Share

Bab 06

Author: Olivia Yoyet
last update Last Updated: 2025-01-31 18:53:42

06

Pagi itu, Martin dan Aditya telah berada di TKP. Mereka memerhatikan para pekerja yang sedang berjibaku untuk memadatkan tanah lapisan terbawah. 

Martin berbincang dengan Muchlis dan Ridho, di saung tempat pekerja beristirahat. Aditya memutari lokasi sembari memotret beberapa hal yang menurutnya penting. 

Aditya berhenti beraktivitas ketika melihat beberapa orang yang sedang mengarit di seberang. Asisten Yoga tersebut penasaran dan segera mendatangi keempat orang bertopi caping. 

Sebab bukan orang Sunda, Aditya akhirnya menyapa mereka dengan bahasa Indonesia. Dia meringis ketika pria paruh baya di hadapannya menyahut dengan bahasa Sunda yang cepat. 

"Mohon maaf, Pak. Bahasa Sunda saya terbatas. Jadi kita ngobrolnya pakai bahasa Indonesia saja," pinta Aditya yang dibalas anggukan pria berkaus hitam di depannya. 

"Ya, Kang. Mangga," tukas lelaki tua sambil membetulkan letak capingnya. 

"Bapak warga asli sini?" 

"Muhun." 

"Rumahnya, jauh?" 

"Enteu. Sakitar sakilo. Kanan tea." Pria itu menunjuk tempat yang dimaksud. 

"Di belakang bukit itu?" 

"Muhun, Kang." 

"Ke sini, pakai apa?"

"Motor." Lelaki tua mengarahkan tangan kanan ke lahan kosong di sisi kiri, di mana ada dua unit motor di sana.

"Bapak pernah dengar tentang ular yang kemarin? Maksud saya, yang sempat muncul dan melilit kaki pekerja." 

Pria tua itu tertegun, lalu dia berbisik, "Jangan disebut, Kang. Dia suka muncul kalau ada yang manggil." 

"Dia?" 

"Oray, tea." 

Aditya mengingat-ingat arti kata oray, kemudian dia mengangguk paham. "Sebelumnya, apa dia pernah muncul?" 

"Ya. Sekitar beberapa kali. Terutama setelah tanah di sini diperjualbelikan beberapa orang." 

"Bapak tahu? Ada yang bilang, kalau itu jelmaan penunggu sungai. Walaupun saya nggak terlalu paham tentang dunia mistis, tapi saya percaya jika ada penunggu di tempat-tempat tertentu." 

Sang bapak mengangguk mengiakan. "Muhun, Kang. Dari Bapak kecil, memang sering dengar cerita orang-orang tua di kampung, tentang penunggu tempat ini." 

"Tempat ini? Bukan sungai?" 

Pria bertopi caping menggeleng. "Dulu, ada cerita tentang pemilik pertama tanah ini. Mereka orang China. Lalu, mereka menghilang. Setelahnya, penunggu itu mulai muncul. Mungkin buat menjaga tempat ini." 

"Apa makhluk itu pernah menyerang orang lain? Selain pekerja yang kemarin." 

"Bapak pernah dengar, ada yang digigit dan dibelit sampai kakinya patah. Katanya, sih, mereka tengah mencari harta karun, karena orang China itu kaya raya. Kabarnya, dia punya ruang bawah tanah. Tapi, sampai sekarang teu aya yang pernah nemu ruangan rahasia itu." 

Sementara itu di tempat berbeda, Hendri tengah mencari informasi tentang tanah proyek, melalui internet. Dia memelototi layar laptop sembari mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi janggut pendek. 

Pria berkemeja biru tua, benar-benar penasaran, karena informasinya tidak detail. Hendri hanya menemukan pemilik tanah terakhir, yakni Abdan Nayyara, salah satu pengusaha tua yang cukup terkenal di Jawa Barat. 

Abdan tengah mengalami krisis keuangan sejak beberapa tahun silam. Hingga pria tua itu terpaksa melepas harta benda bergerak maupun yang tidak bergerak. 

Saham Nayyara Grup, 50%-nya telah diakuisisi Baltissen Grup. Nandi, keponakan Abdan adalah asisten direktur utama Baltissen. Nandi berhasil membujuk para bos perusahaan besar itu untuk membeli saham Nayyara. Agar Abdan bisa bernapas lega, dan perusahaannya tidak gulung tikar. 

