06
Pagi itu, Martin dan Aditya telah berada di TKP. Mereka memerhatikan para pekerja yang sedang berjibaku untuk memadatkan tanah lapisan terbawah.
Martin berbincang dengan Muchlis dan Ridho, di saung tempat pekerja beristirahat. Aditya memutari lokasi sembari memotret beberapa hal yang menurutnya penting.
Aditya berhenti beraktivitas ketika melihat beberapa orang yang sedang mengarit di seberang. Asisten Yoga tersebut penasaran dan segera mendatangi keempat orang bertopi caping.
Sebab bukan orang Sunda, Aditya akhirnya menyapa mereka dengan bahasa Indonesia. Dia meringis ketika pria paruh baya di hadapannya menyahut dengan bahasa Sunda yang cepat.
"Mohon maaf, Pak. Bahasa Sunda saya terbatas. Jadi kita ngobrolnya pakai bahasa Indonesia saja," pinta Aditya yang dibalas anggukan pria berkaus hitam di depannya.
"Ya, Kang. Mangga," tukas lelaki tua sambil membetulkan letak capingnya.
"Bapak warga asli sini?"
"Muhun."
"Rumahnya, jauh?"
"Enteu. Sakitar sakilo. Kanan tea." Pria itu menunjuk tempat yang dimaksud.
"Di belakang bukit itu?"
"Muhun, Kang."
"Ke sini, pakai apa?"
"Motor." Lelaki tua mengarahkan tangan kanan ke lahan kosong di sisi kiri, di mana ada dua unit motor di sana.
"Bapak pernah dengar tentang ular yang kemarin? Maksud saya, yang sempat muncul dan melilit kaki pekerja."
Pria tua itu tertegun, lalu dia berbisik, "Jangan disebut, Kang. Dia suka muncul kalau ada yang manggil."
"Dia?"
"Oray, tea."
Aditya mengingat-ingat arti kata oray, kemudian dia mengangguk paham. "Sebelumnya, apa dia pernah muncul?"
"Ya. Sekitar beberapa kali. Terutama setelah tanah di sini diperjualbelikan beberapa orang."
"Bapak tahu? Ada yang bilang, kalau itu jelmaan penunggu sungai. Walaupun saya nggak terlalu paham tentang dunia mistis, tapi saya percaya jika ada penunggu di tempat-tempat tertentu."
Sang bapak mengangguk mengiakan. "Muhun, Kang. Dari Bapak kecil, memang sering dengar cerita orang-orang tua di kampung, tentang penunggu tempat ini."
"Tempat ini? Bukan sungai?"
Pria bertopi caping menggeleng. "Dulu, ada cerita tentang pemilik pertama tanah ini. Mereka orang China. Lalu, mereka menghilang. Setelahnya, penunggu itu mulai muncul. Mungkin buat menjaga tempat ini."
"Apa makhluk itu pernah menyerang orang lain? Selain pekerja yang kemarin."
"Bapak pernah dengar, ada yang digigit dan dibelit sampai kakinya patah. Katanya, sih, mereka tengah mencari harta karun, karena orang China itu kaya raya. Kabarnya, dia punya ruang bawah tanah. Tapi, sampai sekarang teu aya yang pernah nemu ruangan rahasia itu."
Sementara itu di tempat berbeda, Hendri tengah mencari informasi tentang tanah proyek, melalui internet. Dia memelototi layar laptop sembari mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi janggut pendek.
Pria berkemeja biru tua, benar-benar penasaran, karena informasinya tidak detail. Hendri hanya menemukan pemilik tanah terakhir, yakni Abdan Nayyara, salah satu pengusaha tua yang cukup terkenal di Jawa Barat.
Abdan tengah mengalami krisis keuangan sejak beberapa tahun silam. Hingga pria tua itu terpaksa melepas harta benda bergerak maupun yang tidak bergerak.
Saham Nayyara Grup, 50%-nya telah diakuisisi Baltissen Grup. Nandi, keponakan Abdan adalah asisten direktur utama Baltissen. Nandi berhasil membujuk para bos perusahaan besar itu untuk membeli saham Nayyara. Agar Abdan bisa bernapas lega, dan perusahaannya tidak gulung tikar.
