Share

Bab 02

Penulis: Olivia Yoyet
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-14 11:00:01

02

"Dho, di sini, ada tukang urut, nggak?" tanya Martin. 

"Kurang tahu." Risho mengamati bosnya, lalu dia bertanya, "Kenapa, Mas?" 

"Badanku pegal-pegal. Terutama punggung. Kayak habis manggul karung." 

Ridho menyunggingkan senyuman. "Memangnya Mas pernah manggul karung?" 

"Pernah. Aku dilatih Papa dengan keras. Katanya, nggak peduli aku anaknya, tetap harus bantu angkut barang di grosiran." 

Ridho mengangguk paham. "Pak Razman beda dengan pengusaha lainnya yang aku kenal. Beliau sangat tegas dan nggak pilih kasih."

"Papa lahir di keluarga sederhana. Beliau dan adik-adiknya bekerja keras, hingga bisa berhasil seperti sekarang." Martin memandangi sekeliling. "Papa yang memintaku berbisnis di sini. Supaya keturunannya tetap ada di tanah kelahirannya," lanjutnya. 

Kedatangan beberapa orang menjadikan percakapan itu terjeda. Martin mengangkat alis kala menyaksikan wajah kepala sekuriti yang terlihat tegang. 

"Ada apa, Dang?" tanya Martin. 

"Lapor, Pak. Ada alat berat yang terguling," jelas Adang, ketua sekuriti proyek.

"Di mana?" 

"Belakang, yang dekat bukit." 

"Dho, kita ke sana," ajak Martin sambil menyambar jaketnya dari sandaran kursi. 

Kelima pria itu bergegas keluar tempat pengelola. Mereka menaiki mobil Jeep hitam, dan Ridho segera melajukan kendaraan menuju area kecelakaan. 

Adang berkomunikasi dengan sekuriti yang berjaga di proyek belakang. Dia meminta kedua sekuriti tersebut untuk mengamankan area, yang ternyata telah didatangi warga sekitar. 

Setibanya di sana, Martin dan yang lainnya keluar dari mobil. Sang bos membeliakkan mata saat menyaksikan excavator yang terguling, hingga berada beberapa meter di bawah tebing. 

Tanah di seputar tempat itu juga telah amblas. Martin memaksa menerobos pita kuning yang telah dipasangi pekerja, untuk menghalau pengunjung yang terus berdatangan. 

"Petugas alat berat, gimana kondisinya?" tanya Martin, seusai mendatangi Muchlis, kepala proyek yang telah lebih dulu tiba. 

"Sudah dievakuasi, Mas," jawab Muchlis sembari mendekatkan diri pada pria berambut lebat. "Kaki kirinya patah," bisiknya. 

"Ketiban?" 

Muchlis menggeleng. "Waktu dievakuasi ke mobil, dia cerita ke temannya. Sebelum terguling itu, ada ular gede yang meliliti kakinya." 

"Ular?" 

"Jangan kencang-kencang, Mas. Nanti ada yang nguping." 

Martin memindai sekitar. "Usir mereka. Takutnya tanah amblas lagi." 

"Sudah, tapi nongol lagi dan makin banyak." 

Martin mendengkus. Lalu, dia menoleh ke kiri dan berkata, "Telepon pengawasmu. Minta kirim orang tambahan untuk berjaga di sini." 

"Siap," balas Adang sambil meraih ponselnya dari saku seragam PDL cokelat. 

"Siapa yang ngawas di Bandung sekarang?" tanya Martin. 

"Bang Aditya." 

"Bukan Jauhari?" 

"Bang Ari tugasnya di minggu pertama. Bang Yusuf, minggu kedua. Bang Aditya, minggu ketiga, dan Bang Harun di minggu keempat." 

Adang memutus percakapan saat panggilannya terhubung. Tidak berselang lama dia sudah terlibat pembicaraan dengan pengawas sekuriti PB area Jawa Barat. 

Puluhan menit terlewati, Martin telah kembali ke kantor pengelola, ketika dua unit mobil berbeda jenis dan tipe memasuki area. 

Martin berdiri dan spontan merapikan kemejanya. Pria bermata sipit tersenyum, saat mengenali mobil terdepan yang merupakan kendaraan milik calon Kakak iparnya. 

Setelah kedua mobil berhenti, Adang membukakan pintu kiri mobil Jeep abu-abu. Wirya Arudji Kartawinata, direktur utama PBK, turun dari kendaraan itu. Dia membalas penghormatan Adang dengan anggukan, kemudian Wirya menyambangi Martin untuk bersalaman. 

