01
"Mas, bos kita ngobrol sama siapa, ya?" tanya Ridho, supervisor proyek pembangunan pusat bisnis, di pinggir Kota Bandung.
Seno Argianto menyipitkan mata untuk menajamkan penglihatan. "Kayaknya perempuan, tapi, mukanya nggak jelas. Ketutupan rambut," jawabnya.
"Perempuan?" desak Ridho.
"Hu um."
"Tapi ... di sini nggak ada pekerja perempuan."
Seno terdiam sesaat, lalu dia memandangi pria berkemeja cokelat di sebelah kiri. "Apa itu anak pemilik katering?" tanyanya.
"Bu Lilis nggak punya anak perempuan."
"Mungkin karyawannya."
"Hmm, ya, bisa jadi."
Keduanya meneruskan perbincangan sambil berpindah ke kantor pengelola. Sementara Martin Ragnala masih bercakap-cakap dengan perempuan berbaju Cheongsam merah.
Martin terkejut, karena baru kali itu menemukan orang yang bisa berbahasa Tiociu, bahasa leluhurnya yang berasal dari Cina daratan.
Pengusaha muda peranakan Tionghos itu begitu senang bisa kembali menggunakan bahasa turunan dari pihak ibunya, yang merupakan warga negara Malaysia.
Sekian menit berlalu, perempuan bernama Margaretha Ling Chow berpamitan. Martin mengamati gadis berbadan cukup tinggi dan ramping, yang mengingatkannya akan sosok sang kekasih.
Setelah Margaretha menghilang di balik tumpukan bahan bangunan, Martin memutar tubuh dan jalan menuju kantor pengelola.
Awal malam menjelang dengan rintik hujan yang membasahi bumi. Martin yang telah berada di rumah kontrakan sejak tiga puluh menit silam, baru selesai mandi dan tengah berganti pakaian ketika ponselnya berdering.
Pria berkaus merah berpindah ke dekat meja rias. Dia menyambar benda yang masih berdering, kemudian Martin menekan tanda hijau pada layar ponsel dan mendekatkan benda itu ke telinga kanan.
"Waalaikumsalam," tukas Martin menjawab salam calon istrinya.
"Koko sudah salat?" tanya Yuanna Binazir Oryza.
"Sudah. Kamu?"
"Lagi libur."
"Aku juga pengen libur."
"Ngaco."
Sudut bibir Martin mengukir senyuman. Lupa bila tidak sedang berhadapan dengan perempuan pujaan. "Dek, Kang Hendri, jadi ke Bandung, nggak?" tanyanya.
"Jadi. Jumat dia nyampe, sama Teh Irsha dan keluarga Kartawinata."
"Ahh! Kebetulan. Aku memang pengen ketemu Bang W."
"Ngapain?"
"Nanyain proyek yang di Shanghai itu."
"Oh, ya."
"Kamu sudah makan?"
"Belum."
"Makan, atuh."
"Nanti aja. Ada yang mau kuomongin ke Koko."
"Tentang apa?"
"Bapak nanya, kapan orang tua Koko datang? Mau berembuk, katanya."
"Awal bulan mereka datang sama beberapa tetua keluarga."
"Oke, nanti kusampaikan ke Bapak."
"Dek."
"Hmm?"
"Wǒ de xīn lǐ zhǐyǒu nǐ."
"Aih! Teu ngarti!"
"Masih belum paham juga?"
"Bahasa sana itu rumit."
"Tapi tetap bisa dipelajari."
"Nantilah. Satu-satu. Sekarang aku tengah memperdalam bahasa kalbu. Supaya hati kita tetap menyatu."
"Dek, aku mencair."
Yuanna terkekeh, begitu juga dengan Martin. Setelah tawa mereka lenyap, keduanya melanjutkan percakapan dengan pokok bahasan berbeda.
Martin sama sekali tidak menyadari jika dirinya tengah diperhatikan seseorang yang berdiri di luar jendela, yang gordennya dalam kondisi terbuka sedikit.
***
"Koko Chen. Kemarilah. Ikut denganku," ujar seorang perempuan dari kejauhan. "Koko Chen, kemarilah," ulangnya.
Martin bergerak-gerak di kasur. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, sembari menggumamkan sesuatu.
"Koko Chen, aku sudah menunggumu sejak lama," tukas perempuan tersebut. "Ke sini dan genggam tanganku," pintanya dengan suara serak.
