Share

Bab 04

Penulis: Olivia Yoyet
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-14 11:01:13

04

"Ko, dipanggil Bapak," tukas Dimas, seusai memasuki kamar tamu yang ditempatinya bersama Martin. 

"Bentar lagi aku keluar. Mau ke toilet dulu," balas Martin sembari bangkit dan jalan ke toilet di sudut kiri ruangan luas bernuansa abu-abu muda. 

Kala Martin melewatinya, Dimas tertegun. Asisten kedua Wirya itu mengendus-ngendus, karena aroma harum yang lembut menguar dari tubuh Martin. Sangat berbeda dengan wangi parfum yang biasa dipakai calon suami Yuanna tersebut. 

Dimas berpikir sesaat, kemudian dia mengangkat bahu. Lelaki berkaus putih tersebut berpindah ke depan cermin. Dimas menyisiri rambutnya sembari bersiul. 

Sekian menit terlewati, Dimas dan Martin telah berada di ruang makan. Mereka bersantap sembari mendengarkan percakapan Arsyad, Hendri dan Wirya. 

Tidak berselang lama, Fenita datang bersama suami dan Kellan, anaknya. Lelaki kecil berbaju merah langsung bergabung dengan Bayazid, anak Wirya dan Delany, yang kemudian mengajak Kellan bermain di teras. 

"Ada temannya, Kellan senang banget," tutur Zainab sambil memerhatikan kedua cucunya dari pintu depan yang terbuka lebar. 

"Kellan nanyain terus, kapan Zid datang," balas Fenita, sembari mendudukkan diri di samping kanan ibunya.

"Sama. Dari nyampe sini kemarin sore, Zid juga ribut mau ketemu Kellan," sahut Delany. 

"Harusnya Juna, Luna, Yunara dan Dalair, ikut ke sini."

"Juna dan Yunara lagi jalan-jalan sama keluarga Baltissen. Luna, ikut keluarga Adhitama ke Medan. Dalair, ada di rumah neneknya di Depok." 

Fenita mengalihkan pandangan pada Kakak iparnya yang sedang mengunyah donat. "Teh Irsha, buruan, atuh. Aku pengen banget punya ponakan." 

"Doain aja, yang ini berhasil," jawab Irshava di sela-sela mengunyah. 

"Aamin. Kalau bisa, kembar." 

Irshava meringis. "Akangmu juga pengen begitu." 

"Kalau program bayi tabung, bisa, kan, dibuat kembar?" 

"Bisa. Banyak yang berhasil." 

Fenita mengulurkan tangan kanan untuk mengusap perut Delany yang membuncit. "Kapan HPL-nya, Ci?" tanyanya. 

"Sekitar 3 bulanan lagi," jelas Delany. 

"Mau lahiran di mana?" 

"Aku tadinya pengen ke tempat orang tua di Thailand, tapi Ayah Zid nggak setuju. Kejauhan, katanya. Padahal aku pengen ada satu yang lahir di sana. Kalau nambah anak lagi, lahiran di Sydney." 

"Oh, mau 3?" 

"Aku maunya gitu, tapi Ayah minta 4." 

Fenita mengulaskan senyuman. "Suamiku juga maunya anak banyak. Aku cuma sanggup 3." 

"Akang mau punya anak 6. Tiap lahiran, kembar," sela Irshava. 

"Dia pengen bikin grup voli," seloroh Delany. 

"Hu um. Biar rame, katanya," ungkap Irshava sambil melirik suaminya. "Kubilang, Akang, mah, enak, tinggal ngomong, doang. Aku yang hamilnya, repot," bebernya. 

"Teu kudu diikutan maunya Akang. Dia cuma asal bicara," timpal Zainab. "Sama kayak Bapak. Dulu dia juga pengen anak banyak. Tapi, baru ada 3, dia ngeluh, karena berantem mulu," bebernya yang menyebabkan ketiga perempuan muda tersebut terkekeh. 

Matahari bergerak naik. Siang itu, seusai salat, Martin dan Yuanna pergi ke pusat perbelanjaan. Mereka menaiki motor, karena bosan menggunakan mobil. 

Yuanna memeluk pinggang kekasihnya, yang sekali-sekali akan mengusap tangannya. Martin mengendarai motor dengan hati-hati, karena jalanan kota kembang sangat ramai. 

