Share

The X-Matter

Lana melepas helmnya dan menyerahkannya pada driver ojol. Setelah memastikan layanan telah terbayar melalui aplikasi dan mengucapkan terima kasih pada sang driver, Lana berlalu memasuki pintu coffee shop tempat Arga bekerja, sekaligus tempat ia akan meet up dengan Bian, sahabatnya.

Suasana di dalam coffee shop belum terlalu ramai di siang hari begini. Dari kejauhan terlihat Arga di balik meja bar tengah beraksi menyiapkan pesanan pelanggan.

Lana berjalan mendekati arah bar menghampiri Arga, karena Bian belum datang.

"Mas, saya pesan caramel frappe iced-nya satu ya, manisnya cukupan aja. Soalnya lebih manis senyum masnya," goda Lana pada Arga yang agak terkejut atas kedatangan Lana yang tiba-tiba.

"Baik Mbak, senyum saya ditambahkan terpisah atau tidak?" canda Arga menimpali godaan Lana sebelumnya.

"Jangan dipisah, Mas. Dipisah itu sakit," tawa Lana tak tahan dengan gombalannya sendiri.

Arga mencubit gemas hidung Lana dan segera menyiapkan minuman yang dipesan oleh gadis yang membuatnya tergila-gila itu.

Dengan cekatan, Arga beraksi mencampurkan espresso, susu dan sirup caramel, mengocoknya dengan es, lalu  menyemprotkan whipped cream sebagai toppingnya. Lana hampir tak berkedip memerhatikan segala aksi Arga dengan seksama. Otot-otot lengan yang menyembul dari balik kaos, alis yang bertaut ketika sedang berkonsentrasi mencampur aneka bahan, lesung pipit yang kadang nampak ketika ia sedang menjepit bibirnya di tengah itu semua, juga rambut ikal gondrongnya yang sesekali lepas terurai dari ikatan, semua itu menjadi pemandangan penuh pesona sejak awal Lana mengenal sosok Arga.

Arga memang sangat menarik secara fisik. Tinggi tegap, berotot pejal dan berkulit kecokelatan buah dari kesukaannya bertualang di alam bebas, juga sikap hangat, humoris dan tentu saja wajahnya yan begitu tampan. Ketika pertama kali Lana datang ke coffee shop ini, Arga langsung mencuri perhatiannya seketika. Tak ingin buang waktu, Lana pun langsung mengajaknya berkenalan dan bertukar nomor handphone hingga kedekatan mereka bisa menjadi seperti saat ini. Teman bicara, teman bercinta, kadang juga teman bertualang.

Namun, ketika Arga sudah mulai membahas soal status hubungan mereka, Lana selalu menghindar. Gadis itu lebih suka menikmati kebersamaan mereka dengan cara seperti sejauh ini. Saling memenuhi dan menemani secara batin serta menikmati momen yang ada, itu sudah cukup untuk sekarang. Setidaknya bagi Lana. Lagipula, Lana sebenarnya belum yakin, apakah benar yang ia rasakan denan Arga adalah cinta dan perasaan yang nyata, yang layak untuk dipertautkan lebih kuat ke dalam sebuah komitmen. Tidak seperti Arga yang tampaknya sudah sangat siap dan yakin dengan hal tersebut.

Bian, sahabat Lana sudah berkali-kali mengingatkan Lana tentang hal ini. Menyarankan Lana untuk mengakhirinya atau memperjelas hubungannya. Alasan Bian cukup jelas, sebab hubungan tanpa kepastian seperti ini tentu akan menyiksa Arga bila pada akhirnya Lana akan pergi meninggalkannya. Tapi alasan Lana mengapa ia membiarkan segalanya seperti ini saja adalah karena ia tidak bisa sendirian, dan dengan segala hal yang ada, hanya Arga yang mau untuk terus ada untuk Lana, kapanpun Lana membutuhkannya. Baik membutuhkannya secara batin maupun secara fisik, termasuk urusan seks.

Lana memang bukan serang hiperseks. Tetapi ia memiliki kecenderungan untuk terdorong melakukan seks ketika emosinya sedang bergejolak atau mengalami depresi. Selain itu, sebagai seorang  penulis, anehnya Lana justru memiliki kesulitan untuk mengekspresikan rasa lewat kata-kata, dan lebih mudah mengekspresikannya lewat seks. Dan dari semua laki-laki yang pernah ia kenal, hanya Arga yang bisa mengimbangi kecenderungan ini dengan baik. Lana selalu merasa puas dan lega ketika bercinta bersama Arga.

