Lana bergegas melintasi halaman parkir kantor penerbitan usai Arga menurunkannya dan berlalu dengan Vespa maticnya menuju coffee shop tempat ia bekerja sebagai barista. Beberapa kali ia menyisir rambut panjangnya yang masih setengah basah dengan tangan karena khawatir rambutnya tampak kusut sebab tadi ia terburu-buru berangkat dalam kondisi rambut yang belum kering benar.
Sesampai di lobby kantor, Lana langsung menghampiri meja resepsionis dan mengutarakan maksud kedatangannya. Petugas resepsionis yang ramah itu kemudian mengarahkan Lana untuk menuju ke lantai dua, ke ruangan meeting yang sudah dipersiapkan untuk meeting project bersama sang aktris dan tim kerja lainnya pagi ini.
Lana bergegas menaiki tangga menuju lantai 2. Di ujung tangga, sebelum berbelok menuju ruang meeting, ia menghentikan langkah sejenak di depan sebuah cermin besar dan merapikan dandanannya.
Hari ini Lana tampak manis dan cerdas dengan setelan tote bag, sneakers, celana pensil warna hitam, t-shirt putih dan jaket jeans. Tak jauh berbeda dengan penampilan sehari-harinya saat ke kampus dulu. Bedanya, pagi ini ia memulaskan make up tipis agar tampak lebih profesional.
Setelah yakin akan penampilannya, Lana kembali melangkah menuju ruang meeting.
Suasana masih sepi. Belum ada seorang pun peserta meeting selain Lana di ruangan itu. Lana pun memutuskan duduk di sebuah sofa di luar ruang meeting.
Lana melihat jam tangannya. Pukul 9 lebih 50 menit. Ia datang lebih awal dari jadwal seharusnya. Lana tersenyum lega sebab pergumulan panas semalam yang melelahkan namun sangat memuaskan bersama Arga ditambah bonus pagi tadi tidak membuatnya terlambat hadir di meeting penting pagi ini.
Sejenak Lana tersenyum-senyum mengingat lintasan peristiwa yang dilaluinya bersama Arga dalam 12 jam terakhir.
Ah... Arga. Desah Lana dalam hati. Membayangkan Arga memang selalu berhasil membuat tubuh Lana berdesir.
Tiba-tiba sebuah suara membuyarkan lamunan Lana.
"Permisi, Mbak, ini Mbak Lana yang penulis itu ya? Mohon maaf, meetingnya diundur sekitar satu jam, karena Ibu Magda masih ada syuting live mendadak, Mbak. Oh ya, Saya Diah, sekretaris Pak Tyo. Pak Tyo sedang dalam perjalanan menuju ke kantor..." jelas perempuan itu ramah.
Lana mengangguk-angguk mendengar penjelasan Diah, sekretaris yang ayu dan ramah itu.
"Tidak masalah, Mbak Diah. Saya bisa tunggu di sini," jawab Lana sopan.
"Baik, Mbak, tapi tadi saya sebenarnya mau menginformasikan kalau ada coffee break area di ujung sana. Silakan jika ingin menikmati kopi, teh atau snack sembari menunggu..." jelas Diah sembari menunjuk ke suatu arah.
Lana tersenyum dan menyambut tawaran sekretaris Pak Tyo itu. Mereka pun berjalan menuju ke ruangan coffee break yang dimaksud sambil mengobrol ringan.
Sesampainya di ruangan coffee break, Lana melihat ternyata sudah ada beberapa orang yang tiba dan menanti sembari menikmati kopi dan snack yang disediakan oleh kantor penerbit ini. Satu di antara beberapa orang tersebut nampaknya adalah seorang fotografer. Terlihat dari tas kamera dengan merk sebuah kamera terbordir di bagian tali tas yang ia letakkan di atas meja. Laki-laki itu duduk sendirian di sudut ruangan, terlihat asyik dengan ponselnya sembari sesekali menyesap minuman cangkirnya.
Lana memerhatikan lelaki itu dengan seksama. Ia merasa pernah melihat lelaki itu tapi entah di mana. Merasa diperhatikan, lelaki itu mengangkat wajahnya yang sejak tadi fokus terbenam pada ponselnya dan kedua mata mereka pun tak sengaja bertatapan.
