"Ugghh..." Arga menarik tubuhnya bersandar ke dinding, sementara Lana tetap membiarkan tubuhnya telungkup di atas tubuh Arga. Rambut panjang itu terurai dan sebagian berantakan di atas dada telanjang Arga. Sinar kuning lampu tidur di kamar kos Arga menerangi tubuh mereka berdua, menghadirkan kilau dramatis pada kilap kulit mereka yang berkeringat.
Tangan kanan Arga menggapai-gapai meja kecil di samping tempat tidur, mencari sesuatu. Setelah menemukan apa yang dicarinya, ia pun menyalakannya. Arga mengangkat wajahnya agak ke samping agar percikan api tak mengenai rambut Lana. Sebatang rokok telah dinyalakan. Arga mengisap dan mengembuskannya tenang, sementara tangan kirinya membelai-belai rambut hitam Lana.
Nyaman. Itu yang Lana rasakan. Setelah pergumulan mesra dan pelepasan yang hangat, berdiam di atas tubuh Arga dengan pikiran yang kosong dan tubuh yang terasa ringan adalah sesuatu yang Lana suka. Kadang lebih ia sukai dari kegiatan bercinta itu sendiri.
Lana merangkak pelan, menggeser tubuhnya menuju leher Arga. Gadis itu mengecup dan menghirup dalam-dalam sisa aroma pheromone yang masih menguar kuat dari pori-pori lelaki itu. Arga merasa tergelitik dan tertawa, ia balas menggigit lembut bahu Lana yang tepat berada di depan bibirnya. Lana berjingkat geli.
Gadis itu kemudian bangun dan duduk bersandar pada dinding, di sisi Arga, sembari membenahi tali baju tidur-nya yang merosot lepas sejak pergumulan mereka tadi. Disandarkannya kepalanya di bahu Arga dan memberi kode dengan jari untuk ikut menghisap tembakau Arga.
Lana bukanlah perokok aktif. Tetapi ada momen-momen khusus yang membuat ia mengijinkan diri untuk menikmati barang satu-dua hisap tembakau, sekadar untuk menyempurnakan suasana. Salah satunya setelah bergumul dengan Arga.
Suara kipas angin berderit, mengimbangi suara detik-detik jam yang terus bergerak. Hawa panas berangin di luar membuat hiasan Bambu yang digantung di atap balkon kamar itu berdenting menyajikan alunan musik alami yang menenangkan.
Lana mengisap rokok yang diberikan Arga. Perlahan, menikmatinya sebentar dan mengembuskannya. Masih dengan menyandarkan kepalanya di pundak Arga, Lana bergumam, "Nggak kerasa ya, udah hampir 5 bulan aja kita begini..." ujarnya sembari mendongak ke arah Arga. Jarak mereka yang tak sampai sejengkal membuat Arga leluasa untuk merespon ucapan perempuan kesayangannya dengan kecupan lembut di dahi. Lembut, pelan dan cukup lama. Lana pun memejamkan mata. Nyaman.
Ia bersandar di bahu kiri Arga, sangat dekat dengan Dada kirinya. Entah bagaimana Lana merasa jantung di balik dada bidang itu berdegup lebih Kencang daripada sebelumnya. Lana meletakkan tangan kirinya di atas Dada itu, merasai degupnya, sementara tangan kanannya melingkar di lengan kiri Arga.
Sejenak hening menjadi jarak dari detik-detik di antara mereka.
" Is it the time?" Tanya Arga setelah berdehem pelan meredakan rasa tercekat yang tiba-tiba menguasai tenggorokannya.
Lana tertawa kecil.
"The time for dinner? Sure, katanya kamu mau masak, " goda Lana sembari mengisap lagi rokok Arga dan mengembalikannya pada Arga. Arga menerima rokoknya, mengisapnya sekali lalu mematikannya.
Lelaki itu membuat gelung dari rambutnya yang ikal sebahu. Ia lalu menggeser duduknya, bersila menghadap ke arah Lana.
"Selama kamu sama aku, pernah telat nggak?" Tanya Arga lugas, tanpa basa-basi.
Lana mengernyit, tidak menyangka Arga akan menanyakan hal ini.
