Share

Test Pack

Test Pack

Lana memegang test pack yang baru saja ia celupkan ke dalam urin paginya. Lana tengah menanti garis itu muncul. Dalam hatinya, ia sudah pasrah apapun hasil yang akan muncul. Jika memang ia hamil, maka ia akan menjalani kehamilannya dan menerima kehadiran anak itu, buah cintanya dengan Arga. Entah bagaimana pun reaksi Arga nantinya

Tiga puluh detik waktu untuk menanti hasil test pack itu, entah kenapa terasa sangat lama. Terduduk di atas closet, Lana menarik napas panjang, membuka matanya dan membalik test pack yang ia pegang dalam posisi indikator menghadap ke bawah.

Satu garis.

Negatif. Lana tidak hamil.

Lana menghembuskan napasnya. Di satu sisi ia lega, namun anehnya, di sisi lain ada rasa kecewa yang ia tak pahami sebab kehadirannya.

Lana menyeka titik air yang terbit di kedua matanya. Ia bangkit dari kloset dan berjalan ke arah pintu kamar mandi.

Lana menjatuhkan tubuhnya dengan posisi telungkup di atas ranjang dan terdiam beberapa saat. Ada gemuruh di dadanya yang tak mampu ia kendalikan. Air mata Lana mengalir lagi, kali ini lebih deras sehingga membuat ia sedikit sesenggukan. Lana benar-benar tak mengerti perasaan apa yang sedang mencengkeram hatinya. Satu-satunya hal yang ingin ia lakukan sekarang adalah menghubungi Arga.

Masih dalam posisi tengkurap, Lana meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja di samping ranjang. Ia mengirim pesan pada Arga.

"Arga, kamu di mana? Aku udah test, hasilnya negatif. Aku nggak hamil. Sekarang aku lagi nangis nggak ngerti kenapa... :(" 

klik send.

Tak lama, pesan itu pun bertanda double check berwarna biru. Arga tengah mengetik balasannya.

"Aku baru mandi, mau makan terus siap-siap ke kedai. Kamu mau aku jemput? Jangan nangis... Kenapa kamu nangis?" balas Arga.

"Aku nggak ngerti kenapa, Ga. Aneh banget, harusnya aku justru lega. Tapi aku malah sedih banget rasanya... Iya deh, aku ikut. Aku pengen ketemu kamu, pengen peluk, :(" balas Lana.

Selama menjalin kedekatan dengan Arga, baru kali ini Lana merasa sangat ingin bertemu, memeluk dan membiarkan sisi lemahnya luruh dalam pelukan Arga. Entahlah ini pertanda baik atau buruk, Lana sudah tak peduli. Ia hanya ingin Arga ada bersamanya saat ini, memeluknya, berkata padanya bahwa segalanya akan baik-baik saja.

Setelah menuntaskan air matanya, Lana bergerak kembali menuju kamar mandi, menyegarkan diri, berganti pakaian, bersiap menunggu Arga datang menjemputnya.

***

Tok...tok... Suara ketukan pintu berbunyi ketika Lana tengah menyisir rambutnya. Ia menoleh ke arah jendela. Ternyata Arga.

Bergegas ia berjalan ke arah pintu dan membukanya.

Begitu pintu terbuka, Lana langsung memeluk tubuh Arga dengan erat. Ia tak berkata apapun, hanya memeluk Arga dan menumpahkan keresahannya di Sana.

Arga bergerak maju ke dalam kamar Lana, dan menutup pintu di belakangnya. Siang hari begini, banyak orang yang berlalu lalang di depan kamar. Kos-kosan Lana lebih mirip rumah petak. Masing-masing kamar memiliki kamar mandi dan dapur mini sendiri di bagian belakang. Antar kamar dibatasi dinding setinggi hidung manusia dewasa di area serambi. Pagar hanya ada di halaman parkir, langsung berbatasan dengan jalan gang. Meski sudah menjadi rahasia umum mereka menjalin hubungan, Arga merasa tak pantas juga jika mereka mempertontonkan kemesraan mereka di depan banyak orang.

Ketika pintu sudah tertutup, Arga mengangkat tubuh Lana dan menggendongnya berhadapan. Kedua tungkai kaki Lana melingkar di pinggul Arga dan kedua lengannya dikalungkan di leher Arga. Dahi mereka bersentuhan.