Selain saham, Abdan juga menjual hampir semua tanahnya yang berada di seputar Kota Bandung. Martin membeli salah satu tanah itu, setelah dihubungi Jimmy, rekannya sesama pengusaha muda, yang merupakan calon suami Shireen, anak bungsu Abdan.
Selain Martin, Linggha Atthaya Pangestu, Giandra Ardianto, Fairel Atthariz Calief, dan Arman Rinaldi, juga turut membeli beberapa tanah lainnya. Mereka adalah anggota PG.
Hal serupa juga dilakukan Nazeem Kagendra, yang merupakan teman lama Abdan. Melalui putra sulungnya, Farisyasa, Nazeem membeli beberapa bidang tanah yang dialihkan Farisyasa menjadi kompleks perumahan kuldesak.
Demi menuntaskan bisnis barunya itu, Farisyasa menggandeng HWZ, yakni perusahaan kontraktor yang dimiliki Hendri, Wirya dan Zein.
"Kang," panggil seorang perempuan sembari memasuki ruangan.
"Ya, Gwen. What happen aya naon?" tanya Hendri sembari memandangi direktur keuangan yang sedang merapikan duduknya di kursi seberang meja.
"Kata Gilang, Akang mau ngecek proyeknya Martin."
"Hu um."
Gwen mengeluarkan bungkusan putih dari tas dan meletakkan benda itu ke meja. "Bawa ini."
"Naon eta?"
"Titipan Nini."
Hendri terdiam sesaat, lalu dia mendengkus. "Ninimu pasti bisa lihat duluan. Aku ketinggalan mulu."
Gwen mengulum senyuman. "Beliau lebih hebat dari kita."
"Itu dia. Susah benar mau nyamain kemampuan Nini."
"Jangankan beliau. Kelompok kita aja belum ada yang bisa ngelewatin Pak Mulyadi."
"Zein sedang menuju ke sana. Lagi rajin tirakat dia."
"Akang nggak nyoba?"
Hendri menggeleng. "Aku lagi fokus ke program kehamilan. Bagian itu, biar Zein, Bayu dan Ubaid yang maju."
Matahari bergerak naik dengan cepat. Siang bergeser ke ufuk barat dan menciptakan semburat senja yang memukau siapa pun yang melihatnya.
Seunit mobil MPV abu-abu berhenti di depan bangunan tiga lantai. Keempat penumpangnya keluar sambil membawa tas masing-masing.
Tidak berselang lama mereka telah berada di salah satu kamar di lantai dua. Hendri menunggu kedua petugas mengemasi extra bed. Kemudian dia memberikan tips pada keduanya, yang segera keluar seraya tersenyum.
Sekian menit berlalu, pintu kamar itu diketuk. Nirwan membukakan pintu, lalu dia memberi hormat pada sang senior yang membalas dengan anggukan.
Aditya memasuki ruangan luas sambil menenteng bungkusan plastik bening. Dia menyalami ketiga sahabat Wirya tersebut, kemudian Aditya duduk di kursi samping kanan Hendri.
Sang pengawas mengeluarkan kotak makanan ke meja. Seketika aroma harum menyergap indra penciuman, dan menjadikan keempat orang lainnya bersemangat untuk menyomot potongan martabak telur.
"Sudah dapat info, Dit?" tanya Hendri di sela-sela mengunyah.
"Cuma sedikit, Kang," jawab Aditya yang turut menikmati hidangan bawaannya.
"Jelasin. Biar besok aku teruskan nyari infonya."
"Ini tentang pemilik tanah pertama. Yaitu, keluarga keturunan Cina."
"Namanya?"
"Itu yang aku belum tahu. Harus nanya ke disdukcapil atau orang di kantor kecamatan."
"Ehm, oke. Lanjut."
"Keluarga itu punya tanah sepanjang hampir 1 kilometer. Hitunganku, dari perempatan besar itu, sampai ujung proyek."
"Luas banget berarti."
"Ya. Tapi, untuk lebih jelasnya lagi memang harus nanya yang lebih paham."
"Besok Ubaid yang ke kantor kecamatan. Karena aku, Bayu dan Nirwan, mau ngecek sungai di bawah bukit."
"Nah, Kang. Ternyata legenda penunggu sungai itu salah."
"Maksudnya?"