Sudah menjadi hal yang lumrah, jika Kota Bandung akan ramai saat penghujung minggu. Berbagai tempat wisata di seputar kota, menjadi daya tarik pelancong dari berbagai daerah. 

Sesampainya di tempat tujuan, Martin memarkirkan motor di ujung area. Dia sengaja melakukan itu agar motor tidak lecet oleh kendaraan lainnya. 

Keduanya membuka helm dan Martin mengaitkannya di bagian dalam. Seusai memastikan kunci terpasang dengan baik, Martin menggandeng tangan Yuanna dan mereka melangkah bersama menuju pintu masuk. 

Sedapat mungkin Martin berusaha melindungi kekasihnya. Pria berjaket jin biru, melingkarkan tangan kanannya ke pundak Yuanna, sembari meneruskan langkah menuju toko perhiasan. 

Belasan menit berlalu, Martin mengamati Yuanna yang sedang mencoba tiga set perhiasan untuk mahar pernikahan. Mereka sengaja menyiapkan itu dari jauh-jauh hari, karena nantinya Martin akan sibuk bolak-balik ke Kuala Lumpur ataupun Singapura. 

Usaha Martin yang baru dirintisnya dua tahun ke belakang, didukung penuh oleh Hendri, Zein dan Wirya. Ketiga komisaris HWZ itu tidak segan-segan menggelontorkan dana, supaya Martin bisa ikut beberapa proyek yang digagas bos PG dan PC. 

Selain HWZ, BPAGK, SHEHHBY, ZAMRUD dan beberapa perusahaan bentukan Wirya serta teman-temannya, juga turut membantu usaha Martin di Indonesia, Singapura serta Malaysia. 

"Ko, bagus yang mana?" tanya Yuanna. 

"Aku nggak paham tentang perhiasan. Terserah kamu aja mau yang mana," jawab Martin. 

"Ehm, aku suka yang ini." Yuanna menunjuk kotak nomor satu. 

"Oke, ambil yang itu." Martin mengambil dompet dari saku dalam jaket, lalu meraih kartu hitam dan memberikannya pada Yuanna. "Pakai ini, Dek," cakapnya. 

"Enggak usah. Uang yang Koko kasih waktu itu, masih ada." 

"Itu buat biaya baju dan lain-lain." 

"Baju nggak jadi beli. Aku dikasih gratis sama Teh Renata." 

Martin membulatkan matanya. "Beneran?" 

"Hu um. Sepasang, sama jas Koko." 

"Alhamdulillah." Martin memerhatikan kekasihnya. "Banyak banget yang membantumu menyiapkan pernikahan," lanjutnya. 

Yuanna mengangguk seraya tersenyum. "Aku juga nggak nyangka. Padahal nggak ada minta. Mungkin Teh Renata mandang ketiga bos HWZ, jadinya ngasih kado baju pengantin." 

"Ya, terutama Bang W." 

"Hu um. Dia sudah bantu keluarga Ganendra dari dulu." 

Yuanna terdiam sesaat. Dia menoleh ke pintu toko, karena seolah-olah merasa bila tengah diperhatikan seseorang. Yuanna menajamkan penglihatan, kemudian dia mengusap punggung tangannya sembari menggerutu dalam hati. 

Sepanjang transaksi pembayaran set perhiasan, Yuanna berulang kali melirik pintu kaca. Dia makin yakin jika ada sesuatu yang tidak terlihat yang tengah mengawasi. 

Selanjutnya, pasangan tersebut keluar dari toko sambil bergandengan tangan. Yuanna berusaha untuk tetap tenang, meskipun hatinya was-was. 

"Ko, kita nggak usah nonton," ujar Yuanna, saat tengah berada di eskalator. 

"Kenapa?" tanya Martin. 

"Lagi nggak mood nonton." 

"Terus, mau ke mana?" 

"Main basket." 

Martin berdecih. "Kamu, nih. Tiap kencan pasti ngajak aku keringatan." 

"Olahraga itu. Bagus buat kesehatan." 

"Akunya bosan." 

"Ehm, dance aja. Mau?" 

"Oke, deh." Martin berpikir sesaat, lalu dia bertutur, "Sama aja itu, keringatan." 

Yuanna tersenyum. "Permainan lain kurang menantang." 

"Kita balap motor aja." 

"Sudah sering main itu, dan Koko kalah terus." 

"Hmm, balap mobil." 

"Nanti merajuk kalau nggak menang." 