"Telat... hamil, maksud kamu?" ujar Lana, balik bertanya.
Arga mengangguk. Ia menghela napas sembari menggenggam kedua tangan Lana.
" Iya, Lana. Hamil. Mengandung anakku, anak kita," ujar Arga seolah sedang menjelaskan pada seorang anak kecil.
Lana terdiam sejenak, mencoba mengingat. Ia merasa segalanya terkendali dan baik-baik saja selama ini. Memang mereka hampir tidak pernah menggunakan pengaman, kecuali saat di awal hubungan. Tapi Lana selalu rutin minum pil KB, sesuai yang disarankan sahabatnya, Bian. Lana memang pernah mendengar, juga dari Bian, bahwa pil KB masih bisa gagal. Tapi ia merasa belum pernah hamil, kecuali dua bulan lalu ia pernah terlambat hampir dua minggu dan kemudian mengalami menstruasi yang jauh lebih banyak daripada biasanya. Mungkinkah...
Lana menggigit bibirnya, menatap Arga.
"Aku nggak yakin sih, Ga, tapi waktu itu..." katanya menggantung. Lana butuh oksigen untuk melanjutkan kalimatnya. Sungguh ia tidak pernah memikirkan hal ini, jika Arga tidak menanyakannya barusan. Arga semakin mempererat genggaman tangannya pada Lana. Meyakinkan Lana untuk menceritakan apa yang membuat Lana ragu.
"Kamu inget nggak, waktu dua bulan lalu aku ngeluh mens banyak banget sampai lemes?" tanya Lana. Arga mengangguk.
"Nah, sebelum itu aku telat hampir dua minggu, tapi aku nggak ngerasa ada yang aneh, sih. Mungkin nggak, ya...itu... " ucap Lana menggantung.
Arga tiba-tiba menarik Lana ke dalam pelukannya. Mengecupi ubun-ubun Lana, kemudian menengadahkan wajah Lana menghadap wajahnya. Ia menatap kedua mata bulat Lana dengan rasa sayang yang amat mendalam.
"Ini salah satunya yang selalu bikin aku nanyain kejelasan hubungan kita, Lana. Aku tahu aku cuma barista, lulusan diploma yang nggak secerdas kamu. Aku sadar kamu siapa, mimpi kamu apa. Tapi maukah kamu ijinkan aku buat jagain kamu, menyayangimu, termasuk bertanggung jawab kalau kamu nantinya mengandung anak kita berdua?" Tanya Arga dengan suara yang lirih namun terdengar sungguh-sungguh.
Lana terpaku. Selama ini Arga sudah berulang kali ingin menegaskan hubungan mereka, bahkan untuk menikah pun Arga mengaku siap. Namun kali ini Lana merasa ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu membuatnya meremang. Entah apa perasaan itu, Lana tak memahaminya. Lana hanya mampu merasakan sesuatu sedang menusuk jantungnya, pelan namun sakit.
"Kejadian dua bulan lalu, kita sama-sama nggak tahu. Kalau memang itu anak kita dan kamu keguguran, aku minta maaf atas ketidaktahuanku sehingga aku nggak bisa jagain kamu dan anak kita.... Kalaupun bukan, aku tetap bertekad untuk bilang ini dengan sungguh-sungguh, Lana. Aku cinta kamu. Sangat cinta. Ijinkan aku menjagamu dan bertanggung jawab padamu..." lanjut Arga.
Entah dari mana datangnya, dua bulir bening meluncur begitu saja dari kedua Bola mata Lana, membasahi wajahnya yang masih tengadah menghadap wajah Arga. Arga mengusap airmata di pipi Lana dengan kedua ibu jarinya. Lelaki itu mendekatkan wajah Lana ke wajahnya dan mencium lembut bibirnya.
Lana semakin tak mampu mengendalikan diri dari isaknya, dan Ia tak tahu mengapa.
Apakah ini kekecewaan karena menyadari ia mungkin saja sempat kehilangan bayi mereka? Apakah ini kekesalan karena Lana merasa Arga menjebaknya menggunakan naluri keibuan dalam dirinya? Apakah ini kekesalan Lana terhadap dirinya sendiri yang tak pernah berani merasakan dan memutuskan? Apa yang sebenarnya ia takutkan dan ia rasakan? Lana tidak pernah tahu pasti.