"Menurut informasi yang kudapatkan tadi pagi, penunggu itu sebenarnya menjaga tanah proyek." Aditya mengambil alat perekam kecil yang selalu dikantonginya ke mana-mana. "Kalian dengar ini," lanjutnya sambil menekan tombol play.
Selama beberapa menit berikutnya, Hendri dan rekan-rekannya mendengarkan percakapan antara Aditya dengan pria tua yang mengaku bernama Maman.
Alis Hendri bertaut, saat Maman mendongeng tentang keluarga keturunan Cina yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Selain keluarga itu, kedua asisten rumah tangganya pun turut lenyap.
07Malam telah larut ketika Aditya kembali ke rumah kontrakan Martin. Seno yang membukakan pintu, terkejut saat Aditya menunjukkan Al Quran berukuran sedang di tangan kanannya. Seno membiarkan Aditya memasuki ruang tamu. Kemudian dia menutup dan mengunci pintu. Seno duduk di kursi terdekat, sembari memandangi Aditya yang sedang menghafal ayat suci. "Bang, sudah ketemu sama Pak Hendri?" tanya Seno dengan suara pelan. "Ya," jawab Aditya. "Apa katanya?" "Nanti kuceritain. Mau ngafalin ini dulu." Seno terdiam, lalu dia menyandar ke tumpukan bantal sofa. Pria berkaus hitam meraih ponselnya dari meja, kemudian dia berkelana di dunia maya. Sekian menit berlalu, Aditya telah selesai menghafalkan ayat yang ditunjukkan Hendri. Pria berambut lebat memijat belakang lehernya. Lalu Aditya mengambil botol minuman dari samping ranselnya. "Bang, gimana?" desak Seno. "Kata Kang Hendri, besok dia mau ngecek ke sungai. Mungkin ada aliran khusus yang nembus ke tempat proyek," terang Aditya seusai
08Seno tertegun, sesaat setelah Hendri menuntaskan cerita tentang hasil penyelidikannya tadi pagi hingga menjelang zuhur. Seno mengingat-ingat tentang gorong-gorong yang pernah dilaporkan pekerja pembabat rumput, beberapa waktu silam. Ucapan mereka sama persis dengan keterangan Maman. Selama beberapa saat berikutnya, Seno memerhatikan Hendri dan yang lainnya berbincang. Tatapannya beralih pada Aditya yang menyambangi Hendri sambil mengulurkan ponselnya. Hendri mengambil benda itu dan langsung menyapa Abang iparnya. Namun, seketika dia meringis karena diomeli Wirya yang masih berada di kantor PBK. "Jangan marah-marah, atuh, Abang ipar. Nanti tensinya naik," bujuk Hendri. "Kamu bikin aku senewen!" sungut Wirya dari seberang telepon. "Kemarin Nirwan, sekarang Aditya yang mau dipinjam!" omelnya. "Selagi orangnya mau, Abang kasep." "Giliran ada maunya, baru muji aku. Teu baleg!" "Teu kudu dipuji. Maneh emang lebih cakep dari urang. Puas!" "Jigana teu ikhlas ngomongnya." "Pikaseb
09Sekelompok orang keluar dari mobil MPV hitam, yang terparkir belasan meter dari kediaman Martin. Mereka lari sekencang mungkin untuk menghalangi pria berkaus merah, yang tengah jalan sambil terhuyung-huyung. Nirwan yang pertama sampai, langsung menarik tangan kanan Martin. Sedangkan Ubaid menahan tangan kiri pria itu, sambil membaca doa dalam hati. Hendri dan Bayu yang tiba belakangan, serentak melakukan jurus halus olah napas. Kemudian mereka memegangi dada dan paha Martin, lalu menembakkan tenaga dalam secara penuh. Pekikan Martin mengiringi kemunculan kabut tebal di sekitarnya. Aditya yang telah berhasil membuka pintu, hendak mendekat, tetapi dicegah Nirwan. "Abang, siram air doa!" seru Nirwan sembari berusaha terus menahan Martin yang tengah memberontak. Aditya berbalik dan lari ke meja makan. Dia mengambil dua botol besar air mineral, lalu membawanya ke depan. Aditya membuka tutup botol pertama dengan tergesa-gesa, kemudian dia maju beberapa langkah dan menyiramkan air ke