Arga memang kuat dan penuh stamina. Mengingat aktifitasnya di coffee shop yang cuku menyita tenaga, malamnya ia masih saja sanggup bercinta dan membuat kain seprei mereka berhamburan ke lantai. Tak hanya itu saja, Arga juga seseorang yang lembut dan penuh perasaan. Termasuk di atas ranjang, Lana sering merasa ia bisa menjadi sangat liar sekaligus sangat dicintai oleh seorang Arga. Tapi, lagi-lagi ketika pertautan mereka mulai membuka pintu-pintu rasa dalam diri Lana, Lana pun seperti ketakutan dan segera menahan pintu-pintu yang hendak terbuka itu.

"Silakan pesanannya, Kak Lana.." ujar Arga sembari menyodorkan segelas caramel coffe frappe iced pesanan Lana. Lana pun tersentak dari lamunannya mengenang perkenalannya dan kedekatannya dengan Arga.

Lana menyambut caramel coffee frappe pesanannya dengan sukacita dan segera menyesapnya dengan nikmat. Arga menyilangkan tangannya di atas meja bar sembari memandangi Lana yang tengah asyik menikmati caramel frappe-nya dengan tatapan penuh rasa sayang.

Mengenal Lana, bagi Arga adalah suatu kebahagiaan dalam hidupnya. Bukan karena gadis itu mau ia ajak bercinta, atau lebih tepatnya secara berani dan terbuka sering mengajaknya bercinta, tapi karena segala dalam diri Lana, termasuk ketakutan, keresahan sekaligus keberaniannya dalam kehidupan lah yang membuat Arga ingin menjadi seseorang yang terus ada bagi Lana kapanpun dan dalam situasi apapun.

Tetapi, hingga bulan ke-lima mereka dekat dan sering menghabisi malam hingga pagi bersama, Lana masih saja menghindar ketika Arga mulai membuka topik tentang kelanjutan dan status hubungan mereka. Arga tak ingin mendesak, karena ia ingin Lana benar-benar siap dan sadar akan pilihannya ketika akhirnya mereka memutuskan bersama. Pertimbangan Arga sebenarnya sederhana saja, mengapa ia ingin membuat hubungan yang jelas dengan Lana memiliki tiga alasan utama.

Yang pertama, Arga memang lelaki yang berpandangan sederhana, tidak rumit dan praktis. Jika ia dan orang yang dicintainya memang sudah sama-sama merasa klik dan memandang ke arah yang sama, mengapa tidak berjalan saja ke arah komitmen yang lebih kuat? Toh Arga sangat yakin, dalam hidup ini ia hanya membutuhkan satu perempuan saja untuk berjalan beriringan dengannya. Alasan kedua, usai segala hal yang telah mereka lalui bersama, termasuk berepisode-episode percintaan yang panas dan membara itu, Arga merasa, orang seperti Lana lah yang ia cari dan sesuai dengannya. Yang dinamis dan mampu mengimbangi hal-hal dalam dirinya. Yang ketiga, Arga sadar betul bahwa salah satu konsekuensi dari berepisode-episode percintaan panas mereka adalah kehamilan. Meskipun mereka selalu berhati-hati dan bermain aman, Arga tidak ingin lalai dari kemungkinan tersebut dan membiarkan Lana menanggung konsekuensinya seorang diri. Maka itu, meski tidak ingin memaksa, Arga bertekad akan terus berusaha meyakinkan Lana, hingga Lana benar-benar mengatakan jawabannya. Iya atau tidak, itu saja.

Lana masih menikmati caramel frappe-nya ketika seseorang menepuk pundaknya. Ternyata Bian, sahabatnya sudah datang. Setelah saling melepas rindu dengan berpelukan cukup lama, Bian menyapa Arga dan keduanya kemudian memutuskan untuk berpindah meja agar bisa menikmati quality time berdua.

***

"Duuuh... yang sulit banget ditemuin... Ena-ena terus yaaa kerjaannya sekarang sama si abang..." seloroh Bian dengan gaya cablaknya yang membuat beberapa pengunjung jadi menoleh ke arah mereka. Panik, Lana berusaha membungkam mulut Bian, namun Bian lebih tangkas untuk menghindar.

"Eh, gila, ya! Lama nggak ketemu bisa-bisanya kamu ngawur gitu di tempat umum! Orang-orang di sini banyak yang tahu kaliii aku sama Arga tuh dekat..." panik Lana dengan suara tertahan.

Bian terkekeh melihat sahabatnya yang panik. "Ya kalau banyak yang udah tahu, kenapa harus panik? Emang orang ena-ena sama pacarnya sendiri salah?" cerocos Bian tak mau kalah.

Lana mengusap-usap wajahnya frustrasi."Ya nggak salah jugaaa.... Tapi masalahnya, aku sama Arga kan belum resmi juga pacaran..." jelas Lana sebal.