Selain saham, Abdan juga menjual hampir semua tanahnya yang berada di seputar Kota Bandung. Martin membeli salah satu tanah itu, setelah dihubungi Jimmy, rekannya sesama pengusaha muda, yang merupakan calon suami Shireen, anak bungsu Abdan. 

Selain Martin, Linggha Atthaya Pangestu, Giandra Ardianto, Fairel Atthariz Calief, dan Arman Rinaldi, juga turut membeli beberapa tanah lainnya. Mereka adalah anggota PG. 

Hal serupa juga dilakukan Nazeem Kagendra, yang merupakan teman lama Abdan. Melalui putra sulungnya, Farisyasa, Nazeem membeli beberapa bidang tanah yang dialihkan Farisyasa menjadi kompleks perumahan kuldesak. 

Demi menuntaskan bisnis barunya itu, Farisyasa menggandeng HWZ, yakni perusahaan kontraktor yang dimiliki Hendri, Wirya dan Zein. 

"Kang," panggil seorang perempuan sembari memasuki ruangan. 

"Ya, Gwen. What happen aya naon?" tanya Hendri sembari memandangi direktur keuangan yang sedang merapikan duduknya di kursi seberang meja. 

"Kata Gilang, Akang mau ngecek proyeknya Martin." 

"Hu um." 

Gwen mengeluarkan bungkusan putih dari tas dan meletakkan benda itu ke meja. "Bawa ini." 

"Naon eta?" 

"Titipan Nini." 

Hendri terdiam sesaat, lalu dia mendengkus. "Ninimu pasti bisa lihat duluan. Aku ketinggalan mulu." 

Gwen mengulum senyuman. "Beliau lebih hebat dari kita." 

"Itu dia. Susah benar mau nyamain kemampuan Nini." 

"Jangankan beliau. Kelompok kita aja belum ada yang bisa ngelewatin Pak Mulyadi." 

"Zein sedang menuju ke sana. Lagi rajin tirakat dia." 

"Akang nggak nyoba?" 

Hendri menggeleng. "Aku lagi fokus ke program kehamilan. Bagian itu, biar Zein, Bayu dan Ubaid yang maju." 

Matahari bergerak naik dengan cepat. Siang bergeser ke ufuk barat dan menciptakan semburat senja yang memukau siapa pun yang melihatnya. 

Seunit mobil MPV abu-abu berhenti di depan bangunan tiga lantai. Keempat penumpangnya keluar sambil membawa tas masing-masing. 

Tidak berselang lama mereka telah berada di salah satu kamar di lantai dua. Hendri menunggu kedua petugas mengemasi extra bed. Kemudian dia memberikan tips pada keduanya, yang segera keluar seraya tersenyum. 

Sekian menit berlalu, pintu kamar itu diketuk. Nirwan membukakan pintu, lalu dia memberi hormat pada sang senior yang membalas dengan anggukan. 

Aditya memasuki ruangan luas sambil menenteng bungkusan plastik bening. Dia menyalami ketiga sahabat Wirya tersebut, kemudian Aditya duduk di kursi samping kanan Hendri. 

Sang pengawas mengeluarkan kotak makanan ke meja. Seketika aroma harum menyergap indra penciuman, dan menjadikan keempat orang lainnya bersemangat untuk menyomot potongan martabak telur. 

"Sudah dapat info, Dit?" tanya Hendri di sela-sela mengunyah. 

"Cuma sedikit, Kang," jawab Aditya yang turut menikmati hidangan bawaannya. 

"Jelasin. Biar besok aku teruskan nyari infonya." 

"Ini tentang pemilik tanah pertama. Yaitu, keluarga keturunan Cina." 

"Namanya?" 

"Itu yang aku belum tahu. Harus nanya ke disdukcapil atau orang di kantor kecamatan." 

"Ehm, oke. Lanjut." 

"Keluarga itu punya tanah sepanjang hampir 1 kilometer. Hitunganku, dari perempatan besar itu, sampai ujung proyek." 

"Luas banget berarti." 

"Ya. Tapi, untuk lebih jelasnya lagi memang harus nanya yang lebih paham."

"Besok Ubaid yang ke kantor kecamatan. Karena aku, Bayu dan Nirwan, mau ngecek sungai di bawah bukit." 

"Nah, Kang. Ternyata legenda penunggu sungai itu salah." 