10Siang itu, Martin tiba di rumah kontrakan bersama Seno, Aditya dan Nirwan. Mereka bergegas mengemasi pakaian, kemudian menaburkan bubuk bidara di sekeliling rumah. Mengikuti saran Hendri, Martin akan pindah ke hotel, dan nantinya dia ikut kelompok Hendri ke Bandung. Sebab dikhawatirkan makhluk yang lain kembali muncul, maka Martin harus menjauhi tempat itu. Sebelum berangkat, Aditya memastikan kamera CCTV berfungsi maksimal. Dia juga mengecek sambungan ke ponsel Seno, supaya yakin keadaan rumah itu tetap terpantau dari jarak jauh. Puluhan menit berikutnya, mereka telah berada di dekat gudang proyek. Hendri tengah menyoroti bagian dalam gorong-gorong, yang menurut pekerja telah tertutup tanah dan sampah. Martin memerhatikan sekeliling. Dia seolah-olah merasa mengenali tempat itu. Padahal dia belum pernah menginjakkan kaki di sana. Meskipun sudah sebulan Martin berkantor di lokasi tersebut, tetapi dia memang belum pernah meninjau kawasan belakang. Tatapan Martin beralih ke ujung
11Hendri dan Martin berdiri di teras sambil memandangi mobil MPV hitam yang dikemudikan Ubaid, bergerak menjauhi kantor pengelola proyek. Setelah mobil itu lenyap dari pandangan, keduanya berputar dan memasuki kantor. Tidak berselang lama Aditya dan Nirwan datang bersama Seno, sembari membawa banyak wadah makanan di dalam kantung plastik besar. OB kantor membagikan tempat makanan itu pada semua staf, kemudian sisanya dibawa ke belakang untuk dibagikan pada beberapa karyawan lainnya. Hendri bersantap sambil memandangi layar ponsel. Sudut bibirnya melengkungkan senyuman, kala membaca perdebatan rekan-rekannya di grup PC, tempatnya menjadi anggota. Tawa Hendri meledak menyaksikan kericuhan di grup itu. ****Grup PC 3*Idris : @Bertrand, sini kamu! Kita duel! Farzan Bramanty : Hayoloh, Bertrand. Farisyasa Kagendra : Bertrand ngumpet. Yoga Pratama : Dia ngeri dihajar Bang Idris. Nandito SAG : Buruan minta maaf, @Bertrand. Jevera Patibrata : Yang muda kudu sungkem sama yang tua.
12Hendri terbangun ketika mendengar suara Martin. Alih-alih membangunkan lelaki muda tersebut, Hendri justru meraih ponselnya dari meja kecil, lalu mengarahkannya pada Martin sembari mengaktifkan fitur video. Aditya yang turut terbangun, akhirnya ikut merekam igauan Martin. Sang asisten Yoga itu terkejut, ketika pria berkaus putih memekik dan meneriakkan nama seseorang. Hendri terus mengamati kala Martin terisak-isak. Dia seolah-olah bisa merasakan kesedihan calon iparnya tersebut. Terutama karena tangisan Martin yang menyayat hati. Sekian menit berlalu, suasana telah kembali tenang. Martin sudah terlelap, demikian juga dengan Seno dan Nirwan. Hendri memberi kode pada Aditya untuk mengikutinya pindah ke sofa. "Margaretha, aku kayak pernah lihat nama itu, tapi nggak tahu di mana," cakap Hendri. "Coba diingat-ingat lagi, Kang. Mungkin itu petunjuk penting," sahut Aditya. "Nantilah. Aku, tuh, kalau memaksa otak buat berpikir, malah makin buntu." "Terus gimana?" Hendri memegangi
