Poppy melangkah lebar di lorong rumah sakit menuju ruangan Dante. Ia memang berada di hubungan benci dan sayang dengan Dante. Kakaknya itu sangat menyebalkan, suka bertindak manja, dan selalu memperlakukan Poppy selayaknya anak kecil. Poppy sangat ingin mencekiknya sampai wajah Dante membiru, tapi di satu sisi, pria itu adalah satu-satunya keluarga yang tersisa.
Orang tua Poppy meninggal karena kecelakaan ketika Poppy berusia 12 tahun. Sejak saat itu, Dante-lah yang berperan sebagai orang tua sekaligus kakak untuk Poppy. Jika diingat lagi, pasti berat bagi anak berusia 18 tahun untuk menjalani dua peran sekaligus di rumah. Hebatnya, Dante tidak pernah mengeluh—hanya terlalu protektif dan manja saja.
“Kak Dante!” Poppy berteriak sambil membuka pintu ruang rawat itu. Ia sampai tidak mempedulikan ada dua pasien lain di sana.
Poppy dengan segera ia menghampiri brankar kakaknya itu. “Kak Dante gak apa-apa? Mana yang sakit? Kok, bisa pingsan? Kak Dante pasti lupa minum vitamin, kan?!”
“Poppy....”
Dante yang ada di tempat tidur mengulurkan tangannya. Wajahnya tampak pucat, walaupun ekspresinya tetap saja bodoh seperti biasa.
Kalau Poppy yang terbaring di sana, Dante pasti sudah seperti orang gila. Ia akan memarahi siapa saja yang ada di dekatnya, termasuk dokter yang sedang merawat Poppy. Ia akan menjadi tiga kali lebih bawel dan protektif. Poppy mau tidak mau harus melakukan apa yang dia perintahkan, kalau tidak mau Dante semakin bawel.
Namun, keadaannya sekarang berbalik. Jujur saja, Poppy jadi bingung sendiri. Di matanya, Dante itu adalah sosok yang kuat, dan ketika ia lemah begini, Poppy tidak tahu harus berbuat apa. Ia sudah terbiasa dirawat, bukan merawat.
“Ekhem!”
Mendengar dehaman itu, Poppy tersadar bahwa sedari tadi ada sosok yang memakai sneli di sisi brankar Dante satunya. Matanya menatap malas Dante yang terbaring di sana dan bersikap manja terhadap Poppy. Melihat wajahnya yang datar, Poppy sedikit meringis. Sejujurnya, ia sedikit takut jika pria itu mengeluarkan ekspresi itu.
Namun bagaimanapun, hatinya tetap berdebar kala melihat wajah tampannya. Di umur yang sangat matang—32 tahun—Regantara Dashar memiliki semua pesona yang diidamkan para wanita. Rahang tegas yang ditumbuhi janggut tipis, tubuh tinggi dan sedikit berisi, serta—oh, sialan—tolong jangan lirik tangan beruratnya kalau masih ingin waras.
Ditambah profesinya sebagai dokter, dan posisinya sebagai pewaris Rumah Sakit Dashar ini, lengkap sudah paket Regantara Dashar itu.
“Dia kena usus buntu,” ujar Regan, menyadarkan lamunan Poppy.
Mata Poppy membulat, menatap Dante dan Regan bergantian. “USUS BUNTU?! Kok, bisa?!”
Regan menghela napas, melirik Dante. “Yah... salahin pola hidup kakakmu.”
Poppy menggeram. Ia tidak perlu mengkonfirmasi lagi karena—tentu saja—ia lebih percaya ucapan Regan daripada kakaknya sendiri. Tanpa peduli selang infus Dante, Poppy memukuli lengan pria itu.
Dante menghindar sambil mengaduh. “Aw, aw, aw, sorry, Dek! Kakak, kan, gak mau kamu khawatir—“
“Terus, kalau udah begini, Kakak pikir aku gak khawatir, hah?!” potong Poppy. “Punya badan gede doang, tapi otak gak dipake!”
“Dipake kok, buat mikirin adek kesayangan Kakak ini.”
