Share

Bab 03

Author: Olivia Yoyet
last update Last Updated: 2025-01-14 11:00:33

03

Sepanjang perjalanan menuju Kota Bandung, Martin terlelap. Dia benar-benar kelelahan, padahal selama berada di tempat proyek, Martin lebih sering berada di kantor dibandingkan luar ruangan. 

Hendri yang duduk bersama Martin dan Wirya di kursi belakang mobil Jeep, berulang kali mengamati lelaki yang usianya 6 tahun lebih muda darinya. 

Terbayang kembali sepasang mata di ujung kanan kantor. Hendri benar-benar penasaran dan sangat ingin mengecek lokasi itu sekali lagi. Namun, Hendri merahasiakan hal itu dari Martin, agar pria bermata sipit tersebut tidak cemas. 

"Koko Chyou ngajak ketemuan," ujar Wirya yang sedang berbalas pesan dengan Kakak sepupu istrinya, Delany. 

"Kapan?" tanya Hendri. 

"Senin minggu depan. Dia baru nyampe dari Bali itu, hari Sabtu. Minggunya istirahat. Senin baru masuk kantor GWG." 

"Kayaknya aku nggak bisa. Kamu aja, W." Hendri dan teman-temannya semasa kuliah terbiasa dipanggil dengan huruf depan nama masing-masing. 

"Aku juga mau ke Kanada bareng Yoga." Wirya memajukan badannya. "Z, kamu yang nemuin Koko," pintanya. 

"Senin, kan? Bisa aku. Kalau Selasa, aku mau berangkat ke Filipina bareng tim lain," terang Zein yang menemani Aditya di kursi depan. 

"Ajak Naizar dan Izra. Mereka sudah harus bisa nanganin proyek besar," imbuh Hendri. 

"Aku ikutlah. Pengen nyoba ngerjain proyek bareng bos luar negeri kelas kakap," pinta Aditya sembari terus mengemudi. 

"Izin dulu ke SHEHHBY. Nanti dikira aku merebut karyawannya," seloroh Wirya. 

"Ya, nanti aku ngomong ke Bang Yoga," jawab Aditya. 

"Kalau diizinkan, ajak Syuja, Dit. Biar dia bisa gantikan posisimu nanti." 

"Siap." 

"Kamu mau pindah kerja, Dit?" tanya Zein. 

"Bukan, Bang. Aku gantikan posisi Bang Yoga," jelas Aditya. 

"Direktur operasional?" 

"Ya." 

"Keren!" Zein menepuk-nepuk lengan kiri salah satu pengawal lapis tiga andalan PBK. 

"Mantaplah kamu, Dit," puji Hendri. 

"Sebetulnya aku masih belum percaya diri buat gantiin Bang Andri. Tapi, ketujuh bos SHEHHBY mintanya begitu," papar Aditya. 

"Bang Sam dan yang lainnya sudah sangat percaya ke kamu, Dit. Lagi pula, memang belum ada junior di sana yang sanggup nempatin posisi itu," cakap Wirya. 

"Bang, kalau ada pengawal baru yang bagus, arahkan ke grup kami," beber Aditya. "Bang Yoga dan Bang Andri mulai ngeluh kekurangan orang baru," lanjutnya. 

"Sabar. Aku lagi neliti angkatan 14 dan 15 ini. Sudah ada belasan yang potensinya bagus. Nanti kusebar ke Power Rangers hijau, kuning, hitam dan yang lainnya." 

"Kayaknya makin dikit yang lolos jadi pengawal, ya, W?" sela Hendri. 

Wirya mengangguk mengiakan. "Sebetulnya bukan dipersulit, tapi, aku dari awal sudah negasin, pengawal baru harus siap dinas luar Pulau Jawa. Itu yang masih jadi kendala, karena banyak orang tua yang nggak ngizinin. Padahal anaknya mau." 

"Begitulah orang kita. Anak dikirim merantau itu supaya punya wawasan luas. Anaknya berhasil, orang tua juga yang senang." 

Pembicaraan itu terjeda ketika Martin mengigau. Hendri dan Wirya mengamati pria yang duduk di ujung kanan. Keduanya saling menatap, kemudian Hendri memegangi kepala Martin yang masih terus mengoceh. 

"Kamu siapa?" tanya Martin sembari menggerak-gerakkan kepala dan tangannya. "Aku bukan Chen. Namaku, Martin," lanjutnya. 