"Maksudnya?" 

"Menurut informasi yang kudapatkan tadi pagi, penunggu itu sebenarnya menjaga tanah proyek." Aditya mengambil alat perekam kecil yang selalu dikantonginya ke mana-mana. "Kalian dengar ini," lanjutnya sambil menekan tombol play. 

Selama beberapa menit berikutnya, Hendri dan rekan-rekannya mendengarkan percakapan antara Aditya dengan pria tua yang mengaku bernama Maman.

Alis Hendri bertaut, saat Maman mendongeng tentang keluarga keturunan Cina yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Selain keluarga itu, kedua asisten rumah tangganya pun turut lenyap. 

Related chapters

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 07

    07Malam telah larut ketika Aditya kembali ke rumah kontrakan Martin. Seno yang membukakan pintu, terkejut saat Aditya menunjukkan Al Quran berukuran sedang di tangan kanannya. Seno membiarkan Aditya memasuki ruang tamu. Kemudian dia menutup dan mengunci pintu. Seno duduk di kursi terdekat, sembari memandangi Aditya yang sedang menghafal ayat suci. "Bang, sudah ketemu sama Pak Hendri?" tanya Seno dengan suara pelan. "Ya," jawab Aditya. "Apa katanya?" "Nanti kuceritain. Mau ngafalin ini dulu." Seno terdiam, lalu dia menyandar ke tumpukan bantal sofa. Pria berkaus hitam meraih ponselnya dari meja, kemudian dia berkelana di dunia maya. Sekian menit berlalu, Aditya telah selesai menghafalkan ayat yang ditunjukkan Hendri. Pria berambut lebat memijat belakang lehernya. Lalu Aditya mengambil botol minuman dari samping ranselnya. "Bang, gimana?" desak Seno. "Kata Kang Hendri, besok dia mau ngecek ke sungai. Mungkin ada aliran khusus yang nembus ke tempat proyek," terang Aditya seusai

    Last Updated : 2025-01-31
  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 01 - Koko Chen, kemarilah!

    01"Mas, bos kita ngobrol sama siapa, ya?" tanya Ridho, supervisor proyek pembangunan pusat bisnis, di pinggir Kota Bandung.Seno Argianto menyipitkan mata untuk menajamkan penglihatan. "Kayaknya perempuan, tapi, mukanya nggak jelas. Ketutupan rambut," jawabnya. "Perempuan?" desak Ridho. "Hu um." "Tapi ... di sini nggak ada pekerja perempuan." Seno terdiam sesaat, lalu dia memandangi pria berkemeja cokelat di sebelah kiri. "Apa itu anak pemilik katering?" tanyanya. "Bu Lilis nggak punya anak perempuan." "Mungkin karyawannya." "Hmm, ya, bisa jadi." Keduanya meneruskan perbincangan sambil berpindah ke kantor pengelola. Sementara Martin Ragnala masih bercakap-cakap dengan perempuan berbaju Cheongsam merah. Martin terkejut, karena baru kali itu menemukan orang yang bisa berbahasa Tiociu, bahasa leluhurnya yang berasal dari Cina daratan. Pengusaha muda peranakan Tionghos itu begitu senang bisa kembali menggunakan bahasa turunan dari pihak ibunya, yang merupakan warga negara Malay

    Last Updated : 2025-01-14
  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 02

    02"Dho, di sini, ada tukang urut, nggak?" tanya Martin. "Kurang tahu." Risho mengamati bosnya, lalu dia bertanya, "Kenapa, Mas?" "Badanku pegal-pegal. Terutama punggung. Kayak habis manggul karung." Ridho menyunggingkan senyuman. "Memangnya Mas pernah manggul karung?" "Pernah. Aku dilatih Papa dengan keras. Katanya, nggak peduli aku anaknya, tetap harus bantu angkut barang di grosiran." Ridho mengangguk paham. "Pak Razman beda dengan pengusaha lainnya yang aku kenal. Beliau sangat tegas dan nggak pilih kasih.""Papa lahir di keluarga sederhana. Beliau dan adik-adiknya bekerja keras, hingga bisa berhasil seperti sekarang." Martin memandangi sekeliling. "Papa yang memintaku berbisnis di sini. Supaya keturunannya tetap ada di tanah kelahirannya," lanjutnya. Kedatangan beberapa orang menjadikan percakapan itu terjeda. Martin mengangkat alis kala menyaksikan wajah kepala sekuriti yang terlihat tegang. "Ada apa, Dang?" tanya Martin. "Lapor, Pak. Ada alat berat yang terguling," jela