Hendri Danantya, Zeinharis Abqary, Bayu Hendrawan dan Ubaid Abdullah, keluar dari mobil MPV hitam. Sementara Aditya turun dari mobil MPV biru bersama keenam petugas keamanan muda. 

Seusai bersalaman, Martin mengajak kelima bos memasuki ruangan. Sementara Adang menerangkan situasi terkini pada Aditya, yang langsung mengajak sekuriti bawaannya ke tempat kejadian perkara. 

"Kaget aku, kalian datang barengan," ujar Martin sambil memandangi Hendri yang berada di kursi sebelah kanan. 

"Kami berangkat dari Jakarta jam 3 tadi. Pas Adang nelepon itu, kami baru nyampe pintu tol Buah Batu. Para Ibu dan anak-anak lanjut ke rumah Bapak, kami nunggu Aditya datang bawa pasukan, baru berangkat ke sini," terang Hendri sembari mengamati calon Adik iparnya yang terlihat berbeda. 

"Kata Aditya tadi, tanahnya amblas. Beneran?" tanya Zeinharis yang akrab dipanggil Zein. 

"Ya, Bang. Sekarang malah tambah meluas," ungkap Martin. 

"Alat beratnya sudah dievakuasi?" 

"Pas aku tinggal tadi, lagi ditarik. Mungkin sekarang sudah naik." Martin memajukan badan. "Kata Muchlis, ada ular yang meliliti kaki operator," bisiknya. 

"Ular naon?" tanya Hendri. 

"Belum jelas. Katanya, sih, warnanya hitam," beber Martin. 

"Gede?" 

"Sebetisnya dia, gitu, besarnya." 

"Ketemu, nggak, ularnya?" 

Martin menggeleng. "Ada yang bilang, itu ular jadi-jadian. Mungkin protes rumahnya ditebang buat proyek." 

Hendri dan keempat sahabatnya saling melirik. Kemudian dia kembali mengarahkan pandangan pada Martin yang sedang berbincang dengan Seno. 

Hendri terkesiap saat melihat kelebatan sepasang mata di ujung kanan ruangan. Dia menajamkan penglihatan, tetapi pemilik mata itu tidak terlihat.

Hendri menggerak-gerakkan tangan kirinya sembari melafazkan doa dalam hati. Dia mengembuskan napas ke sekeliling, lalu mengamati pojokan kanan.

Kelebatan bayangan seseorang mengagetkan Hendri. Dia hendak bangkit, tetapi terpaksa dibatalkan karena dipanggil Martin. 

"Sudah mau magrib. Kita pindah ke rumah kontrakanku," ajak Martin. 

"Kalian aja. Aku sama Wirya mau ngecek lokasi," tolak Zein. "Penasaran aku, tanahnya bisa amblas, gitu. Aneh," jelasnya. 

Keenam lelaki berbeda tampilan serentak berdiri. Mereka jalan keluar dengan diikuti Seno dan Ridho. 

Martin menugaskan Ridho untuk mengantarkan Zein dan Wirya ke lokasi kejadian. Sementara dirinya menaiki mobilnya yang dikemudikan Seno. 

Hendri melirik Zein. Keduanya seolah-olah tengah berbincang dengan bahasa batin. Kemudian Hendri menaiki mobilnya bersama Ubaid dan Bayu. Sedangkan Zein dan Wirya mengikuti langkah Ridho ke mobil operasional. 

Semburat senja kian menggelap, hingga sang surya akhirnya tenggelam di batas cakrawala. Gema azan berkumandang memanggil setiap insan untuk beribadah menghadap Sang Pencipta. 

Martin dan yang lainnya bergantian menunaikan salat di kamarnya. Kemudian mereka berkumpul di ruang tamu sambil menikmati minuman hangat.. 

Sekian menit berlalu, Zein dan Wirya datang bersama Aditya serta Ridho. Mereka berbincang mengenai kondisi terkini di tempat proyek yang telah kembali kondusif. 

"Bawah bukit itu ada sungai kecil. Tanahnya memang kurang padat. Nggak kuat nanggung alat berat terlalu banyak," tutur Zein yang memang sudah terbiasa menangani proyek pembangunan jalan bebas hambatan, ataupun bangunan besar lainnya. 