"Hah!" Martin membuka mata dan bangkit duduk. Dia memindai sekitar, tetapi tidak ada seorang pun di dekatnya.
"Astagfirullah. Apa itu tadi?" tanyanya sambil memandangi jendela yang gordennya bergerak tertiup angin dari penyejuk udara.
"Siapa perempuan itu? Kenapa dia manggil aku dengan Koko Chen?" Martin kembali bermonolog. Dia benar-benar penasaran dengan orang yang ada di dalam mimpinya.
Bunyi tarhim terdengar dari masjid terdekat. Martin termangu sejenak, lalu meraih arlojinya dari meja samping kanan kasur. Dia mengecek waktu, kemudian kembali berbaring.
Pria bermata sipit menatap nyalang ke langit-langit. Mimpi yang baru saja dialaminya seolah-olah terasa nyata, dan Martin makin penasaran untuk mengetahui siapa sosok perempuan tadi.
Sementara itu di tempat berbeda, Yuanna juga terbangun. Gadis berusia 25 tahun tersebut memegangi dadanya yang berdegup kencang. Yuanna mengerjap-ngerjapkan mata sembari menyusuri dada untuk memastikan dirinya tidak terluka.
Terbayang kembali pisau berkilat yang menghunjam dadanya. Yuanna bahkan masih merasakan saat benda itu menggores kulitnya, sebelum masuk lebih dalam.
"Astagfirullah," bisik Yuanna. "Mimpimya jelek banget," keluhnya.
Yuanna memerhatikan sekeliling. Kemudian dia mendengkus pelan, sebelum bangkit dan beringsut ke tepi kasur.
Tidak berselang lama, gadis berpiama ungu motif bunga-bunga kecil, telah berada di dapur. Yuanna tertegun menyaksikan sang ibu yang tengah sibuk mengaduk-aduk sesuatu di wajan.
"Ehh, Neng geulis. Tumben, sudah bangun sebelum digedor pintunya?" tanya Zainab sembari melirik putri bungsunya.
"Kebangun tadi. Gara-gara mimpi buruk," terang Yuanna sembari meraih gelas dari laci dan menuangkan air dari teko.
"Mimpi naon?"
"Enggak jelas." Yuanna sengaja merahasiakan mimpinya supaya Zainab tidak kepikiran. "Ibu masak apa?" tanyanya mengalihkan percakapan.
"Bihun goreng. Mau dibawa Bapak ke kebun."
"Bapak itu nggak ada bosan-bosannya ke sana tiap hari."
"Dia menemukan ketenangan di sana."
"Hmm, kayak Akang. Betah banget di saung sana."
"Akangmu itu turunan Bapak. Agak penyendiri."
"Ya. Akang cuma bergaul sama orang yang itu-itu saja. Hanya sedikit orang baru yang dikenalkannya sebagai teman."
"Kamu hari ini jaga di restoran?"
"Enggak. Aku sudah ada janji dengan Teh Divia dan Teh Monica. Kami mau pilates."
"Di tempatnya Zivara?"
"Ya. Bareng sama dia juga. Hanya beda senamnya. Dia senam hamil, kami, uget-uget."
Pagi menjelang dengan hangatnya sinar mentari. Yuanna mengeluarkan motor kesayangan dari garasi, kemudian menyalakan mesin benda itu sembari mengelap body motor Honda CBR 500cc.
Gadis yang mengikat rambutnya sebagian di tengah, bekerja sambil bersenandung lagu slow rock. Meskipun perempuan tulen, tetapi Yuanna bersifat tomboi. Sangat berbeda dengan kakaknya, Fenita, yang feminin.
Arsyad Danantya keluar dari ruang tamu sambil menenteng tas travel merah. Dia membuka pintu mobil SUV abu-abu dan memasukkan tas, lalu dia menyalakan mesinnya.
"Pak, aku pamit," ujar Yuanna sembari mengulurkan tangan kanan.
"Mau ke mana?" tanya Arsyad.
"Fitness." Yuanna menyalami bapaknya dengan takzim. Kemudian dia memandangi lelaki berkaus putih yang balas menatapnya saksama. "Pak, aku ada mimpi nggak enak," bisiknya supaya tidak terdengar sang ibu.