Keduanya tiba di lantai tiga dan langsung menuju tempat langganan mereka bila tengah berkunjung ke sana. 

Selama puluhan menit berikutnya, Martin dan Yuanna sibuk bermain tembak-tembakan. Keduanya terlihat serius menghabisi lawan-lawan imajiner. Hingga tidak menyadari jika ditonton banyak orang. 

Seusai lelah bermain, keduanya berpindah ke salah satu tempat makan di sisi kanan bangunan. Mereka duduk saling berhadapan sembari memandangi sekeliling. 

Yuanna tercenung saat kembali merasakan tengah diperhatikan. Dia mengingat-ingat doa yang pernah diajarkan Arsyad, lalu melafazkannya dalam hati. 

Martin yang tengah asyik berselancar di dunia maya, terkejut ketika melihat bayangan seseorang di layar ponsel. Dia berbalik untuk memastikan, tetapi tidak ada seorang pun di belakangnya. 

Bab terkait

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 05

    05Hendri dan Wirya termangu, sesaat setelah mendengarkan penuturan Yuanna, tentang kejadian di pusat kota sore tadi. Kedua sahabat itu saling melirik, kemudian mereka sama-sama menghela napas berat dan mengembuskannya sekali waktu. Hendri berpikir cepat. Dia yakin jika ada yang tidak beres, yang sedang melingkupi Martin. Hendri akhirnya menerangkan maksudnya untuk menyelidiki tempat proyek yang sedang dikerjakan Martin. Namun, dia meminta Wirya dan Yuanna merahasiakannya. "Kapan kamu mau ke sana?" tanya Wirya. "Pengennya, sih, secepatnya," sahut Hendri. "Kekejar nggak waktunya? Kamu, kan, mau ke Sydney." Hendri tertegun sesaat. "Aku mau minta gantiin Gunther aja buat kunjungan ke sana." "Lalu, yang nemenin kamu, siapa? Z mau ke Filipina bareng Naizar dan Izra." "Mau nggak mau, aku maksa Bayu dan Ubaid buat ikut. Karena Gunther gantiin aku. Emyr sama Kenzie juga sibuk keliling Indonesia. Di kantor sisa Gilang, Rini dan Gwen. Enggak mungkin aku ngajak mereka ke proyek itu." "Aj

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-14
  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 06

    06Pagi itu, Martin dan Aditya telah berada di TKP. Mereka memerhatikan para pekerja yang sedang berjibaku untuk memadatkan tanah lapisan terbawah. Martin berbincang dengan Muchlis dan Ridho, di saung tempat pekerja beristirahat. Aditya memutari lokasi sembari memotret beberapa hal yang menurutnya penting. Aditya berhenti beraktivitas ketika melihat beberapa orang yang sedang mengarit di seberang. Asisten Yoga tersebut penasaran dan segera mendatangi keempat orang bertopi caping. Sebab bukan orang Sunda, Aditya akhirnya menyapa mereka dengan bahasa Indonesia. Dia meringis ketika pria paruh baya di hadapannya menyahut dengan bahasa Sunda yang cepat. "Mohon maaf, Pak. Bahasa Sunda saya terbatas. Jadi kita ngobrolnya pakai bahasa Indonesia saja," pinta Aditya yang dibalas anggukan pria berkaus hitam di depannya. "Ya, Kang. Mangga," tukas lelaki tua sambil membetulkan letak capingnya. "Bapak warga asli sini?" "Muhun." "Rumahnya, jauh?" "Enteu. Sakitar sakilo. Kanan tea." Pria itu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-31
  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 07

    07Malam telah larut ketika Aditya kembali ke rumah kontrakan Martin. Seno yang membukakan pintu, terkejut saat Aditya menunjukkan Al Quran berukuran sedang di tangan kanannya. Seno membiarkan Aditya memasuki ruang tamu. Kemudian dia menutup dan mengunci pintu. Seno duduk di kursi terdekat, sembari memandangi Aditya yang sedang menghafal ayat suci. "Bang, sudah ketemu sama Pak Hendri?" tanya Seno dengan suara pelan. "Ya," jawab Aditya. "Apa katanya?" "Nanti kuceritain. Mau ngafalin ini dulu." Seno terdiam, lalu dia menyandar ke tumpukan bantal sofa. Pria berkaus hitam meraih ponselnya dari meja, kemudian dia berkelana di dunia maya. Sekian menit berlalu, Aditya telah selesai menghafalkan ayat yang ditunjukkan Hendri. Pria berambut lebat memijat belakang lehernya. Lalu Aditya mengambil botol minuman dari samping ranselnya. "Bang, gimana?" desak Seno. "Kata Kang Hendri, besok dia mau ngecek ke sungai. Mungkin ada aliran khusus yang nembus ke tempat proyek," terang Aditya seusai

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-31
  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 01 - Koko Chen, kemarilah!

