Share

BAB 3

Poppy melangkah lebar di lorong rumah sakit menuju ruangan Dante. Ia memang berada di hubungan benci dan sayang dengan Dante. Kakaknya itu sangat menyebalkan, suka bertindak manja, dan selalu memperlakukan Poppy selayaknya anak kecil. Poppy sangat ingin mencekiknya sampai wajah Dante membiru, tapi di satu sisi, pria itu adalah satu-satunya keluarga yang tersisa.

Orang tua Poppy meninggal karena kecelakaan ketika Poppy berusia 12 tahun. Sejak saat itu, Dante-lah yang berperan sebagai orang tua sekaligus kakak untuk Poppy. Jika diingat lagi, pasti berat bagi anak berusia 18 tahun untuk menjalani dua peran sekaligus di rumah. Hebatnya, Dante tidak pernah mengeluh—hanya terlalu protektif dan manja saja.

“Kak Dante!” Poppy berteriak sambil membuka pintu ruang rawat itu. Ia sampai tidak mempedulikan ada dua pasien lain di sana.

Poppy dengan segera ia menghampiri brankar kakaknya itu. “Kak Dante gak apa-apa? Mana yang sakit? Kok, bisa pingsan? Kak Dante pasti lupa minum vitamin, kan?!”

“Poppy....”

Dante yang ada di tempat tidur mengulurkan tangannya. Wajahnya tampak pucat, walaupun ekspresinya tetap saja bodoh seperti biasa.

Kalau Poppy yang terbaring di sana, Dante pasti sudah seperti orang gila. Ia akan memarahi siapa saja yang ada di dekatnya, termasuk dokter yang sedang merawat Poppy. Ia akan menjadi tiga kali lebih bawel dan protektif. Poppy mau tidak mau harus melakukan apa yang dia perintahkan, kalau tidak mau Dante semakin bawel.

Namun, keadaannya sekarang berbalik. Jujur saja, Poppy jadi bingung sendiri. Di matanya, Dante itu adalah sosok yang kuat, dan ketika ia lemah begini, Poppy tidak tahu harus berbuat apa. Ia sudah terbiasa dirawat, bukan merawat.

“Ekhem!”

Mendengar dehaman itu, Poppy tersadar bahwa sedari tadi ada sosok yang memakai sneli di sisi brankar Dante satunya. Matanya menatap malas Dante yang terbaring di sana dan bersikap manja terhadap Poppy. Melihat wajahnya yang datar, Poppy sedikit meringis. Sejujurnya, ia sedikit takut jika pria itu mengeluarkan ekspresi itu.

Namun bagaimanapun, hatinya tetap berdebar kala melihat wajah tampannya. Di umur yang sangat matang—32 tahun—Regantara Dashar memiliki semua pesona yang diidamkan para wanita. Rahang tegas yang ditumbuhi janggut tipis, tubuh tinggi dan sedikit berisi, serta—oh, sialan—tolong jangan lirik tangan beruratnya kalau masih ingin waras.

Ditambah profesinya sebagai dokter, dan posisinya sebagai pewaris Rumah Sakit Dashar ini, lengkap sudah paket Regantara Dashar itu.

“Dia kena usus buntu,” ujar Regan, menyadarkan lamunan Poppy.

Mata Poppy membulat, menatap Dante dan Regan bergantian. “USUS BUNTU?! Kok, bisa?!”

Regan menghela napas, melirik Dante. “Yah... salahin pola hidup kakakmu.”

Poppy menggeram. Ia tidak perlu mengkonfirmasi lagi karena—tentu saja—ia lebih percaya ucapan Regan daripada kakaknya sendiri. Tanpa peduli selang infus Dante, Poppy memukuli lengan pria itu.

Dante menghindar sambil mengaduh. “Aw, aw, aw, sorry, Dek! Kakak, kan, gak mau kamu khawatir—“

“Terus, kalau udah begini, Kakak pikir aku gak khawatir, hah?!” potong Poppy. “Punya badan gede doang, tapi otak gak dipake!”

“Dipake kok, buat mikirin adek kesayangan Kakak ini.”

“GELI! SANA, IH!” Poppy mengibaskan tangan Dante yang berusaha meraih tangannya, dan berbalik memukuli Dante lagi.

“Poppy.” Tiba-tiba saja Regan menggenggam pergelangan tangan Poppy, membuatnya dan Dante otomatis berhenti. “Aku mau bicara sama kamu.”

Poppy dan Dante saling berpandangan. Sejujurnya, wanita itu sedikit terkejut dengan sikap Regan yang seperti ini. Walaupun mereka akrab, tapi tidak sampai tahap saling bertukar skinship.

“K-kenapa, Kak?” Poppy berusaha menarik tangannya kembali, tapi genggaman Regan entah kenapa sangat kuat di tangannya.

Mungkin, Regan menyadari kalau Poppy tidak nyaman dengan sikapnya itu, jadi ia pun melepaskan pergelangan tangan Poppy. Ia sedikit berdeham, lalu berkata dengan nada nada, “Ikut, aku.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status