Arga berjalan mengarah ke dinding dan menekan tubuh Lana di sana. Sebuah Kecupan mendarat di bibir Lana. Dalam sekejap kecupan itupun berubah menjadi ciuman yang hangat dan panjang. Mereka bahkan belum mengucapkan sepatah katapun sejak awal.

Arga melepas ciumannya dan merengkuh dan membelai wajah Lana dengan ibu jarinya.

"Kamu hamil atau tidak hamil, aku tidak akan meninggalkanmu. Yang aku cintai itu kamu, Kelana. Utuh," bisik Arga.

Lana tersenyum mendengarnya. Hatinya terasa hangat. Masih dalam posisi rapat pada dinding, Lana memeluk Arga erat-erat.

"Ga..."panggil Lana dalam pelukannya.

"Hmmm...?" sahut Arga.

"Kalau suatu hari kita nikah, kamu bakal tetap kayak gini?" Tanya Lana tiba-tiba.

"Enggak dong," jawab Arga.

Lana melepas pelukannya, memerhatikan Arga dengan wajah tak suka.

"Enggak gimana?" Tanya Lana sedih.

"Kalau kita udah nikah, ya aku nggak bakal tetap kayak gini, lah. Aku bakal kerja lebih keras, cari duit lebih banyak buat kita dan anak-anak, dan nggak perlu mondar-mandir dari kosku ke kosmu, karena kita bakal tinggal bareng, kan?" jawab Arga santai.

Lana memukul pelan dada Arga. Arga mengaduh sambil tertawa cekikikan.

"Huuhh... Ngeselin! Bukan itu maksudku...!" gerutu Lana.

"Lah, bener kan... Masa kalau kita udah nikah, kita akan gini-gini aja, nggak dong... Pasti aku akan berusaha buat hidup kita lebih baik daripada sekarang..." ujar Arga.

Lana melengos.

"Maksudku tuh, kamu bakal tetap sesayang ini sama aku atau bakal berubah ya, Ga?"

Arga mengernyitkan dahinya.

"Kok nanya gitu? Ya jelas nggak berubah, lah... Aku tahu aku, Lana. Kalau aku sudah memilih, ya berarti satu. Nggak akan berubah pikiran lagi," tegas Arga.

Lana menatap lurus kedua mata Arga.  Sorot mata itu memang tak pernah berubah sejak awal mereka bersama. Sorot mata itu teduh dan sayu, namun penuh kesungguhan. Lembut namun penuh keyakinan. Terkadang tampak jenaka namun terasa bisa diandalkan.

Lana membelai wajah Arga, memainkan beberapa helai rambutnya yang jatuh menutupi wajahnya.

"Tunggu aku benar-benar siap, ya. Aku cuma nggak ingin menyusahkanmu, Ga. Aku sayang kamu, Arga," ucap Lana sembari tersenyum menatap Arga.

Arga tampak agak tersentak mendengar perkataan Lana. Seingatnya, Lana belum pernah bersikap seperti itu sebelumnya. Pun menyatakan rasa sayangnya secara verbal seperti itu. Arga merasa sangat bahagia mendengarnya.

"Ya, Lana. Aku nggak akan ke mana-mana. Aku akan tunggu kamu sampai kamu siap," ujarnya yakin.

Keduanya berciuman sekali lagi, kemudian bersiap-siap untuk menuju kedai tempat Arga bekerja.

***

Lana tidak mendapatkan job menulis artikel di hari Minggu. Alhasil, selama menemani Arga bekerja, Lana pun mengisi waktunya untuk membaca buku sambil sesekali mengobrol via chat dengan Bian. Lana menceritakan hasil test packnya pada Bian, dan Bian pun entah bagaimana merasa agak sedih meskipun di satu sisi ia juga lega.

Bersahabat dekat dengan Bian, Lana sudah menganggap Bian seperti saudaranya sendiri. Bahkan mereka sering saling memiliki intuisi kepada satu Sama lain. Seperti intuisi Bian kepada Arga yang demikian kuat, juga intuisi Lana kepada Mas Pras yang sangat positif sejak Bian mengenal kannya pada Lana saat mereka baru memulai hubungan.

Suasana coffee shop di hari Minggu cukup ramai. Apalagi cuaca juga cerah sejak pagi.

Meja-meja di Katarsis Coffee Shop terisi penuh mulai dari area outdoor hingga ke dalam. Beberapa sampai menyerah pulang atau memilih take away coffee karena pengunjung begitu penuh.

