Air liur Poppy terasa jauh lebih pahit sekarang. Salah satu yang paling ia takuti di dunia ini adalah saat identitas rahasianya terbongkar. Belum lagi, Regan sangat dekat dengan kakaknya.
Bagaimana kalau ia langsung mengadukan itu kepada Dante? Apakah Poppy bakal dikurung seumur hidup di kamarnya, tanpa ponsel, laptop, dan internet?
Poppy tidak mau membayangkan itu!
“I-itu... itu bukan tulisan aku. Iya, hahahaha, aku copy itu dari web tulisan orang lain.” Poppy menghindari tatapan Regan dan tertawa canggung. Jari telunjuk kanannya memainkan cincin yang melingkar di telunjuk kirinya. “Karena bagus dan mau aku baca jadinya aku masukin dokumen.”
Regan masih menatap Poppy dengan senyum tipis itu. Dari ujung matanya, Poppy bisa melihat kepala pria itu mengangguk.
“Begitu?”
Pertanyaan Regan seolah hanya formalitas, tidak perlu mendapat jawaban dari Poppy. Namun, wanita itu tetap mengangguk dengan penuh keyakinan.
“Kamu fans banget sama Maria Quinn, ya?” tanya Regan lagi.
Poppy tidak tahu apakah ia sedang menelan air liurnya sendiri atau batu kerikil. Sejauh mana yang Regan ketahui? Seingat Poppy, ia baru menuliskan judul dan draf kasar saja, tidak sampai menuliskan nama penanya di sana.
“Aku akuin, tulisan dia bagus dan... seksi.” Regan yang masih menatap Poppy pun menyandarkan punggungnya ke kursi. Alisnya bergerak naik ketika mengucapkan kata terakhir itu.
Lalu, seolah baru teringat sesuatu, ia pun kembali menegakkan tubuhnya dan mengambil tablet PC di meja. “Oh, karena kamu katanya baru mau baca, gimana kalau aku bacain di sini. Jadi, kamu gak perlu repot-repot baca sendiri nanti.”
Poppy buru-buru mengibaskan tangannya. Membaca tulisannya sendiri adalah hal terlarang untuk Poppy. Ia tidak mau dirinya tenggelam dalam lautan penuh rasa malu.
“G-gak perlu, Kak. Aku bisa baca sendiri nanti,” Poppy beralasan.
“Aku tau kamu bakal repot urus Dante nanti.” Namun, Regan tidak mau kalah. “Jadi, lebih baik dibacain sekarang, kan.”
Poppy tidak tahu kalau Regan mempunyai sisi keras kepala seperti ini. Ia selalu memandang Regan sebagai sosok yang lebih dewasa daripada Dante. Regan adalah pria yang tenang, lembut, sopan, walaupun jarang berbicara. Melihatnya bertingkah seperti ini adalah hal yang baru untuk Poppy.
Wanita itu terpaku dengan perubahan sikap Regan sampai tidak menyadari senyum miring kembali terbit di bibir pria itu. Regan sudah mengangkat tabletnya dan kembali bersandar di kursi. Sambil bergerak pelan, suara beratnya mulai mengalun di udara.
“Jangan lakukan itu, Tuan!’ pria itu tetap tidak mendengarkanku. Tubuh kekarnya memenjarakanku di antara tembok. Suaranya yang berat, berbisik tepat di telingaku, “Kau itu milikku, selamanya milikku—“
Mata Poppy membulat! “AH! STOP!”
Ia mencoba untuk meraih tablet Regan, tapi tentu saja pria itu bergerak lebih cepat. Wajah Poppy sudah memanas dan memerah. Bola matanya yang bergetar itu melihat bibir Regan kembali terbuka—ingin melanjutkan bacaannya. Buru-buru wanita itu menutup telinga dan memalingkan wajah.
Namun, bukan lanjutan kalimat novel Poppy yang terdengar, melainkan kekehan renyah pria itu. “Kamu punya hobi yang unik, Poppy Sofia.”
Regan meletakkan tablet yang sudah dimatikan itu kembali ke meja. Tangannya bersidekap di depan dada. Sambil bersandar, satu kakinya bertumpu di kaki lain.
Poppy menggigit bibir bawahnya. “J-jangan bilang ke Kak Dante ya, Kak. Please....”
“Kenapa?”
“K-karena....”
