Air liur Poppy terasa jauh lebih pahit sekarang. Salah satu yang paling ia takuti di dunia ini adalah saat identitas rahasianya terbongkar. Belum lagi, Regan sangat dekat dengan kakaknya.
Bagaimana kalau ia langsung mengadukan itu kepada Dante? Apakah Poppy bakal dikurung seumur hidup di kamarnya, tanpa ponsel, laptop, dan internet?
Poppy tidak mau membayangkan itu!
“I-itu... itu bukan tulisan aku. Iya, hahahaha, aku copy itu dari web tulisan orang lain.” Poppy menghindari tatapan Regan dan tertawa canggung. Jari telunjuk kanannya memainkan cincin yang melingkar di telunjuk kirinya. “Karena bagus dan mau aku baca jadinya aku masukin dokumen.”
Regan masih menatap Poppy dengan senyum tipis itu. Dari ujung matanya, Poppy bisa melihat kepala pria itu mengangguk.
“Begitu?”
Pertanyaan Regan seolah hanya formalitas, tidak perlu mendapat jawaban dari Poppy. Namun, wanita itu tetap mengangguk dengan penuh keyakinan.
“Kamu fans banget sama Maria Quinn, ya?” tanya Regan lagi.
Poppy tidak tahu apakah ia sedang menelan air liurnya sendiri atau batu kerikil. Sejauh mana yang Regan ketahui? Seingat Poppy, ia baru menuliskan judul dan draf kasar saja, tidak sampai menuliskan nama penanya di sana.
“Aku akuin, tulisan dia bagus dan... seksi.” Regan yang masih menatap Poppy pun menyandarkan punggungnya ke kursi. Alisnya bergerak naik ketika mengucapkan kata terakhir itu.
Lalu, seolah baru teringat sesuatu, ia pun kembali menegakkan tubuhnya dan mengambil tablet PC di meja. “Oh, karena kamu katanya baru mau baca, gimana kalau aku bacain di sini. Jadi, kamu gak perlu repot-repot baca sendiri nanti.”
Poppy buru-buru mengibaskan tangannya. Membaca tulisannya sendiri adalah hal terlarang untuk Poppy. Ia tidak mau dirinya tenggelam dalam lautan penuh rasa malu.
“G-gak perlu, Kak. Aku bisa baca sendiri nanti,” Poppy beralasan.
“Aku tau kamu bakal repot urus Dante nanti.” Namun, Regan tidak mau kalah. “Jadi, lebih baik dibacain sekarang, kan.”
Poppy tidak tahu kalau Regan mempunyai sisi keras kepala seperti ini. Ia selalu memandang Regan sebagai sosok yang lebih dewasa daripada Dante. Regan adalah pria yang tenang, lembut, sopan, walaupun jarang berbicara. Melihatnya bertingkah seperti ini adalah hal yang baru untuk Poppy.
Wanita itu terpaku dengan perubahan sikap Regan sampai tidak menyadari senyum miring kembali terbit di bibir pria itu. Regan sudah mengangkat tabletnya dan kembali bersandar di kursi. Sambil bergerak pelan, suara beratnya mulai mengalun di udara.
“Jangan lakukan itu, Tuan!’ pria itu tetap tidak mendengarkanku. Tubuh kekarnya memenjarakanku di antara tembok. Suaranya yang berat, berbisik tepat di telingaku, “Kau itu milikku, selamanya milikku—“
Mata Poppy membulat! “AH! STOP!”
Ia mencoba untuk meraih tablet Regan, tapi tentu saja pria itu bergerak lebih cepat. Wajah Poppy sudah memanas dan memerah. Bola matanya yang bergetar itu melihat bibir Regan kembali terbuka—ingin melanjutkan bacaannya. Buru-buru wanita itu menutup telinga dan memalingkan wajah.
Namun, bukan lanjutan kalimat novel Poppy yang terdengar, melainkan kekehan renyah pria itu. “Kamu punya hobi yang unik, Poppy Sofia.”
Regan meletakkan tablet yang sudah dimatikan itu kembali ke meja. Tangannya bersidekap di depan dada. Sambil bersandar, satu kakinya bertumpu di kaki lain.
Poppy menggigit bibir bawahnya. “J-jangan bilang ke Kak Dante ya, Kak. Please....”
“Kenapa?”
“K-karena....”
“Karena takut ketauan kalau adeknya yang polos ternyata punya imajinasi liar?” potong Regan.