“GELI! SANA, IH!” Poppy mengibaskan tangan Dante yang berusaha meraih tangannya, dan berbalik memukuli Dante lagi.
“Poppy.” Tiba-tiba saja Regan menggenggam pergelangan tangan Poppy, membuatnya dan Dante otomatis berhenti. “Aku mau bicara sama kamu.”
Poppy dan Dante saling berpandangan. Sejujurnya, wanita itu sedikit terkejut dengan sikap Regan yang seperti ini. Walaupun mereka akrab, tapi tidak sampai tahap saling bertukar skinship.
“K-kenapa, Kak?” Poppy berusaha menarik tangannya kembali, tapi genggaman Regan entah kenapa sangat kuat di tangannya.
Mungkin, Regan menyadari kalau Poppy tidak nyaman dengan sikapnya itu, jadi ia pun melepaskan pergelangan tangan Poppy. Ia sedikit berdeham, lalu berkata dengan nada nada, “Ikut, aku.”
“Eh, eh, mau ke mana?” Dante menghentikan Poppy yang baru mau beranjak. “Kalau mau ngobrol, di sini aja.”“Pasien itu harus istirahat, jangan bawel.” Regan menarik tangan Poppy ke arahnya. “Dan inget, lo harus puasa abis ini, sebelum operasi besok pagi.”Gerutuan Dante tidak bisa Poppy dengar dengan jelas karena Regan sudah menariknya lebih dulu. Pikiran Poppy sudah berkelana entah ke mana. Apa ini soal penyakit Dante? Apa begitu serius sampai-sampai Dante sendiri tidak boleh mendengarnya?Regan membawa Poppy menuju ruangannya yang berada satu lantai di atas. Selama perjalanan itu, mereka berdua hanya diam. Terlalu banyak yang Poppy pikirkan sampai tidak tahu harus mengucapkan apa. Ia hanya memandangi punggung tegap Regan yang tampak semakin gagah dengan sneli itu.Ia baru mendapatkan pijakannya kembali ketika Regan membuka pintu ruangannya.“Sakitnya Kak Dante parah, ya?” tanya Poppy pelan sambil melangkah masuk.Regan menutup pintu itu. “Kamu gak perlu khawatir, dia bakal baik-baik
Air liur Poppy terasa jauh lebih pahit sekarang. Salah satu yang paling ia takuti di dunia ini adalah saat identitas rahasianya terbongkar. Belum lagi, Regan sangat dekat dengan kakaknya.Bagaimana kalau ia langsung mengadukan itu kepada Dante? Apakah Poppy bakal dikurung seumur hidup di kamarnya, tanpa ponsel, laptop, dan internet?Poppy tidak mau membayangkan itu!“I-itu... itu bukan tulisan aku. Iya, hahahaha, aku copy itu dari web tulisan orang lain.” Poppy menghindari tatapan Regan dan tertawa canggung. Jari telunjuk kanannya memainkan cincin yang melingkar di telunjuk kirinya. “Karena bagus dan mau aku baca jadinya aku masukin dokumen.”Regan masih menatap Poppy dengan senyum tipis itu. Dari ujung matanya, Poppy bisa melihat kepala pria itu mengangguk.“Begitu?”Pertanyaan Regan seolah hanya formalitas, tidak perlu mendapat jawaban dari Poppy. Namun, wanita itu tetap mengangguk dengan penuh keyakinan.“Kamu fans banget sama Maria Quinn, ya?” tanya Regan lagi.Poppy tidak tahu ap
Walupun sudah hampir bertahun-tahun menghadapi wajah Regan, nyatanya Poppy tetap tidak terbiasa. Pria itu terlalu bercahaya untuk dikatakan “tampan”, dan terlalu berkarisma untuk dikatakan “keren”.Ujung jari Regan yang menyentuh lembut pipinya menghantarkan sensasi panas ke seluruh tubuhnya. Poppy tidak berkutik. Bahkan setelah mendengar dering panggilan darurat dari ponsel khusus Regan.“Oke, saya akan segera ke sana.”Suara Regan menyadarkan Poppy. Ia melihat pria itu sudah berdiri kembali di balik mejanya, merapikan sneli. Namun, entah kenapa matanya tetap mengarah kepada Poppy.Poppy tanpa sadar menegang kembali, hingga menimbulkan suara kekehan dari Regan.“Sayang sekali, aku harus kerja lagi,” ucap Regan sambil berjalan memutari mejanya.“O-oh... g-gitu, ya.”Ngomong apa sih aku! Poppy menggerutu dalam hati. Ia bahkan sampai mencubit pahanya sendiri.Regan kembali terkekeh, lalu mengusap pelan pipi Poppy. “Kamu bisa di sini dulu lebih lama.”“Hah?”“Aku khawatir, mereka berpiki