"Nanti kita bahas." Arsyad memegangi lengan kiri anaknya. "Jangan putus zikir. Sepertinya ada sesuatu hal buruk yang berhubungan denganmu," ungkapnya.
Yuanna mengangguk paham. Dia menduga jika Arsyad telah mengetahui tentang mimpinya, tanpa perlu diceritakan lagi.
Arsyad memiliki kemampuan supranatural yang sama kuatnya dengan Hendri. Hal itu diwarisi dari pihak ayahnya yang juga menguasai hal itu.
Hanya garis laki-laki yang mendapatkan kemampuan unik tersebut. Sedangkan yang perempuan hanya mampu merasakan dan melihat sosok gaib, tanpa bisa berkomunikasi ataupun menyentuh makhluk astral.
Arsyad memandangi putrinya yang bergerak menjauh. Dia membatin bila sepertinya akan ada sesuatu yang terjadi dalam waktu dekat, yang berhubungan dengan Yuanna.
Arsyad mendengkus pelan. Dia mengingat-ingat untuk membicarakan hal itu pada putra sulungnya, yang akan datang tiga hari ke depan.
02"Dho, di sini, ada tukang urut, nggak?" tanya Martin. "Kurang tahu." Risho mengamati bosnya, lalu dia bertanya, "Kenapa, Mas?" "Badanku pegal-pegal. Terutama punggung. Kayak habis manggul karung." Ridho menyunggingkan senyuman. "Memangnya Mas pernah manggul karung?" "Pernah. Aku dilatih Papa dengan keras. Katanya, nggak peduli aku anaknya, tetap harus bantu angkut barang di grosiran." Ridho mengangguk paham. "Pak Razman beda dengan pengusaha lainnya yang aku kenal. Beliau sangat tegas dan nggak pilih kasih.""Papa lahir di keluarga sederhana. Beliau dan adik-adiknya bekerja keras, hingga bisa berhasil seperti sekarang." Martin memandangi sekeliling. "Papa yang memintaku berbisnis di sini. Supaya keturunannya tetap ada di tanah kelahirannya," lanjutnya. Kedatangan beberapa orang menjadikan percakapan itu terjeda. Martin mengangkat alis kala menyaksikan wajah kepala sekuriti yang terlihat tegang. "Ada apa, Dang?" tanya Martin. "Lapor, Pak. Ada alat berat yang terguling," jela
03Sepanjang perjalanan menuju Kota Bandung, Martin terlelap. Dia benar-benar kelelahan, padahal selama berada di tempat proyek, Martin lebih sering berada di kantor dibandingkan luar ruangan. Hendri yang duduk bersama Martin dan Wirya di kursi belakang mobil Jeep, berulang kali mengamati lelaki yang usianya 6 tahun lebih muda darinya. Terbayang kembali sepasang mata di ujung kanan kantor. Hendri benar-benar penasaran dan sangat ingin mengecek lokasi itu sekali lagi. Namun, Hendri merahasiakan hal itu dari Martin, agar pria bermata sipit tersebut tidak cemas. "Koko Chyou ngajak ketemuan," ujar Wirya yang sedang berbalas pesan dengan Kakak sepupu istrinya, Delany. "Kapan?" tanya Hendri. "Senin minggu depan. Dia baru nyampe dari Bali itu, hari Sabtu. Minggunya istirahat. Senin baru masuk kantor GWG." "Kayaknya aku nggak bisa. Kamu aja, W." Hendri dan teman-temannya semasa kuliah terbiasa dipanggil dengan huruf depan nama masing-masing. "Aku juga mau ke Kanada bareng Yoga." Wirya
04"Ko, dipanggil Bapak," tukas Dimas, seusai memasuki kamar tamu yang ditempatinya bersama Martin. "Bentar lagi aku keluar. Mau ke toilet dulu," balas Martin sembari bangkit dan jalan ke toilet di sudut kiri ruangan luas bernuansa abu-abu muda. Kala Martin melewatinya, Dimas tertegun. Asisten kedua Wirya itu mengendus-ngendus, karena aroma harum yang lembut menguar dari tubuh Martin. Sangat berbeda dengan wangi parfum yang biasa dipakai calon suami Yuanna tersebut. Dimas berpikir sesaat, kemudian dia mengangkat bahu. Lelaki berkaus putih tersebut berpindah ke depan cermin. Dimas menyisiri rambutnya sembari bersiul. Sekian menit terlewati, Dimas dan Martin telah berada di ruang makan. Mereka bersantap sembari mendengarkan percakapan Arsyad, Hendri dan Wirya. Tidak berselang lama, Fenita datang bersama suami dan Kellan, anaknya. Lelaki kecil berbaju merah langsung bergabung dengan Bayazid, anak Wirya dan Delany, yang kemudian mengajak Kellan bermain di teras. "Ada temannya, Kella