“Bukan gitu!” Tapi, gak salah juga, sih.... “Kalau Kak Dante tau aku dapat uang dari nulis itu, dia pasti akan salahin dirinya sendiri dan bakal kerja dua kali lebih gila supaya aku berhenti.”
Poppy tidak tahu apakah Regan akan memakan alasan itu atau tidak. Walaupun tidak sepenuhnya berbohong, Poppy juga mengkhawatirkan kakaknya itu. Di satu sisi, kalau ia terlalu jujur dan mengatakan kalau menulis cerita dewasa hanya sekadar hobi, sudah pasti Regan akan mencapnya sebagai wanita aneh.
Bagaimana tidak? Seorang wanita 27 tahun, guru pre-school yang berwibawa, tidak sedang menjalin hubungan, menulis cerita erotis yang tidak biasa. Oh, jangan bayangkan sebuah adegan manis saja. Tulisan Poppy bertema dark-romance yang kebanyakan dibumbui fantasi juga.
Poppy mengangkat kepalanya. Ia mencoba untuk merayu Regan dengan tatapan memelas. “Ya, Kak Regan. Please, jangan kasih tau Kak Dante.”
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia mengetukkan jari-jarinya di atas meja sambil menatap Poppy. Sontak saja itu membuatnya mengalihkan pandangan lagi sambil berdeham. Ditatap seorang Regantara Dashar sangat tidak baik untuk kesehatan jantungnya.
“Oke.”
Mata Poppy berbinar mendengar jawaban Regan. Senyumnya merekah. “Maka—“
“Tapi ada syaratnya.”
Dia senang terlalu cepat. Tentu saja Regantara Dashar bukan orang yang mudah seperti Dante. Walaupun senyumnya memudar, Poppy tetap berusaha tidak terlihat kesal.
“Apa?” tanyanya.
“Mulai sekarang....” Regan menarik kursinya agar lebih dekat dengan Poppy. Mereka masih terhalang sebuah meja, tetapi entah kenapa Poppy bisa merasakan harum aroma mint dari napas pria itu.
Mata wanita itu mengerjap dua kali. Tubuhnya terasa kaku, tidak bisa bergerak, walaupun ia tahu kalau Regan sengaja mendekatkan wajah ke arahnya.
“Sebelum kamu kasih draf itu ke editor, kamu harus ACC-an ke aku dulu.”
“K-kenapa?” cicit Poppy.
Regan tersenyum miring. “Sepertinya aku suka tulisan Maria Quinn. Aku mau jadi pembaca eksklusif.”
“K-Kakak bisa baca itu nanti kalau udah terbit.”
Regan menyelipkan rambut Poppy yang menutupi pipi bulatnya ke belakang telinga. “Aku mau jadi pembaca pertama semua tulisanmu, bahkan sebelum editor kamu. Paham?”
Walupun sudah hampir bertahun-tahun menghadapi wajah Regan, nyatanya Poppy tetap tidak terbiasa. Pria itu terlalu bercahaya untuk dikatakan “tampan”, dan terlalu berkarisma untuk dikatakan “keren”.Ujung jari Regan yang menyentuh lembut pipinya menghantarkan sensasi panas ke seluruh tubuhnya. Poppy tidak berkutik. Bahkan setelah mendengar dering panggilan darurat dari ponsel khusus Regan.“Oke, saya akan segera ke sana.”Suara Regan menyadarkan Poppy. Ia melihat pria itu sudah berdiri kembali di balik mejanya, merapikan sneli. Namun, entah kenapa matanya tetap mengarah kepada Poppy.Poppy tanpa sadar menegang kembali, hingga menimbulkan suara kekehan dari Regan.“Sayang sekali, aku harus kerja lagi,” ucap Regan sambil berjalan memutari mejanya.“O-oh... g-gitu, ya.”Ngomong apa sih aku! Poppy menggerutu dalam hati. Ia bahkan sampai mencubit pahanya sendiri.Regan kembali terkekeh, lalu mengusap pelan pipi Poppy. “Kamu bisa di sini dulu lebih lama.”“Hah?”“Aku khawatir, mereka berpiki