Lana merasa sungkan karena sejak tadi ia hanya memesan segelas kopi dingin dan tidak beranjak dari tempatnya sementara antrean terus mengular.

Di belakang meja bar, Arga pun hampir tak pernah beristirahat melayani tamu-tamu coffee shop. Lana berpikir sebaiknya ia berpindah tempat atau berjalan-jalan ke toko buku di dekat coffee shop milik kakak tingkatnya itu. Lagi pula ia mulai merasa bosan sebab bisa dibilang ia tak mengerjakan apapun sejak tadi.

Maka Lana pun beranjak dari kursinya, berjalan ke arah meja bar untuk memberi tahu Arga bahwa ia hendak berjalan-jalan sejenak ke toko buku mungil di tikungan jalan. Arga mengiyakan sembari terus bersibuk dengan mesin kopinya.

Lana pun berjalan ke luar coffee shop, menyusuri trotoar sembari menikmati matahari  menjelang sore yang hangat.

Lana berjalan terus ke arah timur dan sesampainya di tikungan jalan, Ia pun berhenti. Ia telah tiba di depan toko buku mungil yang sejak lama ingin ia kunjungi namun belum juga sempat hingga sore ini. Jaraknya hanya 500 meter dari coffee shop tempat Arga bekerja, tetapi kadang Lana terlalu malas untuk berjalan. Sore itu adalah sebuah kebetulan bahwa coffee shop sedang penuh sehingga ia harus beranjak sebab banyak pengunjung yang membutuhkan meja.

Lana memasuki toko buku mungil itu. Ia memandang berkeliling dan menikmati ambience yang tersaji di dalamnya. Bangunan toko buku itu tidak terlalu Besar. Rupanya tempat itu adalah bangunan lawas yang direnovasi dan didekorasi dengan interior-interior bergaya rustic bohemian. Warna-warna pastel seperti Tosca pada kusen jendela dan etalase serta putih tulang pada dinding, diramaikan dengan berbagai interior Gaya bohemian yang berwarna-warni cerah dan berbentuk unik membuat tempat ini memiliki aura berbeda yang membuat Lana jatuh hati pada pandangan pertama. Tiba-tiba seorang perempuan berambut keriting dengan tato di lengan dan bahunya, serta piercing di hidungnya menyapanya ramah.

"Selamat sore, Kak. Selamat datang di Nirvana,"

Lana tersenyum ramah dan me ganggu pada perempuan itu.

"Baru pertama ke sini ya, Kak?" Tanya perempuan itu lagi.

"Eh, Iya, Mbak... Baru pertama. Jual buku apa aja, ya?" tanya Lana.

"Mostly koleksi kami novel,dan genre sastra lainnya, Kak. Tapi buku-buku non-fiksi lain juga ada, kok. Karya-karya indie dan zine juga banyak di sini, Kak," jelasnya ramah.

"Oh, ya. Saya Sarah. Kakak namanya siapa?" ujarnya ramah memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan. Lana menjabatnya.

"Halo, Sarah. Saya Lana," jawab Lana.

"Selamat datang di keluarga Nirvana, Kak Lana. Semoga betah, ya!" ujar Sarah ceria. Seorang lelaki brewok dengan rambut panjang yang ternyata sedari tadi duduk di belakang Sarah sembari menata sesuatu di dalam kantong-kantong kertas panjang

pun melongok dan melambaikan tangan pada Lana. Sekilas penampilannya mengingatkan Lana pada John Lennon.

"Welcome, Kak Lana! Saya Anton, " sapanya. Lana pun balas melambaikan tangan.

"Di lantai satu ini koleksi novel-novel kami kak. Ada karya-karya klasik juga khusus di rak yang di pojok situ," jelas Sarah sembari menunjuk ke suatu sudut. "Meskipun secondhand, koleksi buku klasik kami semua dalam kondisi baik, Kak Lana," sambungnya ramah.

Lana mengangguk-angguk dan mengucapkan terima kasih, lalu langsung berkeliling melihat-lihat koleksi buku di Nirvana Bookstore. Lana berhenti cukup lama di depan rak yang memajang koleksi novel-novel dan zine karya penulis-penulis indie. Lana tertarik pada sebuah buku kumpulan cerpen bersampul putih bergambarkan Sekuntum mawar merah yang layu di dalam vas penuh air, karya seseorang yang menyebut dirinya Bulan Jingga.  Judul buku itu "Tentang Sesuatu yang Pikirmu Kautahu". Lana membaca sampul belakang buku itu dan semakin tertarik untuk membaca keseluruhannya. Akhirnya, Lana pun membawa buku itu serta dua buah zine karya sebuah kolektif perempuan ke kasir dan membayarnya pada Sarah.