“Karena takut ketauan kalau adeknya yang polos ternyata punya imajinasi liar?” potong Regan.
“Bukan gitu!” Tapi, gak salah juga, sih.... “Kalau Kak Dante tau aku dapat uang dari nulis itu, dia pasti akan salahin dirinya sendiri dan bakal kerja dua kali lebih gila supaya aku berhenti.”
Poppy tidak tahu apakah Regan akan memakan alasan itu atau tidak. Walaupun tidak sepenuhnya berbohong, Poppy juga mengkhawatirkan kakaknya itu. Di satu sisi, kalau ia terlalu jujur dan mengatakan kalau menulis cerita dewasa hanya sekadar hobi, sudah pasti Regan akan mencapnya sebagai wanita aneh.
Bagaimana tidak? Seorang wanita 27 tahun, guru pre-school yang berwibawa, tidak sedang menjalin hubungan, menulis cerita erotis yang tidak biasa. Oh, jangan bayangkan sebuah adegan manis saja. Tulisan Poppy bertema dark-romance yang kebanyakan dibumbui fantasi juga.
Poppy mengangkat kepalanya. Ia mencoba untuk merayu Regan dengan tatapan memelas. “Ya, Kak Regan. Please, jangan kasih tau Kak Dante.”
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia mengetukkan jari-jarinya di atas meja sambil menatap Poppy. Sontak saja itu membuatnya mengalihkan pandangan lagi sambil berdeham. Ditatap seorang Regantara Dashar sangat tidak baik untuk kesehatan jantungnya.
“Oke.”
Mata Poppy berbinar mendengar jawaban Regan. Senyumnya merekah. “Maka—“
“Tapi ada syaratnya.”
Dia senang terlalu cepat. Tentu saja Regantara Dashar bukan orang yang mudah seperti Dante. Walaupun senyumnya memudar, Poppy tetap berusaha tidak terlihat kesal.
“Apa?” tanyanya.
“Mulai sekarang....” Regan menarik kursinya agar lebih dekat dengan Poppy. Mereka masih terhalang sebuah meja, tetapi entah kenapa Poppy bisa merasakan harum aroma mint dari napas pria itu.
Mata wanita itu mengerjap dua kali. Tubuhnya terasa kaku, tidak bisa bergerak, walaupun ia tahu kalau Regan sengaja mendekatkan wajah ke arahnya.
“Sebelum kamu kasih draf itu ke editor, kamu harus ACC-an ke aku dulu.”
“K-kenapa?” cicit Poppy.
Regan tersenyum miring. “Sepertinya aku suka tulisan Maria Quinn. Aku mau jadi pembaca eksklusif.”
“K-Kakak bisa baca itu nanti kalau udah terbit.”
Regan menyelipkan rambut Poppy yang menutupi pipi bulatnya ke belakang telinga. “Aku mau jadi pembaca pertama semua tulisanmu, bahkan sebelum editor kamu. Paham?”
Walupun sudah hampir bertahun-tahun menghadapi wajah Regan, nyatanya Poppy tetap tidak terbiasa. Pria itu terlalu bercahaya untuk dikatakan “tampan”, dan terlalu berkarisma untuk dikatakan “keren”.Ujung jari Regan yang menyentuh lembut pipinya menghantarkan sensasi panas ke seluruh tubuhnya. Poppy tidak berkutik. Bahkan setelah mendengar dering panggilan darurat dari ponsel khusus Regan.“Oke, saya akan segera ke sana.”Suara Regan menyadarkan Poppy. Ia melihat pria itu sudah berdiri kembali di balik mejanya, merapikan sneli. Namun, entah kenapa matanya tetap mengarah kepada Poppy.Poppy tanpa sadar menegang kembali, hingga menimbulkan suara kekehan dari Regan.“Sayang sekali, aku harus kerja lagi,” ucap Regan sambil berjalan memutari mejanya.“O-oh... g-gitu, ya.”Ngomong apa sih aku! Poppy menggerutu dalam hati. Ia bahkan sampai mencubit pahanya sendiri.Regan kembali terkekeh, lalu mengusap pelan pipi Poppy. “Kamu bisa di sini dulu lebih lama.”“Hah?”“Aku khawatir, mereka berpiki
