“Mbak ….” Aku terbata, sekaligus terkunci. Firasatku benar, wanita ini telah mengetahui segalanya!“Saya sudah lama mengetahuinya, Dek, bahkan sebelum kita bertemu di Mall tempo hari. Hanya seorang istri yang bisa merasakan perubahan hati suaminya, sepintar apa pun ia menutupinya.” Mbak Adella tersenyum lembut yang malah semakin mengoyak hatiku.“Maaf, Mbak.” Aku tertunduk malu. Apa lagi yang bisa kukatakan? Menyangkal pun malah akan terkesan konyol. Lagi pula, aku tak cukup cakap untuk berakting seperti itu.“Dia memang pria yang baik. Saya yakin, kamu pun tak bermaksud untuk seperti itu sebelumnya. Iya, kan?”“Ya, Mbak. Bang Shiraj adalah pria yang baik. Maafkan saya yang bisa-bisanya terlanjur nyaman dengan suami Mbak.”“Saya juga yakin, belum pernah ada sesuatu yang jauh yang terjadi di antara kalian, kan?”“Tidak, Mbak. Kami tak pernah sejauh itu. Saya bersumpah!” Aku menjawab cepat, seolah takut akan prasangkanya.“Karena dari itu, mohon tinggalkan dia. Dek Shaina masih sangat m
“Bercandamu nggak lucu! Kamu mau nikah sama siapa? Kamu bahkan belum tamat kuliah, loh!” Lihatlah, ia bahkan masih bertanya saat ia tahu Andre adalah kekasihku. Tapi setidaknya, reaksi bang Shiraj masih lebih manusiawi ketimbang Alvi saat kuberitahu. “Pernahkah ada seseorang yang mengatakan kalau kamu orang yang bodoh, Sha? Maka, biarkan aku yang mengatakannya untuk pertama kali. KAMU BODOH!” “Sepertinya kamu harus dirukyah! Aku yakin, pasti ada sesuatu yang nggak beres!” Begitu kata Alvi.“Aku serius, Bang. Orang tua Andre sudah melamarku seminggu yang lalu.” Barulah ekspresi bang Shiraj berubah, seiring tatapannya yang semakin tajam. “Sampai segitunya kamu pengen lepas dariku, Sha. Apa ini masuk akal? Kamu bermaksud menikahi pria menjengkelkan yang katamu tak akan kau lirik meski ia adalah pria terakhir di dunia?” “Nggak ada satu pun manusia yang bisa mengatur perasaannya sendiri, Bang. Termasuk aku.” “Kamu mau bilang kalau kamu mencintainya? Itu bahkan lebih menggelikan!” “
“Namanya Fenita, Vi. Dan sialnya, dia masih remaja. Masih kelas tiga SMA," tutur Shaina, setelah hampir setengah jam lamanya hanya terdiam dengan raut wajah kacau dan buliran bening yang sesekali menetes dari matanya.Alvi yang sejak tadi hanya mengamati, tak urung terkaget juga. Sebenarnya, ia sudah lumayan khatam dengan keadaan Shaina, karena siklus sama yang selalu berulang. Shaina datang padanya, berkeluh kesah tentang sang suami, namun akhirnya berlalu begitu saja tanpa solusi. “Besok-besok, pasti dia mencari yang lebih muda dari itu," cibir Alvi.“Dan ini rekor terlama perselingkuhan Andre, Vi. Mereka sudah setahun ini menjalin hubungan.” “Hah?”Shaina meraih coklat yang tak lagi panas itu dan meneguknya hingga tandas. Ada kilat amarah, namun berselubung pasrah dari sorot matanya. Jangan tanyakan lagi seperti apa bentuk hatinya saat ini.Dan itu bukanlah luka baru. Sudah sejak lama, Hati itu tak pernah lagi normal. Berkali, skandal terlarang Andre membuatnya tersayat, hancur
Apa ini yang dinamakan senjata makan tuan?Meski tak berniat, kedatangan Shaina dan Alvi jelas berpotensi mengagetkan orang tua Fenita dengan kabar yang tak ingin didengar oleh orang tua mana pun.Namun nyatanya, kekagetan itu juga menjadi milik Shaina. Hanya Tuhan yang tahu betapa keras perjuangannya untuk tak terlihat shock, untuk tampak normal setidaknya di hadapan Alvi. Dan itu nyaris tak mungkin, selain karena tak berbakat akting, Shaina pun tak pernah menduga akan mengalami hal ini.Dalam kegetiran hatinya, wanita itu dipaksa mengakui inilah alasan kenapa harus Fenita Febrianti yang menjadi selingkuhan terkasih suaminya."Sebaiknya kamu harus punya alasan yang masuk akal atas sikapmu tadi. Ada apa sebenarnya? Siapa dia, Sha? Kamu kenal papanya Fenita, kan? Karena aku bisa ngerasain kegugupan kalian tadi." Alvi tak hentinya memuntahkan protes sejak Shaina menyeretnya pulang tanpa mengutarakan apa pun yang menjadi maksud mereka mendatangi rumah itu.Rasanya tak masuk di akal Alvi