13Mobil yang dikemudikan Nirwan melaju dengan kecepatan tinggi menuju Kota Bandung. Hendri hendak mendatangi gurunya, untuk membahas masalah yang dialami Martin. Hendri terpaksa melibatkan Mulyadi, karena dia sudah kehabisan cara untuk mencari apa pun petunjuk di tempat proyek, dan juga rumah kontrakan Martin. Kamera CCTV yang terpasang di rumah itu, tidak memperlihatkan apa pun. Pertanda tempat itu sudah tidak lagi didatangi makhluk astral. Setibanya di tempat tujuan, ternyata Gilang telah berada di sana. Disusul Bayu dan Ubaid, serta Rheamaza, Freya dan Rini. Seusai menyalami semua orang, Hendri menuturkan kejadian selama dua hari terakhir. Kemudian dia memperlihatkan video dari ponselnya dan ponsel Aditya. "Kang, Nini besok minta Akang dan Koko ke rumahnya," tukas Freya, Adik Gwen, seusai berbalas pesan dengan neneknya. "Aku bisanya malam, Fre. Pagi sampai sore, aku mau meeting," jelas Hendri. "Meeting di mana?" tanya Ubaid. "HnB, Pangestu, terakhir di kantor ZAMRUD," tera
14Hendri memindahkan semua foto kiriman Seno ke file khusus di drive email. Dia tidak mau Martin membaca pesan itu, karena pria yang dimaksud akan curiga. Setelahnya, Hendri mengirimkan semua foto ke grup HWZ minus karyawan biasa. Seusai seluruh bukti terkirim, Hendri menghapus percakapan pesannya dengan Seno. Tidak berselang lama, satu per satu anggota grup mengomentari pesan kiriman Hendri. Sesuai usul dari Gwen, per orang akan menyelidiki satu nama dalam daftar itu. Lalu, semua laporan dikirim ke tiga bos HWZ, untuk ditindaklajuti. ****Grup HWZ A* Zein : @W, siapa yang bisa nyelidikin ke tempatnya? Wirya : Antara Ari atau Harun. Karena Yusuf mau tugas nemenin Zulfi ke Yunani. Aditya, ngawal Yoga ke Kanada. Hendri : Ari dan Harun sama-sama pemberani. Mereka juga sudah diajarkan jurus kasar. Berarti bisa melawan demit, kalau kebetulan ketemu.Wirya : Mereka nggak bisa tugas barengan. Gantian, @H. Zein : Harun, kan, nemenin H ke Shanghai. Berarti yang ngecek datanya, Ari. Wi
65Bulan berganti. Proyek KARZD akhirnya rampung. Pagi itu diadakan peresmian bangunan yang akan menjadi pusat bisnis sepanjang hampir 1km. Ketiga bos HWZ dan keluarga, serta para tamu undangan, memenuhi lobi utama gedung yang akan menjadi pusat kegiatan di kawasan strategis ituKeluarga Danantya, Pramudya, Baltissen dan Adhitama juga turut hadir. Selain mereka, beberapa sahabat Martin di PC dan PCD juga menghadiri acara penting bagi KARZD. Setelah Hendri dan Martin menyampaikan pidato, Mulyadi menaiki panggung untuk membacakan doa, yang diikuti hadirin dengan khusyuk. Selanjutnya, acara pengguntingan pita yang dilakukan kelima komisaris perusahaan tersebut. Zein dan Martin mengapit Wirya, Zulfi dan Hendri. Mereka bersama-sama memotong pita, kemudian mereka mempersilakan ketiga bocah untuk memencet tombol. Bayazid, Fazluna dan Rhetta, berseru ketika berbagai hiasan dari kertas mengilat, muncul dari lantai dua dengan diiringi aneka pita kecil berwarna-warni. Puluhan menit terlewati
64Jalinan waktu terus bergulir. Semua anggota rombongan penembus lorong waktu, telah kembali ke kediaman masing-masing dan menjalankan aktivitas seperti biasanya. Yìchèn yang menetap di kediaman Frederick Adhitama, telah membaca surat panjang dari Shin Hung. Bersama Qianfan dan yang lainnya, Yìchèn juga sudah membahas isi surat dan silsilah keluarga Chow serta Shin Fung. Dua minggu berlalu, Martin dan tim Bandung mendatangi Yìchèn di Jakarta. Kemudian mereka melanjutkan perbincangan tentang isi surat itu. "Koko yakin mau berangkat ke sana?" tanya Martin sambil memandangi kembarannya lekat-lekat. "Ya, tapi tidak sekarang," jawab Yìchèn. "Lalu, kapan?" desak Martin. "Menunggu aku punya identitas sendiri." "Oh, belum selesai, ya?" Yìchèn mengangguk mengiakan. "Pengacara keluargaku tengah mengurusnya." Martin mengangkat alisnya. "Keluarga Koko?" "Ya. Aku sekarang jadi bagian dari keluarga PBK." Martin mengulaskan senyuman. "Betul juga, sih." "Koko mau diangkat anak sama Papa