Tiba-tiba tangan kanan Martin terangkat ke atas, seolah-olah tengah ditarik. Hendri bergegas menahan badan Adik iparnya. Sedangkan Wirya merunduk untuk menahan kaki Martin. 

"Z, tembak!" pekik Hendri sembari terus memegangi pria yang badannya lebih besar darinya. 

Zein memutar badan ke belakang. Dia menggumamkan doa, lalu menempelkan tangan kanan ke lutut Martin. Zein menembakkan tenaga dalam secara penuh. Sementara Hendri mencoba melapisi tubuh Martin dengan perisai doa. 

"Argh!" jerit Martin seiring dengan tangannya yang terhempas ke bawah. 

Wirya berpindah ke depan Martin, lalu menepuk-nepuk kedua pipi lelaki tersebut untuk membangunkannya. 

Hendri meringis ketika tangannya terasa panas. Dia tetap bertahan memegangi Martin, hingga lelaki berjaket hitam itu benar-benar terjaga. 

Zein membuka botol minuman kecil dan membacakan doa, sebelum dia memberikan botol pada Wirya yang membantu memegangi benda itu agar Martin bisa minum. 

"Kamu mimpi apa?" tanya Zein saat Martin memandanginya. 

"Dia datang lagi, dan narik aku, kuat banget," jelas Martin sembari mengerjap-ngerjapkan mata. 

"Dia siapa?" desak Wirya yang turut meminum air di botol untuk menenangkan diri. 

"Enggak jelas, Bang. Tapi, suaranya, sih, perempuan," ungkap Martin. 

"W, tolong lihatin. Tanganku panas," ungkap Hendri sembari menunjukkan telapak tangannya. 

Wirya menyalakan lampu di atas untuk mengamati tangan Adik iparnya yang memerah. "Kok, kayak luka bakar?" tanyanya. 

"Sudah kuduga. Panas banget," tukas Hendri. 

"Siram dikit pakai air itu, H," sela Zein. "Habis itu olesin krim lidah buaya. Ada di cooling box," sambungnya. 

Zein dan Martin mengamati saat Hendri menyirami tangannya dengan hati-hati. Sedangkan Wirya mencari benda yang dimaksud di bagasi belakang. 

Puluhan menit terlewati. Kedua mobil itu sudah tiba di kediaman Arsyad. Pria tua tersebut terkejut kala melihat telapak tangan kanan putranya tampak mengelupas. 

Arsyad hendak bertanya, tetapi diurungkan ketika Hendri menggeleng pelan. Arsyad mengangguk paham, kemudian dia mengajak semua orang memasuki ruang tamu. 

Yuanna keluar sambil membawakan minuman untuk semua orang. Disusul Irshava, istri Hendri, yang membawa dua piring kue. 

Irshava tertegun memandangi tangan suaminya. Dia melirik Hendri yang hanya tersenyum tipis. Irshava mengeluh dalam hati, karena lagi-lagi lelakinya harus mengalami luka yang sama. Dia yakin jika Hendri telah mengerahkan tenaga dalam. Entah buat apa. 

Seusai berbincang selama belasan menit, Ubaid, Zein dan Bayu berpamitan untuk pulang. Mereka diantarkan Aditya yang juga hendak pulang ke mess khusus pengawal. 

"Sebenarnya, ada apa?" tanya Arsyad, sesaat setelah Irshava dan Yuanna memasuki ruangan dalam.

Hendri beradu pandang dengan Wirya, kemudian mereka bekerjasama menjelaskan tentang peristiwa yang terjadi di mobil. 

Arsyad terperangah, lalu dia memerhatikan Martin yang sedang memijat dahinya. Arsyad menggeser duduknya mendekati sang calon menantu, lalu dia memegangi puncak kepala Martin yang seketika diam. 

"Sudah berapa kali kamu didatangi orang itu, Mar?" tanya Arsyad, seusai membaca doa untuk pria muda tersebut. 

"Sama tadi, empat kali, Pak," jelas Martin. 

"Maksud Bapak, bukan dalam mimpi. Tapi ketemu langsung." 

"Ehm, aku belum pernah ketemu orangnya." 

Arsyad menggeleng. "Sudah pernah, tapi kamu nggak sadar." 

Martin terperangah. "Kapan, Pak? Apa kelihatan?" 

Arsyad kembali menggeleng. "Tertutup kabut tebal. Mata batin Bapak nggak bisa nembus." 