    Last Updated : 2025-01-14
  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 03

    03Sepanjang perjalanan menuju Kota Bandung, Martin terlelap. Dia benar-benar kelelahan, padahal selama berada di tempat proyek, Martin lebih sering berada di kantor dibandingkan luar ruangan. Hendri yang duduk bersama Martin dan Wirya di kursi belakang mobil Jeep, berulang kali mengamati lelaki yang usianya 6 tahun lebih muda darinya. Terbayang kembali sepasang mata di ujung kanan kantor. Hendri benar-benar penasaran dan sangat ingin mengecek lokasi itu sekali lagi. Namun, Hendri merahasiakan hal itu dari Martin, agar pria bermata sipit tersebut tidak cemas. "Koko Chyou ngajak ketemuan," ujar Wirya yang sedang berbalas pesan dengan Kakak sepupu istrinya, Delany. "Kapan?" tanya Hendri. "Senin minggu depan. Dia baru nyampe dari Bali itu, hari Sabtu. Minggunya istirahat. Senin baru masuk kantor GWG." "Kayaknya aku nggak bisa. Kamu aja, W." Hendri dan teman-temannya semasa kuliah terbiasa dipanggil dengan huruf depan nama masing-masing. "Aku juga mau ke Kanada bareng Yoga." Wirya

    Last Updated : 2025-01-14
  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 04

    04"Ko, dipanggil Bapak," tukas Dimas, seusai memasuki kamar tamu yang ditempatinya bersama Martin. "Bentar lagi aku keluar. Mau ke toilet dulu," balas Martin sembari bangkit dan jalan ke toilet di sudut kiri ruangan luas bernuansa abu-abu muda. Kala Martin melewatinya, Dimas tertegun. Asisten kedua Wirya itu mengendus-ngendus, karena aroma harum yang lembut menguar dari tubuh Martin. Sangat berbeda dengan wangi parfum yang biasa dipakai calon suami Yuanna tersebut. Dimas berpikir sesaat, kemudian dia mengangkat bahu. Lelaki berkaus putih tersebut berpindah ke depan cermin. Dimas menyisiri rambutnya sembari bersiul. Sekian menit terlewati, Dimas dan Martin telah berada di ruang makan. Mereka bersantap sembari mendengarkan percakapan Arsyad, Hendri dan Wirya. Tidak berselang lama, Fenita datang bersama suami dan Kellan, anaknya. Lelaki kecil berbaju merah langsung bergabung dengan Bayazid, anak Wirya dan Delany, yang kemudian mengajak Kellan bermain di teras. "Ada temannya, Kella

    Last Updated : 2025-01-14
  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 05

    05Hendri dan Wirya termangu, sesaat setelah mendengarkan penuturan Yuanna, tentang kejadian di pusat kota sore tadi. Kedua sahabat itu saling melirik, kemudian mereka sama-sama menghela napas berat dan mengembuskannya sekali waktu. Hendri berpikir cepat. Dia yakin jika ada yang tidak beres, yang sedang melingkupi Martin. Hendri akhirnya menerangkan maksudnya untuk menyelidiki tempat proyek yang sedang dikerjakan Martin. Namun, dia meminta Wirya dan Yuanna merahasiakannya. "Kapan kamu mau ke sana?" tanya Wirya. "Pengennya, sih, secepatnya," sahut Hendri. "Kekejar nggak waktunya? Kamu, kan, mau ke Sydney." Hendri tertegun sesaat. "Aku mau minta gantiin Gunther aja buat kunjungan ke sana." "Lalu, yang nemenin kamu, siapa? Z mau ke Filipina bareng Naizar dan Izra." "Mau nggak mau, aku maksa Bayu dan Ubaid buat ikut. Karena Gunther gantiin aku. Emyr sama Kenzie juga sibuk keliling Indonesia. Di kantor sisa Gilang, Rini dan Gwen. Enggak mungkin aku ngajak mereka ke proyek itu." "Aj