    01"Mas, bos kita ngobrol sama siapa, ya?" tanya Ridho, supervisor proyek pembangunan pusat bisnis, di pinggir Kota Bandung.Seno Argianto menyipitkan mata untuk menajamkan penglihatan. "Kayaknya perempuan, tapi, mukanya nggak jelas. Ketutupan rambut," jawabnya. "Perempuan?" desak Ridho. "Hu um." "Tapi ... di sini nggak ada pekerja perempuan." Seno terdiam sesaat, lalu dia memandangi pria berkemeja cokelat di sebelah kiri. "Apa itu anak pemilik katering?" tanyanya. "Bu Lilis nggak punya anak perempuan." "Mungkin karyawannya." "Hmm, ya, bisa jadi." Keduanya meneruskan perbincangan sambil berpindah ke kantor pengelola. Sementara Martin Ragnala masih bercakap-cakap dengan perempuan berbaju Cheongsam merah. Martin terkejut, karena baru kali itu menemukan orang yang bisa berbahasa Tiociu, bahasa leluhurnya yang berasal dari Cina daratan. Pengusaha muda peranakan Tionghos itu begitu senang bisa kembali menggunakan bahasa turunan dari pihak ibunya, yang merupakan warga negara Malay

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-14
  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 02

    02"Dho, di sini, ada tukang urut, nggak?" tanya Martin. "Kurang tahu." Risho mengamati bosnya, lalu dia bertanya, "Kenapa, Mas?" "Badanku pegal-pegal. Terutama punggung. Kayak habis manggul karung." Ridho menyunggingkan senyuman. "Memangnya Mas pernah manggul karung?" "Pernah. Aku dilatih Papa dengan keras. Katanya, nggak peduli aku anaknya, tetap harus bantu angkut barang di grosiran." Ridho mengangguk paham. "Pak Razman beda dengan pengusaha lainnya yang aku kenal. Beliau sangat tegas dan nggak pilih kasih.""Papa lahir di keluarga sederhana. Beliau dan adik-adiknya bekerja keras, hingga bisa berhasil seperti sekarang." Martin memandangi sekeliling. "Papa yang memintaku berbisnis di sini. Supaya keturunannya tetap ada di tanah kelahirannya," lanjutnya. Kedatangan beberapa orang menjadikan percakapan itu terjeda. Martin mengangkat alis kala menyaksikan wajah kepala sekuriti yang terlihat tegang. "Ada apa, Dang?" tanya Martin. "Lapor, Pak. Ada alat berat yang terguling," jela

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-14
  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 03

    03Sepanjang perjalanan menuju Kota Bandung, Martin terlelap. Dia benar-benar kelelahan, padahal selama berada di tempat proyek, Martin lebih sering berada di kantor dibandingkan luar ruangan. Hendri yang duduk bersama Martin dan Wirya di kursi belakang mobil Jeep, berulang kali mengamati lelaki yang usianya 6 tahun lebih muda darinya. Terbayang kembali sepasang mata di ujung kanan kantor. Hendri benar-benar penasaran dan sangat ingin mengecek lokasi itu sekali lagi. Namun, Hendri merahasiakan hal itu dari Martin, agar pria bermata sipit tersebut tidak cemas. "Koko Chyou ngajak ketemuan," ujar Wirya yang sedang berbalas pesan dengan Kakak sepupu istrinya, Delany. "Kapan?" tanya Hendri. "Senin minggu depan. Dia baru nyampe dari Bali itu, hari Sabtu. Minggunya istirahat. Senin baru masuk kantor GWG." "Kayaknya aku nggak bisa. Kamu aja, W." Hendri dan teman-temannya semasa kuliah terbiasa dipanggil dengan huruf depan nama masing-masing. "Aku juga mau ke Kanada bareng Yoga." Wirya