Selama beberapa saat suasana hening. Ketiga orang tersebut memerhatikan Martin yang tengah mengingat-ingat sembari bergumam. 

"Coba dirunut, Mar," usul Hendri. 

"Dimulai dari kamu datang ke tempat proyek," imbuh Wirya. "Supaya gampang, sekalian ditulis," sambungnya sembari membuka tas kerja dan mengambil buku kecil serta pulpen. 

Martin menerima benda yang diberikan pria berambut belah tengah. Kemudian dia menyebutkan nama orang-orang yang ditemui sepanjang bulan itu. 

Tiba-tiba Martin berhenti menulis. Dia membulatkan mata, kala mengingat sosok perempuan berbaju Cheongsam merah, yang suaranya mirip dengan orang di dalam mimpinya. 

Related chapters

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 04

    04"Ko, dipanggil Bapak," tukas Dimas, seusai memasuki kamar tamu yang ditempatinya bersama Martin. "Bentar lagi aku keluar. Mau ke toilet dulu," balas Martin sembari bangkit dan jalan ke toilet di sudut kiri ruangan luas bernuansa abu-abu muda. Kala Martin melewatinya, Dimas tertegun. Asisten kedua Wirya itu mengendus-ngendus, karena aroma harum yang lembut menguar dari tubuh Martin. Sangat berbeda dengan wangi parfum yang biasa dipakai calon suami Yuanna tersebut. Dimas berpikir sesaat, kemudian dia mengangkat bahu. Lelaki berkaus putih tersebut berpindah ke depan cermin. Dimas menyisiri rambutnya sembari bersiul. Sekian menit terlewati, Dimas dan Martin telah berada di ruang makan. Mereka bersantap sembari mendengarkan percakapan Arsyad, Hendri dan Wirya. Tidak berselang lama, Fenita datang bersama suami dan Kellan, anaknya. Lelaki kecil berbaju merah langsung bergabung dengan Bayazid, anak Wirya dan Delany, yang kemudian mengajak Kellan bermain di teras. "Ada temannya, Kella

    Last Updated : 2025-01-14
  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 05

    05Hendri dan Wirya termangu, sesaat setelah mendengarkan penuturan Yuanna, tentang kejadian di pusat kota sore tadi. Kedua sahabat itu saling melirik, kemudian mereka sama-sama menghela napas berat dan mengembuskannya sekali waktu. Hendri berpikir cepat. Dia yakin jika ada yang tidak beres, yang sedang melingkupi Martin. Hendri akhirnya menerangkan maksudnya untuk menyelidiki tempat proyek yang sedang dikerjakan Martin. Namun, dia meminta Wirya dan Yuanna merahasiakannya. "Kapan kamu mau ke sana?" tanya Wirya. "Pengennya, sih, secepatnya," sahut Hendri. "Kekejar nggak waktunya? Kamu, kan, mau ke Sydney." Hendri tertegun sesaat. "Aku mau minta gantiin Gunther aja buat kunjungan ke sana." "Lalu, yang nemenin kamu, siapa? Z mau ke Filipina bareng Naizar dan Izra." "Mau nggak mau, aku maksa Bayu dan Ubaid buat ikut. Karena Gunther gantiin aku. Emyr sama Kenzie juga sibuk keliling Indonesia. Di kantor sisa Gilang, Rini dan Gwen. Enggak mungkin aku ngajak mereka ke proyek itu." "Aj

    Last Updated : 2025-01-14
  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 06

    06Pagi itu, Martin dan Aditya telah berada di TKP. Mereka memerhatikan para pekerja yang sedang berjibaku untuk memadatkan tanah lapisan terbawah. Martin berbincang dengan Muchlis dan Ridho, di saung tempat pekerja beristirahat. Aditya memutari lokasi sembari memotret beberapa hal yang menurutnya penting. Aditya berhenti beraktivitas ketika melihat beberapa orang yang sedang mengarit di seberang. Asisten Yoga tersebut penasaran dan segera mendatangi keempat orang bertopi caping. Sebab bukan orang Sunda, Aditya akhirnya menyapa mereka dengan bahasa Indonesia. Dia meringis ketika pria paruh baya di hadapannya menyahut dengan bahasa Sunda yang cepat. "Mohon maaf, Pak. Bahasa Sunda saya terbatas. Jadi kita ngobrolnya pakai bahasa Indonesia saja," pinta Aditya yang dibalas anggukan pria berkaus hitam di depannya. "Ya, Kang. Mangga," tukas lelaki tua sambil membetulkan letak capingnya. "Bapak warga asli sini?" "Muhun." "Rumahnya, jauh?" "Enteu. Sakitar sakilo. Kanan tea." Pria itu