Mata Poppy membulat. “O-omongan Kakak bisa masuk pelecehan seksual, tau!”Poppy terlalu malu untuk menyatakan diri seorang perawan. Pada saat teman-teman seusianya memamerkan kehidupan seks yang bergelora—baik bersama suami, pacar, ataupun ‘partner’—Poppy malah terjebak dalam imajinasinya sendiri. Terlebih, ia menuangkan imajinasinya itu dalam bentuk tulisan dan dipublikasikan. Apa kata dunia jika cerita dewasa ini dibuat oleh seorang wanita yang sama sekali tidak memiliki pengalaman seks?!“Jadi benar, kamu gak punya pengalaman?” Regan malah membalikkan kata-kata Poppy.Wanita itu terjebak. Regan memang tidak menuduhnya secara langsung tadi. Namun, harga diri Poppy yang tersenggol malah membongkar semuanya.Poppy menghindari mata Regan yang menatap lurus ke arahnya. “Hm.”“Berciuman?”Sekarang, Poppy menelan air liurnya sendiri. “P-pernah. Waktu kelas 2 SMP....”“Apa itu bisa disebut ciuman?”Sekali lagi, harga diri Poppy tersenggol. Tidak ada aturan tertulis bahwa penulis cerita dew
Bibir Regan terasa seperti cokelat yang meleleh di mulut Poppy. Rasanya seperti perpaduan pahit dan manis, serta sensasi hangat daun mint. Regan seperti hidangan penutup premium untuknya.Semakin dicecap, semakin Poppy ketagihan. Ia ingin merasakan lebih dari sekadar rasa manis dan pahit itu. Poppy membuka mulutnya, tetapi sesuatu benda basah dan lunak menyusup di sela bibirnya dengan cepat. Lidah Regan membelai permukaan bibirnya, sebelum bertemu dengan lidah Poppy di dalam mulutnya.“Hm....”Poppy tidak sadar kapan tepatnya tangan itu bersandar di dada Regan. Ia juga tidak sadar ketika pria itu menarik pinggangnya untuk lebih mendekat. Kepalanya hanya penuh dengan suara kecapan yang basah itu. Sampai Poppy merasakan dadanya mulai sesak dan mulai meremas kaus Regan.Regan menjauhkan bibirnya. “Bernapas, Poppy....”Meskipun begitu, napas Regan sama memburunya. Poppy pun membuka mata dan langsung berhadapan dengan tatapan berkabut milik Regan. Itu adalah ekspresi yang tidak pernah Rega
“Apa yang buat kamu penasaran?”Entah ini hanya perasaan Poppy atau memang Regan semakin menundukkan kepalanya. Suara pria itu pun semakin berat dan dalam, bahkan terdengar hampir seperti bisikan saja.“Apa... bedanya dengan ciuman biasa?” tanya Poppy dengan suara pelan.Mata hitam itu membuat Poppy tenggelam semakin dalam. Napasnya yang beraroma mint membentur ujung hidung Poppy.“Gimana kalau kamu coba sendiri?”Poppy menelan air liurnya. Ciuman semalam masih terbayang, tetapi ia terus menyakinkan dirinya bahwa Regan melakukan itu hanya untuk pelajaran saja. Lantas, apakah Poppy harus melakukan itu lagi demi adegan yang sedang ditulisnya? Apa... itu tidak apa-apa.Kebimbangan itu membuat Poppy tanpa sadar menggigit bibir bawahnya. Beberapa kali ia melihat film dewasa dengan adegan ciuman, tapi belum bisa membedakan mana french kiss,
Setelah mendapat satu kata “ACC” dari Regan, Poppy segera mengirimkan draf itu kepada editornya. Ia sudah siap mendapat kritikan kedua, tetapi respons editornya justru di luar dugaan. Dia sangat senang, bahkan memuji-muji tulisan Poppy dan mengatakan kalau ini adalah karya besar. Dia tidak sabar untuk Poppy membuat draf lanjutan sampai siap diterbitkan kembali.Ternyata efektif juga ya belajar sama Kak Regan, pikiran itu langsung terlintas di kepala Poppy setelah mendapat rentetan pujian dari editornya. Ternyata benar, pengalaman adalah guru yang paling baik.Poppy melihat lagi tulisan yang dibuatnya. Sejujurnya, kata-kata itu tidak sepenuhnya menggambarkan apa yang Poppy rasakan saat itu. Ciuman Regan... lebih dari sekadar “manis”, “basah”, dan “indah” yang Poppy gambarkan di sana. Ada sesuatu yang membuat dadanya berdesir lebih hebat.Tangan wanita itu