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-14

Bab terbaru

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 07

    07Malam telah larut ketika Aditya kembali ke rumah kontrakan Martin. Seno yang membukakan pintu, terkejut saat Aditya menunjukkan Al Quran berukuran sedang di tangan kanannya. Seno membiarkan Aditya memasuki ruang tamu. Kemudian dia menutup dan mengunci pintu. Seno duduk di kursi terdekat, sembari memandangi Aditya yang sedang menghafal ayat suci. "Bang, sudah ketemu sama Pak Hendri?" tanya Seno dengan suara pelan. "Ya," jawab Aditya. "Apa katanya?" "Nanti kuceritain. Mau ngafalin ini dulu." Seno terdiam, lalu dia menyandar ke tumpukan bantal sofa. Pria berkaus hitam meraih ponselnya dari meja, kemudian dia berkelana di dunia maya. Sekian menit berlalu, Aditya telah selesai menghafalkan ayat yang ditunjukkan Hendri. Pria berambut lebat memijat belakang lehernya. Lalu Aditya mengambil botol minuman dari samping ranselnya. "Bang, gimana?" desak Seno. "Kata Kang Hendri, besok dia mau ngecek ke sungai. Mungkin ada aliran khusus yang nembus ke tempat proyek," terang Aditya seusai

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 06

    06Pagi itu, Martin dan Aditya telah berada di TKP. Mereka memerhatikan para pekerja yang sedang berjibaku untuk memadatkan tanah lapisan terbawah. Martin berbincang dengan Muchlis dan Ridho, di saung tempat pekerja beristirahat. Aditya memutari lokasi sembari memotret beberapa hal yang menurutnya penting. Aditya berhenti beraktivitas ketika melihat beberapa orang yang sedang mengarit di seberang. Asisten Yoga tersebut penasaran dan segera mendatangi keempat orang bertopi caping. Sebab bukan orang Sunda, Aditya akhirnya menyapa mereka dengan bahasa Indonesia. Dia meringis ketika pria paruh baya di hadapannya menyahut dengan bahasa Sunda yang cepat. "Mohon maaf, Pak. Bahasa Sunda saya terbatas. Jadi kita ngobrolnya pakai bahasa Indonesia saja," pinta Aditya yang dibalas anggukan pria berkaus hitam di depannya. "Ya, Kang. Mangga," tukas lelaki tua sambil membetulkan letak capingnya. "Bapak warga asli sini?" "Muhun." "Rumahnya, jauh?" "Enteu. Sakitar sakilo. Kanan tea." Pria itu

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 05

    05Hendri dan Wirya termangu, sesaat setelah mendengarkan penuturan Yuanna, tentang kejadian di pusat kota sore tadi. Kedua sahabat itu saling melirik, kemudian mereka sama-sama menghela napas berat dan mengembuskannya sekali waktu. Hendri berpikir cepat. Dia yakin jika ada yang tidak beres, yang sedang melingkupi Martin. Hendri akhirnya menerangkan maksudnya untuk menyelidiki tempat proyek yang sedang dikerjakan Martin. Namun, dia meminta Wirya dan Yuanna merahasiakannya. "Kapan kamu mau ke sana?" tanya Wirya. "Pengennya, sih, secepatnya," sahut Hendri. "Kekejar nggak waktunya? Kamu, kan, mau ke Sydney." Hendri tertegun sesaat. "Aku mau minta gantiin Gunther aja buat kunjungan ke sana." "Lalu, yang nemenin kamu, siapa? Z mau ke Filipina bareng Naizar dan Izra." "Mau nggak mau, aku maksa Bayu dan Ubaid buat ikut. Karena Gunther gantiin aku. Emyr sama Kenzie juga sibuk keliling Indonesia. Di kantor sisa Gilang, Rini dan Gwen. Enggak mungkin aku ngajak mereka ke proyek itu." "Aj

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 04

    04"Ko, dipanggil Bapak," tukas Dimas, seusai memasuki kamar tamu yang ditempatinya bersama Martin. "Bentar lagi aku keluar. Mau ke toilet dulu," balas Martin sembari bangkit dan jalan ke toilet di sudut kiri ruangan luas bernuansa abu-abu muda. Kala Martin melewatinya, Dimas tertegun. Asisten kedua Wirya itu mengendus-ngendus, karena aroma harum yang lembut menguar dari tubuh Martin. Sangat berbeda dengan wangi parfum yang biasa dipakai calon suami Yuanna tersebut. Dimas berpikir sesaat, kemudian dia mengangkat bahu. Lelaki berkaus putih tersebut berpindah ke depan cermin. Dimas menyisiri rambutnya sembari bersiul. Sekian menit terlewati, Dimas dan Martin telah berada di ruang makan. Mereka bersantap sembari mendengarkan percakapan Arsyad, Hendri dan Wirya. Tidak berselang lama, Fenita datang bersama suami dan Kellan, anaknya. Lelaki kecil berbaju merah langsung bergabung dengan Bayazid, anak Wirya dan Delany, yang kemudian mengajak Kellan bermain di teras. "Ada temannya, Kella