Mata Poppy membulat. “O-omongan Kakak bisa masuk pelecehan seksual, tau!”Poppy terlalu malu untuk menyatakan diri seorang perawan. Pada saat teman-teman seusianya memamerkan kehidupan seks yang bergelora—baik bersama suami, pacar, ataupun ‘partner’—Poppy malah terjebak dalam imajinasinya sendiri. Terlebih, ia menuangkan imajinasinya itu dalam bentuk tulisan dan dipublikasikan. Apa kata dunia jika cerita dewasa ini dibuat oleh seorang wanita yang sama sekali tidak memiliki pengalaman seks?!“Jadi benar, kamu gak punya pengalaman?” Regan malah membalikkan kata-kata Poppy.Wanita itu terjebak. Regan memang tidak menuduhnya secara langsung tadi. Namun, harga diri Poppy yang tersenggol malah membongkar semuanya.Poppy menghindari mata Regan yang menatap lurus ke arahnya. “Hm.”“Berciuman?”Sekarang, Poppy menelan air liurnya sendiri. “P-pernah. Waktu kelas 2 SMP....”“Apa itu bisa disebut ciuman?”Sekali lagi, harga diri Poppy tersenggol. Tidak ada aturan tertulis bahwa penulis cerita dew
Bibir Regan terasa seperti cokelat yang meleleh di mulut Poppy. Rasanya seperti perpaduan pahit dan manis, serta sensasi hangat daun mint. Regan seperti hidangan penutup premium untuknya.Semakin dicecap, semakin Poppy ketagihan. Ia ingin merasakan lebih dari sekadar rasa manis dan pahit itu. Poppy membuka mulutnya, tetapi sesuatu benda basah dan lunak menyusup di sela bibirnya dengan cepat. Lidah Regan membelai permukaan bibirnya, sebelum bertemu dengan lidah Poppy di dalam mulutnya.“Hm....”Poppy tidak sadar kapan tepatnya tangan itu bersandar di dada Regan. Ia juga tidak sadar ketika pria itu menarik pinggangnya untuk lebih mendekat. Kepalanya hanya penuh dengan suara kecapan yang basah itu. Sampai Poppy merasakan dadanya mulai sesak dan mulai meremas kaus Regan.Regan menjauhkan bibirnya. “Bernapas, Poppy....”Meskipun begitu, napas Regan sama memburunya. Poppy pun membuka mata dan langsung berhadapan dengan tatapan berkabut milik Regan. Itu adalah ekspresi yang tidak pernah Rega
“Apa yang buat kamu penasaran?”Entah ini hanya perasaan Poppy atau memang Regan semakin menundukkan kepalanya. Suara pria itu pun semakin berat dan dalam, bahkan terdengar hampir seperti bisikan saja.“Apa... bedanya dengan ciuman biasa?” tanya Poppy dengan suara pelan.Mata hitam itu membuat Poppy tenggelam semakin dalam. Napasnya yang beraroma mint membentur ujung hidung Poppy.“Gimana kalau kamu coba sendiri?”Poppy menelan air liurnya. Ciuman semalam masih terbayang, tetapi ia terus menyakinkan dirinya bahwa Regan melakukan itu hanya untuk pelajaran saja. Lantas, apakah Poppy harus melakukan itu lagi demi adegan yang sedang ditulisnya? Apa... itu tidak apa-apa.Kebimbangan itu membuat Poppy tanpa sadar menggigit bibir bawahnya. Beberapa kali ia melihat film dewasa dengan adegan ciuman, tapi belum bisa membedakan mana french kiss,
Setelah mendapat satu kata “ACC” dari Regan, Poppy segera mengirimkan draf itu kepada editornya. Ia sudah siap mendapat kritikan kedua, tetapi respons editornya justru di luar dugaan. Dia sangat senang, bahkan memuji-muji tulisan Poppy dan mengatakan kalau ini adalah karya besar. Dia tidak sabar untuk Poppy membuat draf lanjutan sampai siap diterbitkan kembali.Ternyata efektif juga ya belajar sama Kak Regan, pikiran itu langsung terlintas di kepala Poppy setelah mendapat rentetan pujian dari editornya. Ternyata benar, pengalaman adalah guru yang paling baik.Poppy melihat lagi tulisan yang dibuatnya. Sejujurnya, kata-kata itu tidak sepenuhnya menggambarkan apa yang Poppy rasakan saat itu. Ciuman Regan... lebih dari sekadar “manis”, “basah”, dan “indah” yang Poppy gambarkan di sana. Ada sesuatu yang membuat dadanya berdesir lebih hebat.Tangan wanita itu