"Berarti blue print-nya nggak akurat. Karena nggak dicantumkan jika ada sungai di situ," jelas Martin. 

"Dimaklumi aja, Mar. Yang bikin blue print mungkin nggak nanya-nanya ke warga atau tetua desa," sela Wirya. 

"Aku masih penasaran dengan asal ular tadi," timpal Hendri. 

"Kata Adang, ada desas-desus jika itu ular jadi-jadian penunggu sungai," papar Martin. 

"Bisa jadi. Karena aneh aja, tempat itu sudah nggak ada pohon, tapi masih ada ular." 

"Ya, aku juga mikir gitu." 

"Ehm, Mar, selama tinggal di sini, ada kejadian aneh, nggak?" 

Martin tertegun sesaat, kemudian dia mengangguk. "Sebetulnya, baru tiga hari ini aja, Kang. Aku mimpi didatangi perempuan yang wajahnya nggak kelihatan. Dia manggil aku, Koko Chen. Dan dia ngajak aku pergi." 

"Ke mana?" 

"Enggak paham, Kang. Dia cuma bilang. Ikut denganku." 

Bab terkait

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 03

    03Sepanjang perjalanan menuju Kota Bandung, Martin terlelap. Dia benar-benar kelelahan, padahal selama berada di tempat proyek, Martin lebih sering berada di kantor dibandingkan luar ruangan. Hendri yang duduk bersama Martin dan Wirya di kursi belakang mobil Jeep, berulang kali mengamati lelaki yang usianya 6 tahun lebih muda darinya. Terbayang kembali sepasang mata di ujung kanan kantor. Hendri benar-benar penasaran dan sangat ingin mengecek lokasi itu sekali lagi. Namun, Hendri merahasiakan hal itu dari Martin, agar pria bermata sipit tersebut tidak cemas. "Koko Chyou ngajak ketemuan," ujar Wirya yang sedang berbalas pesan dengan Kakak sepupu istrinya, Delany. "Kapan?" tanya Hendri. "Senin minggu depan. Dia baru nyampe dari Bali itu, hari Sabtu. Minggunya istirahat. Senin baru masuk kantor GWG." "Kayaknya aku nggak bisa. Kamu aja, W." Hendri dan teman-temannya semasa kuliah terbiasa dipanggil dengan huruf depan nama masing-masing. "Aku juga mau ke Kanada bareng Yoga." Wirya

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-14
  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 04

    04"Ko, dipanggil Bapak," tukas Dimas, seusai memasuki kamar tamu yang ditempatinya bersama Martin. "Bentar lagi aku keluar. Mau ke toilet dulu," balas Martin sembari bangkit dan jalan ke toilet di sudut kiri ruangan luas bernuansa abu-abu muda. Kala Martin melewatinya, Dimas tertegun. Asisten kedua Wirya itu mengendus-ngendus, karena aroma harum yang lembut menguar dari tubuh Martin. Sangat berbeda dengan wangi parfum yang biasa dipakai calon suami Yuanna tersebut. Dimas berpikir sesaat, kemudian dia mengangkat bahu. Lelaki berkaus putih tersebut berpindah ke depan cermin. Dimas menyisiri rambutnya sembari bersiul. Sekian menit terlewati, Dimas dan Martin telah berada di ruang makan. Mereka bersantap sembari mendengarkan percakapan Arsyad, Hendri dan Wirya. Tidak berselang lama, Fenita datang bersama suami dan Kellan, anaknya. Lelaki kecil berbaju merah langsung bergabung dengan Bayazid, anak Wirya dan Delany, yang kemudian mengajak Kellan bermain di teras. "Ada temannya, Kella

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-14
  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 05

    05Hendri dan Wirya termangu, sesaat setelah mendengarkan penuturan Yuanna, tentang kejadian di pusat kota sore tadi. Kedua sahabat itu saling melirik, kemudian mereka sama-sama menghela napas berat dan mengembuskannya sekali waktu. Hendri berpikir cepat. Dia yakin jika ada yang tidak beres, yang sedang melingkupi Martin. Hendri akhirnya menerangkan maksudnya untuk menyelidiki tempat proyek yang sedang dikerjakan Martin. Namun, dia meminta Wirya dan Yuanna merahasiakannya. "Kapan kamu mau ke sana?" tanya Wirya. "Pengennya, sih, secepatnya," sahut Hendri. "Kekejar nggak waktunya? Kamu, kan, mau ke Sydney." Hendri tertegun sesaat. "Aku mau minta gantiin Gunther aja buat kunjungan ke sana." "Lalu, yang nemenin kamu, siapa? Z mau ke Filipina bareng Naizar dan Izra." "Mau nggak mau, aku maksa Bayu dan Ubaid buat ikut. Karena Gunther gantiin aku. Emyr sama Kenzie juga sibuk keliling Indonesia. Di kantor sisa Gilang, Rini dan Gwen. Enggak mungkin aku ngajak mereka ke proyek itu." "Aj

