Home / Pernikahan / Kekasih Belia Suamiku / BAB 3: Kecurigaan Alvi

Share

BAB 3: Kecurigaan Alvi

PoV Alviani malik

Aku memang pernah mendengar nama Shirajudin Ahmad dari mulut Shaina saat kami masih kelas dua SMA dulu. Ia mengenal pria itu lewat sosial media dan entah bagaimana caranya, tiba-tiba menjadi akrab begitu saja.

Saat itu aku tidak begitu antusias mendengarnya. Karena selain namanya yang luamayan jadul menurutku, dengar-dengar katanya dia juga sudah menikah dan telah memiliki seorang putri pula.

“Hati-hati, Sha. Berteman dengan om-om itu rawan banget, loh. Kita nggak tahu apa yang ada di pikiran dia.”

Aku merasa perlu mengingatkan Shaina. Jangan sampailah dia punya gebetan om-om. Shaina itu kan cantik. Dia itu tipe perempuan yang kalau berjalan, semua cowok akan  melihat padanya dengan atensi penuh (dengan ilustrasi mata gagal berkedip dan liur yg menetes).

Itu dulu tanpa riasan sama sekali, masih sangat alami. Tapi untunglah, dia bilang itu bukan jenis hubungan istimewa bergenre romance yang perlu di khawatirkan. Katanya hanya sekedar dekat, semacam teman curhat dan sesekali sebagai sumber dana kalau perlu.

Dulu, karena masih senaif itu, kadang aku suka ikut kecipratan senang kalau ditraktir Shaina yang katanya habis dapat transferan dari om Shiraj. Tentunya setelah aku pastikan dulu, itu uang ‘halal’ atau bukan. Takutnya jangan-jangan Shaina memberi 'imbalan' yang mengerikan.

Syukurnya, Shaina sampai berani bersumpah kalau itu tak mungkin terjadi. Aku percaya, sih. Lagian, masa iya Shaina naksir om-om? Yang naksir dia saja banyak. Dari yang murni jomlo sampai yang sudah punya pacar. Dari adik kelas sampai oknum Guru yang aku tahu persis siapa orangnya.

Kuanggap itu sebagai keberuntungan Shaina. Punya teman tapi memberi nafkah, itu kan sesuatu sekali. Lha wong aku yang punya pacar saja, kalau makan bersama saat kencan, seringnya malah bayar sendiri-sendiri. Maklum, masih sama-sama menjadi beban orang tua. Jangankan memberi transferan, ongkos angkot saja hanya sesekali dibayari. Nasib!

Shaina juga bukan tipe gadis agresif yang suka tebar pesona. Justru, ia terkesan menjaga jarak dengan mereka yang terindikasi menyukainya. Dari SMA sampai kami kuliah di tempat yang sama, tak terlihat olehku ia berpacaran atau minimal dekat dengan salah satu dari mereka. Padahal dengan kualifikasi yang dimilikinya, Shaina bisa mendapatkan siapa saja yang dia mau.

Saat remaja seusia kami menganggap berpacaran adalah sebuah kewajaran, Shaina malah terkesan membatasi diri. Dia bisa melewati cowok seganteng apa pun tanpa keinginan menoleh sedikit juga.

Membuatku terkadang merasa malu sendiri karena tidak bisa seperti dia. Aku memang tipe orang yang memiliki penghargaan terhadap karya seni bernilai tinggi. Termasuk keindahan rupa para cowok. Oke, lewatkan saja.

"Pacaran buat apaan juga, sih, Vi? Ntar malah dapet ruginya doang. Perjalanan mereka buat sukses masih jauh dan belum tentu bakalan jodoh juga."

Begitu alasannya dulu saat kutanya. Menurutku, pendapat Shaina itu terbentuk karena pengalaman hidup dari orang tuanya sendiri. Jangankan dari cerita Shaina, aku sendiri saja sering mendengar mama Shaina menasehati kami kalau aku kebetulan main ke rumahnya.

“Kalian ini kalau bisa jangan pacaran dululah. Pacaran itu nggak memiliki manfaat sedikit pun kecuali malah membawa kerugian. Pria yang baik, akan lebih memilih melamar seorang wanita ketimbang hanya mengajak bermain-main tak jelas.”

Nasehat yang lumayan berat dan terkesan kurang logis bagi remaja seusia kami yang hanya berpikir pendek saja. Bukankah setiap proses serius, diawali dari sebuah pendekatan dulu? Tidak mungkin juga kan langsung membahas pernikahan saat baru berkenalan?

Tapi seiring bertambahnya usia, aku justru membenarkan ucapan mama Shaina itu. Melihat gaya berpacaran remaja sekarang, benar-benar membuatku bergidik! Meski pada akhirnya, semua berpulang pada pribadi masing-masing.

Hingga suatu hari, aku dikagetkan oleh keputusan Shaina untuk menerima Andre sebagai kekasihnya. Padahal dulu, sekedar meliriknya pun, Shaina enggan. Dan tak lama kemudian, sahabatku itu memutuskan untuk menikahinya, padahal tamat kuliah saja belum.

Aku memang tahu apa alasan Shaina melakukannya. Ia hanya ingin membuat kesal sang mama yang menurutnya selalu menganggap anak tirinya lebih baik dari Shaina sendiri.

“Cuma Maira saja yang bagus di mata mama, Vi. Aku mah nggak ada apa-apanya. Ya sudah, sekalian saja aku nikah muda, biar si Maira itu semakin jadi anak kesayangan mama.”