Arga masih menciumnya di tengah isak tangis dan kecamuk dalam batinnya. Ciuman yang panjang, hangat dan lembut. Bagi Lana, Arga adalah satu-satunya lelaki yang bisa mencium dan membuat dirinya terbakar, tapi di lain waktu Ciuman Arga juga bisa menjadi obat penenang bagi Lana. Namun entah bagaimana, ciuman Arga kali ini malah membuat Lana merasa marah pada diri sendiri.
Arga kembali merengkuh Lana yang sedang menangis seperti anak kecil dalam pelukannya, meletakkan kepala Lana di cerukan lehernya, membiarkan tangis Lana berderai di sana.
"Tidak harus sekarang, Lana sayang. Ambil napas dan ambil waktumu. Kamu tahu, aku tidak akan ke mana-mana, kecuali kamu yang minta aku untuk pergi..." Bisik Arga di telinga Lana.
Tangis Lana semakin menjadi. Perempuan itu membiarkan segala kecamuk rasa dalam batinnya tumpah malam itu, di dalam pelukan Arga. Kecamuk yang ia sendiri tak paham apa namanya.
Di luar, malam semakin jauh merangkak. Arga tidak melanjutkan apa yang sebelumnya ia tanyakan. Ia membiarkan Lana puas dalam tangisnya dan memeluknya semalaman hingga keduanya hanyut dalam lelap.
***
Lana mengerjap-ngerjapkan matanya yang terasa bengkak, perih dan mengganjal. Ia meraba tempat di sebelahnya, Arga tak ada. Ia pun menoleh ke arah balkon. Dilihatnya jendela Besar dalam keadaan terbuka, memberi jalan bagi sinar matahari dan udara pagi untuk masuk ke dalam kamar. Lana bangun dari posisi tidurnya, bergerak ke tepi ranjang dan terdiam sejenak memerhatikan punggung Arga yang sedang asyik di depan kompor di area balkon.
Lana beringsut turun dari ranjang sembari menyambar kimono rajutnya untuk melapisi tubuhnya yang hanya berbalut baju tidur mungil, kemudian berjalan ke arah balkon.
Perlahan-lahan Lana melangkah melewati rangka jendela besar, berjalan mengendap dan langsung mendekati Arga yang tengah menumis sesuatu, memeluknya dari belakang dan menciumi punggung Arga, hal yang Lana sangat suka lakukan. Tinggi Lana yang hanya sedada Arga membuatnya merasa seperti anak kecil yang tengah bermanja dan Lana suka.
Arga menoleh sejenak, dan memutar badannya ke arah Lana, mencium pipi Lana.
"Cuci muka, sikat gigi, bebersih, terus sarapan, yuk. Semalam nangis sampai ketiduran dan nggak jadi makan. Pasti sekarang lapar banget kamu," ucap Arga sembari tersenyum manis. Lesung pipit itu menyembul membuat wajah tampan Arga semakin tampak memesona.
Lana menggelendot manja dan mengerling, "Tapi nanti mandinya bareng?" ucapnya dengan Gaya malu-malu dan suara yang sangat manja.
"Iya... makan dulu tapi..." jawab Arga sembari membagi konsentrasi dengan tumis jamurnya sosisnya.
Lana pun segera beranjak menuju kamar mandi yang terletak di sudut berseberangan dengan dapur outdoor Arga.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Lana sudah keluar dengan wajah yang lebih segar. Ia membantu Arga meletakkan piring dan alat makan ke meja makan kecil di area balkon kamar itu.
Ya, semenjak bersama Lana, Arga memutuskan untuk merombak area balkon dengan menambah atap galvalum secukupnya, untuk difungsikan sebagai dapur mungil dan ruang makan outdoor. Lana selalu suka menyaksikan Arga dengan terampil menyiapkan makanan atau camilan untuk mereka berdua. Terkadang ia juga membantu Arga jika memang Arga membutuhkan bantuannya.