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-14
  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 06

    06Pagi itu, Martin dan Aditya telah berada di TKP. Mereka memerhatikan para pekerja yang sedang berjibaku untuk memadatkan tanah lapisan terbawah. Martin berbincang dengan Muchlis dan Ridho, di saung tempat pekerja beristirahat. Aditya memutari lokasi sembari memotret beberapa hal yang menurutnya penting. Aditya berhenti beraktivitas ketika melihat beberapa orang yang sedang mengarit di seberang. Asisten Yoga tersebut penasaran dan segera mendatangi keempat orang bertopi caping. Sebab bukan orang Sunda, Aditya akhirnya menyapa mereka dengan bahasa Indonesia. Dia meringis ketika pria paruh baya di hadapannya menyahut dengan bahasa Sunda yang cepat. "Mohon maaf, Pak. Bahasa Sunda saya terbatas. Jadi kita ngobrolnya pakai bahasa Indonesia saja," pinta Aditya yang dibalas anggukan pria berkaus hitam di depannya. "Ya, Kang. Mangga," tukas lelaki tua sambil membetulkan letak capingnya. "Bapak warga asli sini?" "Muhun." "Rumahnya, jauh?" "Enteu. Sakitar sakilo. Kanan tea." Pria itu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-31
  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 07

    07Malam telah larut ketika Aditya kembali ke rumah kontrakan Martin. Seno yang membukakan pintu, terkejut saat Aditya menunjukkan Al Quran berukuran sedang di tangan kanannya. Seno membiarkan Aditya memasuki ruang tamu. Kemudian dia menutup dan mengunci pintu. Seno duduk di kursi terdekat, sembari memandangi Aditya yang sedang menghafal ayat suci. "Bang, sudah ketemu sama Pak Hendri?" tanya Seno dengan suara pelan. "Ya," jawab Aditya. "Apa katanya?" "Nanti kuceritain. Mau ngafalin ini dulu." Seno terdiam, lalu dia menyandar ke tumpukan bantal sofa. Pria berkaus hitam meraih ponselnya dari meja, kemudian dia berkelana di dunia maya. Sekian menit berlalu, Aditya telah selesai menghafalkan ayat yang ditunjukkan Hendri. Pria berambut lebat memijat belakang lehernya. Lalu Aditya mengambil botol minuman dari samping ranselnya. "Bang, gimana?" desak Seno. "Kata Kang Hendri, besok dia mau ngecek ke sungai. Mungkin ada aliran khusus yang nembus ke tempat proyek," terang Aditya seusai

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-31
  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 01 - Koko Chen, kemarilah!

    01"Mas, bos kita ngobrol sama siapa, ya?" tanya Ridho, supervisor proyek pembangunan pusat bisnis, di pinggir Kota Bandung.Seno Argianto menyipitkan mata untuk menajamkan penglihatan. "Kayaknya perempuan, tapi, mukanya nggak jelas. Ketutupan rambut," jawabnya. "Perempuan?" desak Ridho. "Hu um." "Tapi ... di sini nggak ada pekerja perempuan." Seno terdiam sesaat, lalu dia memandangi pria berkemeja cokelat di sebelah kiri. "Apa itu anak pemilik katering?" tanyanya. "Bu Lilis nggak punya anak perempuan." "Mungkin karyawannya." "Hmm, ya, bisa jadi." Keduanya meneruskan perbincangan sambil berpindah ke kantor pengelola. Sementara Martin Ragnala masih bercakap-cakap dengan perempuan berbaju Cheongsam merah. Martin terkejut, karena baru kali itu menemukan orang yang bisa berbahasa Tiociu, bahasa leluhurnya yang berasal dari Cina daratan. Pengusaha muda peranakan Tionghos itu begitu senang bisa kembali menggunakan bahasa turunan dari pihak ibunya, yang merupakan warga negara Malay