Lana merasa salah tingkah sebab tak ingin dianggap lancang telah memandangi orang asing dengan begitu intens. Gadis itupun kembali mengalihkan pandangan ke arah cangkir berisi kopi yang hendak ia seduh dengan air panas. Setelah menyeduhnya, Lana mengaduk kopinya dan bergeser untuk mengambil beberapa potong kudapan yang disediakan di meja saji dan berlalu menuju bangku kosong dekat jendela, agak jauh dari tempat lelaki fotografer tadi duduk.
Lana menyandarkan punggungnya pada kursi, membuka ponsel dan menyeruput kopinya yang masih agak panas. Ia membuka notifikasi W******p. Ada beberapa pesan yang masuk.
Ah, dari Arga.
"Sukses meetingnya, Hon..."
Lana tersenyum membaca pesan di ponselnya. Terlebih membayangkan Arga yang selalu bersikap manis padanya, kapanpun dan di manapun.
Lelaki itu bukanlah kekasih Lana. Mereka saling mengenal dua bulan lalu di coffee shop milik Bayu, kakak tingkat Lana, tempat Arga bekerja. Sifat humoris, hangat dan tentu saja perawakan Arga yang tampan dan atletis dengan rambut gondrong, lesung pipit serta senyum yang lebar mau tak mau membuat Lana menoleh dan menaruh perhatian. Hingga akhirnya mereka pun dekat dan semakin intim baik secara emosional maupun secara fisik. Namun, perihal status, Lana masih selalu menghindar ketika pembicaraan mereka baik saat makan bersama atau di atas ranjang mulai mengarah ke status hubungan. Entahlah, Lana masih enggan dan ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia memang sudah menginginkan komitmen, bukan hanya teman tidur dan bermanja.
Lana mengetik di layar ponselnya, membalas pesan Arga dan memberikannya emotikon kiss, lalu kembali fokus pada kopi dan kudapan di piringnya.
Ketika Lana sedang asyik menyuap makaroni schotel di piringnya, seseorang tiba-tiba berdiri di depan meja Lana. Lana pun mendongak menatap orang tersebut.
"Sendirian? Lagi nunggu meeting biografi Magdalena Soedibyo juga?" Sapa lelaki tersebut. Ternyata lelaki fotografer yang sebelumnya sempat diperhatikan oleh Lana.
Lana mengangguk sopan dan menjawab, "Iya, benar. Mas juga?" jawab Lana sembari menyelesaikan kunyahannya.
Lelaki itu tersenyum ramah dan mengulurkan tangan.
"Saya Rei, saya juga terlibat di project yang sama. Kita satu tim," ujar lelaki bernama Rei itu.
Lana berdiri menyambut uluran tangan Rei dan menjabatnya.
"Saya Lana, shadow writer untuk biografi Ibu Magda..." ujar Lana memperkenalkan diri.
Lelaki itu mengangguk-angguk. Kemudian memberi kode pada bangku kosong di depan Lana. Meminta ijin untuk bergabung di meja Lana. Lana pun mempersilakannya.
Samar, aroma parfum bernuansa aquatic semilir memasuki indera penciuman Lana. Aroma parfum lelaki bernama Rei itu.
"Mas Rei handle apa di project ini?" tanya Lana sembari mengamati Rei. Ia sebenarnya sudah mempunyai tebakan bahwa Rei adalah fotografer, tapi untuk mengisi kekosongan pembicaraan, ia pun memutuskan untuk bertanya sekaligus membuka percakapan.
"Saya yang nanti bertugas mengambil foto session ibu Magda untuk dimuat dalam buku," jelas Rei.
Lana mengangguk-angguk, "Oh... Fotografer..." gumam Lana seperti membenarkan dugaannya sejak tadi.
"Lana sudah sering kerja bareng Equator?" Tanya Rei sembari melanjutkan menyesap kopinya.
Lana menggeleng. "Belum, ini baru pertama. Kapan hari dapat info soal project ini, lalu mencoba untuk submit application dan portfolio, eh ternyata rejeki..." jawab Lana.