    Last Updated : 2025-01-31
  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 07

    07Malam telah larut ketika Aditya kembali ke rumah kontrakan Martin. Seno yang membukakan pintu, terkejut saat Aditya menunjukkan Al Quran berukuran sedang di tangan kanannya. Seno membiarkan Aditya memasuki ruang tamu. Kemudian dia menutup dan mengunci pintu. Seno duduk di kursi terdekat, sembari memandangi Aditya yang sedang menghafal ayat suci. "Bang, sudah ketemu sama Pak Hendri?" tanya Seno dengan suara pelan. "Ya," jawab Aditya. "Apa katanya?" "Nanti kuceritain. Mau ngafalin ini dulu." Seno terdiam, lalu dia menyandar ke tumpukan bantal sofa. Pria berkaus hitam meraih ponselnya dari meja, kemudian dia berkelana di dunia maya. Sekian menit berlalu, Aditya telah selesai menghafalkan ayat yang ditunjukkan Hendri. Pria berambut lebat memijat belakang lehernya. Lalu Aditya mengambil botol minuman dari samping ranselnya. "Bang, gimana?" desak Seno. "Kata Kang Hendri, besok dia mau ngecek ke sungai. Mungkin ada aliran khusus yang nembus ke tempat proyek," terang Aditya seusai

    Last Updated : 2025-01-31
  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 01 - Koko Chen, kemarilah!

    01"Mas, bos kita ngobrol sama siapa, ya?" tanya Ridho, supervisor proyek pembangunan pusat bisnis, di pinggir Kota Bandung.Seno Argianto menyipitkan mata untuk menajamkan penglihatan. "Kayaknya perempuan, tapi, mukanya nggak jelas. Ketutupan rambut," jawabnya. "Perempuan?" desak Ridho. "Hu um." "Tapi ... di sini nggak ada pekerja perempuan." Seno terdiam sesaat, lalu dia memandangi pria berkemeja cokelat di sebelah kiri. "Apa itu anak pemilik katering?" tanyanya. "Bu Lilis nggak punya anak perempuan." "Mungkin karyawannya." "Hmm, ya, bisa jadi." Keduanya meneruskan perbincangan sambil berpindah ke kantor pengelola. Sementara Martin Ragnala masih bercakap-cakap dengan perempuan berbaju Cheongsam merah. Martin terkejut, karena baru kali itu menemukan orang yang bisa berbahasa Tiociu, bahasa leluhurnya yang berasal dari Cina daratan. Pengusaha muda peranakan Tionghos itu begitu senang bisa kembali menggunakan bahasa turunan dari pihak ibunya, yang merupakan warga negara Malay

    Last Updated : 2025-01-14
  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 02

    02"Dho, di sini, ada tukang urut, nggak?" tanya Martin. "Kurang tahu." Risho mengamati bosnya, lalu dia bertanya, "Kenapa, Mas?" "Badanku pegal-pegal. Terutama punggung. Kayak habis manggul karung." Ridho menyunggingkan senyuman. "Memangnya Mas pernah manggul karung?" "Pernah. Aku dilatih Papa dengan keras. Katanya, nggak peduli aku anaknya, tetap harus bantu angkut barang di grosiran." Ridho mengangguk paham. "Pak Razman beda dengan pengusaha lainnya yang aku kenal. Beliau sangat tegas dan nggak pilih kasih.""Papa lahir di keluarga sederhana. Beliau dan adik-adiknya bekerja keras, hingga bisa berhasil seperti sekarang." Martin memandangi sekeliling. "Papa yang memintaku berbisnis di sini. Supaya keturunannya tetap ada di tanah kelahirannya," lanjutnya. Kedatangan beberapa orang menjadikan percakapan itu terjeda. Martin mengangkat alis kala menyaksikan wajah kepala sekuriti yang terlihat tegang. "Ada apa, Dang?" tanya Martin. "Lapor, Pak. Ada alat berat yang terguling," jela