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-14

Bab terbaru

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 07

    07Malam telah larut ketika Aditya kembali ke rumah kontrakan Martin. Seno yang membukakan pintu, terkejut saat Aditya menunjukkan Al Quran berukuran sedang di tangan kanannya. Seno membiarkan Aditya memasuki ruang tamu. Kemudian dia menutup dan mengunci pintu. Seno duduk di kursi terdekat, sembari memandangi Aditya yang sedang menghafal ayat suci. "Bang, sudah ketemu sama Pak Hendri?" tanya Seno dengan suara pelan. "Ya," jawab Aditya. "Apa katanya?" "Nanti kuceritain. Mau ngafalin ini dulu." Seno terdiam, lalu dia menyandar ke tumpukan bantal sofa. Pria berkaus hitam meraih ponselnya dari meja, kemudian dia berkelana di dunia maya. Sekian menit berlalu, Aditya telah selesai menghafalkan ayat yang ditunjukkan Hendri. Pria berambut lebat memijat belakang lehernya. Lalu Aditya mengambil botol minuman dari samping ranselnya. "Bang, gimana?" desak Seno. "Kata Kang Hendri, besok dia mau ngecek ke sungai. Mungkin ada aliran khusus yang nembus ke tempat proyek," terang Aditya seusai

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 06

    06Pagi itu, Martin dan Aditya telah berada di TKP. Mereka memerhatikan para pekerja yang sedang berjibaku untuk memadatkan tanah lapisan terbawah. Martin berbincang dengan Muchlis dan Ridho, di saung tempat pekerja beristirahat. Aditya memutari lokasi sembari memotret beberapa hal yang menurutnya penting. Aditya berhenti beraktivitas ketika melihat beberapa orang yang sedang mengarit di seberang. Asisten Yoga tersebut penasaran dan segera mendatangi keempat orang bertopi caping. Sebab bukan orang Sunda, Aditya akhirnya menyapa mereka dengan bahasa Indonesia. Dia meringis ketika pria paruh baya di hadapannya menyahut dengan bahasa Sunda yang cepat. "Mohon maaf, Pak. Bahasa Sunda saya terbatas. Jadi kita ngobrolnya pakai bahasa Indonesia saja," pinta Aditya yang dibalas anggukan pria berkaus hitam di depannya. "Ya, Kang. Mangga," tukas lelaki tua sambil membetulkan letak capingnya. "Bapak warga asli sini?" "Muhun." "Rumahnya, jauh?" "Enteu. Sakitar sakilo. Kanan tea." Pria itu

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 05

    05Hendri dan Wirya termangu, sesaat setelah mendengarkan penuturan Yuanna, tentang kejadian di pusat kota sore tadi. Kedua sahabat itu saling melirik, kemudian mereka sama-sama menghela napas berat dan mengembuskannya sekali waktu. Hendri berpikir cepat. Dia yakin jika ada yang tidak beres, yang sedang melingkupi Martin. Hendri akhirnya menerangkan maksudnya untuk menyelidiki tempat proyek yang sedang dikerjakan Martin. Namun, dia meminta Wirya dan Yuanna merahasiakannya. "Kapan kamu mau ke sana?" tanya Wirya. "Pengennya, sih, secepatnya," sahut Hendri. "Kekejar nggak waktunya? Kamu, kan, mau ke Sydney." Hendri tertegun sesaat. "Aku mau minta gantiin Gunther aja buat kunjungan ke sana." "Lalu, yang nemenin kamu, siapa? Z mau ke Filipina bareng Naizar dan Izra." "Mau nggak mau, aku maksa Bayu dan Ubaid buat ikut. Karena Gunther gantiin aku. Emyr sama Kenzie juga sibuk keliling Indonesia. Di kantor sisa Gilang, Rini dan Gwen. Enggak mungkin aku ngajak mereka ke proyek itu." "Aj

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 04

    04"Ko, dipanggil Bapak," tukas Dimas, seusai memasuki kamar tamu yang ditempatinya bersama Martin. "Bentar lagi aku keluar. Mau ke toilet dulu," balas Martin sembari bangkit dan jalan ke toilet di sudut kiri ruangan luas bernuansa abu-abu muda. Kala Martin melewatinya, Dimas tertegun. Asisten kedua Wirya itu mengendus-ngendus, karena aroma harum yang lembut menguar dari tubuh Martin. Sangat berbeda dengan wangi parfum yang biasa dipakai calon suami Yuanna tersebut. Dimas berpikir sesaat, kemudian dia mengangkat bahu. Lelaki berkaus putih tersebut berpindah ke depan cermin. Dimas menyisiri rambutnya sembari bersiul. Sekian menit terlewati, Dimas dan Martin telah berada di ruang makan. Mereka bersantap sembari mendengarkan percakapan Arsyad, Hendri dan Wirya. Tidak berselang lama, Fenita datang bersama suami dan Kellan, anaknya. Lelaki kecil berbaju merah langsung bergabung dengan Bayazid, anak Wirya dan Delany, yang kemudian mengajak Kellan bermain di teras. "Ada temannya, Kella