    Last Updated : 2025-01-14

Latest chapter

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 07

    07Malam telah larut ketika Aditya kembali ke rumah kontrakan Martin. Seno yang membukakan pintu, terkejut saat Aditya menunjukkan Al Quran berukuran sedang di tangan kanannya. Seno membiarkan Aditya memasuki ruang tamu. Kemudian dia menutup dan mengunci pintu. Seno duduk di kursi terdekat, sembari memandangi Aditya yang sedang menghafal ayat suci. "Bang, sudah ketemu sama Pak Hendri?" tanya Seno dengan suara pelan. "Ya," jawab Aditya. "Apa katanya?" "Nanti kuceritain. Mau ngafalin ini dulu." Seno terdiam, lalu dia menyandar ke tumpukan bantal sofa. Pria berkaus hitam meraih ponselnya dari meja, kemudian dia berkelana di dunia maya. Sekian menit berlalu, Aditya telah selesai menghafalkan ayat yang ditunjukkan Hendri. Pria berambut lebat memijat belakang lehernya. Lalu Aditya mengambil botol minuman dari samping ranselnya. "Bang, gimana?" desak Seno. "Kata Kang Hendri, besok dia mau ngecek ke sungai. Mungkin ada aliran khusus yang nembus ke tempat proyek," terang Aditya seusai

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 06

    06Pagi itu, Martin dan Aditya telah berada di TKP. Mereka memerhatikan para pekerja yang sedang berjibaku untuk memadatkan tanah lapisan terbawah. Martin berbincang dengan Muchlis dan Ridho, di saung tempat pekerja beristirahat. Aditya memutari lokasi sembari memotret beberapa hal yang menurutnya penting. Aditya berhenti beraktivitas ketika melihat beberapa orang yang sedang mengarit di seberang. Asisten Yoga tersebut penasaran dan segera mendatangi keempat orang bertopi caping. Sebab bukan orang Sunda, Aditya akhirnya menyapa mereka dengan bahasa Indonesia. Dia meringis ketika pria paruh baya di hadapannya menyahut dengan bahasa Sunda yang cepat. "Mohon maaf, Pak. Bahasa Sunda saya terbatas. Jadi kita ngobrolnya pakai bahasa Indonesia saja," pinta Aditya yang dibalas anggukan pria berkaus hitam di depannya. "Ya, Kang. Mangga," tukas lelaki tua sambil membetulkan letak capingnya. "Bapak warga asli sini?" "Muhun." "Rumahnya, jauh?" "Enteu. Sakitar sakilo. Kanan tea." Pria itu

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 05

    05Hendri dan Wirya termangu, sesaat setelah mendengarkan penuturan Yuanna, tentang kejadian di pusat kota sore tadi. Kedua sahabat itu saling melirik, kemudian mereka sama-sama menghela napas berat dan mengembuskannya sekali waktu. Hendri berpikir cepat. Dia yakin jika ada yang tidak beres, yang sedang melingkupi Martin. Hendri akhirnya menerangkan maksudnya untuk menyelidiki tempat proyek yang sedang dikerjakan Martin. Namun, dia meminta Wirya dan Yuanna merahasiakannya. "Kapan kamu mau ke sana?" tanya Wirya. "Pengennya, sih, secepatnya," sahut Hendri. "Kekejar nggak waktunya? Kamu, kan, mau ke Sydney." Hendri tertegun sesaat. "Aku mau minta gantiin Gunther aja buat kunjungan ke sana." "Lalu, yang nemenin kamu, siapa? Z mau ke Filipina bareng Naizar dan Izra." "Mau nggak mau, aku maksa Bayu dan Ubaid buat ikut. Karena Gunther gantiin aku. Emyr sama Kenzie juga sibuk keliling Indonesia. Di kantor sisa Gilang, Rini dan Gwen. Enggak mungkin aku ngajak mereka ke proyek itu." "Aj

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 04

    04"Ko, dipanggil Bapak," tukas Dimas, seusai memasuki kamar tamu yang ditempatinya bersama Martin. "Bentar lagi aku keluar. Mau ke toilet dulu," balas Martin sembari bangkit dan jalan ke toilet di sudut kiri ruangan luas bernuansa abu-abu muda. Kala Martin melewatinya, Dimas tertegun. Asisten kedua Wirya itu mengendus-ngendus, karena aroma harum yang lembut menguar dari tubuh Martin. Sangat berbeda dengan wangi parfum yang biasa dipakai calon suami Yuanna tersebut. Dimas berpikir sesaat, kemudian dia mengangkat bahu. Lelaki berkaus putih tersebut berpindah ke depan cermin. Dimas menyisiri rambutnya sembari bersiul. Sekian menit terlewati, Dimas dan Martin telah berada di ruang makan. Mereka bersantap sembari mendengarkan percakapan Arsyad, Hendri dan Wirya. Tidak berselang lama, Fenita datang bersama suami dan Kellan, anaknya. Lelaki kecil berbaju merah langsung bergabung dengan Bayazid, anak Wirya dan Delany, yang kemudian mengajak Kellan bermain di teras. "Ada temannya, Kella