05Hendri dan Wirya termangu, sesaat setelah mendengarkan penuturan Yuanna, tentang kejadian di pusat kota sore tadi. Kedua sahabat itu saling melirik, kemudian mereka sama-sama menghela napas berat dan mengembuskannya sekali waktu. Hendri berpikir cepat. Dia yakin jika ada yang tidak beres, yang sedang melingkupi Martin. Hendri akhirnya menerangkan maksudnya untuk menyelidiki tempat proyek yang sedang dikerjakan Martin. Namun, dia meminta Wirya dan Yuanna merahasiakannya. "Kapan kamu mau ke sana?" tanya Wirya. "Pengennya, sih, secepatnya," sahut Hendri. "Kekejar nggak waktunya? Kamu, kan, mau ke Sydney." Hendri tertegun sesaat. "Aku mau minta gantiin Gunther aja buat kunjungan ke sana." "Lalu, yang nemenin kamu, siapa? Z mau ke Filipina bareng Naizar dan Izra." "Mau nggak mau, aku maksa Bayu dan Ubaid buat ikut. Karena Gunther gantiin aku. Emyr sama Kenzie juga sibuk keliling Indonesia. Di kantor sisa Gilang, Rini dan Gwen. Enggak mungkin aku ngajak mereka ke proyek itu." "Aj
06Pagi itu, Martin dan Aditya telah berada di TKP. Mereka memerhatikan para pekerja yang sedang berjibaku untuk memadatkan tanah lapisan terbawah. Martin berbincang dengan Muchlis dan Ridho, di saung tempat pekerja beristirahat. Aditya memutari lokasi sembari memotret beberapa hal yang menurutnya penting. Aditya berhenti beraktivitas ketika melihat beberapa orang yang sedang mengarit di seberang. Asisten Yoga tersebut penasaran dan segera mendatangi keempat orang bertopi caping. Sebab bukan orang Sunda, Aditya akhirnya menyapa mereka dengan bahasa Indonesia. Dia meringis ketika pria paruh baya di hadapannya menyahut dengan bahasa Sunda yang cepat. "Mohon maaf, Pak. Bahasa Sunda saya terbatas. Jadi kita ngobrolnya pakai bahasa Indonesia saja," pinta Aditya yang dibalas anggukan pria berkaus hitam di depannya. "Ya, Kang. Mangga," tukas lelaki tua sambil membetulkan letak capingnya. "Bapak warga asli sini?" "Muhun." "Rumahnya, jauh?" "Enteu. Sakitar sakilo. Kanan tea." Pria itu
07Malam telah larut ketika Aditya kembali ke rumah kontrakan Martin. Seno yang membukakan pintu, terkejut saat Aditya menunjukkan Al Quran berukuran sedang di tangan kanannya. Seno membiarkan Aditya memasuki ruang tamu. Kemudian dia menutup dan mengunci pintu. Seno duduk di kursi terdekat, sembari memandangi Aditya yang sedang menghafal ayat suci. "Bang, sudah ketemu sama Pak Hendri?" tanya Seno dengan suara pelan. "Ya," jawab Aditya. "Apa katanya?" "Nanti kuceritain. Mau ngafalin ini dulu." Seno terdiam, lalu dia menyandar ke tumpukan bantal sofa. Pria berkaus hitam meraih ponselnya dari meja, kemudian dia berkelana di dunia maya. Sekian menit berlalu, Aditya telah selesai menghafalkan ayat yang ditunjukkan Hendri. Pria berambut lebat memijat belakang lehernya. Lalu Aditya mengambil botol minuman dari samping ranselnya. "Bang, gimana?" desak Seno. "Kata Kang Hendri, besok dia mau ngecek ke sungai. Mungkin ada aliran khusus yang nembus ke tempat proyek," terang Aditya seusai
