletakkan peralatan makannya ke tempat cuci piring, ia pun menyusul Regan yang sedang memanaskan mesin mobil.Tidak sep
Sebagai tim legal, Dante memang memiliki kemampuan yang luar biasa. Dia sangat cakap berbicara dan bernegoisasi. Itulah kenapa papa Regan mempercayakan posisi ketua tim legal kepada Dante—terlepas dari kedekatan hubungan mereka.Namun di satu sisi, pria ini sangat tidak peka membaca keadaan sekitarnya. Untuk saat ini, Regan sangat berterima kasih atas itu.“Mungkin,” Regan hanya menanggapi seadanya. Ia tidak mau membuat Dante menaruh curiga.Helaan napas Dante terdengar, membuat Regan akhirnya ikut bernapas lega. “Yah... semoga aja setelah ini dia ketemu sama cowok yang baik deh.”Ucapan Dante merupakan ucapan tulus seorang kakak untuk adiknya—walaupun nada bicaranya sangat menyebalkan. Namun, Regan justru tidak menyukai hal itu. Poppy bertemu pria baik... baik dalam arti bagaimana? Baik di mata Dante, bukan berarti baik untuk Poppy....Dan dirinya.
Melihat Poppy kembali jalan di depannya, Regan hanya menghela napas. Ada kalanya ia tidak bisa menolak ucapan wanita itu. Padahal mangga itu terlihat sama dengan mangga yang sering dia makan. Lagi pula, kenapa juga Poppy harus mempermasalahkan soal uang?Emangnya muka gue semiskin itu, ya, untuk bisa makan mangga mahal?Mereka masih ada di section sayur dan buah, dan Poppy kembali berhenti di salah satu rak. Wanita itu terdiam cukup lama, sebelum mengambil satu pak stroberi dari sana. Namun, ia tidak langsung meletakkannya di troli, hanya menimbang sambil bergumam pelan.“Lagi mahal, ya... kayaknya minggu lalu gak segini....”Lalu, seperti dugaan Regan, Poppy kembali meletakkan stroberi itu ke rak.Regan tidak paham bagaimana kalkulasi seorang wanita. Harusnya, jika dia menginginkannya, toh tinggal beli. Selain itu, dalam kasus Poppy, dia tidak dalam keadaan harus berhemat. Dante tidak semiskin itu—
“Adeeeeek!”Teriakan itu menyambut Poppy ketika membuka pintu rumah. Poppy melihat Dante berdiri di ruang tengah sambil mengulurkan tangannya. Ya, pemandangan dramatis ini sudah tidak asing di mata Poppy. Wanita itu hanya bisa meringis malu dan berjalan ke arah Dante.Dante membawa Poppy ke dalam pelukannya. Ia pun mengusap-usap rambut Poppy dengan gerakan agak kasar—sedikit berlebihan. “Adek gak kangen Kakak? Kakak di rumah sakit mikirin kamu... kamu makan gak, kamu kecapekan gak, kamu—““Jangan banyak gerak dulu.”Sebelum Poppy menyadari, Regan sudah menarik kaus Dante dan mendorongnya ke sofa di belakang. Entah sejak kapan pria itu sudah ada di sini. Seingat Poppy, Regan masih sibuk menurunkan belanjaannya tadi.“Elah, lagi melepas kangen juga!”“Mending lo mikirin wasiat buat Poppy kalau lambung lo gue potong sekalian.”“Ah, itu....” Sepertinya, jawaban Regan membuat Dante ingat soal pesannya tadi kepada Poppy. “Kangen naspad gue, Pak Dok.”“Kata Kak Regan, jangan makan yang berat
Poppy kehilangan kata-kata untuk sesaat. Bagaimana ia menjelaskan semua ini kepada Regan, kalau dirinya sendiri tidak tahu dari mana memulainya. Semua terjadi begitu saja sampai dirinya berada di titik ini. Namun, kalau Poppy menjelaskan itu, bukankah sama saja memberitahu Regan betapa mesum isi kepalanya ini?“A-aku cuma ikutin pasar, kok! Editorku yang nyuruh.” Pada akhirnya, Poppy memilih untuk melimpahkan dosanya itu kepada orang lain.Regan mengerling, menatap Poppy dengan senyuman. “Benar?”“I-iya!” tanpa sadar, Poppy menaikan suaranya.Regan menggeleng, lalu kembali menatap layar tabletnya. “Apa ini fantasi terdalam kamu, Poppy?” Regan menoleh lagi. “Rough, BDS—““Gak, ya!”Tawa Regan pecah, yang malah membuat wajah Poppy semakin panas. Ia tidak tahu kalau Regan punya sisi jahil sepert