"Fresh graduate, ya? Sebelumnya emang suka nulis?" Tanya Rei
"Iya, fresh graduate 6 bulan lalu... Dan Iya, suka dan sering menulis," jawab Lana sopan. "Kalau Mas Rei? Udah sering ya, kerja bareng Equator?" Tanya Lana.
"Cukup sering. Kebetulan Roy teman saya waktu kuliah di Yogya," jelas Rei.
"Oooh..." Lana mengangguk-angguk.
Mereka kemudian semakin larut dalam obrolan sembari mengisi waktu menunggu. Obrolan berjalan renyah sebab Rei ternyata juga penggemar sastra, hal yang menjadi bidang Lana. Mereka berdua membicarakan karya-karya sastra yang pernah dibaca sambil sesekali melontarkan canda, hingga tak terasa satu jam pun berlalu dan meeting akan segera dimulai.
***
Suasana meeting berjalan lancar dan kondusif. Magdalena Soedibyo, aktris senior yang terkenal di era 70-80an itu sangat kooperatif dan rendah hati pada seluruh team. Team yang lain pun berhasil mempresentasikan rencana kerja masing-masing dengan lancar dan gemilang, termasuk Lana.
Dari hasil meeting siang itu diketahui bahwa Lana akan banyak bekerja bersama Tyas, editor senior Equator, Dani, layouter, dan Rei, fotografer yang akan melakukan foto session untuk Magdalena.
Lana sedang tersenyum puas sembari membereskan laptop, buku catatan dan alat tulisnya di atas meja. Ketika tiba-tiba sesosok anggun nan bersahaja yang masih sangat ayu di usia senja ya itu menghampirinya.
"Mbak Lana, semoga kerjasama kita lancar, ya..." ucap ramah Magdalena Soedibyo sembari merengkuh pundak Lana dan mengusap-usapnya penuh rasa keibuan. Lana merasa rikuh dan gugup dipeluk oleh aktris senior yang dari kecil sering ia dengar namanya melalui ibu dan bude-budenya di rumah, dulu.
"Saya ini sebenarnya banyak ide, tapi selama ini cuma ada di kepala, muter-muter aja terus di situ, bingung nulisnya. Makanya saya senang banget waktu Pak Roy bilang sudah mendapatkan penulis bayangan buat ide-ide saya itu..." ujar wanita ayu tersebut.
Lana menunduk hormat pada sang aktris senior. Ada aura wibawa dan keanggunan yang sangat besar dari diri sang aktris yang membuat Lana merasa segan, kagum, sekaligus nyaman dengan perlakuan Magdalena pada seluruh tim, termasuk dirinya. Aura tersebut bukan lahir dari Gaya berpakaian atau merk fashion yang ia kenakan, namun dari dalam diri sang aktris yang sangat bersahaja jika mengingat kiprahnya yang sudah sangat luar biasa di bidang seni peran tanah air.
"Saya akan berusaha semaksimal mungkin mewujudkan gagasan-gagasan Ibu, Ibu Magda. Mohon bimbingannya, saya masih pemula, " ucap Lana.
Magdalena menggelengkan kepala.
"Jangan karena saya sudah tua kamu lantas berpikir saya lebih tahu segalanya dari kamu, Mbak Lana. Buktinya di sini kan saya yang butuh bantuan kamu," jawabnya rendah hati.
Lana tertawa sopan.
"Iya, Ibu. Kita akan bekerja sama dengan baik," tukasnya.
"Nah itu maksud saya. Kerjasama, komunikasi, saling menghargai, itulah kunci keberhasilan sebuah tim," ujar Magdalena penuh semangat. Perempuan berkebaya itu tampak puas bahwa Lana memahami apa yang ia maksudkan.
Tiba-tiba sosok Rei muncul dari belakang, mendekat ke arah mereka berdua. Magdalena menyambutnya dengan ramah.
"Nah kebetulan ini, Mas Rei ikutan gabung..." ujar Magdalena sembari memberikan ruang di antara dirinya dan Lana. Magdalena pun merenggangkan pelukannya pada Lana dan Rei berdiri di antara mereka berdua. Aroma aquatic itu kembali memenuhi indera penciuman Lana.
Rei tersenyum-senyum dengan sambutan Magdalena.