Mata Poppy membulat. “O-omongan Kakak bisa masuk pelecehan seksual, tau!”Poppy terlalu malu untuk menyatakan diri seorang perawan. Pada saat teman-teman seusianya memamerkan kehidupan seks yang bergelora—baik bersama suami, pacar, ataupun ‘partner’—Poppy malah terjebak dalam imajinasinya sendiri. Terlebih, ia menuangkan imajinasinya itu dalam bentuk tulisan dan dipublikasikan. Apa kata dunia jika cerita dewasa ini dibuat oleh seorang wanita yang sama sekali tidak memiliki pengalaman seks?!“Jadi benar, kamu gak punya pengalaman?” Regan malah membalikkan kata-kata Poppy.Wanita itu terjebak. Regan memang tidak menuduhnya secara langsung tadi. Namun, harga diri Poppy yang tersenggol malah membongkar semuanya.Poppy menghindari mata Regan yang menatap lurus ke arahnya. “Hm.”“Berciuman?”Sekarang, Poppy menelan air liurnya sendiri. “P-pernah. Waktu kelas 2 SMP....”“Apa itu bisa disebut ciuman?”Sekali lagi, harga diri Poppy tersenggol. Tidak ada aturan tertulis bahwa penulis cerita dew
Bibir Regan terasa seperti cokelat yang meleleh di mulut Poppy. Rasanya seperti perpaduan pahit dan manis, serta sensasi hangat daun mint. Regan seperti hidangan penutup premium untuknya.Semakin dicecap, semakin Poppy ketagihan. Ia ingin merasakan lebih dari sekadar rasa manis dan pahit itu. Poppy membuka mulutnya, tetapi sesuatu benda basah dan lunak menyusup di sela bibirnya dengan cepat. Lidah Regan membelai permukaan bibirnya, sebelum bertemu dengan lidah Poppy di dalam mulutnya.“Hm....”Poppy tidak sadar kapan tepatnya tangan itu bersandar di dada Regan. Ia juga tidak sadar ketika pria itu menarik pinggangnya untuk lebih mendekat. Kepalanya hanya penuh dengan suara kecapan yang basah itu. Sampai Poppy merasakan dadanya mulai sesak dan mulai meremas kaus Regan.Regan menjauhkan bibirnya. “Bernapas, Poppy....”Meskipun begitu, napas Regan sama memburunya. Poppy pun membuka mata dan langsung berhadapan dengan tatapan berkabut milik Regan. Itu adalah ekspresi yang tidak pernah Rega
“Apa yang buat kamu penasaran?”Entah ini hanya perasaan Poppy atau memang Regan semakin menundukkan kepalanya. Suara pria itu pun semakin berat dan dalam, bahkan terdengar hampir seperti bisikan saja.“Apa... bedanya dengan ciuman biasa?” tanya Poppy dengan suara pelan.Mata hitam itu membuat Poppy tenggelam semakin dalam. Napasnya yang beraroma mint membentur ujung hidung Poppy.“Gimana kalau kamu coba sendiri?”Poppy menelan air liurnya. Ciuman semalam masih terbayang, tetapi ia terus menyakinkan dirinya bahwa Regan melakukan itu hanya untuk pelajaran saja. Lantas, apakah Poppy harus melakukan itu lagi demi adegan yang sedang ditulisnya? Apa... itu tidak apa-apa.Kebimbangan itu membuat Poppy tanpa sadar menggigit bibir bawahnya. Beberapa kali ia melihat film dewasa dengan adegan ciuman, tapi belum bisa membedakan mana french kiss,