Tidak seperti ciuman-ciuman sebelumnya, kali ini Poppy langsung menutup mata begitu merasakan lembutnya bibir Regan. Pria itu seolah semakin berani menguasai Poppy di tengah temaramnya lampu dapur. Satu tangannya mengingkari pinggang Poppy, sebelum dengan mudahnya memindahkan tubuh mungil Poppy ke pangkuannya. Sekarang, kedua kaki Popi duduk mengangkangi tubuh Regan yang masih duduk di kursi meja makan.“Gak mau jawab? Hm?” tanya Regan dengan suara seraknya setelah melepas ciuman itu sesaat. Ia menggigit gemas bibir bawah Poppy, sebelum berucap kembali, “Atau kamu takut aku aduin ke Dante?”“G-gak gitu....” Poppy berusaha memundurka wajahnya agar tidak terlalu dekat dengan Regan, tetapi pria itu menahan tengkuknya. “A-aku malu....”“Cuma ada aku di sini.”“Ya, karena cuma ada Kakak, jadinya—“Lagi-lagi,
Dante yang merasa haus pun menyalakan lampu tidur untuk melihat jam yang baru menunjukkan pukul 11 malam. Mungkin karena efek pasca-operasi, Dante jadi cepat merasa lelah dan tidur lebih awal. Biasanya, dia masih bisa mengobrol dengan Regan sampai tengah malam dan tetap bangun pagi-pagi keesokan harinya.Air di gelasnya kosong, membuat Dante dengan terpaksa harus keluar dari kamar. Sialnya, air di dispenser atas pun kosong, galonnya belum diganti. Akhirnya, Dante terpaksa melangkahkan kakinya dengan malas ke lantai bawah.Pada saat itulah ia melihat lampu kamar Poppy masih menyala dari celah pintu. Heran sekali. Walaupun sudah berusia 27 tahun, Poppy tidak biasanya masih bangun sampai pukul 11 malam. Ia pun mengetuk pintu itu. Namun, karena tidak ada jawaban, Dante mencoba untuk membukanya—dan tak terkunci.“Dek? Kok, lampunya belum mati?”Kosong. Hanya lampu kamarnya yang menyala, tapi pemiliknya tidak ada. Kamar mandinya
Pasti gara-gara yang tadi.Satu kesimpulan muncul di kepala Regan ketika melihat Poppy berjalan satu langkah di depannya. Ia bukan pria yang tidak peka. Memiliki beberapa pengalaman di masa lalu, membuat dia sadar apa yang terjadi kepada Poppy sekarang. Hanya saja, ia bingung harus memulai dari mana.“Poppy,” panggil Regan, membuat wanita yang tadi menatap layar ponselnya pun mengangkat kepala.“Kenapa?” tanya Poppy.“Maaf.”Alis Poppy berkerut.“Soal....” Regan berdeham sekali, berusaha untuk tidak terlihat gugup. “Soal di restoran tadi.”Regan bisa melihat sedikit perubahan dalam ekspresi Poppy. Wajah penasaran wanita itu mendadak jadi dingin. Namun, sepertinya Poppy tidak ingin Regan menyadarinya—walaupun sudah terlambat. Wanita itu menarik sudut bibirnya sedikit, berusaha untuk sedang ters