Ketika Regan mengatakan ‘sampai jumpa’, Poppy tidak menyangka kalau mereka akan bertemu secepat ini. Pukul 5 sore, Poppy akhirnya keluar dari sekolah itu, dan mendapati mobil Regan sudah berhenti di depan lobi.Kaca jendela mobil Regan pun turun ketika Poppy mendekat. “Kakak ngapain di sini?”“Jemput kamu,” jawab Regan, masih duduk anteng di belakang kemudi. “Dante yang suruh.”Masuk akal juga. Memang biasanya Poppy pulang-pergi sendiri dengan ojek online atau diantar-jemput Dante. Kakaknya itu pasti sangat khawatir karena tidak bisa menjaga Poppy selama beberapa hari ke depan. Namun, ia tidak menyangka kalau Dante benar-benar menitipkannya kepada Regan.Untuk menghargai usaha Regan—dan Dante—Poppy akhirnya naik ke mobil itu. Sepertinya setelah ini ia harus memberitahu Dante untuk tidak mengkhawatirkannya. Bagaimanapun, Regan adalah seorang dokter bedah yang sibuk, Poppy jadi tidak
Jari-jari Regan mencengkeram roda kemudi dengan erat. Buku-bukunya pun memutih. Sial sekali. Sudah dua kali ia hampir terjebak dalam hasrat bejat itu.Regan menarik napas panjang, lalu kembali melihat ke depan. Ia sedang berusaha menenangkan isi kepalanya.“Kamu tahu maksud ucapan kamu tadi, kan?” tanya Regan dengan suara rendah dan sedikit serak, sambil menjalankan lagi mobilnya kembali.Poppy menelan air liurnya sendiri. Tentu saja ia tahu. Memahami soal gairah, artinya ia harus menyentuh titik tersensitif tubuhnya. Sebagai seorang perawan yang sama sekali tidak berpengalaman, tawaran Regan tadi terdengar sangat gila. Namun di satu sisi, kepala Poppy terus menantangnya untuk mencoba.Perlahan, Poppy mengangkat kepalanya. Dari samping sini, ia bisa melihat perubahan ekspresi Regan. Tidak ada senyum seperti tadi. Rahangnya pun tampak mengeras, dan jakunnya naik turun seperti menahan kesa
“Kak—“ Poppy mendesah di antara ciuman Regan dan gerakan jarinya.Ciuman Regan terputus, dan bibir pria itu berpindah ke belakang telinga Poppy. Napas panasnya menghantarkan getaran yang membuat tubuh Poppy semakin lemas. Seluruhnya ia bersandar pada tubuh kekar Regan.Ting! Tong!“Permisi! Paket!”Poppy menoleh ke arah pintu, tetapi Regan masih belum berhenti menciumi telinga dan leher Poppy. Begitu pun jarinya yang masih berusaha menurunkan celana dalam Poppy.“Kak....”“Paket buat Mas Dante Januar!” teriak seseorang itu lagi dari luar pintu.Nama lengkap Dante sukses membuat Regan mendesah berat, Ia menjauhkan kepalanya dari leher Poppy dan menatap wanita itu dengan frustrasi. Meskipun begitu, tangannya masih berada di balik rok Poppy itu.“P-paket, Kak,” ucap Poppy terbata.Wajah wanita itu sudah sangat merah, bahkan bibirnya jug
Pasti gara-gara yang tadi.Satu kesimpulan muncul di kepala Regan ketika melihat Poppy berjalan satu langkah di depannya. Ia bukan pria yang tidak peka. Memiliki beberapa pengalaman di masa lalu, membuat dia sadar apa yang terjadi kepada Poppy sekarang. Hanya saja, ia bingung harus memulai dari mana.“Poppy,” panggil Regan, membuat wanita yang tadi menatap layar ponselnya pun mengangkat kepala.“Kenapa?” tanya Poppy.“Maaf.”Alis Poppy berkerut.“Soal....” Regan berdeham sekali, berusaha untuk tidak terlihat gugup. “Soal di restoran tadi.”Regan bisa melihat sedikit perubahan dalam ekspresi Poppy. Wajah penasaran wanita itu mendadak jadi dingin. Namun, sepertinya Poppy tidak ingin Regan menyadarinya—walaupun sudah terlambat. Wanita itu menarik sudut bibirnya sedikit, berusaha untuk sedang ters