Semangkuk besar nasi goreng, sepiring tumis sosis danjamur, dua telur mata sapi, potongan buah pepaya dan pisang, dan tak lupa air minum telah siap di atas meja. Lana berdecak kagum menikmati sempurnanya pagi mereka berdua. Begitupun Arga.
Pagi itu mereka makan dengan lahap tanpa membicarakan hal yang semalam telah menguras air mata. Usai nasi goreng dan lauk pauk tandas dan ditutup dengan se-mug kopi untuk berdua serta obrolan ringan soal pekerjaan, Lana pun kemudian menarik tangan Arga menuju kamar mandi, hendak membersihkan diri mereka sekaligus mengotorinya sekali lagi
Lana melambaikan tangan usai Arga mengantarnya sampai di depan kos. Hari ini Lana berencana untuk menikmati hari dengan tidur sepuasnya, setelah babak-babak percintaannya di kos Arga sejak semalam hingga tadi saat mandi pagi, ditambah episode deraian air mata yang membuat matanya terasa perih dan bengkak membuatnya tak berminat lagi melakulan aktivitas berat hari ini.Lana membuka pintu kamar kosnya dan segera menghambur ke atas tempat tidurnya. Untunglah hari ini ia belum harus melakukan apapun berkaitan dengan project biografi Magdalena Soedibyo. Maka itu, setelah melepas sepatu dan baju yang ia pakai sejak kemarin untuk menghadiri meeting, Lana langsung menggantinya dengan kaos usang kedodoran kesayangannya, dan merebahkan diri.Ketika mata Lana mulai hendak terpejam, ponsel di dalam tasnya berbunyi memberi tanda ada pesan yang masuk. Dengan malas, Lana merogoh ke dalam tasnya, mengambil ponselnya, membuka pesan sambil berbaring.&
Sore yang panas. Lana tengah duduk di depan meja tulis di dalam kamarnya, bersama laptop, sebuah buku catatan penuh coretan, pena dan sewadah camilan di sebelahnya. Sebotol air dingin tampak mengembun menyegarkan pandangan mata dan suasana panas di pukul tiga sore itu.Lana sedang fokus memeriksa kerangka tulisan dan observasi serta wawancara yang akan dilakukannya untuk project biografi Magdalena Soedibyo. Lana melakukan perbaikan tentang beberapa metode dan kerangka yang sudah ia susun sebelumnya, untuk disesuaikan dengan rencana Rei mengajak Lana di setiap sesi foto yang Rei lakukan untuk Magdalena. Karena perubahan rencana tersebut, tentu saja Lana harus mengubah time table dan metode yang sebelumnya sudah ia susun mengacu pada tenggat yang sudah ditentukan.Nantinya, Lana akan melakukan wawancara seputar kisah hidup Magdalena, tentang kisah cintanya, keluarga, karir, hingga hal-hal yang menjadi favorit Magdalena. Selain itu, Magdalena j
Cinta?Pukul 6 pagi, Lana mengerjap-ngerjapkan matanya sembari tetap meringkuk nyaman dalam rengkuhan Arga yang memeluknya dari belakang semalaman. Tidak ada percintaan panas membara semalam, hanya pelukan dan pembicaraan santai tentang hari-hari yang dilalui serta rencana bepergian di hari libur. Sempat Lana bergerak memberikan kode agar mereka bercinta. Tapi Arga justru menarik selimut ke arah tubuh mereka berdua dan memeluk Lana dengan nyaman hingga mereka tertidur pulas. Lana sempat merasa aneh, sebab malam-malam mereka hampir selalu dilalui dengan gelora percintaan yang panas membara sepanjang waktu. Tapi semalam sungguh berbeda, dan perbedaan itu seperti mendentingkan dawai yang berbeda pula dalam hati Lana.Ada sesuatu yang sebelumnya tak pernah tersentuh, dan semalam Arga pun menyentuhnya dengan teramat sangat lembut. Itulah sebabnya Lana bergetar dan menangis saat Arga memasangkan gelang berhiaskan kompas mungil berwarna perak