Ketika Regan mengatakan ‘sampai jumpa’, Poppy tidak menyangka kalau mereka akan bertemu secepat ini. Pukul 5 sore, Poppy akhirnya keluar dari sekolah itu, dan mendapati mobil Regan sudah berhenti di depan lobi.Kaca jendela mobil Regan pun turun ketika Poppy mendekat. “Kakak ngapain di sini?”“Jemput kamu,” jawab Regan, masih duduk anteng di belakang kemudi. “Dante yang suruh.”Masuk akal juga. Memang biasanya Poppy pulang-pergi sendiri dengan ojek online atau diantar-jemput Dante. Kakaknya itu pasti sangat khawatir karena tidak bisa menjaga Poppy selama beberapa hari ke depan. Namun, ia tidak menyangka kalau Dante benar-benar menitipkannya kepada Regan.Untuk menghargai usaha Regan—dan Dante—Poppy akhirnya naik ke mobil itu. Sepertinya setelah ini ia harus memberitahu Dante untuk tidak mengkhawatirkannya. Bagaimanapun, Regan adalah seorang dokter bedah yang sibuk, Poppy jadi tidak
Jari-jari Regan mencengkeram roda kemudi dengan erat. Buku-bukunya pun memutih. Sial sekali. Sudah dua kali ia hampir terjebak dalam hasrat bejat itu.Regan menarik napas panjang, lalu kembali melihat ke depan. Ia sedang berusaha menenangkan isi kepalanya.“Kamu tahu maksud ucapan kamu tadi, kan?” tanya Regan dengan suara rendah dan sedikit serak, sambil menjalankan lagi mobilnya kembali.Poppy menelan air liurnya sendiri. Tentu saja ia tahu. Memahami soal gairah, artinya ia harus menyentuh titik tersensitif tubuhnya. Sebagai seorang perawan yang sama sekali tidak berpengalaman, tawaran Regan tadi terdengar sangat gila. Namun di satu sisi, kepala Poppy terus menantangnya untuk mencoba.Perlahan, Poppy mengangkat kepalanya. Dari samping sini, ia bisa melihat perubahan ekspresi Regan. Tidak ada senyum seperti tadi. Rahangnya pun tampak mengeras, dan jakunnya naik turun seperti menahan kesa
“Kak—“ Poppy mendesah di antara ciuman Regan dan gerakan jarinya.Ciuman Regan terputus, dan bibir pria itu berpindah ke belakang telinga Poppy. Napas panasnya menghantarkan getaran yang membuat tubuh Poppy semakin lemas. Seluruhnya ia bersandar pada tubuh kekar Regan.Ting! Tong!“Permisi! Paket!”Poppy menoleh ke arah pintu, tetapi Regan masih belum berhenti menciumi telinga dan leher Poppy. Begitu pun jarinya yang masih berusaha menurunkan celana dalam Poppy.“Kak....”“Paket buat Mas Dante Januar!” teriak seseorang itu lagi dari luar pintu.Nama lengkap Dante sukses membuat Regan mendesah berat, Ia menjauhkan kepalanya dari leher Poppy dan menatap wanita itu dengan frustrasi. Meskipun begitu, tangannya masih berada di balik rok Poppy itu.“P-paket, Kak,” ucap Poppy terbata.Wajah wanita itu sudah sangat merah, bahkan bibirnya jug
Suara itu membuat Poppy mengangkat pandangannya. Ia tidak akan begitu kaget kalau Dante yang bertanya. Namun, di sini Regan-lah yang bertanya—seorang Regantara Dashar yang mempunyai sejuta martabat itu menanyakan nasi kepadanya?!“Buat?” dengan bodohnya, Poppy malah bertanya balik.“Aku kayaknya laper juga,” jawab Regan sambil menggeser kursinya, lalu berjalan menuju dapur. “Aku boleh minta mi kamu sedikit?”Terdengar decakan berulang dari Dante. “Gelar doang dokter, kalau laper kepepet tetap aja makan mi instan pakai nasi.”“Dokter juga manusia,” sahut Regan dari dapur.Tak berapa lama kemudian, pria itu kembali dengan semangkuk nasi. Dia pun pindah duduk di sebelah Poppy. Wanita yang masih kebingungan itu pun diam saja saat Regan memindahkan setengah porsi mi-nya ke mangkuk berisi nasi itu.Regan yang Poppy tah
