Share

You Had Me at Hello

Lana melambaikan tangan usai Arga mengantarnya sampai di depan kos. Hari ini Lana berencana untuk menikmati hari dengan tidur sepuasnya, setelah babak-babak percintaannya di kos Arga sejak semalam hingga tadi saat mandi pagi, ditambah episode deraian air mata yang membuat matanya terasa perih dan bengkak membuatnya tak berminat lagi melakulan aktivitas berat hari ini.

Lana membuka pintu kamar kosnya dan segera menghambur ke atas tempat tidurnya. Untunglah hari ini ia belum harus melakukan apapun berkaitan dengan project biografi Magdalena Soedibyo. Maka itu, setelah melepas sepatu dan baju yang ia pakai sejak kemarin untuk menghadiri meeting, Lana langsung menggantinya dengan kaos usang kedodoran kesayangannya, dan merebahkan diri.

Ketika mata Lana mulai hendak terpejam, ponsel di dalam tasnya berbunyi memberi tanda ada pesan yang masuk. Dengan malas, Lana merogoh ke dalam tasnya, mengambil ponselnya, membuka pesan sambil berbaring.

Pesan dari Bian, isinya apa lagi kalau bukan menggoda soal Arga. Lana jadi curiga, jangan-jangan sebenarnya Bian lah yang ngebet dengan Arga.

"Cinta, jangan lupa sabtu makan siang terus temenin cari saserahan, yaaa... Malem udah kubalikin ke Arga kok, tenang ajaaa..."

Lana terkekeh. Memangnya ia barang, dikembalikan?

Lana memeriksa terus pesan yang masuk di ponselnya. Notifikasi grup. Ah, ternyata Pak Tyo membuat grup kerja untuk Tim biografi Magda dan menginvite Lana sejak semalam. Lana mengetik pesan ke dalam grup.

"Maaf baru respon, terima kasih sudah diundang ke grup, Pak Tyo," ketik Lana di chat room.

Lana melanjutkan membaca pesan yang lain. Dari grup komunitas menulis di kampus, dari Renata, teman kuliahnya, dan dari nomor asing yang ia tidak kenal. Lana pun membuka pesan dari nomor yang ia tidak kenal itu.

" Hello, Lana. Ini Rei," dengan emotikon smile di belakang kalimat.

Ah, ternyata Mas Rei, batin Lana.

Lana segera menyimpan nomor itu dan membalasnya,

"Hai Mas Rei, maaf dari kemarin Lana nggak lihat hp ya, ada kesibukan terus kecapekan," jawabnya sembari membubuhkan emotikon menyengir.

Pesan tersebut langsung dibaca oleh Rei dan balasan pun tengah diketik. Lana menanti.

"It's okay, Lana. Kupikir kemarin salah nomor... Kamu lagi apa sekarang?"

Lana tersenyum menerima pesan dari Rei.

"Lagi tidur-tiduran aja nih, Mas Rei. Mas Rei lagi apa?"

Balas Lana sembari membalik tubuhnya dan memeluk bantal.

Lagi-lagi pesan tersebut segera terbalas.

"How about having lunch together?"

Lana terdiam sejenak setelah membaca pesan itu. Sejujurnya Lana memang merasa penasaran dengan sosok Rei. Ada sesuatu yang begitu menarik dari diri fotografer yang baru ia temui kemarin itu. Gayanya yang flamboyan sekaligus misterius, pembawaan dan cara bicaranya yang matang, sorot matanya yang tajam, sense of humornya yang cerdas, pengetahuannya yang luas di bidang sastra dan seni, juga aroma aquatic itu...

Lana berkali-kali mengetik dan menghapus jawabannya. Ia sebenarnya tertarik untuk mengenal lebih jauh sosok Rei, calon rekan kerjanya itu.  Tapi Lana tak ingin hal itu terlalu terlihat oleh Rei. Otaknya berpikir keras, antara ingin menolak atau mengiyakan. Lagipula sebenarnya ia sangat ingin tidur saat ini. Akhirnya Lana menemukan jawaban yang tepat dan mengirimkan pesannya.