Poppy mengerjap. Pikirannya yang kacau tiba-tiba menjadi kosong gara-gara wajah tampan itu begitu dekat dengannya. Bahkan Poppy bisa merasakan sisa aroma mint dari permen yang Regan makan setelah omakase tadi.“E-eh, iya. Gak apa-apa.” Seperti robot, Poppy menjawab dengan kaku.Regan tidak langsung menjauhkan wajahnya. Ia tetap menatap lurus Poppy dalam jarak sedekat itu, sehingga membuat wanita itu harus mengalihkan pandangannya. Sampai akhirnya, terdengar helaan napas dari Regan, dan pria itu kembali menegakkan tubuhnya.“Saya ambil yang hitam aja, ya, Mbak,” ucap Regan kepada pramuniaga di sana.“Baik, Pak.”Sementara Regan membayar, Poppy memutar badannya dan melihat sekeiling. Ini memang bukan pertama kalinya Poppy memasuki toko sejenis ini, tetapi tetap saja ia merasa takjub. Satu barang di sini hampir setara dengan dua bulan pen
Regan bersiap membantah. Bagaimanapun, usia Claudia dan Poppy hanya berjarak dua tahun. Namun sebelum itu, Claudia sudah memotongnya lebih dulu.“Oh, whatever.” Wanita itu akhirnya melepaskan rangkulan itu, dan merogoh sesuatu dari tas hitam kecil yang dibawanya. “If you bored, you can call me.”Dibanding wanita Indonesia lain yang Regan kenal saat berkuliah, Claudia memang yang paling ekstentrik. Lihat saja sekarang. Sebelum menyerahkan kartu namanya kepada Regan, wanita itu lebih dulu mencium kartu itu hingga meninggalkan bekas lipstik berwarna merah di sana. Tidak hanya itu, Claudia pun langsung menyelipkannya di saku celana Regan sambil memberinya sedikit belaian di paha pria itu.“Bye, Baby....” Claudia melayangkan ciuman, sebelum menghampiri dua orang wanita lain yang menunggunya di meja yang berbeda.Regan mendesah sambil memijat
Satu lagi yang aneh dengan tingkah aneh Regan hari ini. Setelah memarkir mobil di basemen mall, Regan terus menggenggam tangan Poppy dan membawanya masuk ke lobi. Tidak hanya itu, alih-alih langsung masuk ke toko perhiasan atau toko fesyen, Regan malah membawa Poppy ke sebuah restoran Jepang mewah yang meyajikan menu omakase di mall itu.“Kakak gak sibuk?” tanya Poppy setelah duduk di meja yang ditunjukkan seorang pelayan.“Tenang aja.”Jawaban itu sama sekali tidak menjawab pertanyaan Poppy. Pria itu sudah sibuk menyapa chef yang bertanggung jawab melayani mereka. Melihat dari interaksi Regan dan chef itu, entah kenapa Poppy merasa kalau Regan memang sering datang ke sini.Karena konsepnya omakase, Poppy jadi tidak perlu pusing ingin makan apa. Chef di depannya sangat terampil meyajikan sushi dan sashimi untuk Po
Pukul 12.30.Poppy yang sudah berpakaian rapi mengenakan rok biru dongker dan kemeja putih bermotif bunga itu hanya bisa menekuk wajah. Ponselnya masih menempel di telinga, mendengarkan segala alasan Dante sejak lima menit yang lalu. Kakaknya itu tidak jadi pulang cepat, dan memberitahunya secara mendadak seperti ini. Padahal, Poppy sudah bersiap untuk mengambil kado Mami sambil—mungkin—quality time berdua dengan Dante.“Maaf banget, ya, Dek....” Itu kata maaf yang entah keberapa kalinya Dante ucapkan. Dante bilang, Papi—alias ayahnya Regan sekaligus pimpinan Dashar Group—mengajaknya bermain golf secara mendadak. Dante tidak bisa menolak, terlebih ada klien penting yang ikut bermain.“Kakak padahal udah janji, loh. Kak Regan emang ke mana? Kenapa gak dia aja yang ikut,” keluh Poppy. Walaupun posisinya Regan hanya masih seorang dokter, tetap saja
