"Kamu makin cantik."
Bersiap menghadapi Shiraj dengan segala kemungkinan terburuk, membuat Shaina tak menyangka akan mendengar kalimat semacam itu sebagai pembuka percakapan.Wanita itu tak dapat mengelak untuk tertegun, untuk kemudian tersadar beberapa detik kemudian. Matanya dipaksa mendelik, meski ia yakin pipinya sudah semerah kepiting rebus sekarang.
"Abang sudah punya anak gadis sekarang. Please, bersikap yang sewajarnya atau kita hentikan saja pembicaraan ini." Shaina menggertak meski tak yakin. Dilihatnya Shiraj menghela napas."Abang menunggu kamu menghubungi lebih dulu sejak itu. Pasti ada alasan yang masuk akal kenapa secara tiba-tiba kamu datang ke rumah, setelah sekian lama kita tidak bertemu. Dan itu pasti tak ada kaitannya dengan ... kita."Tentu saja.Bertahun mengenal pria itu, Shaina memang mengetahui apa pun tentangnya. Nama-nama anggota keluarganya, kampung halamannya, pekerjaannya, nomor rekeningnya, tapi tidak dengan alamatnya.
Hingga jelas, pasti ada alasan kenapa hari itu Shaina bisa tiba-tiba terdampar di rumahnya. Bukan sebagai tamu, apalagi sales. Terlebih mereka telah terlanjur memperkenalkan diri sebagai guru putrinya.
"Tapi kamu tidak pernah menghubungi lagi," ucapnya lagi, dengan nada terkesan menuntut."Fenita, putri abang, ada hubungan istimewa dengan suamiku." Shaina memilih untuk to the point.Tak ada ekspresi terkejut dari wajah pria yang malah kian menawan di usia matang itu. Jadi, firasatnya benar?"Abang tahu." Pria itu menjawab lirih."Abang tahu? Sejak kapan?" kejar Shaina, tajam."Sejak kamu dan temanmu mengatakan adalah gurunya Fenita, abang sudah mencurigai hal itu.” Shirajudin Ahmad terdiam sejenak. Shaina sangat jelas bisa melihat raut tertekan di wajah itu.“Abang kenal wali kelasnya, bahkan guru BKnya juga. Sejak itu, abang mulai memata-matai Feni, mencari sebab paling masuk akal yang terkait dengan kedatanganmu. Sayangnya, semua itu mengarah pada pria bernama Andre, yang ternyata adalah suamimu. Bagaimana mungkin kamu bisa menikahi pria sebrengsek itu?" lanjutnya lagi, sedikit menggebu.
Shaina sampai menahan napasnya. Entah ia harus bereaksi seperti apa. Marah? Tersinggung? Atau justru membenarkan?
"Abang menyita ponsel dan segala fasilitas yang memungkinkan dia berhubungan dengan suamimu lagi. Sekolahnya pun sudah abang pindahkan."Nalar Shaina bekerja dengan cepat. Jadi, inikah yang menjadi alasan perubahan sikap Andre yang selalu tampak bermuram durja itu?Hah! ternyata karena ia kehilangan akses untuk menghubungi kekasih belianya itu!
"Maafkan Feni, Sha. Dia ... hanya anak malang yang kurang perhatian. Kesibukan abang tak membuatnya cukup mendapat kasih sayang sehingga ia harus mencari itu pada orang yang salah."Penjelasan itu ... serasa juga menampar Shaina. Seolah mendengar napak tilas dari kehidupannya sendiri."Ibunya?"Shaina merasa ada yang ganjil dari kalimat Shiraj. Meski kurang perhatian dari ayah, bukankah masih ada ibu? Atau, mungkinkah Fenita bernasib sama seperti dirinya? Beribu, tapi antara ada dan tiada?
"Feni sudah piatu sejak ia berusia sepuluh tahun, Sha. Dia cuma punya abang yang juga tak bisa sepenuhnya fokus pada dirinya. Sekali lagi, maafkan dia.”Entah kenapa, hati Shaina malah mencelos pedih. Entah ia harus merasa lebih beruntung atau malah lebih menyedihkan.Mamanya masih ada, tapi tak lantas membuatnya menghujani Shaina dengan kasih sayang yang lebih sebagai pengganti kasih sayang ayah. Sang mama seolah terkesan menjauh, karena lebih sibuk mengambil hati anak sambungnya ketimbang menganggapnya ada.