Setelah mendapat satu kata “ACC” dari Regan, Poppy segera mengirimkan draf itu kepada editornya. Ia sudah siap mendapat kritikan kedua, tetapi respons editornya justru di luar dugaan. Dia sangat senang, bahkan memuji-muji tulisan Poppy dan mengatakan kalau ini adalah karya besar. Dia tidak sabar untuk Poppy membuat draf lanjutan sampai siap diterbitkan kembali.Ternyata efektif juga ya belajar sama Kak Regan, pikiran itu langsung terlintas di kepala Poppy setelah mendapat rentetan pujian dari editornya. Ternyata benar, pengalaman adalah guru yang paling baik.Poppy melihat lagi tulisan yang dibuatnya. Sejujurnya, kata-kata itu tidak sepenuhnya menggambarkan apa yang Poppy rasakan saat itu. Ciuman Regan... lebih dari sekadar “manis”, “basah”, dan “indah” yang Poppy gambarkan di sana. Ada sesuatu yang membuat dadanya berdesir lebih hebat.Tangan wanita itu
Ketika Regan mengatakan ‘sampai jumpa’, Poppy tidak menyangka kalau mereka akan bertemu secepat ini. Pukul 5 sore, Poppy akhirnya keluar dari sekolah itu, dan mendapati mobil Regan sudah berhenti di depan lobi.Kaca jendela mobil Regan pun turun ketika Poppy mendekat. “Kakak ngapain di sini?”“Jemput kamu,” jawab Regan, masih duduk anteng di belakang kemudi. “Dante yang suruh.”Masuk akal juga. Memang biasanya Poppy pulang-pergi sendiri dengan ojek online atau diantar-jemput Dante. Kakaknya itu pasti sangat khawatir karena tidak bisa menjaga Poppy selama beberapa hari ke depan. Namun, ia tidak menyangka kalau Dante benar-benar menitipkannya kepada Regan.Untuk menghargai usaha Regan—dan Dante—Poppy akhirnya naik ke mobil itu. Sepertinya setelah ini ia harus memberitahu Dante untuk tidak mengkhawatirkannya. Bagaimanapun, Regan adalah seorang dokter bedah yang sibuk, Poppy jadi tidak
Suara itu membuat Poppy mengangkat pandangannya. Ia tidak akan begitu kaget kalau Dante yang bertanya. Namun, di sini Regan-lah yang bertanya—seorang Regantara Dashar yang mempunyai sejuta martabat itu menanyakan nasi kepadanya?!“Buat?” dengan bodohnya, Poppy malah bertanya balik.“Aku kayaknya laper juga,” jawab Regan sambil menggeser kursinya, lalu berjalan menuju dapur. “Aku boleh minta mi kamu sedikit?”Terdengar decakan berulang dari Dante. “Gelar doang dokter, kalau laper kepepet tetap aja makan mi instan pakai nasi.”“Dokter juga manusia,” sahut Regan dari dapur.Tak berapa lama kemudian, pria itu kembali dengan semangkuk nasi. Dia pun pindah duduk di sebelah Poppy. Wanita yang masih kebingungan itu pun diam saja saat Regan memindahkan setengah porsi mi-nya ke mangkuk berisi nasi itu.Regan yang Poppy tah
Dante yang merasa haus pun menyalakan lampu tidur untuk melihat jam yang baru menunjukkan pukul 11 malam. Mungkin karena efek pasca-operasi, Dante jadi cepat merasa lelah dan tidur lebih awal. Biasanya, dia masih bisa mengobrol dengan Regan sampai tengah malam dan tetap bangun pagi-pagi keesokan harinya.Air di gelasnya kosong, membuat Dante dengan terpaksa harus keluar dari kamar. Sialnya, air di dispenser atas pun kosong, galonnya belum diganti. Akhirnya, Dante terpaksa melangkahkan kakinya dengan malas ke lantai bawah.Pada saat itulah ia melihat lampu kamar Poppy masih menyala dari celah pintu. Heran sekali. Walaupun sudah berusia 27 tahun, Poppy tidak biasanya masih bangun sampai pukul 11 malam. Ia pun mengetuk pintu itu. Namun, karena tidak ada jawaban, Dante mencoba untuk membukanya—dan tak terkunci.“Dek? Kok, lampunya belum mati?”Kosong. Hanya lampu kamarnya yang menyala, tapi pemiliknya tidak ada. Kamar mandinya