Bian menggeleng-gelengkan kepalanya dan berdecak gemas pada Lana.

"Belum jelas juga nih, jadinya? Mau nunggu bayi kalian lahir dulu baru dibikin jelas?" kejar Bian yang sudah hapal watak sahabatnya itu.

"Bukan gitu, Biancaaa... kamu tahu kan aku tuh punya kesulitan berurusan sama komitmen kayak gitu. Ada banyak hal yang harus aku pertimbangkan. Terutama ketakutanku sendiri sama hubungan kayak gitu. Lagian aku belum nemu 'X-matters' yang bikin aku bener-bener yakin buat ke sana," jelas Lana panjang lebar.

"X-men apaan sih? Mau pacaran dan kawin aja urusannya pakai bawa-bawa X-men segala..." seloroh Bian.

Lana tertawa mendengar ucapan Bian dan mengacak-acak rambut pixie berwarna tosca milik Bian dengan gemas.

"Kamu tuh yang X-men! Aku bilang 'X-matters', bukan X-men. Belum nemu alasan dan momentum yang bikin aku yakin aja, Bi... Nggak mesti hal-hal yang bisa dilogikain kalau ngomong soal X-matters..." jelas Lana sembari mengaduk-aduk caramel frappe-nya.

Sesaat obrolan mereka terhenti karena Arga tiba-tiba muncul dengan secangkir flores bajawa pesanan Bian. Bian pun mengucapkan terima kasih sembari menggoda Lana dengan pura-pura mengerling dan bersikap ganjen pada Arga. Lana hanya tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir dengan kelakuan sahabatnya itu.

Arga pun kemudian berlalu kembali ke balik meja bar tempat ia bekerja.

Bian menambahkan dua sendok kecil brown sugar ke dalam flores bajawanya, mengaduk dan menghirup aroma wangi kopi favoritnya itu.

"Jujur aja aku nggak ngerti pertimbanganmu, Lana. Arga tuh, baik iya. Ganteng, jelas. Pekerja keras, iya. Kamu juga kayaknya nyaman banget kalau di dekat dia. Kenapa lagiii... Apa yang salah sampai kamu biarin dia tanpa kejelasan gini?" gemas Bian. Kali ini serius, sebab nada suaranya mulai merendah.

Lana yang duduk berhadapan dengan Bian mengulurkan kedua tangannya ke lengan Bian. Memegang kedua lengan sahabatnya dan menatapnya baik-baik. "X-matters, Bi. Momentum yang bikin aku yakin bahwa emang dia orangnya, itu yang belum ada," jelas Lana pada Bian.

Lana menyadari, pembicaraan soal dirinya dan Arga bersama Bian akan selalu bertemu titik seperti ini. Titik di mana sahabatnya itu tak memahami beberapa pemikiran Lana soal alasannya tak kunjung memberikan kejelasan hubungan atau memberi judul hubungan mereka.

Lana memang selalu memiliki kesulitan untuk memutuskan sesuatu yang melibatkan orang lain karena ketakutan akan membuat orang tersebut terluka atau kecewa. Ia lebih suka orang lain yang memutuskan hal-hal untuk bersama, sebab itu akan menjauhkannya dari rasa bersalah jika ada apa-apa di kemudian hari. Tapi untuk kisahnya bersama Arga, Lana ingin mencoba menantang dirinya sendiri untuk membuat keputusan bersama.

Namun permasalahannya, 'X-matters' yang selama ini Lana percaya menjadi inner guide untuk dirinya dalam memutuskan hal-hal dalam hidup memang belum muncul selama hubungannya dengan Arga sudah semakin dekat dan lekat. Jika diminta untuk menjelaskan apakah X-matters yang ia maksud itu, Lana sendiri agak kesulitan untuk menjelaskannya. Yang paling mudah dan mendekati sementara ini adalah menggantinya dengan kata 'momentum'. Itupun masih sulit diterima oleh nalar Bianca yang beranggapan bahwa momentum justru bisa terjadi karena diciptakan.

Bianca memang tipikal orang yang praktis. Ia memiliki standar dan kriteria akan beberapa hal dalam hidupnya. Jika Bianca harus membuat suatu pilihan, maka ia akan kembali pada kriteria dan standar yang telah ia bangun berkaitan dengan hal yang harus ia putuskan. Sepraktis itu. Namun tidak demikian halnya  dengan Lana yang memiliki sifat peragu dan sangat mengandalkan rasa, intuisi, dan pertimbangan-pertimbangan lain yang menurut Bianca terlalu rumit. Tapi toh, nyatanya, meski sering berbeda karakter dan pandangan, kedua sahabat itu selalu bisa bersama tanpa merasa lebih benar di atas satu sama lain.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status