Dante yang merasa haus pun menyalakan lampu tidur untuk melihat jam yang baru menunjukkan pukul 11 malam. Mungkin karena efek pasca-operasi, Dante jadi cepat merasa lelah dan tidur lebih awal. Biasanya, dia masih bisa mengobrol dengan Regan sampai tengah malam dan tetap bangun pagi-pagi keesokan harinya.Air di gelasnya kosong, membuat Dante dengan terpaksa harus keluar dari kamar. Sialnya, air di dispenser atas pun kosong, galonnya belum diganti. Akhirnya, Dante terpaksa melangkahkan kakinya dengan malas ke lantai bawah.Pada saat itulah ia melihat lampu kamar Poppy masih menyala dari celah pintu. Heran sekali. Walaupun sudah berusia 27 tahun, Poppy tidak biasanya masih bangun sampai pukul 11 malam. Ia pun mengetuk pintu itu. Namun, karena tidak ada jawaban, Dante mencoba untuk membukanya—dan tak terkunci.“Dek? Kok, lampunya belum mati?”Kosong. Hanya lampu kamarnya yang menyala, tapi pemiliknya tidak ada. Kamar mandinya
Tidak seperti ciuman-ciuman sebelumnya, kali ini Poppy langsung menutup mata begitu merasakan lembutnya bibir Regan. Pria itu seolah semakin berani menguasai Poppy di tengah temaramnya lampu dapur. Satu tangannya mengingkari pinggang Poppy, sebelum dengan mudahnya memindahkan tubuh mungil Poppy ke pangkuannya. Sekarang, kedua kaki Popi duduk mengangkangi tubuh Regan yang masih duduk di kursi meja makan.“Gak mau jawab? Hm?” tanya Regan dengan suara seraknya setelah melepas ciuman itu sesaat. Ia menggigit gemas bibir bawah Poppy, sebelum berucap kembali, “Atau kamu takut aku aduin ke Dante?”“G-gak gitu....” Poppy berusaha memundurka wajahnya agar tidak terlalu dekat dengan Regan, tetapi pria itu menahan tengkuknya. “A-aku malu....”“Cuma ada aku di sini.”“Ya, karena cuma ada Kakak, jadinya—“Lagi-lagi,
Poppy kehilangan kata-kata untuk sesaat. Bagaimana ia menjelaskan semua ini kepada Regan, kalau dirinya sendiri tidak tahu dari mana memulainya. Semua terjadi begitu saja sampai dirinya berada di titik ini. Namun, kalau Poppy menjelaskan itu, bukankah sama saja memberitahu Regan betapa mesum isi kepalanya ini?“A-aku cuma ikutin pasar, kok! Editorku yang nyuruh.” Pada akhirnya, Poppy memilih untuk melimpahkan dosanya itu kepada orang lain.Regan mengerling, menatap Poppy dengan senyuman. “Benar?”“I-iya!” tanpa sadar, Poppy menaikan suaranya.Regan menggeleng, lalu kembali menatap layar tabletnya. “Apa ini fantasi terdalam kamu, Poppy?” Regan menoleh lagi. “Rough, BDS—““Gak, ya!”Tawa Regan pecah, yang malah membuat wajah Poppy semakin panas. Ia tidak tahu kalau Regan punya sisi jahil sepert
“Adeeeeek!”Teriakan itu menyambut Poppy ketika membuka pintu rumah. Poppy melihat Dante berdiri di ruang tengah sambil mengulurkan tangannya. Ya, pemandangan dramatis ini sudah tidak asing di mata Poppy. Wanita itu hanya bisa meringis malu dan berjalan ke arah Dante.Dante membawa Poppy ke dalam pelukannya. Ia pun mengusap-usap rambut Poppy dengan gerakan agak kasar—sedikit berlebihan. “Adek gak kangen Kakak? Kakak di rumah sakit mikirin kamu... kamu makan gak, kamu kecapekan gak, kamu—““Jangan banyak gerak dulu.”Sebelum Poppy menyadari, Regan sudah menarik kaus Dante dan mendorongnya ke sofa di belakang. Entah sejak kapan pria itu sudah ada di sini. Seingat Poppy, Regan masih sibuk menurunkan belanjaannya tadi.“Elah, lagi melepas kangen juga!”“Mending lo mikirin wasiat buat Poppy kalau lambung lo gue potong sekalian.”“Ah, itu....” Sepertinya, jawaban Regan membuat Dante ingat soal pesannya tadi kepada Poppy. “Kangen naspad gue, Pak Dok.”“Kata Kak Regan, jangan makan yang berat