"Menarik juga, Mas Rei. Emang kita mau makan siang di mana?"

Balas Lana mengirimkan pesannya. Terlihat Rei tengah mengetik balasannya. Gadis itu menanti dengan berdebar.

"Ke Kedai Mama aja yuk, di Jalan Sirsak... Tau nggak? Di Sana mau makan Indonesian food ada, mau makan yang Ala Western juga ada... Gimana menurut kamu?"

Lana tersenyum-senyum membalas pesan Rei.

"Oke, Mas Rei. Jam 1 kita ketemu di sana, ya?"

Rei pun membalas,

"Okay, see you, Lana..."

Lana meletakkan ponselnya di sisi bantal, tak lupa menyalakan alarm pukul 11. 30 siang. Sekarang masih pukul 9.30,masih ada waktu sekitar dua jam untuk tidur sebelum tiba waktunya janji makan siang dengan Rei.

***

Lana memasuki halaman Kedai Mama yang terlihat mulai penuh dengan pengunjung di jam makan siang. Lana terlihat cantik dan segar dalam balutan blus sabrina berwarna putih motif bordir ala bohemian, celana jeans high waist dan sepatu datar berwarna maroon. Rambutnya yang panjang digelung dengan asal, menampakkan leher jenjangnya yang bersih dan bahunya yang indah.

Lana mencari-cari sosok Rei di area tengah, namun Rei tak terlihat. Ia pun memutuskan mengirim pesan pada lelaki itu.

"Mas Rei di sebelah mana? Lana udah nyampai, nih. Maaf ya, agak telat dikit..." klik send.

Sebuah pesan masuk.

"Di area taman, Lana. See you,"

Balas Rei.

Lana langsung berjalan ke area taman yang ternyata tak sepenuh di area tengah. Dari kejauhan Lana melihat sosok Rei yang tengah menunggunya sembari memainkan gadgetnya. Lana pun langsung menghampirinya.

"Halo, Mas Rei..." sapa Lana begitu sampai di meja.

Rei tersenyum. Lelaki itu tampak tampan dengan kemeja outdoor warna hijau army dan sun glasses yang bertengger di atas kepalanya.

"Halo, Lana..." sapanya sembari berdiri dan menarik bangku di depannya untuk Lana.

Lana pun mengucapkan terima kasih dan duduk di hadapan Rei.

"Pesan dulu, yuk," ajak Rei sembari mempersilakan Lana membuka buku menu. Lana pun mengangguk.

Lana tengah membuka-buka buku menunya ketika tanpa sengaja wajahnya terangkat menghadap Rei dan kedua mata mereka bertatapan. Lana merasa Rei tengah memerhatikannya, tapi kemudian ia menepis pikiran itu.

"Aku pesan chicken steak with mashed potato aja deh, Mas Rei. Minumnya lemon tea iced," ujar Lana sembari menutup buku menu dan meletakkanya di meja.

Rei memanggil waitress yang terlihat siaga di sekitar area taman. Waitress itu langsung mencatat pesanan mereka berdua, mengulangnya, kemudian berlalu.

Rei berdehem memecah kesunyian yang sempat mengambang di antara mereka. Lelaki itu menangkupkan jemarinya di atas meja.

"You look good, Lana. I can't take my eyes off of you" ujar Rei tiba-tiba dengan suara beratnya.

Lana yang tengah asyik memandangi kolam ikan tak jauh dari tempat mereka duduk langsung terkesiap. Gadis itu menoleh pada Rei yang tetap memandanginya tanpa gentar. Lana merasa rikuh namun senang.

"Ah, thank you, Mas Rei... Bisa aja, Mas Rei ini..." jawab Lana berusaha kuat untuk tampak biasa saja.

"Beneran, kemarin kamu kelihatan masih mahasiswi banget. Tapi hari ini kamu... What can I say... like a lady..." ujar Rei.

Lana merasakan dadanya berdenyut aneh, ia merasakan denyutan itu turun perlahan ke ulu hatinya.

"Hahaha, jadi aku kelihatan lebih tua, gitu ya, hari ini?" timpal Lana Berusaha mencairkan kegugupannya sendiri.