"Mbak Lana, Mas Rei ini sebenarnya sudah saling mengenal dengan saya sebelumnya. Beliau yang waktu itu urus prewedding anak sulung saya, hingga foto saat resepsi... Mas Rei juga pernah mengerjakan sesi foto keluarga saya... Dan karena saya suka hasil kerjanya, saya minta Pak Tyo agar fotografer untuk buku ini adalah pilihan saya sendiri. Eh kok, kebetulan Mas Rei ternyata teman Pak Tyo juga... Rasanya kok semua di project ini serba pas, begitu..." cerocos Magdalena penuh semangat.
Rei tertawa kecil sembari menunduk.
" Kalau kata anak muda, 'mestakung', Bu, semesta mendukung, " ujar Rei.
Magdalena tertawa renyah. " Iya, semoga begitu ya, Mas Rei dan Mbak Lana... " ujarnya.
Obrolan pada momen itu bergulir dengan menyenangkan, terlebih bagi Lana yang berada di pengalaman pertamanya bekerjasama secara profesional. Hal ini begitu berharga untuk Lana sebab ia langsung mendapatkan kesempatan bekerja bersama orang-orang hebat dan rendah hati seperti Magdalena dan seluruh team yang ada.
Dari obrolan itu, Lana kemudian mengetahui bahwa saat Magdalena melakukan sesi fotonya bersama Rei, kemungkinan ia juga harus sering terlibat. Hal ini dimaksudkan untuk efisiensi waktu, agar Lana sekaligus bisa melakukan wawancara dan bertukar pikiran dengan Magdalena, juga mengamati situasi di ruang-ruang pribadi Magdalena, seperti rumah dan tempat-tempat yang berkesan bagi Magdalena nantinya, untuk dijadikan bahan pendalaman karakter Magdalena yang harus ditulis oleh Lana. Itu adalah saran Rei yang langsung disepakati oleh Magdalena.
Ketika sesi meeting benar-benar berakhir dan seluruh team termasuk Magdalena sudah meninggalkan ruangan, Lana pun bergegas menuruni tangga untuk keluar dari kantor Equator Publishing. Tetapi ternyata Rei mengikutinya. Lelaki itu memanggil Lana yang sudah bersiap mendorong pintu kaca.
"Langsung pulang?" tanya Rei.
Lana menggeleng. "Enggak, Mas Rei. Saya mau mampir ke tempat teman saya dulu," jawab Lana jujur. Sebab setelah ini ia memang berencana mampir ke coffee shop tempat Arga bekerja, sekaligus meet up dengan Bian, sahabatnya sejak kuliah hingga kini.
"Oh, gitu. Tadinya sih mau ajak makan siang gitu, sambil ngobrol-ngobrol santai soal tulis-menulis," ujar Rei.
Lana membulatkan mulutnya. Entah mengapa ia jadi merasa bimbang antara menerima ajakan Rei, Pria Se-team kerjanya ini atau sesuai rencana awal.
"Menarik sebenarnya ya, Mas. Tapi Lana sudah terlanjur janjian sama teman lama dan sudah tertunda berkali-kali," jelas Lana setengah tidak yakin pada dirinya sendiri.
Rei mengibaskan tangannya. "It's alright. Penuhi aja appointment Sama teman kamu itu, kita akan sering ketemu juga kan, ke depan," jawab Rei sambil tersenyum.
Lana mengangguk lega. Ia selalu merasa lega tatkala orang lain bisa membantunya memutuskan sesuatu yang membuat ia bimbang. Bagi Lana, hal semacam itu lebih membebaskannya dari rasa bersalah atau mengecewakan orang lain.
"Oh ya, boleh save nomor handphone kamu? Biar nanti mudah kalau kita mau koordinasi soal pekerjaan ke depannya," pinta Rei kemudian sembari menyodorkan ponsel miliknya. Lana pun menerimanya dan mengetikkan nomor handphonennya di ponsel Rei.
"Nanti Mas Rei WA aku, ya... Biar aku bisa save juga," ujar Lana sambil menyerahkan kembali ponsel milik Rei.
Rei tersenyum puas. "Okay, langsung aku chat ini..." ujarnya sembari membuka aplikasi W******p.
"Kalau gitu Lana duluan ya, Mas, tadi udah pesan ojol, kayaknya udah dateng juga, tuh," pamit Lana.