Melihat Poppy kembali jalan di depannya, Regan hanya menghela napas. Ada kalanya ia tidak bisa menolak ucapan wanita itu. Padahal mangga itu terlihat sama dengan mangga yang sering dia makan. Lagi pula, kenapa juga Poppy harus mempermasalahkan soal uang?Emangnya muka gue semiskin itu, ya, untuk bisa makan mangga mahal?Mereka masih ada di section sayur dan buah, dan Poppy kembali berhenti di salah satu rak. Wanita itu terdiam cukup lama, sebelum mengambil satu pak stroberi dari sana. Namun, ia tidak langsung meletakkannya di troli, hanya menimbang sambil bergumam pelan.“Lagi mahal, ya... kayaknya minggu lalu gak segini....”Lalu, seperti dugaan Regan, Poppy kembali meletakkan stroberi itu ke rak.Regan tidak paham bagaimana kalkulasi seorang wanita. Harusnya, jika dia menginginkannya, toh tinggal beli. Selain itu, dalam kasus Poppy, dia tidak dalam keadaan harus berhemat. Dante tidak semiskin itu—
Sebagai tim legal, Dante memang memiliki kemampuan yang luar biasa. Dia sangat cakap berbicara dan bernegoisasi. Itulah kenapa papa Regan mempercayakan posisi ketua tim legal kepada Dante—terlepas dari kedekatan hubungan mereka.Namun di satu sisi, pria ini sangat tidak peka membaca keadaan sekitarnya. Untuk saat ini, Regan sangat berterima kasih atas itu.“Mungkin,” Regan hanya menanggapi seadanya. Ia tidak mau membuat Dante menaruh curiga.Helaan napas Dante terdengar, membuat Regan akhirnya ikut bernapas lega. “Yah... semoga aja setelah ini dia ketemu sama cowok yang baik deh.”Ucapan Dante merupakan ucapan tulus seorang kakak untuk adiknya—walaupun nada bicaranya sangat menyebalkan. Namun, Regan justru tidak menyukai hal itu. Poppy bertemu pria baik... baik dalam arti bagaimana? Baik di mata Dante, bukan berarti baik untuk Poppy....Dan dirinya.
Poppy semakin tidak mengerti arah pembicaraan ini. Beberapa detik lalu, mereka masih membahas Dante, lalu tiba-tiba Regan berkata “ayo”. Kalau artinya untuk menjemput Dante, bukankah pria itu yang bilang sendiri kalau Poppy tidak perlu khawatir?Regan yang sudah berjalan untuk mengambil kunci mobilnya yang ada di meja dekat TV pun menyahut, “Aku antar kamu ke sekolah.”Poppy tidak bisa membantah apa pun karena Regan sudah berjalan lebih dulu menuju halaman depan. Seketika, ia menjadi panik. Ini sudah hari kedua Regan menawarkan diri untuk mengantar Poppy bekerja. Biasanya tidak pernah. Sekalipun berangkat bersama, pasti ada Dante di antara mereka.Akhirnya, mau tidak mau Poppy menyelesaikan suapan terakhir nasi gorengnya dengan sedikit terburu-buru. Setelah meletakkan peralatan makannya ke tempat cuci piring, ia pun menyusul Regan yang sedang memanaskan mesin mobil.Tidak sep
Poppy terpaku. Entah karena ucapan Regan, atau karena ibu jari pria itu yang mengusap ujung bibirnya. Dari jarak sedekat ini, Poppy bisa melihat jelas detail wajah Regan di bawah temaramnya lampu dapur. Lesung pipi pria itu tampak dalam saat tersenyum. Sepasang mata tajam itu menatap lurus dirinya, seolah ingin membaca seluruh isi kepala Poppy. Dan bibir itu... bibir yang sudah menciumnya beberapa kali, tapi tetap terlihat sangat menggoda.“Aku sendiri kaget waktu Dante bilang kamu sekarang udah jadi guru.”Suara Regan berikutnya membuat Poppy akhirnya tersadar. Wanita itu mengerjap, dan buru-buru melap bibirnya sendiri. Mungkin ada sisa kuah soto yang belepotan di sana.“K-kenapa?” tanya Poppy untuk mengurangi rasa gugupnya.“Dante manjain kamu banget dari dulu. Walaupun dia selalu bebasin kamu ikut ekskul apa pun sampai pilih jurusan kuliah. Dia sama sekali gak expect