Poppy mengerjap. Pikirannya yang kacau tiba-tiba menjadi kosong gara-gara wajah tampan itu begitu dekat dengannya. Bahkan Poppy bisa merasakan sisa aroma mint dari permen yang Regan makan setelah omakase tadi.“E-eh, iya. Gak apa-apa.” Seperti robot, Poppy menjawab dengan kaku.Regan tidak langsung menjauhkan wajahnya. Ia tetap menatap lurus Poppy dalam jarak sedekat itu, sehingga membuat wanita itu harus mengalihkan pandangannya. Sampai akhirnya, terdengar helaan napas dari Regan, dan pria itu kembali menegakkan tubuhnya.“Saya ambil yang hitam aja, ya, Mbak,” ucap Regan kepada pramuniaga di sana.“Baik, Pak.”Sementara Regan membayar, Poppy memutar badannya dan melihat sekeiling. Ini memang bukan pertama kalinya Poppy memasuki toko sejenis ini, tetapi tetap saja ia merasa takjub. Satu barang di sini hampir setara dengan dua bulan pen
Regan bersiap membantah. Bagaimanapun, usia Claudia dan Poppy hanya berjarak dua tahun. Namun sebelum itu, Claudia sudah memotongnya lebih dulu.“Oh, whatever.” Wanita itu akhirnya melepaskan rangkulan itu, dan merogoh sesuatu dari tas hitam kecil yang dibawanya. “If you bored, you can call me.”Dibanding wanita Indonesia lain yang Regan kenal saat berkuliah, Claudia memang yang paling ekstentrik. Lihat saja sekarang. Sebelum menyerahkan kartu namanya kepada Regan, wanita itu lebih dulu mencium kartu itu hingga meninggalkan bekas lipstik berwarna merah di sana. Tidak hanya itu, Claudia pun langsung menyelipkannya di saku celana Regan sambil memberinya sedikit belaian di paha pria itu.“Bye, Baby....” Claudia melayangkan ciuman, sebelum menghampiri dua orang wanita lain yang menunggunya di meja yang berbeda.Regan mendesah sambil memijat
Satu lagi yang aneh dengan tingkah aneh Regan hari ini. Setelah memarkir mobil di basemen mall, Regan terus menggenggam tangan Poppy dan membawanya masuk ke lobi. Tidak hanya itu, alih-alih langsung masuk ke toko perhiasan atau toko fesyen, Regan malah membawa Poppy ke sebuah restoran Jepang mewah yang meyajikan menu omakase di mall itu.“Kakak gak sibuk?” tanya Poppy setelah duduk di meja yang ditunjukkan seorang pelayan.“Tenang aja.”Jawaban itu sama sekali tidak menjawab pertanyaan Poppy. Pria itu sudah sibuk menyapa chef yang bertanggung jawab melayani mereka. Melihat dari interaksi Regan dan chef itu, entah kenapa Poppy merasa kalau Regan memang sering datang ke sini.Karena konsepnya omakase, Poppy jadi tidak perlu pusing ingin makan apa. Chef di depannya sangat terampil meyajikan sushi dan sashimi untuk Po
Pukul 12.30.Poppy yang sudah berpakaian rapi mengenakan rok biru dongker dan kemeja putih bermotif bunga itu hanya bisa menekuk wajah. Ponselnya masih menempel di telinga, mendengarkan segala alasan Dante sejak lima menit yang lalu. Kakaknya itu tidak jadi pulang cepat, dan memberitahunya secara mendadak seperti ini. Padahal, Poppy sudah bersiap untuk mengambil kado Mami sambil—mungkin—quality time berdua dengan Dante.“Maaf banget, ya, Dek....” Itu kata maaf yang entah keberapa kalinya Dante ucapkan. Dante bilang, Papi—alias ayahnya Regan sekaligus pimpinan Dashar Group—mengajaknya bermain golf secara mendadak. Dante tidak bisa menolak, terlebih ada klien penting yang ikut bermain.“Kakak padahal udah janji, loh. Kak Regan emang ke mana? Kenapa gak dia aja yang ikut,” keluh Poppy. Walaupun posisinya Regan hanya masih seorang dokter, tetap saja