Rei mengangguk dan tersenyum.
"Okay, Lana. Hati-hati, ya... Sampai ketemu lagi," ujarnya sambil membukakan pintu kaca untuk Lana.
Lana pun melangkah melewati ruang di antara lengan Rei dan pintu kaca yang ditahan olehnya. Aroma aquatic itu lagi. Lana jadi semakin hapal dengan parfum itu.
"Thank you, Mas Rei. See you...!" ujar Lana sembari melambaikan tangan dan berlalu ke arah parkiran.
Di sepanjang jalan menuju coffee shop, entah kenapa Lana beberapa kali tersenyum sendiri mengingat momen-momen yang terjadi sepanjang hari ini.
***
Lana melepas helmnya dan menyerahkannya pada driver ojol. Setelah memastikan layanan telah terbayar melalui aplikasi dan mengucapkan terima kasih pada sang driver, Lana berlalu memasuki pintu coffee shop tempat Arga bekerja, sekaligus tempat ia akan meet up dengan Bian, sahabatnya.Suasana di dalam coffee shop belum terlalu ramai di siang hari begini. Dari kejauhan terlihat Arga di balik meja bar tengah beraksi menyiapkan pesanan pelanggan.Lana berjalan mendekati arah bar menghampiri Arga, karena Bian belum datang."Mas, saya pesan caramel frappe iced-nya satu ya, manisnya cukupan aja. Soalnya lebih manis senyum masnya," goda Lana pada Arga yang agak terkejut atas kedatangan Lana yang tiba-tiba."Baik Mbak, senyum saya ditambahkan terpisah atau tidak?" canda Arga menimpali godaan Lana sebelumnya."Jangan dipisah, Mas. Dipisah itu sakit," tawa Lana tak tahan dengan gombalannya se
"Ugghh..." Arga menarik tubuhnya bersandar ke dinding, sementara Lana tetap membiarkan tubuhnya telungkup di atas tubuh Arga. Rambut panjang itu terurai dan sebagian berantakan di atas dada telanjang Arga. Sinar kuning lampu tidur di kamar kos Arga menerangi tubuh mereka berdua, menghadirkan kilau dramatis pada kilap kulit mereka yang berkeringat.Tangan kanan Arga menggapai-gapai meja kecil di samping tempat tidur, mencari sesuatu. Setelah menemukan apa yang dicarinya, ia pun menyalakannya. Arga mengangkat wajahnya agak ke samping agar percikan api tak mengenai rambut Lana. Sebatang rokok telah dinyalakan. Arga mengisap dan mengembuskannya tenang, sementara tangan kirinya membelai-belai rambut hitam Lana.Nyaman. Itu yang Lana rasakan. Setelah pergumulan mesra dan pelepasan yang hangat, berdiam di atas tubuh Arga dengan pikiran yang kosong dan tubuh yang terasa ringan adalah sesuatu yang Lana suka. Kadang lebih ia sukai dari kegiatan bercin
Lana melambaikan tangan usai Arga mengantarnya sampai di depan kos. Hari ini Lana berencana untuk menikmati hari dengan tidur sepuasnya, setelah babak-babak percintaannya di kos Arga sejak semalam hingga tadi saat mandi pagi, ditambah episode deraian air mata yang membuat matanya terasa perih dan bengkak membuatnya tak berminat lagi melakulan aktivitas berat hari ini.Lana membuka pintu kamar kosnya dan segera menghambur ke atas tempat tidurnya. Untunglah hari ini ia belum harus melakukan apapun berkaitan dengan project biografi Magdalena Soedibyo. Maka itu, setelah melepas sepatu dan baju yang ia pakai sejak kemarin untuk menghadiri meeting, Lana langsung menggantinya dengan kaos usang kedodoran kesayangannya, dan merebahkan diri.Ketika mata Lana mulai hendak terpejam, ponsel di dalam tasnya berbunyi memberi tanda ada pesan yang masuk. Dengan malas, Lana merogoh ke dalam tasnya, mengambil ponselnya, membuka pesan sambil berbaring.&