Begitu katanya. Usahaku agar Shaina berpikir ulang, tak digubris. Terus-terang, baru kali ini aku melihatnya bertekad sekeras itu, demi seorang Andre pula. Seperti ada yang salah, tapi aku tak tahu apakah itu..

Waktu itu, aku sudah tak lagi mendengar nama Shirajudin Ahmad disebut-sebut. Kadang kalau kutanya, Shaina pun tak tampak antusias menjawab.

"Kabarnya baik-baik saja. Sesekali masih nelpon, sih. Kita sudah jarang ketemuan soalnya."

Dari cara bicaranya, aku menyimpulkan itu memang sesuai kenyataan. Aku yakin, Shaina tetap punya batasan jelas untuk pria itu. Gila saja kalau sampai diseriusi. Sedang berteman saja sebenarnya agak tak pantas begitu. Mana sudah beristri.

Yang kutahu, Shaina juga belum pernah bertemu langsung dengannya. Dalam bayanganku, pria bernama Shiraj itu hanya pria kelewat biasa yang tak berani menampakkan wajah aslinya. Jadi, seharusnya tak terlalu penting dan mudah untuk dilupakan begitu saja. Tapi ternyata aku salah. Seperti mungkin aku salah mengartikan kedekatan mereka.

Aku juga salah besar menganggap Om Shiraj itu hanya sekedar pria biasa yang bisa dianggap angin lalu belaka. Nyatanya aku sampai shock melihat wajah pria yang katanya papa pelakor itu, macam tak pernah melihat pria ganteng saja!

Tapi demi Tuhan, dia sungguh … wow! Tampak begitu menawan di usia matang, dengan tingkat kharisma yang sanggup membuat wanita mana pun mendamba. Tak ada garis-garis penuaan di sana, dengan gaya yang dandy, siapa pun tak akan menyangka bahwa dia telah memiliki putri berusia delapan belas tahun. Pelakor pula.

Yang lebih membingungkan, Aku bisa melihat jelas keterkejutan dan kecanggungan di antara mereka. Cukup lama keduanya saling memandang yang siapa pun akan tahu itu mengandung makna yang sesuatu sekali.

Lucunya, bukan semacam kalimat labrakan yang diucap Shaina. Sahabatku itu justru meminta kartu nama untuk dihubungi kembali nanti. Kenapa tidak di bahas saat itu juga? Ada apa? Terlebih, ketika memberikan kartu nama, disertai ucapan lirih si om yang masih terdengar olehku.

"Masih nomor yang sama."

Aku bagai penonton dengan tingkat kebodohan yang begitu mengenaskan. Adegan seru yang kubayangkan sepanjang perjalanan, ternyata berakhir zonk. Digantikan adegan absurd yang butuh upaya ekstra untuk mengartikannya.

Mereka saling mengenal, itu pasti. Dan dari cara si pria mengucap empat kata itu, aku yakin ada kisah romantis di balik itu. Cara bicaranya, bikin merinding. Dan akhirnya Shaina pun mengakui bahwa pria itu adalah Shirajudin Ahmad. Pria yang hanya kukenal namanya, kini kulihat wujudnya.

“Katamu dulu, kalian belum pernah ketemuan sama sekali. Apa aku salah dengar?” Aku lebih memilih mempertanyakannya dari pada hanya memendam saja dalam hati.

Shaina hanya terdiam, mengalihkan pandang seraya menggigit bibirnya.

“Pernah. Hanya saja, aku nggak cerita ke kamu,” ucapnya, lirih.

“Oh.

Terus-terang, melihat langsung sosok itu dan mendengar ucapan Shaina, membawaku pada persepsi baru tentangnya. Sepertinya, aku harus meralat bahwa kisah mereka tak sesederhana itu. Aku kenal Shaina. Melihat sendiri interaksi canggung mencurigakan keduanya, membuatku menyimpulkan, ada sesuatu di antara mereka.

“Pernah ada yang special di antara kalian? Kalau aku boleh tahu?” tanyaku, entah yang ke berapa kali.

“Aku pernah menyukainya. Tapi aku sadar, itu adalah hal terlarang. Kamu tahu sendiri pada akhirnya, aku juga memilih bersama Andre,” jelasnya, setelah lama hanya terdiam.

Sebuah pengakuan yang akhirnya menambah sebuah fakta baru versiku sendiri. Mungkinkah, selain ingin membuat mamanya kesal, Shaina juga menjadikan Andre sebagai pelarian?

Bukan bermaksud menuduh. Hanya saja menurutku, apa yang terjadi, tak sesederhana perkataannya itu. Aku seakan dapat merasakan, Shaina melibatkan perasaan yang jauh lebih dalam. Bukan sekedar cinta monyet gadis naif di usia labilnya.

"So, kapan rencanamu menghubungi om ganteng itu untuk membahas kelakuan anaknya?" tanyaku via telfon. Aku cukup penasaran dengan langkah yang akan Shaina ambil setelah tahu kenyataan mengagetkan ini.

"Aku masih mencari waktu yang tepat, Vi."

"Aku bisa bayangkan, pasti sulit untukmu harus menceramahinya agar mampu mendidik anak, sementara lututmu sendiri pun gemetar memandangi wajah tampannya."

"Please, Vi...."

"Oke, kapan pun itu, kabari aku kalau waktunya sudah tepat menurutmu. Aku akan mendampingimu nanti."

“Terima kasih, Vi, tapi aku rasa ... aku akan handle ini sendirian saja. Kamu ngerti, kan?"

Persis seperti dugaanku. Shaina tak ingin aku mengetahui ini lebih jauh lagi. Haruskah aku tak berprasangka apa pun mendengarnya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status