07Malam telah larut ketika Aditya kembali ke rumah kontrakan Martin. Seno yang membukakan pintu, terkejut saat Aditya menunjukkan Al Quran berukuran sedang di tangan kanannya. Seno membiarkan Aditya memasuki ruang tamu. Kemudian dia menutup dan mengunci pintu. Seno duduk di kursi terdekat, sembari memandangi Aditya yang sedang menghafal ayat suci. "Bang, sudah ketemu sama Pak Hendri?" tanya Seno dengan suara pelan. "Ya," jawab Aditya. "Apa katanya?" "Nanti kuceritain. Mau ngafalin ini dulu." Seno terdiam, lalu dia menyandar ke tumpukan bantal sofa. Pria berkaus hitam meraih ponselnya dari meja, kemudian dia berkelana di dunia maya. Sekian menit berlalu, Aditya telah selesai menghafalkan ayat yang ditunjukkan Hendri. Pria berambut lebat memijat belakang lehernya. Lalu Aditya mengambil botol minuman dari samping ranselnya. "Bang, gimana?" desak Seno. "Kata Kang Hendri, besok dia mau ngecek ke sungai. Mungkin ada aliran khusus yang nembus ke tempat proyek," terang Aditya seusai
06Pagi itu, Martin dan Aditya telah berada di TKP. Mereka memerhatikan para pekerja yang sedang berjibaku untuk memadatkan tanah lapisan terbawah. Martin berbincang dengan Muchlis dan Ridho, di saung tempat pekerja beristirahat. Aditya memutari lokasi sembari memotret beberapa hal yang menurutnya penting. Aditya berhenti beraktivitas ketika melihat beberapa orang yang sedang mengarit di seberang. Asisten Yoga tersebut penasaran dan segera mendatangi keempat orang bertopi caping. Sebab bukan orang Sunda, Aditya akhirnya menyapa mereka dengan bahasa Indonesia. Dia meringis ketika pria paruh baya di hadapannya menyahut dengan bahasa Sunda yang cepat. "Mohon maaf, Pak. Bahasa Sunda saya terbatas. Jadi kita ngobrolnya pakai bahasa Indonesia saja," pinta Aditya yang dibalas anggukan pria berkaus hitam di depannya. "Ya, Kang. Mangga," tukas lelaki tua sambil membetulkan letak capingnya. "Bapak warga asli sini?" "Muhun." "Rumahnya, jauh?" "Enteu. Sakitar sakilo. Kanan tea." Pria itu
05Hendri dan Wirya termangu, sesaat setelah mendengarkan penuturan Yuanna, tentang kejadian di pusat kota sore tadi. Kedua sahabat itu saling melirik, kemudian mereka sama-sama menghela napas berat dan mengembuskannya sekali waktu. Hendri berpikir cepat. Dia yakin jika ada yang tidak beres, yang sedang melingkupi Martin. Hendri akhirnya menerangkan maksudnya untuk menyelidiki tempat proyek yang sedang dikerjakan Martin. Namun, dia meminta Wirya dan Yuanna merahasiakannya. "Kapan kamu mau ke sana?" tanya Wirya. "Pengennya, sih, secepatnya," sahut Hendri. "Kekejar nggak waktunya? Kamu, kan, mau ke Sydney." Hendri tertegun sesaat. "Aku mau minta gantiin Gunther aja buat kunjungan ke sana." "Lalu, yang nemenin kamu, siapa? Z mau ke Filipina bareng Naizar dan Izra." "Mau nggak mau, aku maksa Bayu dan Ubaid buat ikut. Karena Gunther gantiin aku. Emyr sama Kenzie juga sibuk keliling Indonesia. Di kantor sisa Gilang, Rini dan Gwen. Enggak mungkin aku ngajak mereka ke proyek itu." "Aj
04"Ko, dipanggil Bapak," tukas Dimas, seusai memasuki kamar tamu yang ditempatinya bersama Martin. "Bentar lagi aku keluar. Mau ke toilet dulu," balas Martin sembari bangkit dan jalan ke toilet di sudut kiri ruangan luas bernuansa abu-abu muda. Kala Martin melewatinya, Dimas tertegun. Asisten kedua Wirya itu mengendus-ngendus, karena aroma harum yang lembut menguar dari tubuh Martin. Sangat berbeda dengan wangi parfum yang biasa dipakai calon suami Yuanna tersebut. Dimas berpikir sesaat, kemudian dia mengangkat bahu. Lelaki berkaus putih tersebut berpindah ke depan cermin. Dimas menyisiri rambutnya sembari bersiul. Sekian menit terlewati, Dimas dan Martin telah berada di ruang makan. Mereka bersantap sembari mendengarkan percakapan Arsyad, Hendri dan Wirya. Tidak berselang lama, Fenita datang bersama suami dan Kellan, anaknya. Lelaki kecil berbaju merah langsung bergabung dengan Bayazid, anak Wirya dan Delany, yang kemudian mengajak Kellan bermain di teras. "Ada temannya, Kella