"Bukan gitu, tapi kamu cocok banget dengan gaya kayak gini," ujar Rei terus memuji Lana.

Lana mulai salah tingkah dan berusaha mencari bahan obrolan lainnya.

"Mmmm... Mas Rei dulu tuh kuliah di Yogya tahun berapa, sih?" tanya Lana.

Ia memang sangat penasaran dengan usia Rei.

"Tahun 97... Waktu itu kamu masih ngapain ya, Lana?" Jawab Rei sambil tertawa kecil.

Lana mengangguk-angguk sembari menghitung kemungkinan usia Rei.

"Wow... Aku aja lahirnya tahun 96 lho, Mas," ujar Lana tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Rei terkekeh melihat ekspresi Lana.

"Pengin tahu apa lagi? Umur?" goda Rei sembari menaikkan sebelah alisnya.

Lana masih takjub dengan fakta yang baru ia ketahui, bahwa Rei sudah memasuki bangku kuliah ketika Lana bahkan baru belajar berjalan dan masih menikmati buaian ibunya, juga ayahnya yang kini entah ada di mana.

Jika diperkirakan, usia Rei saat ini mestinya sudah melewati kepala empat. Tidak terlalu mengherankan sebenarnya, sebab itu terlihat dari aura kematangan dan beberapa helai keperakan di rambut Rei. Tapi selebihnya, pembawaan Rei masih sangat muda dan tampak berbahaya. Seksi, menurut Lana.

"Kalau Lana umur 24, bulan Desember kemarin. Kalau Mas Rei?" Tanya Lana.

"Kalau Lana lahirnya setahun sebelum saya kuliah, dan saya kuliah pada usia 18, Berarti kita beda 17 tahun, dan itu berarti usia saya adalah usiamu ditambah 17 tahun..." jawab Rei tenang.

Ah, baiklah, Rei sudah berumur 41 tahun, batin Lana. Memang jarak usia yang cukup jauh. Tapi sejauh ini, obrolan dengan Rei selalu seru dan tidak mengesankan adanya jurang perbedaan frekuensi dan komunikasi.

"Berarti umur Mas Rei Kira-Kira 41 ya?" Tanya Lana lagi.

"Tepatnya 42 di bulan September nanti," jawab Rei membenarkan tebakan Lana.

Lana mengangguk-angguk.

"Tapi Mas Rei kelihatan masih kayak 35-an, lho," puji Lana tulus.

Rei tertawa dan menimpali, "Nggak malu-maluin Lana lah, ya, kalau kita jalan bareng gini..." goda Rei membuat Lana, entah bagaimana, tersipu.

Obrolan mereka terhenti sejenak ketika waitress datang membawakan pesanan dan menatanya di atas meja. Setelah waitress berlalu, mereka mulai makan dan terus saling bercerita. Sesekali mereka juga membahas tentang project yang akan mereka kerjakan bersama. Tentang kesibukan masing-masing sebelum ini, dan banyak hal lagi.

Hingga tiba-tiba di tengah asyiknya obrolan, ponsel Lana pun bergetar di atas meja. Ternyata dari Arga.

"Istirahat yang cukup, hon... Aku sayang kamu," Sejenak Lana merasa kerongkongannya tercekat dan susah menelan makanan yang baru saja dikunyahnya. Lana pun meneguk minumannya dan membalas pesan Arga,

"Makasih, sayang. Aku lagi di luar, nih. Mendadak ada acara makan siang bareng partner kerja aku, ngobrolin project buku yang bareng Equator itu..." klik send.

Rei tampak memerhatikan perubahan raut muka Lana.

"Is everything okay?" tanya Rei.

Lana mengangguk.

"Nggak apa-apa kok, Mas Rei. Jadi tadi gimana, Lana bisa mulai ikut Mas Rei buat pemotretan Ibu Magda kapan?" Tanya Lana berusaha mengembalikan topik pembicaraan.