Tidak seperti ciuman-ciuman sebelumnya, kali ini Poppy langsung menutup mata begitu merasakan lembutnya bibir Regan. Pria itu seolah semakin berani menguasai Poppy di tengah temaramnya lampu dapur. Satu tangannya mengingkari pinggang Poppy, sebelum dengan mudahnya memindahkan tubuh mungil Poppy ke pangkuannya. Sekarang, kedua kaki Popi duduk mengangkangi tubuh Regan yang masih duduk di kursi meja makan.“Gak mau jawab? Hm?” tanya Regan dengan suara seraknya setelah melepas ciuman itu sesaat. Ia menggigit gemas bibir bawah Poppy, sebelum berucap kembali, “Atau kamu takut aku aduin ke Dante?”“G-gak gitu....” Poppy berusaha memundurka wajahnya agar tidak terlalu dekat dengan Regan, tetapi pria itu menahan tengkuknya. “A-aku malu....”“Cuma ada aku di sini.”“Ya, karena cuma ada Kakak, jadinya—“Lagi-lagi,
Poppy kehilangan kata-kata untuk sesaat. Bagaimana ia menjelaskan semua ini kepada Regan, kalau dirinya sendiri tidak tahu dari mana memulainya. Semua terjadi begitu saja sampai dirinya berada di titik ini. Namun, kalau Poppy menjelaskan itu, bukankah sama saja memberitahu Regan betapa mesum isi kepalanya ini?“A-aku cuma ikutin pasar, kok! Editorku yang nyuruh.” Pada akhirnya, Poppy memilih untuk melimpahkan dosanya itu kepada orang lain.Regan mengerling, menatap Poppy dengan senyuman. “Benar?”“I-iya!” tanpa sadar, Poppy menaikan suaranya.Regan menggeleng, lalu kembali menatap layar tabletnya. “Apa ini fantasi terdalam kamu, Poppy?” Regan menoleh lagi. “Rough, BDS—““Gak, ya!”Tawa Regan pecah, yang malah membuat wajah Poppy semakin panas. Ia tidak tahu kalau Regan punya sisi jahil sepert
“Adeeeeek!”Teriakan itu menyambut Poppy ketika membuka pintu rumah. Poppy melihat Dante berdiri di ruang tengah sambil mengulurkan tangannya. Ya, pemandangan dramatis ini sudah tidak asing di mata Poppy. Wanita itu hanya bisa meringis malu dan berjalan ke arah Dante.Dante membawa Poppy ke dalam pelukannya. Ia pun mengusap-usap rambut Poppy dengan gerakan agak kasar—sedikit berlebihan. “Adek gak kangen Kakak? Kakak di rumah sakit mikirin kamu... kamu makan gak, kamu kecapekan gak, kamu—““Jangan banyak gerak dulu.”Sebelum Poppy menyadari, Regan sudah menarik kaus Dante dan mendorongnya ke sofa di belakang. Entah sejak kapan pria itu sudah ada di sini. Seingat Poppy, Regan masih sibuk menurunkan belanjaannya tadi.“Elah, lagi melepas kangen juga!”“Mending lo mikirin wasiat buat Poppy kalau lambung lo gue potong sekalian.”“Ah, itu....” Sepertinya, jawaban Regan membuat Dante ingat soal pesannya tadi kepada Poppy. “Kangen naspad gue, Pak Dok.”“Kata Kak Regan, jangan makan yang berat