Dengan cekatan, Sarah pun membungkus belanjaan Lana ke dalam sebuah kantong kertas dan menyerahkannya pada Lana seraya mengucapkan terima kasih dan memberikan sepotong kertas kupon bergambar cangkir pada Lana. Ternyata, toko buku tersebut memberikan kopi atau teh gratis untuk setiap pembelian dalam minimal jumlah tertentu. Lana pun baru mengetahui dari Sarah jika lantai dua toko buku ternyata difungsikan sebagai ruang membaca bagi para pembeli yang ingin membaca bukunya sembari menikmati kopi atau teh yang dijual oleh toko buku Nirvana. Lana sangat bersemangat mendengarnya.

Sarah pun menawarkan Lana untuk mengantarnya ke lantai dua dan Lana menerima tawaran tersebut dengan senang hati. Keduanya lalu menaiki tangga beton lawas menuju lantai dua.

"Nah, ini ruang membaca kami, Kak Lana. Kami juga Menyediakan kopi, cokelat atau teh untuk pengunjung yang ingin menikmati minuman sambil baca buku..." jelas Sarah setiba kaki mereka di lantai dua.

Lana berdecak kagum melihat penataan ruangan lantai dua yang begitu manis dan artistik. Ruangan itu Besarnya kurang lebih Sama dengan lantai satu, hanya saja terkesan lebih lapang karena tidak dipenuhi rak buku. Warna dindingnya dibuat berbeda dengan suasana di lantai satu yang didominasi warna klasik yaitu putih tulang. Di lantai dua, keempat sisi dinding dicat dengan warna yang berbeda, meskipun semuanya memiliki warna dasar cool tone dan pastel. Ada merah muda, biru muda, kuning muda dan hijau muda. Ada dua sisi dinding yang dihiasi aksen mural cantik bergambar tetumbuhan dan mandala, serta quotes-quotes yang filosofis dan menarik, seperti "Carpe Diem" dan "Amor Fati". Sementara dua sisi dinding yang dibiarkan polos, salah satunya dihiasi oleh aneka poster, dan sisi dinding yang satu lagi rupanya lebih mirip sekat yang Dibuat sebagai mini bar tempat pengunjung memesan minuman.

Di sekeliling ruangan itu, berjajar sofa-sofa yang tak semuanya berwarna atau bercorak seragam. Biar begitu, justru itulah yang menambah kesan unik. Di bagian bawah sofa-sofa itu, dibentangkan karpet-karpet yang dipenuhi bantal-bantal nyaman bagi pengunjung yang ingin duduk bersila atau menyelonjorkan kaki. Meja-meja lipat ditata rapi di tepi agar ruangan tidak terkesan sesak. Meja-meja lipat itu bisa diambil jika memang dibutuhkan untuk meletakkan gelas minuman atau buku-buku yang hendak dibaca. Sore itu, pengunjung lantai dua bisa dibilang tidak terlalu padat. Hanya dua orang perempuan muda yang duduk bersama di sebuah sofa berukuran sedang, seorang Laki-laki berkaca mata yang asyik dengan laptop serta setumpuk bukunya di atas meja. Namun yang menarik Lana adalah pemandangan di sudut ruangan dekat jendela besar yang terbuka, dibentangkan sebuah permadani berukuran sekitar 2x3 meter. Beberapa orang tampak berkerumun di permadani tersebut, mengelilingi seorang lelaki dengan kartu-kartu yang tertata di atas meja kecil. Mereka sedang membaca tarot, rupanya.

"Ruang membaca kami ini serba guna, Kak Lana. Kadang kami juga bikin event bedah buku, diskusi, atau pemutaran film. Musikalisasi puisi dan monolog juga bisa kak, di momen-momen tertentu. Terus, khusus di tiap tanggal 7,17 dan 27 setiap bulannya ada pembacaan tarot dari Mas Caleb. Free untuk pembacaan pertama, selebihnya sukarela," jelas Sarah seperti seorang tour guide pada Lana.

Lana mengangguk-angguk sambil tetap terkagum-kagum dengan konsep menarik Nirvana.