Pada hari libur, Poppy dan Dante memang biasa bangun lebih siang. Poppy pun tidak harus membuat sarapan. Dante lebih suka membeli makan di luar setelah pulang berolahraga daripada menyuruh Poppy memasak di hari libur.Namun, ada yang berbeda pada hari Sabtu ini. Setelah beberapa hari lalu Dante resmi kembali bekerja, pria itu jadi dua kali lebih sibuk. Pekerjaannya menumpuk, sehingga dia terpaksa mengambil lembur setengah hari di Sabtu ini. Jadi, alih-alih membeli sarapan di luar, Dante malah sibuk sendiri di dapur sejak pagi buta. Suaranya sangat berisik sampai-sampai membangunkan Poppy.“Kenapa gak bangunin aku aja, sih, Kak?” tanya Poppy agak kesal. “Tuh, kan, dapurnya jadi berantakan gini.”Poppy lebih kesal melihat dapurnya berantakan daripada dibangunkan untuk membuat sarapan. Lagi pula ini untuk Dante, bukan orang lain. Kalau saja Dante bilang dari malam, Poppy pasti bangun seperti biasanya.“Yah... ini,
Regan tidak pernah membayangkan akan menunjukkan sisi memalukan ini kepada Poppy. Dia adalah seorang dokter, tetapi harus menderita gara-gara mi instan. Dia tidak menyalahkan Poppy, karena keputusannya sendiri yang menyantap mi itu tanpa persetujuannya.Semalam, Regan tidak tega begitu melihat wajah panik Poppy yang harus makan mi lagi demi membohongi Dante. Hidup dua bulan lebih bersama, membuat Regan sadar berapa banyak porsi makan wanita itu. Dan makan mi instan tengah malam—setelah makan malam—sama sekali di luar kebiasaan Poppy.Mulutnya bergerak sebelum otaknya bekerja. Dante meminta nasi, menyendok mi instan Poppy, dan langsung menyuap. Ia bahkan baru sadar potongan cabai di mangkuk itu begitu lidahnya merasakan efeknya. Dari dulu, Regan memang tidak bisa makan pedas. Mi instan Poppy semalam sama saja seperti makanan setan untuknya.Alhasil, beginilah sekarang. Sejak pagi buta, Regan sudah lima kali bolak-balik kamar mandi. Perutnya sakit dan tubuhnya lemas karena terlalu banya
Suara itu membuat Poppy mengangkat pandangannya. Ia tidak akan begitu kaget kalau Dante yang bertanya. Namun, di sini Regan-lah yang bertanya—seorang Regantara Dashar yang mempunyai sejuta martabat itu menanyakan nasi kepadanya?!“Buat?” dengan bodohnya, Poppy malah bertanya balik.“Aku kayaknya laper juga,” jawab Regan sambil menggeser kursinya, lalu berjalan menuju dapur. “Aku boleh minta mi kamu sedikit?”Terdengar decakan berulang dari Dante. “Gelar doang dokter, kalau laper kepepet tetap aja makan mi instan pakai nasi.”“Dokter juga manusia,” sahut Regan dari dapur.Tak berapa lama kemudian, pria itu kembali dengan semangkuk nasi. Dia pun pindah duduk di sebelah Poppy. Wanita yang masih kebingungan itu pun diam saja saat Regan memindahkan setengah porsi mi-nya ke mangkuk berisi nasi itu.Regan yang Poppy tah
Dante yang merasa haus pun menyalakan lampu tidur untuk melihat jam yang baru menunjukkan pukul 11 malam. Mungkin karena efek pasca-operasi, Dante jadi cepat merasa lelah dan tidur lebih awal. Biasanya, dia masih bisa mengobrol dengan Regan sampai tengah malam dan tetap bangun pagi-pagi keesokan harinya.Air di gelasnya kosong, membuat Dante dengan terpaksa harus keluar dari kamar. Sialnya, air di dispenser atas pun kosong, galonnya belum diganti. Akhirnya, Dante terpaksa melangkahkan kakinya dengan malas ke lantai bawah.Pada saat itulah ia melihat lampu kamar Poppy masih menyala dari celah pintu. Heran sekali. Walaupun sudah berusia 27 tahun, Poppy tidak biasanya masih bangun sampai pukul 11 malam. Ia pun mengetuk pintu itu. Namun, karena tidak ada jawaban, Dante mencoba untuk membukanya—dan tak terkunci.“Dek? Kok, lampunya belum mati?”Kosong. Hanya lampu kamarnya yang menyala, tapi pemiliknya tidak ada. Kamar mandinya