Melihat Poppy kembali jalan di depannya, Regan hanya menghela napas. Ada kalanya ia tidak bisa menolak ucapan wanita itu. Padahal mangga itu terlihat sama dengan mangga yang sering dia makan. Lagi pula, kenapa juga Poppy harus mempermasalahkan soal uang?Emangnya muka gue semiskin itu, ya, untuk bisa makan mangga mahal?Mereka masih ada di section sayur dan buah, dan Poppy kembali berhenti di salah satu rak. Wanita itu terdiam cukup lama, sebelum mengambil satu pak stroberi dari sana. Namun, ia tidak langsung meletakkannya di troli, hanya menimbang sambil bergumam pelan.“Lagi mahal, ya... kayaknya minggu lalu gak segini....”Lalu, seperti dugaan Regan, Poppy kembali meletakkan stroberi itu ke rak.Regan tidak paham bagaimana kalkulasi seorang wanita. Harusnya, jika dia menginginkannya, toh tinggal beli. Selain itu, dalam kasus Poppy, dia tidak dalam keadaan harus berhemat. Dante tidak semiskin itu—
Sebagai tim legal, Dante memang memiliki kemampuan yang luar biasa. Dia sangat cakap berbicara dan bernegoisasi. Itulah kenapa papa Regan mempercayakan posisi ketua tim legal kepada Dante—terlepas dari kedekatan hubungan mereka.Namun di satu sisi, pria ini sangat tidak peka membaca keadaan sekitarnya. Untuk saat ini, Regan sangat berterima kasih atas itu.“Mungkin,” Regan hanya menanggapi seadanya. Ia tidak mau membuat Dante menaruh curiga.Helaan napas Dante terdengar, membuat Regan akhirnya ikut bernapas lega. “Yah... semoga aja setelah ini dia ketemu sama cowok yang baik deh.”Ucapan Dante merupakan ucapan tulus seorang kakak untuk adiknya—walaupun nada bicaranya sangat menyebalkan. Namun, Regan justru tidak menyukai hal itu. Poppy bertemu pria baik... baik dalam arti bagaimana? Baik di mata Dante, bukan berarti baik untuk Poppy....Dan dirinya.
Poppy semakin tidak mengerti arah pembicaraan ini. Beberapa detik lalu, mereka masih membahas Dante, lalu tiba-tiba Regan berkata “ayo”. Kalau artinya untuk menjemput Dante, bukankah pria itu yang bilang sendiri kalau Poppy tidak perlu khawatir?Regan yang sudah berjalan untuk mengambil kunci mobilnya yang ada di meja dekat TV pun menyahut, “Aku antar kamu ke sekolah.”Poppy tidak bisa membantah apa pun karena Regan sudah berjalan lebih dulu menuju halaman depan. Seketika, ia menjadi panik. Ini sudah hari kedua Regan menawarkan diri untuk mengantar Poppy bekerja. Biasanya tidak pernah. Sekalipun berangkat bersama, pasti ada Dante di antara mereka.Akhirnya, mau tidak mau Poppy menyelesaikan suapan terakhir nasi gorengnya dengan sedikit terburu-buru. Setelah meletakkan peralatan makannya ke tempat cuci piring, ia pun menyusul Regan yang sedang memanaskan mesin mobil.Tidak sep
Poppy terpaku. Entah karena ucapan Regan, atau karena ibu jari pria itu yang mengusap ujung bibirnya. Dari jarak sedekat ini, Poppy bisa melihat jelas detail wajah Regan di bawah temaramnya lampu dapur. Lesung pipi pria itu tampak dalam saat tersenyum. Sepasang mata tajam itu menatap lurus dirinya, seolah ingin membaca seluruh isi kepala Poppy. Dan bibir itu... bibir yang sudah menciumnya beberapa kali, tapi tetap terlihat sangat menggoda.“Aku sendiri kaget waktu Dante bilang kamu sekarang udah jadi guru.”Suara Regan berikutnya membuat Poppy akhirnya tersadar. Wanita itu mengerjap, dan buru-buru melap bibirnya sendiri. Mungkin ada sisa kuah soto yang belepotan di sana.“K-kenapa?” tanya Poppy untuk mengurangi rasa gugupnya.“Dante manjain kamu banget dari dulu. Walaupun dia selalu bebasin kamu ikut ekskul apa pun sampai pilih jurusan kuliah. Dia sama sekali gak expect