" Nah, selamat datang di Nirvana, lagi ya, Kak Lana. Sarah turun dulu, ya... Kalau mau tukar kupon minuman di sebelah Sana ya, Kak. Enjoy! " ujar Sarah sembari menunjuk ke arah mini bar di sisi dinding berwarna hijau muda.

Setelah berlalunya Sarah, bukannya menukarkan kupon, Lana malah langsung mendekat ke arah kerumunan orang yang tengah mengerubungi Caleb, sang pembaca tarot. Lagi pula, Lana belum merasa ingin minum setelah tadi ia menghabiskan es kopi susu ukuran large di coffee shop tempat Arga bekerja.

Lana duduk di bagian terluar permadani, tidak mendekat karena seseorang masih berkonsultasi pada lelaki plontos berbandana yang bernama Caleb itu. Sementara menunggu, Lana menikmati wangi aromaterapi yang menguar dari dupa di sudut ruangan. Suasana toko buku dan ruang baca Nirvana sungguh menghadirkan ambience yang menyenangkan dan menenangkan. Lana benar-benar betah dan menyukainya.

Setelah menunggu kurang lebih lima menit, kerumunan anak muda yang kira-kira masih berusia mahasiswa itu beringsut dari permadani tempat Caleb dan tarot-tarotnya beraksi. Giliran Lana mendekat.

Lana menyapa dan mengulurkan tangan pada Caleb. Laki-laki plontos itu menjabat tangan Lana sembari menyebutkan namanya.

"Halo, saya Caleb," ujarnya.

"Saya Lana, Mas Caleb. Saya baru pertama ke Nirvana," terang Lana.

"Ah iya, pantesan kayak belum pernah lihat," ujar Caleb ramah. "Ada yang bisa saya bantu, Kak Lana?"

Lana sempat kebingungan menjawab pertanyaan Caleb. Ia memang ingin berkonsultasi, tapi sesungguhnya bingung apa yang harus ia tanyakan. Setelah berpikir-pikir sebentar, Lana akhirnya memutuskan untuk menanyakan soal Arga.

"Mmm... gini, Mas, saya sedang dekat dengan seseorang, Nah, pengen tahu aja sih, dia benar-benar mencintai saya atau enggak," ujar Lana. Tentu yang dimaksud olehnya adalah Arga.

Caleb tertawa kecil mendengar pertanyaan Lana. Di sepanjang karirnya sebagai seorang konsultan tarot, pertanyaan semacam ini paling sering menjadi topik dalam sesi-sesi yang ia lalui bersama klien. Cinta, cinta dan cinta. Tidak ada yang lucu sebenarnya, justru terasa miris, sebab pada kenyataannya manusia selalu ingin sebentuk balasan, jaminan dan kepastian. Sekalipun itu tentang cinta, yang katanya adalah hal paling tulus dan murni di muka bumi.

Tapi kembali lagi, segalanya memang manusiawi. Di jaman yang begitu gila dan berat ini, memastikan seseorang yang ada bersama kita cukup layak untuk diperjuangkan dan tak berujung membuat kita membuang waktu sia-sia adalah hal yang wajar. Waktu bergerak dengan cepat dan beringas tak kenal ampun. Siapa yang lengah akan dilumatnya habis tanpa sisa. Dan, bukankah cinta adalah penawar angkara murka? Bukankah ia adalah terang untuk lorong-lorong gelap yang panjang, juga teduh untuk terang yang menyilaukan?

Sebab itu cinta kini memang membutuhkan kepastian. Sebab dunia pun tak lagi sama. Segalanya berubah dan manusia sama sekali tak boleh lengah.

Caleb meminta Lana untuk mengocok kartunya.

"Silakan kocok kartunya," ujar Caleb.

Lana meraih segepok kartu yang telah ditata oleh Caleb di atas meja, lalu mengocoknya. Usai mengocoknya, Lana berhenti dan menunggu instruksi Caleb selanjutnya.

"Ambil satu kartu,lalu buka," perintah Caleb.

Lana pun mengambil satu kartu pada tumpukan paling atas dan membukanya di atas meja.

"Buka satu lagi," ujar Caleb.

Lana pun membuka satu kartu lagi dan meletakkannya di atas meja.

Caleb tersenyum dan menghela napas lega. Wajahnya tampak puas mengamati dua buah kartu yang berjajar di atas meja.

"Udah lama jalan sama orang ini?" tanya Caleb.