"Minggu depan ya, sekalian kamu ada waktu buat bikin kerangka dulu, jadi pas ikutan sama aku buat pendalaman karakternya Ibu Magda yang mau kamu uraikan di buku nanti udah ada rancangannya, biar lebih efektif," tukas Rei.

Lana mengangguk-angguk sambil terus menikmati makan siangnya.

"Oke, akan segera aku buat kerangkanya," ujar Lana.

Lana dan Rei menandaskan makanan di piring mereka, kemudian lanjut mengobrol hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah 4 sore.

Usai membayar, Rei menawarkan untuk mengantarkan Lana pulang ke kos dan Lana pun setuju.

***

Rei memelankan laju mobil jeepnya begitu mereka sampai di depan jalan kecil menuju kos Lana. Lana meminta untuk diantar hingga depan jalan saja, agar Rei tidak kesulitan untuk mencari jalan putar balik, karena jalan depan kos Lana hanya cukup untuk dilewati satu mobil. Selain itu, Lana tak ingin anak-anak kos bergosip yang tidak-tidak lantaran Lana diantar oleh lelaki lain selain Arga, yang oleh para tetangga kos sudah dianggap sebagai kekasih Lana.

"Sampai sini aja nggak apa-apa, Mas Rei," kata Lana sopan.

Rei memarkir jeepnya di halaman minimarket waralaba persis di seberang jalan masuk ke kos Lana.

"Terus, kos kamu di mana?" Tanya Rei penasaran sembari melongok ke kanan dan ke kiri.

Lana menunjuk jalan ke arah kosnya.

"Tuh, masuk situ, Mas. Jalannya sempit, makanya aku saranin Mas Rei berhenti di sini aja," jelas Lana sembari berusaha melepas sabuk pengaman yang sialnya tak lepas-lepas.

Rei mencondongkan badannya ke arah Lana dan membantunya. Jarak mereka jadi sangat dekat, dan Lana dengan jelas mencium aroma aquatic itu lagi. Jantung Lana tiba-tiba berdebar dan wajahnya terasa hangat.

Sabuk pengaman berhasil dilepaskan, dan Lana bersiap untuk pamit.

"Makasih ya, Mas Rei, buat makan siang dan ngobrol-ngobrolnya," ujar Lana sembari bersiap membuka pintu mobil, namun Rei tiba-tiba memegang tangan kanan Lana, menarik dan mengecup punggung tangannya.

"You had me at hello, Lana. You are very welcome," ujarnya dalam.

Sejurus, Lana pun tersentak.

Apa yang baru saja lelaki ini katakan? Apa maksudnya? Aku harus bagaimana?

Bertubi-tubi pertanyaan itu menggedor tempurung kepala Lana dari dalam.

Rei masih menatap raut wajah Lana. Lana menatap mata Rei, mencoba memecahkan pertanyaan dalam kepalanya sendiri.

Namun Lana hanya tersenyum, Satu-satunya respon yang ia mampu lakukan di antara gempuran kejadian sejak semalam mulai dari Arga hingga siang ini Rei.

"Makasih, Mas Rei. Sampai ketemu lagi ya," ucap Lana sembari meletakkan tangan kirinya di atas tangan Rei yang masih memegang tangan kanannya. Sekilas Lana mengusapnya, memberi kode agar Rei segera melepaskan genggaman itu. Rei pun tersadar dan melepaskannya. Ia keluar dari pintu kemudi dan berjalan memutar, membukakan pintu untuk Lana.

Lana tertawa dan mengucapkan Terima kasih. Sebenarnya, Rei hendak mengantarkannya berjalan kaki hingga gerbang kos Lana, tapi Lana bersikeras menolak. Rei pun manut.

Lana menyeberang dan melambaikan tangan pada Rei sesampainya di seberang jalan. Jantungnya masih berdebar tak karuan.

Setelah melihat jeep milik Rei perlahan berlalu, Lana pun melanjutkan langkah menuju kos. Dalam benaknya ia hanya ingin segera tiba di kamar, mengunci pintunya dan berjingkrak-jingkrak untuk menetralisir perasaan akibat gempuran kejadian yang ia alami dari dua lelaki sejak semalam hingga sore ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status