PoV Alviani malikAku memang pernah mendengar nama Shirajudin Ahmad dari mulut Shaina saat kami masih kelas dua SMA dulu. Ia mengenal pria itu lewat sosial media dan entah bagaimana caranya, tiba-tiba menjadi akrab begitu saja.Saat itu aku tidak begitu antusias mendengarnya. Karena selain namanya yang luamayan jadul menurutku, dengar-dengar katanya dia juga sudah menikah dan telah memiliki seorang putri pula.“Hati-hati, Sha. Berteman dengan om-om itu rawan banget, loh. Kita nggak tahu apa yang ada di pikiran dia.”Aku merasa perlu mengingatkan Shaina. Jangan sampailah dia punya gebetan om-om. Shaina itu kan cantik. Dia itu tipe perempuan yang kalau berjalan, semua cowok akan melihat padanya dengan atensi penuh (dengan ilustrasi mata gagal berkedip dan liur yg menetes).Itu dulu tanpa riasan sama sekali, masih sangat alami. Tapi untunglah, dia bilang itu bukan jenis hubungan istimewa bergenre romance yang perlu di khawatirkan. Katanya hanya sekedar dekat, semacam teman curhat dan se
Entah ada apa dengan Andre sebenarnya. Jelas, Shaina bisa merasakan sikap uring-uringannya yang semakin menjadi-jadi. Apakah ini ada hubungannya dengan Fenita? Atau wanita-wanita yang lain?Satu hal yang jelas, Andre tak pernah seperti ini sebelumnya. Pria itu seolah kehilangan gairah hidup dengan menampakkan gesture dan ekspresi lesu setiap harinya. Wajah itu pun nyaris tak pernah lagi berhias senyum.Andre tak ubahnya seperti zombie yang bernyawa!"Oke, tolong katakan ada apa lagi kali ini, Dre." Shaina menelungkupkan sendok-garpu dengan gemas. Cukup sudah beberapa hari ini ia dianggap figuran. Dan Shaina mulai menampakkan sikap muaknya.Untuk makan malam saja, ia harus memaksa sang suami. Dan sepanjang makan, Andre hanya melamun, seolah asyik dengan dunianya sendiri.Bahkan beberapa kali pertanyaan random Shaina, hanya berbalas gumaman karena pria itu tak berkonsentrasi."Apa maksudmu dengan ada apa?" Andre balik bertanya dengan raut wajah tak suka. Ia pun menyudahi makan meski nas
"Kamu makin cantik."Bersiap menghadapi Shiraj dengan segala kemungkinan terburuk, membuat Shaina tak menyangka akan mendengar kalimat semacam itu sebagai pembuka percakapan.Wanita itu tak dapat mengelak untuk tertegun, untuk kemudian tersadar beberapa detik kemudian. Matanya dipaksa mendelik, meski ia yakin pipinya sudah semerah kepiting rebus sekarang."Abang sudah punya anak gadis sekarang. Please, bersikap yang sewajarnya atau kita hentikan saja pembicaraan ini." Shaina menggertak meski tak yakin. Dilihatnya Shiraj menghela napas."Abang menunggu kamu menghubungi lebih dulu sejak itu. Pasti ada alasan yang masuk akal kenapa secara tiba-tiba kamu datang ke rumah, setelah sekian lama kita tidak bertemu. Dan itu pasti tak ada kaitannya dengan ... kita."Tentu saja.Bertahun mengenal pria itu, Shaina memang mengetahui apa pun tentangnya. Nama-nama anggota keluarganya, kampung halamannya, pekerjaannya, nomor rekeningnya, tapi tidak dengan alamatnya.Hingga jelas, pasti ada alasan kena
"Seharusnya kamu menelpon suamimu di saat seperti ini. Aku tadi lagi ada rapat sekolah, terpaksa izin gara-gara kamu," gerutu Alvi, seraya meletakkan secangkir coklat panas di atas nakas. Tangannya beralih ke dahi Shaina yang tengah berbalut kompres, bermaksud menggantinya."Demamnya tinggi banget, lho, Sha. Mestinya obat penurun panasnya sudah mulai bekerja. Kita ke Dokter saja atau gimana?" Meski cerewet dan hobby ceplas-ceplos, nyatanya Alvi tetap yang paling peduli. Dia bahkan datang tak lama setelah Shaina menelpon, mengeluh tentang keadaan dirinya. Shaina menggeleng lemah. "Nggak usah. Nggak ada Dokter yang ganteng di sekitaran sini," jawabnya, mencoba bercanda."Sudah jadi bini jangan suka melantur. Nggak neko-neko saja buktinya diselingkuhin terus," sindir Alvi, kejam."Makanya aku lagi menimbang untuk neko-neko saja sekalian. Minta minum, Vi." Shaina mencoba bangkit dari baringnya. Alvi membantu sang sahabat untuk duduk bersender pada kepala ranjang. Disodorkannya cangkir c