    Last Updated : 2025-01-14

Latest chapter

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 07

    07Malam telah larut ketika Aditya kembali ke rumah kontrakan Martin. Seno yang membukakan pintu, terkejut saat Aditya menunjukkan Al Quran berukuran sedang di tangan kanannya. Seno membiarkan Aditya memasuki ruang tamu. Kemudian dia menutup dan mengunci pintu. Seno duduk di kursi terdekat, sembari memandangi Aditya yang sedang menghafal ayat suci. "Bang, sudah ketemu sama Pak Hendri?" tanya Seno dengan suara pelan. "Ya," jawab Aditya. "Apa katanya?" "Nanti kuceritain. Mau ngafalin ini dulu." Seno terdiam, lalu dia menyandar ke tumpukan bantal sofa. Pria berkaus hitam meraih ponselnya dari meja, kemudian dia berkelana di dunia maya. Sekian menit berlalu, Aditya telah selesai menghafalkan ayat yang ditunjukkan Hendri. Pria berambut lebat memijat belakang lehernya. Lalu Aditya mengambil botol minuman dari samping ranselnya. "Bang, gimana?" desak Seno. "Kata Kang Hendri, besok dia mau ngecek ke sungai. Mungkin ada aliran khusus yang nembus ke tempat proyek," terang Aditya seusai

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 06

    06Pagi itu, Martin dan Aditya telah berada di TKP. Mereka memerhatikan para pekerja yang sedang berjibaku untuk memadatkan tanah lapisan terbawah. Martin berbincang dengan Muchlis dan Ridho, di saung tempat pekerja beristirahat. Aditya memutari lokasi sembari memotret beberapa hal yang menurutnya penting. Aditya berhenti beraktivitas ketika melihat beberapa orang yang sedang mengarit di seberang. Asisten Yoga tersebut penasaran dan segera mendatangi keempat orang bertopi caping. Sebab bukan orang Sunda, Aditya akhirnya menyapa mereka dengan bahasa Indonesia. Dia meringis ketika pria paruh baya di hadapannya menyahut dengan bahasa Sunda yang cepat. "Mohon maaf, Pak. Bahasa Sunda saya terbatas. Jadi kita ngobrolnya pakai bahasa Indonesia saja," pinta Aditya yang dibalas anggukan pria berkaus hitam di depannya. "Ya, Kang. Mangga," tukas lelaki tua sambil membetulkan letak capingnya. "Bapak warga asli sini?" "Muhun." "Rumahnya, jauh?" "Enteu. Sakitar sakilo. Kanan tea." Pria itu

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 05

    05Hendri dan Wirya termangu, sesaat setelah mendengarkan penuturan Yuanna, tentang kejadian di pusat kota sore tadi. Kedua sahabat itu saling melirik, kemudian mereka sama-sama menghela napas berat dan mengembuskannya sekali waktu. Hendri berpikir cepat. Dia yakin jika ada yang tidak beres, yang sedang melingkupi Martin. Hendri akhirnya menerangkan maksudnya untuk menyelidiki tempat proyek yang sedang dikerjakan Martin. Namun, dia meminta Wirya dan Yuanna merahasiakannya. "Kapan kamu mau ke sana?" tanya Wirya. "Pengennya, sih, secepatnya," sahut Hendri. "Kekejar nggak waktunya? Kamu, kan, mau ke Sydney." Hendri tertegun sesaat. "Aku mau minta gantiin Gunther aja buat kunjungan ke sana." "Lalu, yang nemenin kamu, siapa? Z mau ke Filipina bareng Naizar dan Izra." "Mau nggak mau, aku maksa Bayu dan Ubaid buat ikut. Karena Gunther gantiin aku. Emyr sama Kenzie juga sibuk keliling Indonesia. Di kantor sisa Gilang, Rini dan Gwen. Enggak mungkin aku ngajak mereka ke proyek itu." "Aj

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 04

    04"Ko, dipanggil Bapak," tukas Dimas, seusai memasuki kamar tamu yang ditempatinya bersama Martin. "Bentar lagi aku keluar. Mau ke toilet dulu," balas Martin sembari bangkit dan jalan ke toilet di sudut kiri ruangan luas bernuansa abu-abu muda. Kala Martin melewatinya, Dimas tertegun. Asisten kedua Wirya itu mengendus-ngendus, karena aroma harum yang lembut menguar dari tubuh Martin. Sangat berbeda dengan wangi parfum yang biasa dipakai calon suami Yuanna tersebut. Dimas berpikir sesaat, kemudian dia mengangkat bahu. Lelaki berkaus putih tersebut berpindah ke depan cermin. Dimas menyisiri rambutnya sembari bersiul. Sekian menit terlewati, Dimas dan Martin telah berada di ruang makan. Mereka bersantap sembari mendengarkan percakapan Arsyad, Hendri dan Wirya. Tidak berselang lama, Fenita datang bersama suami dan Kellan, anaknya. Lelaki kecil berbaju merah langsung bergabung dengan Bayazid, anak Wirya dan Delany, yang kemudian mengajak Kellan bermain di teras. "Ada temannya, Kella