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 03

    03Sepanjang perjalanan menuju Kota Bandung, Martin terlelap. Dia benar-benar kelelahan, padahal selama berada di tempat proyek, Martin lebih sering berada di kantor dibandingkan luar ruangan. Hendri yang duduk bersama Martin dan Wirya di kursi belakang mobil Jeep, berulang kali mengamati lelaki yang usianya 6 tahun lebih muda darinya. Terbayang kembali sepasang mata di ujung kanan kantor. Hendri benar-benar penasaran dan sangat ingin mengecek lokasi itu sekali lagi. Namun, Hendri merahasiakan hal itu dari Martin, agar pria bermata sipit tersebut tidak cemas. "Koko Chyou ngajak ketemuan," ujar Wirya yang sedang berbalas pesan dengan Kakak sepupu istrinya, Delany. "Kapan?" tanya Hendri. "Senin minggu depan. Dia baru nyampe dari Bali itu, hari Sabtu. Minggunya istirahat. Senin baru masuk kantor GWG." "Kayaknya aku nggak bisa. Kamu aja, W." Hendri dan teman-temannya semasa kuliah terbiasa dipanggil dengan huruf depan nama masing-masing. "Aku juga mau ke Kanada bareng Yoga." Wirya

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 02

    02"Dho, di sini, ada tukang urut, nggak?" tanya Martin. "Kurang tahu." Risho mengamati bosnya, lalu dia bertanya, "Kenapa, Mas?" "Badanku pegal-pegal. Terutama punggung. Kayak habis manggul karung." Ridho menyunggingkan senyuman. "Memangnya Mas pernah manggul karung?" "Pernah. Aku dilatih Papa dengan keras. Katanya, nggak peduli aku anaknya, tetap harus bantu angkut barang di grosiran." Ridho mengangguk paham. "Pak Razman beda dengan pengusaha lainnya yang aku kenal. Beliau sangat tegas dan nggak pilih kasih.""Papa lahir di keluarga sederhana. Beliau dan adik-adiknya bekerja keras, hingga bisa berhasil seperti sekarang." Martin memandangi sekeliling. "Papa yang memintaku berbisnis di sini. Supaya keturunannya tetap ada di tanah kelahirannya," lanjutnya. Kedatangan beberapa orang menjadikan percakapan itu terjeda. Martin mengangkat alis kala menyaksikan wajah kepala sekuriti yang terlihat tegang. "Ada apa, Dang?" tanya Martin. "Lapor, Pak. Ada alat berat yang terguling," jela

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 01 - Koko Chen, kemarilah!

    01"Mas, bos kita ngobrol sama siapa, ya?" tanya Ridho, supervisor proyek pembangunan pusat bisnis, di pinggir Kota Bandung.Seno Argianto menyipitkan mata untuk menajamkan penglihatan. "Kayaknya perempuan, tapi, mukanya nggak jelas. Ketutupan rambut," jawabnya. "Perempuan?" desak Ridho. "Hu um." "Tapi ... di sini nggak ada pekerja perempuan." Seno terdiam sesaat, lalu dia memandangi pria berkemeja cokelat di sebelah kiri. "Apa itu anak pemilik katering?" tanyanya. "Bu Lilis nggak punya anak perempuan." "Mungkin karyawannya." "Hmm, ya, bisa jadi." Keduanya meneruskan perbincangan sambil berpindah ke kantor pengelola. Sementara Martin Ragnala masih bercakap-cakap dengan perempuan berbaju Cheongsam merah. Martin terkejut, karena baru kali itu menemukan orang yang bisa berbahasa Tiociu, bahasa leluhurnya yang berasal dari Cina daratan. Pengusaha muda peranakan Tionghos itu begitu senang bisa kembali menggunakan bahasa turunan dari pihak ibunya, yang merupakan warga negara Malay

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status