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 03

    03Sepanjang perjalanan menuju Kota Bandung, Martin terlelap. Dia benar-benar kelelahan, padahal selama berada di tempat proyek, Martin lebih sering berada di kantor dibandingkan luar ruangan. Hendri yang duduk bersama Martin dan Wirya di kursi belakang mobil Jeep, berulang kali mengamati lelaki yang usianya 6 tahun lebih muda darinya. Terbayang kembali sepasang mata di ujung kanan kantor. Hendri benar-benar penasaran dan sangat ingin mengecek lokasi itu sekali lagi. Namun, Hendri merahasiakan hal itu dari Martin, agar pria bermata sipit tersebut tidak cemas. "Koko Chyou ngajak ketemuan," ujar Wirya yang sedang berbalas pesan dengan Kakak sepupu istrinya, Delany. "Kapan?" tanya Hendri. "Senin minggu depan. Dia baru nyampe dari Bali itu, hari Sabtu. Minggunya istirahat. Senin baru masuk kantor GWG." "Kayaknya aku nggak bisa. Kamu aja, W." Hendri dan teman-temannya semasa kuliah terbiasa dipanggil dengan huruf depan nama masing-masing. "Aku juga mau ke Kanada bareng Yoga." Wirya

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 02

    02"Dho, di sini, ada tukang urut, nggak?" tanya Martin. "Kurang tahu." Risho mengamati bosnya, lalu dia bertanya, "Kenapa, Mas?" "Badanku pegal-pegal. Terutama punggung. Kayak habis manggul karung." Ridho menyunggingkan senyuman. "Memangnya Mas pernah manggul karung?" "Pernah. Aku dilatih Papa dengan keras. Katanya, nggak peduli aku anaknya, tetap harus bantu angkut barang di grosiran." Ridho mengangguk paham. "Pak Razman beda dengan pengusaha lainnya yang aku kenal. Beliau sangat tegas dan nggak pilih kasih.""Papa lahir di keluarga sederhana. Beliau dan adik-adiknya bekerja keras, hingga bisa berhasil seperti sekarang." Martin memandangi sekeliling. "Papa yang memintaku berbisnis di sini. Supaya keturunannya tetap ada di tanah kelahirannya," lanjutnya. Kedatangan beberapa orang menjadikan percakapan itu terjeda. Martin mengangkat alis kala menyaksikan wajah kepala sekuriti yang terlihat tegang. "Ada apa, Dang?" tanya Martin. "Lapor, Pak. Ada alat berat yang terguling," jela

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 01 - Koko Chen, kemarilah!

    01"Mas, bos kita ngobrol sama siapa, ya?" tanya Ridho, supervisor proyek pembangunan pusat bisnis, di pinggir Kota Bandung.Seno Argianto menyipitkan mata untuk menajamkan penglihatan. "Kayaknya perempuan, tapi, mukanya nggak jelas. Ketutupan rambut," jawabnya. "Perempuan?" desak Ridho. "Hu um." "Tapi ... di sini nggak ada pekerja perempuan." Seno terdiam sesaat, lalu dia memandangi pria berkemeja cokelat di sebelah kiri. "Apa itu anak pemilik katering?" tanyanya. "Bu Lilis nggak punya anak perempuan." "Mungkin karyawannya." "Hmm, ya, bisa jadi." Keduanya meneruskan perbincangan sambil berpindah ke kantor pengelola. Sementara Martin Ragnala masih bercakap-cakap dengan perempuan berbaju Cheongsam merah. Martin terkejut, karena baru kali itu menemukan orang yang bisa berbahasa Tiociu, bahasa leluhurnya yang berasal dari Cina daratan. Pengusaha muda peranakan Tionghos itu begitu senang bisa kembali menggunakan bahasa turunan dari pihak ibunya, yang merupakan warga negara Malay

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status