03Sepanjang perjalanan menuju Kota Bandung, Martin terlelap. Dia benar-benar kelelahan, padahal selama berada di tempat proyek, Martin lebih sering berada di kantor dibandingkan luar ruangan. Hendri yang duduk bersama Martin dan Wirya di kursi belakang mobil Jeep, berulang kali mengamati lelaki yang usianya 6 tahun lebih muda darinya. Terbayang kembali sepasang mata di ujung kanan kantor. Hendri benar-benar penasaran dan sangat ingin mengecek lokasi itu sekali lagi. Namun, Hendri merahasiakan hal itu dari Martin, agar pria bermata sipit tersebut tidak cemas. "Koko Chyou ngajak ketemuan," ujar Wirya yang sedang berbalas pesan dengan Kakak sepupu istrinya, Delany. "Kapan?" tanya Hendri. "Senin minggu depan. Dia baru nyampe dari Bali itu, hari Sabtu. Minggunya istirahat. Senin baru masuk kantor GWG." "Kayaknya aku nggak bisa. Kamu aja, W." Hendri dan teman-temannya semasa kuliah terbiasa dipanggil dengan huruf depan nama masing-masing. "Aku juga mau ke Kanada bareng Yoga." Wirya
02"Dho, di sini, ada tukang urut, nggak?" tanya Martin. "Kurang tahu." Risho mengamati bosnya, lalu dia bertanya, "Kenapa, Mas?" "Badanku pegal-pegal. Terutama punggung. Kayak habis manggul karung." Ridho menyunggingkan senyuman. "Memangnya Mas pernah manggul karung?" "Pernah. Aku dilatih Papa dengan keras. Katanya, nggak peduli aku anaknya, tetap harus bantu angkut barang di grosiran." Ridho mengangguk paham. "Pak Razman beda dengan pengusaha lainnya yang aku kenal. Beliau sangat tegas dan nggak pilih kasih.""Papa lahir di keluarga sederhana. Beliau dan adik-adiknya bekerja keras, hingga bisa berhasil seperti sekarang." Martin memandangi sekeliling. "Papa yang memintaku berbisnis di sini. Supaya keturunannya tetap ada di tanah kelahirannya," lanjutnya. Kedatangan beberapa orang menjadikan percakapan itu terjeda. Martin mengangkat alis kala menyaksikan wajah kepala sekuriti yang terlihat tegang. "Ada apa, Dang?" tanya Martin. "Lapor, Pak. Ada alat berat yang terguling," jela
01"Mas, bos kita ngobrol sama siapa, ya?" tanya Ridho, supervisor proyek pembangunan pusat bisnis, di pinggir Kota Bandung.Seno Argianto menyipitkan mata untuk menajamkan penglihatan. "Kayaknya perempuan, tapi, mukanya nggak jelas. Ketutupan rambut," jawabnya. "Perempuan?" desak Ridho. "Hu um." "Tapi ... di sini nggak ada pekerja perempuan." Seno terdiam sesaat, lalu dia memandangi pria berkemeja cokelat di sebelah kiri. "Apa itu anak pemilik katering?" tanyanya. "Bu Lilis nggak punya anak perempuan." "Mungkin karyawannya." "Hmm, ya, bisa jadi." Keduanya meneruskan perbincangan sambil berpindah ke kantor pengelola. Sementara Martin Ragnala masih bercakap-cakap dengan perempuan berbaju Cheongsam merah. Martin terkejut, karena baru kali itu menemukan orang yang bisa berbahasa Tiociu, bahasa leluhurnya yang berasal dari Cina daratan. Pengusaha muda peranakan Tionghos itu begitu senang bisa kembali menggunakan bahasa turunan dari pihak ibunya, yang merupakan warga negara Malay