Sore yang panas. Lana tengah duduk di depan meja tulis di dalam kamarnya, bersama laptop, sebuah buku catatan penuh coretan, pena dan sewadah camilan di sebelahnya. Sebotol air dingin tampak mengembun menyegarkan pandangan mata dan suasana panas di pukul tiga sore itu.Lana sedang fokus memeriksa kerangka tulisan dan observasi serta wawancara yang akan dilakukannya untuk project biografi Magdalena Soedibyo. Lana melakukan perbaikan tentang beberapa metode dan kerangka yang sudah ia susun sebelumnya, untuk disesuaikan dengan rencana Rei mengajak Lana di setiap sesi foto yang Rei lakukan untuk Magdalena. Karena perubahan rencana tersebut, tentu saja Lana harus mengubah time table dan metode yang sebelumnya sudah ia susun mengacu pada tenggat yang sudah ditentukan.Nantinya, Lana akan melakukan wawancara seputar kisah hidup Magdalena, tentang kisah cintanya, keluarga, karir, hingga hal-hal yang menjadi favorit Magdalena. Selain itu, Magdalena j
Cinta?Pukul 6 pagi, Lana mengerjap-ngerjapkan matanya sembari tetap meringkuk nyaman dalam rengkuhan Arga yang memeluknya dari belakang semalaman. Tidak ada percintaan panas membara semalam, hanya pelukan dan pembicaraan santai tentang hari-hari yang dilalui serta rencana bepergian di hari libur. Sempat Lana bergerak memberikan kode agar mereka bercinta. Tapi Arga justru menarik selimut ke arah tubuh mereka berdua dan memeluk Lana dengan nyaman hingga mereka tertidur pulas. Lana sempat merasa aneh, sebab malam-malam mereka hampir selalu dilalui dengan gelora percintaan yang panas membara sepanjang waktu. Tapi semalam sungguh berbeda, dan perbedaan itu seperti mendentingkan dawai yang berbeda pula dalam hati Lana.Ada sesuatu yang sebelumnya tak pernah tersentuh, dan semalam Arga pun menyentuhnya dengan teramat sangat lembut. Itulah sebabnya Lana bergetar dan menangis saat Arga memasangkan gelang berhiaskan kompas mungil berwarna perak
Test PackLana memegang test pack yang baru saja ia celupkan ke dalam urin paginya. Lana tengah menanti garis itu muncul. Dalam hatinya, ia sudah pasrah apapun hasil yang akan muncul. Jika memang ia hamil, maka ia akan menjalani kehamilannya dan menerima kehadiran anak itu, buah cintanya dengan Arga. Entah bagaimana pun reaksi Arga nantinyaTiga puluh detik waktu untuk menanti hasil test pack itu, entah kenapa terasa sangat lama. Terduduk di atas closet, Lana menarik napas panjang, membuka matanya dan membalik test pack yang ia pegang dalam posisi indikator menghadap ke bawah.Satu garis.Negatif. Lana tidak hamil.Lana menghembuskan napasnya. Di satu sisi ia lega, namun anehnya, di sisi lain ada rasa kecewa yang ia tak pahami sebab kehadirannya.Lana menyeka titik air yang terbit di kedua matanya. Ia bangkit da
Lana memicingkan matanya yang diterpa sinar matahari pagi. Garis-garis cahaya menerobos lewat tirai jendela, menyapu sebagian kamarnya, juga wajahnya yang lengket dan bahunya yang terbuka.Ia melirik jam dinding, pukul 7 lewat 30 menit. Lana menghela napas lega. Bersyukur bahwa kelelahan semalam tidak membuatnya terlambat menghadiri janji meeting pukul 10 di kantor penerbit yang akan menyewa jasanya selama beberapa bulan ke depan. Jika penerbit tersebut ternyata cocok dengan kinerja Lana, bukan tidak mungkin mereka akan mempekerjakan Lana secara tetap sebagai editor.Ini adalah kesempatan bagi Lana untuk melebarkan sayapnya di dunia kepenulisan. Setelah lulus S1 Sastra Indonesia sekitar 6 bulan yang lalu, akhirnya ia mendapatkan peluang menarik ini. Maka itu, ia benar-benar mempersiapkan diri agar tidak terlambat menghadiri meeting project di mana ia direkrut sebagai penulis bayangan untuk seorang aktris yang ingin menulis biografi dirinya.