Pada hari libur, Poppy dan Dante memang biasa bangun lebih siang. Poppy pun tidak harus membuat sarapan. Dante lebih suka membeli makan di luar setelah pulang berolahraga daripada menyuruh Poppy memasak di hari libur.Namun, ada yang berbeda pada hari Sabtu ini. Setelah beberapa hari lalu Dante resmi kembali bekerja, pria itu jadi dua kali lebih sibuk. Pekerjaannya menumpuk, sehingga dia terpaksa mengambil lembur setengah hari di Sabtu ini. Jadi, alih-alih membeli sarapan di luar, Dante malah sibuk sendiri di dapur sejak pagi buta. Suaranya sangat berisik sampai-sampai membangunkan Poppy.“Kenapa gak bangunin aku aja, sih, Kak?” tanya Poppy agak kesal. “Tuh, kan, dapurnya jadi berantakan gini.”Poppy lebih kesal melihat dapurnya berantakan daripada dibangunkan untuk membuat sarapan. Lagi pula ini untuk Dante, bukan orang lain. Kalau saja Dante bilang dari malam, Poppy pasti bangun seperti biasanya.“Yah... ini,
Regan tidak pernah membayangkan akan menunjukkan sisi memalukan ini kepada Poppy. Dia adalah seorang dokter, tetapi harus menderita gara-gara mi instan. Dia tidak menyalahkan Poppy, karena keputusannya sendiri yang menyantap mi itu tanpa persetujuannya.Semalam, Regan tidak tega begitu melihat wajah panik Poppy yang harus makan mi lagi demi membohongi Dante. Hidup dua bulan lebih bersama, membuat Regan sadar berapa banyak porsi makan wanita itu. Dan makan mi instan tengah malam—setelah makan malam—sama sekali di luar kebiasaan Poppy.Mulutnya bergerak sebelum otaknya bekerja. Dante meminta nasi, menyendok mi instan Poppy, dan langsung menyuap. Ia bahkan baru sadar potongan cabai di mangkuk itu begitu lidahnya merasakan efeknya. Dari dulu, Regan memang tidak bisa makan pedas. Mi instan Poppy semalam sama saja seperti makanan setan untuknya.Alhasil, beginilah sekarang. Sejak pagi buta, Regan sudah lima kali bolak-balik kamar mandi. Perutnya sakit dan tubuhnya lemas karena terlalu banya
Suara itu membuat Poppy mengangkat pandangannya. Ia tidak akan begitu kaget kalau Dante yang bertanya. Namun, di sini Regan-lah yang bertanya—seorang Regantara Dashar yang mempunyai sejuta martabat itu menanyakan nasi kepadanya?!“Buat?” dengan bodohnya, Poppy malah bertanya balik.“Aku kayaknya laper juga,” jawab Regan sambil menggeser kursinya, lalu berjalan menuju dapur. “Aku boleh minta mi kamu sedikit?”Terdengar decakan berulang dari Dante. “Gelar doang dokter, kalau laper kepepet tetap aja makan mi instan pakai nasi.”“Dokter juga manusia,” sahut Regan dari dapur.Tak berapa lama kemudian, pria itu kembali dengan semangkuk nasi. Dia pun pindah duduk di sebelah Poppy. Wanita yang masih kebingungan itu pun diam saja saat Regan memindahkan setengah porsi mi-nya ke mangkuk berisi nasi itu.Regan yang Poppy tah
Dante yang merasa haus pun menyalakan lampu tidur untuk melihat jam yang baru menunjukkan pukul 11 malam. Mungkin karena efek pasca-operasi, Dante jadi cepat merasa lelah dan tidur lebih awal. Biasanya, dia masih bisa mengobrol dengan Regan sampai tengah malam dan tetap bangun pagi-pagi keesokan harinya.Air di gelasnya kosong, membuat Dante dengan terpaksa harus keluar dari kamar. Sialnya, air di dispenser atas pun kosong, galonnya belum diganti. Akhirnya, Dante terpaksa melangkahkan kakinya dengan malas ke lantai bawah.Pada saat itulah ia melihat lampu kamar Poppy masih menyala dari celah pintu. Heran sekali. Walaupun sudah berusia 27 tahun, Poppy tidak biasanya masih bangun sampai pukul 11 malam. Ia pun mengetuk pintu itu. Namun, karena tidak ada jawaban, Dante mencoba untuk membukanya—dan tak terkunci.“Dek? Kok, lampunya belum mati?”Kosong. Hanya lampu kamarnya yang menyala, tapi pemiliknya tidak ada. Kamar mandinya