Lana menggeleng.

"Belum terlalu lama juga sih, Mas, baru lima bulanan," jawab Lana.

Caleb mengangguk-angguk.

"Kalau dari pembacaan ini sih, dia benar-benar sayang sama kamu, sosoknya digambarkan sebagai pelindung yang siap menjaga kamu dalam keadaan apapun," ujar Caleb.

Lana mengangguk-angguk. Hatinya tiba-tiba terasa hangat.

"Ada lagi, Mas?" tanya Lana.

"Well... di sini sih, lebih terlihatnya soal bagaimana dia ke kamu. Dari sisi kamu, kamu masih ragu. Tapi dia akan menunggumu sampai kamu siap,"  jawab Caleb. "Tapi, Lana, kadang kesiapan itu jika ditunggu nggak akan datang. Kadang yang perlu dilakukan adalah membulatkan tekad dan ikhlas apapun yang akan terjadi nanti," sambungnya.

"Ada lagi yang bisa saya bantu?" tanya Caleb sembari merapikan tarotnya.

Lana menggeleng. "Cukup dulu, Mas, nanti kapan-kapan saya pasti ke sini lagi," ujar Lana sembari mengeluarkan dompetnya. "Maaf, berapa saya harus bayar untuk pembacaan barusan, Mas?" tanya Lana sopan.

Caleb mengibaskan tangannya."Tidak usah. Kalau cuma satu pembacaan, saya bisa lakukan dengan sukarela. Tidak banyak energi yang harus saya keluarkan," ujar Caleb. "Lagipula, ini untuk welcoming, kan kamu baru pertama datang ke saya," lanjutnya.

Lana tersenyum lebar. "Wah, terima kasih banyak, Mas Caleb. Berarti Mas ada di sini lagi tanggal...17?" tanya Lana antusias.

Caleb melihat ponselnya, mengecek kalender. "Ya, 17 Februari. Tapi tanggal 14 ada event Valentine di sini, saya open card, kamu bisa datang lagi saat event, atau tanggal 17, anytime," ujarnya sambil mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. Caleb mengambil sebuah kartu dan menyerahkannya pada Lana.

"Ini kartu nama saya, di sana ada nomor W******p, telepon juga bisa. Kalau sewaktu-waktu butuh, tinggal call aja, saya bisa diajak ketemuan di manapun atau pembacaan via online," jelasnya.

Lana mengucapkan terima kasih dan menyimpan kartu nama Caleb dalam dompetnya.

Setelah mengobrol sejenak soal aktifitas masing-masing, Lana pun berpamitan pada Caleb. Seorang perempuan langsung menempati tempat Lana sebelumnya, hendak berkonsultasi pada Caleb.

Lana berjalan ke arah bar berdinding hijau muda, hendak menukarkan kuponnya dengan segelas teh hangat. Setelah mendapatkan teh hangatnya, Lana menuju sebuah sofa yang kosong di dekat jendela. Ia duduk bersandar sembari menikmati bias-bias matahari pukul setengah lima sore yang masuk di antara teralis. Lana meletakkan paper cup berisi teh hangatnya di sebuah meja kecil yang ada di sisi kanan sofa hijau bermotif bunga-bunga itu dan membuka kemasan plastik pembungkus buku kumpulan prosa dan puisi yang ia beli tadi.

Untuk segala lukamu

Yang menjadi lukaku

Sedihmu

Yang adalah sedihku

Badai dalam dirimu

Yang mewarnai hidupku;

Merah, ungu, jingga, kelabu

Untuk segala kamu

Yang telah kupilih dengan segenap kesadaranku

Lana meremang membaca halaman pertama dari buku yang tengah ia baca. Kata-kata dalam puisi pendek itu membuat Lana merasakan sesuatu yang begitu sedih dan menyentuh, dan entah bagaimana membuatnya teringat Arga.

Lana terus membaca halaman demi halaman buku itu. Sesekali ia menyesap tehnya dan menghela napas melepaskan sesak di dalam dada yang ia rasakan karena kesedihan yang begitu terasa dalam untaian kata-kata yang ada di buku itu.

Bahkan, air  mata Lana sempat menitik tatkala dirinya menelusuri halaman demi halaman dan menemukan tulisan-tulisan yang menyentuh hatinya. Seperti pada penggalan prosa berjudul -- :

"...dan akupun hanya diam, menahan berbagai amarah yang selalu saja terheti di

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status