63Bau angit sisa-sisa kebakaran, yang sempat memenuhi area kanan belakang kantor pengelola proyek KARZD, perlahan menghilang. Matahari pagi bergerak cepat memutari bumi. Siang menjelang dengan diiringi gerimis, yang menyebabkan tanah di sekitar gudang kecil menjadi basah. Tim tiga dan empat berjibaku membangun tenda, dengan dibantu Seno, Ridho, dan Muchlis. Maman, Jajang, dan para petugas keamanan, juga turut membantu menjadi penyedia konsumsi. Dua lampu sorot besar diarahkan ke pintu gudang yang ditutupi kain hitam. Empat lampu lainnya digunakan untuk penerangan sekitar tenda, yang dibangun memanjang dari depan gudang kecil hingga ujung gudang besar. Yuanna merapikan lipatan handuk dan pakaian ganti buat anggota rombongan yang berada di lorong waktu. Sedangkan Gantari dan Sinta menyusun bungkusan plastik bening yang berisikan kue-kue serta minuman. Arsyad jalan mondar-mandir di sisi kanan tenda. Dia benar-benar khawatir, karena kelompok Zainal dan Hendri belum juga muncul. Pada
62Seorang pria tua menyambut rombongan Yìchèn dengan penghormatan. Dia memberikan bungkusan kain pada orang terdepan, yakni Dante. Keduanya bercakap-cakap sesaat, sebelum lelaki tua membuka pintu bangunan kecil itu. Cahaya terang seketika terpancar dari dalam. Semua orang di bagian depan menyipitkan mata, kemudian mereka berbaris dua orang, sesuai arahan Wirya. Yìchèn yang berpindah ke depan bersama Freya, memberi hormat dengan sedikit membungkuk pada suami Shin Fung, dan keluarga Chow, yang membalas dengan hal yang sama. Yìchèn menegakkan badan, lalu menunggu kedua orang terdepan memulai perjalanan mereka menuju masa modern. Hendri dan Zein menggerak-gerakkan kedua tangan mereka membentuk jurus halus olah napas. Keduanya serentak menembakkan tenaga dalam ke cahaya, yang seketika meredup dan memperlihatkan kumparan kabut tebal yang tidak terlalu terang. Hendri dan Zein melangkah bersamaan. Ubaid dan Bayu mengikuti di belakang. Keempatnya bekerjasama menembakkan tenaga dalam ke s
61Langit malam dipenuhi jutaan bintang. Rembulan memamerkan bentuknya yang sempurna, hingga mampu sedikit menerangi dunia. Angin berembus sepoi-sepoi di sekitar halaman depan kediaman keluarga Shin Fung, dan menyebabkan dedaunan di pohon-pohon itu bergoyang dengan pelan. Puluhan orang memenuhi seputar halaman. Mereka menonton ritual sembahyang ala orang Tiongkok, yang dilakukan Shin Fung, keluarga Chow, Yìchèn dan Qianfan. Chyou dan kelompok berselempang kain merah, berjaga-jaga di dekat tempat pemujaan. Kelompok Wirya yang menggunakan selempang biru, bersiaga di sekitar area sebagai lapisan kedua. Pasukan Ming Tianba menjadi pelindung utama di seputar rumah besar. Mereka bergantian mengawasi jalanan, supaya bisa mendeteksi pergerakan dari luar. Sebab saat itu masih zaman penjajahan Belanda, semua warga harus berhati-hati dalam mengadakan aktivitas yang melibatkan banyak orang. Kendatipun Shin Fung dan Tan Liu Chow telah mendapatkan izin dari pejabat setempat untuk melakukan per