Test PackLana memegang test pack yang baru saja ia celupkan ke dalam urin paginya. Lana tengah menanti garis itu muncul. Dalam hatinya, ia sudah pasrah apapun hasil yang akan muncul. Jika memang ia hamil, maka ia akan menjalani kehamilannya dan menerima kehadiran anak itu, buah cintanya dengan Arga. Entah bagaimana pun reaksi Arga nantinyaTiga puluh detik waktu untuk menanti hasil test pack itu, entah kenapa terasa sangat lama. Terduduk di atas closet, Lana menarik napas panjang, membuka matanya dan membalik test pack yang ia pegang dalam posisi indikator menghadap ke bawah.Satu garis.Negatif. Lana tidak hamil.Lana menghembuskan napasnya. Di satu sisi ia lega, namun anehnya, di sisi lain ada rasa kecewa yang ia tak pahami sebab kehadirannya.Lana menyeka titik air yang terbit di kedua matanya. Ia bangkit da
Lana memicingkan matanya yang diterpa sinar matahari pagi. Garis-garis cahaya menerobos lewat tirai jendela, menyapu sebagian kamarnya, juga wajahnya yang lengket dan bahunya yang terbuka.Ia melirik jam dinding, pukul 7 lewat 30 menit. Lana menghela napas lega. Bersyukur bahwa kelelahan semalam tidak membuatnya terlambat menghadiri janji meeting pukul 10 di kantor penerbit yang akan menyewa jasanya selama beberapa bulan ke depan. Jika penerbit tersebut ternyata cocok dengan kinerja Lana, bukan tidak mungkin mereka akan mempekerjakan Lana secara tetap sebagai editor.Ini adalah kesempatan bagi Lana untuk melebarkan sayapnya di dunia kepenulisan. Setelah lulus S1 Sastra Indonesia sekitar 6 bulan yang lalu, akhirnya ia mendapatkan peluang menarik ini. Maka itu, ia benar-benar mempersiapkan diri agar tidak terlambat menghadiri meeting project di mana ia direkrut sebagai penulis bayangan untuk seorang aktris yang ingin menulis biografi dirinya.
Lana bergegas melintasi halaman parkir kantor penerbitan usai Arga menurunkannya dan berlalu dengan Vespa maticnya menuju coffee shop tempat ia bekerja sebagai barista. Beberapa kali ia menyisir rambut panjangnya yang masih setengah basah dengan tangan karena khawatir rambutnya tampak kusut sebab tadi ia terburu-buru berangkat dalam kondisi rambut yang belum kering benar.Sesampai di lobby kantor, Lana langsung menghampiri meja resepsionis dan mengutarakan maksud kedatangannya. Petugas resepsionis yang ramah itu kemudian mengarahkan Lana untuk menuju ke lantai dua, ke ruangan meeting yang sudah dipersiapkan untuk meeting project bersama sang aktris dan tim kerja lainnya pagi ini.Lana bergegas menaiki tangga menuju lantai 2. Di ujung tangga, sebelum berbelok menuju ruang meeting, ia menghentikan langkah sejenak di depan sebuah cermin besar dan merapikan dandanannya.Hari ini Lana tampak manis dan cerdas dengan setelan to
Lana melepas helmnya dan menyerahkannya pada driver ojol. Setelah memastikan layanan telah terbayar melalui aplikasi dan mengucapkan terima kasih pada sang driver, Lana berlalu memasuki pintu coffee shop tempat Arga bekerja, sekaligus tempat ia akan meet up dengan Bian, sahabatnya.Suasana di dalam coffee shop belum terlalu ramai di siang hari begini. Dari kejauhan terlihat Arga di balik meja bar tengah beraksi menyiapkan pesanan pelanggan.Lana berjalan mendekati arah bar menghampiri Arga, karena Bian belum datang."Mas, saya pesan caramel frappe iced-nya satu ya, manisnya cukupan aja. Soalnya lebih manis senyum masnya," goda Lana pada Arga yang agak terkejut atas kedatangan Lana yang tiba-tiba."Baik Mbak, senyum saya ditambahkan terpisah atau tidak?" canda Arga menimpali godaan Lana sebelumnya."Jangan dipisah, Mas. Dipisah itu sakit," tawa Lana tak tahan dengan gombalannya se