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 03

    03Sepanjang perjalanan menuju Kota Bandung, Martin terlelap. Dia benar-benar kelelahan, padahal selama berada di tempat proyek, Martin lebih sering berada di kantor dibandingkan luar ruangan. Hendri yang duduk bersama Martin dan Wirya di kursi belakang mobil Jeep, berulang kali mengamati lelaki yang usianya 6 tahun lebih muda darinya. Terbayang kembali sepasang mata di ujung kanan kantor. Hendri benar-benar penasaran dan sangat ingin mengecek lokasi itu sekali lagi. Namun, Hendri merahasiakan hal itu dari Martin, agar pria bermata sipit tersebut tidak cemas. "Koko Chyou ngajak ketemuan," ujar Wirya yang sedang berbalas pesan dengan Kakak sepupu istrinya, Delany. "Kapan?" tanya Hendri. "Senin minggu depan. Dia baru nyampe dari Bali itu, hari Sabtu. Minggunya istirahat. Senin baru masuk kantor GWG." "Kayaknya aku nggak bisa. Kamu aja, W." Hendri dan teman-temannya semasa kuliah terbiasa dipanggil dengan huruf depan nama masing-masing. "Aku juga mau ke Kanada bareng Yoga." Wirya

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 02

    02"Dho, di sini, ada tukang urut, nggak?" tanya Martin. "Kurang tahu." Risho mengamati bosnya, lalu dia bertanya, "Kenapa, Mas?" "Badanku pegal-pegal. Terutama punggung. Kayak habis manggul karung." Ridho menyunggingkan senyuman. "Memangnya Mas pernah manggul karung?" "Pernah. Aku dilatih Papa dengan keras. Katanya, nggak peduli aku anaknya, tetap harus bantu angkut barang di grosiran." Ridho mengangguk paham. "Pak Razman beda dengan pengusaha lainnya yang aku kenal. Beliau sangat tegas dan nggak pilih kasih.""Papa lahir di keluarga sederhana. Beliau dan adik-adiknya bekerja keras, hingga bisa berhasil seperti sekarang." Martin memandangi sekeliling. "Papa yang memintaku berbisnis di sini. Supaya keturunannya tetap ada di tanah kelahirannya," lanjutnya. Kedatangan beberapa orang menjadikan percakapan itu terjeda. Martin mengangkat alis kala menyaksikan wajah kepala sekuriti yang terlihat tegang. "Ada apa, Dang?" tanya Martin. "Lapor, Pak. Ada alat berat yang terguling," jela

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 01 - Koko Chen, kemarilah!

    01"Mas, bos kita ngobrol sama siapa, ya?" tanya Ridho, supervisor proyek pembangunan pusat bisnis, di pinggir Kota Bandung.Seno Argianto menyipitkan mata untuk menajamkan penglihatan. "Kayaknya perempuan, tapi, mukanya nggak jelas. Ketutupan rambut," jawabnya. "Perempuan?" desak Ridho. "Hu um." "Tapi ... di sini nggak ada pekerja perempuan." Seno terdiam sesaat, lalu dia memandangi pria berkemeja cokelat di sebelah kiri. "Apa itu anak pemilik katering?" tanyanya. "Bu Lilis nggak punya anak perempuan." "Mungkin karyawannya." "Hmm, ya, bisa jadi." Keduanya meneruskan perbincangan sambil berpindah ke kantor pengelola. Sementara Martin Ragnala masih bercakap-cakap dengan perempuan berbaju Cheongsam merah. Martin terkejut, karena baru kali itu menemukan orang yang bisa berbahasa Tiociu, bahasa leluhurnya yang berasal dari Cina daratan. Pengusaha muda peranakan Tionghos itu begitu senang bisa kembali menggunakan bahasa turunan dari pihak ibunya, yang merupakan warga negara Malay

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status