60Rombongan pimpinan Chyou tiba di depan rumah besar berarsitektur khas zaman dulu. Batu hitam menghiasi sisi bawah dinding, sedangkan bagian atasnya di-cat putih. Shin Fung mempersilakan semua orang memasuki ruangan. Dia penasaran, karena tidak ada seorang pun yang membuka kain penutup di wajah mereka. Selain itu, nyaris tidak ada yang berbincang. Selain Yìchèn, Qianfan, dan beberapa pengawal berselempang kain merah.Para pelayan bergegas menyuguhkan minuman dan makanan di belasan meja besar. Loko, Michael, Gibson dan Cedric mengelilingi setiap meja untuk mengecek, apakah ada racun pada hidangan. Shin Fung membatin, bila sepertinya anak buah Yìchèn memahami berbagai cara pengamanan, dan hal itu kian meningkatkan rasa keingintahuannya. "Saya belum tahu nama Tuan," ujar Shin Fung sambil memandangi pria berbaju cokelat di kursi sebelah kanannya. "Saya, Vong Qianfan," jawab lelaki yang rambutnya telah dihiasi uban. "Berasal dari mana?" "Guangzhou." "Bagaimana Tuan bisa bertemu de
59Kelompok satu dan dua akhirnya tiba di ujung lorong. Kabut putih tebal nan dingin menyelimuti tempat hening dan sangat terang itu.Semua orang mengatur barisan sesuai rencana yang telah dibuat ketiga komisaris HWZ. Mereka menunggu Martin mengatur napas, lalu mereka mengikuti langkah pria berpakaian bangsawan Tionghoa tersebut, menembus kabut. Hendri, Ubaid, Zein dan Bayu, mendampingi Martin di barisan terdepan. Keempat pria berpakaian prajurit tersebut, menembakkan tenaga dalam ke sisi kanan serta kiri, agar orang-orang di belakang bisa melihat lebih jelas ke depan. Tiba di depan gerbang besar bernuansa putih, Ubaid dan Bayu mundur. Posisi mereka digantikan Chyou dan Qianfan, yang akan bertugas sebagai pendamping utama Martin. Martin menempelkan telapak tangan kanannya ke gerbang. "Bibi, aku datang," tuturnya menggunakan bahasa Tiociu. Martin mundur selangkah ketika gerbang membuka sedikit demi sedikit, hingga terbuka sepenuhnya. Martin tertegun menyaksikan seorang perempuan pa
58"Baru kali ini aku masuk lorong waktu. Ternyata sepi dan ... aneh," tutur Zulfi dengan suara pelan. "Aku juga baru tahu bagian dalamnya kayak gini. Kemarin itu cuma masuk beberapa meter," jawab Wirya. "Kita melalui jalur aman, Bang. Ini bagian paling dalam dari lingkaran kumparan waktu," jelas Rahman yang berjalan di depan bersama Wirya. "Ada berapa lapisan, Man?" tanya Zulfi yang berdampingan dengan Dante di barisan kedua. "Biasanya, ada tiga." Rahman menunjuk keluar. "Tim Kang Hendti ada di lapisan kedua. Lorongnya lebih besar, tapi banyak akar dan bebatuan. Nggak kayak yang kita lewati ini," lanjutnya. "Lapis ketiga, lebih gelap sekaligus banyak gangguan. Itu yang dilewati kelompok Kang Hendri, waktu mencari Koko Martin tempo hari," pungkas Rahman. "Pantas mereka semua luka-luka," sahut Wirya. "Ya, karena di sana mereka bertemu dengan berbagai bentuk makhluk gaib. Paling banyak, kurcaci yang bentuknya mengerikan," terang Rahman. "Kayak di film The Lord Of The Ring?" "Be
57Matahari baru naik sepenggalah, ketika sekelompok orang berkumpul di dua tempat. Kelompok Zainal berada di belakang kantor pengelola proyek. Sedangkan kelompok Zein berada di dekat mulut goa tepi sungai. Yìchèn yang ikut dalam rombongan kedua, memerhatikan sekeliling sambil bergumam. Dia kaget, karena tempat itu memang mirip dengan sungai di Guandong, yang pernah didatanginya tempo hari. Yìchèn memegangi beberapa bebatuan yang landai. Sungai yang airnya menyusut karena musim kemarau, menjadikan batu-batu itu bisa terlihat jelas. Pria berambut sebahu, duduk di salah satu batu. Dia meraih seruling khas Chinese yang dibawakan Chyou dari Taiwan, lalu menempelkan benda itu di bibirnya.Alunan musik tunggal nan lembut, menyebabkan semua orang terdiam. Mereka menonton Yìchèn yang tengah bermain musik sambil membayangkan sosok orang-orang yang dikasihinya. Yìchèn begitu merindukan Mùchèn dan kedua orang tuanya. Bahkan pria berambut sebahu tersebut juga merindukan kudanya, yang telah ma