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 03

    03Sepanjang perjalanan menuju Kota Bandung, Martin terlelap. Dia benar-benar kelelahan, padahal selama berada di tempat proyek, Martin lebih sering berada di kantor dibandingkan luar ruangan. Hendri yang duduk bersama Martin dan Wirya di kursi belakang mobil Jeep, berulang kali mengamati lelaki yang usianya 6 tahun lebih muda darinya. Terbayang kembali sepasang mata di ujung kanan kantor. Hendri benar-benar penasaran dan sangat ingin mengecek lokasi itu sekali lagi. Namun, Hendri merahasiakan hal itu dari Martin, agar pria bermata sipit tersebut tidak cemas. "Koko Chyou ngajak ketemuan," ujar Wirya yang sedang berbalas pesan dengan Kakak sepupu istrinya, Delany. "Kapan?" tanya Hendri. "Senin minggu depan. Dia baru nyampe dari Bali itu, hari Sabtu. Minggunya istirahat. Senin baru masuk kantor GWG." "Kayaknya aku nggak bisa. Kamu aja, W." Hendri dan teman-temannya semasa kuliah terbiasa dipanggil dengan huruf depan nama masing-masing. "Aku juga mau ke Kanada bareng Yoga." Wirya

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 02

    02"Dho, di sini, ada tukang urut, nggak?" tanya Martin. "Kurang tahu." Risho mengamati bosnya, lalu dia bertanya, "Kenapa, Mas?" "Badanku pegal-pegal. Terutama punggung. Kayak habis manggul karung." Ridho menyunggingkan senyuman. "Memangnya Mas pernah manggul karung?" "Pernah. Aku dilatih Papa dengan keras. Katanya, nggak peduli aku anaknya, tetap harus bantu angkut barang di grosiran." Ridho mengangguk paham. "Pak Razman beda dengan pengusaha lainnya yang aku kenal. Beliau sangat tegas dan nggak pilih kasih.""Papa lahir di keluarga sederhana. Beliau dan adik-adiknya bekerja keras, hingga bisa berhasil seperti sekarang." Martin memandangi sekeliling. "Papa yang memintaku berbisnis di sini. Supaya keturunannya tetap ada di tanah kelahirannya," lanjutnya. Kedatangan beberapa orang menjadikan percakapan itu terjeda. Martin mengangkat alis kala menyaksikan wajah kepala sekuriti yang terlihat tegang. "Ada apa, Dang?" tanya Martin. "Lapor, Pak. Ada alat berat yang terguling," jela

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 01 - Koko Chen, kemarilah!

    01"Mas, bos kita ngobrol sama siapa, ya?" tanya Ridho, supervisor proyek pembangunan pusat bisnis, di pinggir Kota Bandung.Seno Argianto menyipitkan mata untuk menajamkan penglihatan. "Kayaknya perempuan, tapi, mukanya nggak jelas. Ketutupan rambut," jawabnya. "Perempuan?" desak Ridho. "Hu um." "Tapi ... di sini nggak ada pekerja perempuan." Seno terdiam sesaat, lalu dia memandangi pria berkemeja cokelat di sebelah kiri. "Apa itu anak pemilik katering?" tanyanya. "Bu Lilis nggak punya anak perempuan." "Mungkin karyawannya." "Hmm, ya, bisa jadi." Keduanya meneruskan perbincangan sambil berpindah ke kantor pengelola. Sementara Martin Ragnala masih bercakap-cakap dengan perempuan berbaju Cheongsam merah. Martin terkejut, karena baru kali itu menemukan orang yang bisa berbahasa Tiociu, bahasa leluhurnya yang berasal dari Cina daratan. Pengusaha muda peranakan Tionghos itu begitu senang bisa kembali menggunakan bahasa turunan dari pihak ibunya, yang merupakan warga negara Malay

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status