Dan rasanya amat menyenangkan melihat mama yang bereaksi keras saat melihatnya dekat dengan Andre. Yah, Andre Aksa bisa semudah itu memasuki kehidupannya bukan saja karena kesadaran Shaina harus menjauhi Shiraj, tapi demi melihat murka mama yang terasa begitu menyenangkan baginya.Semua karena rasa kecewa yang telah terlanjur merasuk begitu dalam hingga Shaina merasa sulit untuk kembali. Terlebih, sang mama selalu membandingkannya dengan Maira-- saudara tirinya-- orang yang bahkan belum lama memasuki hidup mereka!"Entah siapa yang kandung dan yang tiri di antara kalian, yang jelas, Maira lebih biisa mengerti dan membanggakan mama. Tak seperti kamu yang selalu membuat mama kecewa. Maira bahkan setuju tanpa syarat dengan pilihan mama dan papamu tentang jodohnya. Sedang kamu? Berpacaran pun tak bisa pilih-pilih. Harus sekali kamu bersama anak urakan tak jelas itu?"Sejak itu, Shaina memutuskan akan menjadikan ucapan mamanya sebagai kenyataan. Maira akan menjadi satu-satunya putri kebanggaan. Hal yang membuatnya mantap menjadikan Andre sebagai seorang suami, apa pun yang terjadi!
Mamanya memang benar. Apa yang bisa dibanggakan dari dirinya? Shaina bahkan pernah terlibat affair dengan pria beristri, meski beliau tak tahu. Dan menjadikan Andre sebagai suami, akan lebih memperlengkap itu."Kamu baik-baik saja kan, Sha?" Shiraj menyentuh lembut jemarinya. Menyadarkan Shaina dari lamunan sesaatnya.Perlahan, dicobanya melepaskan diri dari genggaman pria itu. Namun tampaknya Shiraj tak berkenan. Ia malah makin mempereratnya membuat Shaina berdebar luar biasa gila.
"Jangan kayak gini Bang. Please.""Aku tahu kamu nggak bahagia bersama dia, Sha.""Heh?""Tinggalkan dia, Sha. Dia nggak pantas untuk kamu," ucapnya, terdengar memerintah hingga Shaina terkekeh geli mendengarnya."Terus, aku pantasnya sama siapa? Sama Abang?""Kenapa tidak? Abang masih lebih bisa tulus mencintai kamu ketimbang suami mata keranjangmu itu. Apa kamu tahu, dia pernah berusaha mendatangi rumah kami karena tak bisa lagi menghubungi Feni? Abang bisa saja memerintahkan anak buah untuk membuatnya babak belur saat itu juga!""Abang mikir nggak, kalau situasi kita saat ini seperti deja vu? Apa yang kita lakukan dulu, kini dilakukan oleh orang terdekat kita," gumam Shaina, lirih."Suamimu itu tak hanya selingkuh dengan Feni, Sha. Ada beberapa wanita lain yang juga menjadi koleksinya. Setidaknya, abang tidak seperti itu.""Ternyata abang gerak cepat juga. Semua info tentang suamiku abang sudah tahu semua. Hebat." Shaina tersenyum kecut."Jadi kamu sudah tahu tentang kelakuan suamimu? Dan reaksi kamu cuma seperti itu?" Shiraj mengerutkan dahinya, tak habis pikir.Shaina hanya menghela napas berat. "Aku mesti gimana, Bang? Mungkin sama seperti mendiang istri abang, kami mendiamkan karena satu dan lain hal."Shiraj pun seolah terkunci. Ucapan Shaina telak menghantamnya, menyeretnya pada kenangan masa lalu saat Adella masih hidup. Adella yang juga tahu suaminya diam-diam menjalani hubungan terlarang dengan seorang gadis belia. Adella yang mungkin membawa rasa sakitnya hingga maut menjemput.Hanya Tuhan yang tahu betapa Shiraj merasa sangat menyesal harus menyakiti hati sebaik istrinya itu. Sama seperti Tuhan pun tahu bahwa Shirajudin Ahmad tak sekali pun pernah menyesali cinta terlarangnya pada Shaina Dewayani, wanita yang hingga kini masih melekat begitu kuat dalam hatinya."Kamu punya pilihan, Sha. Selalu punya pilihan. Memaklumi bukanlah solusi tepat untuk hal semacam ini. Hidupmu terlalu berharga untuk mendampingi lelaki sebrengsek dia!""Lebih baik abang fokus pada Fenita saja. Dia perempuan, Bang. Setelah setahun mereka bersama, aku tak yakin perasaannya bisa semudah itu untuk melupakan.""Tentu saja dia harus melakukannya!”Shaina tersenyum samar. "Abang jangan terlalu yakin. Setahun, Bang, setahun! Abang pikir, apa yang telah mereka lewati selama setahun itu? Selama lebih dari tiga ratus enam puluh lima hari?"Shiraj menatapnya, dengan perasaan dilema. Seluruh syaraf memorinya seakan jelas mengingatkan kenangan apa pun yang selama hampir empat tahun dengan wanita di hadapan.Pria itu bukannya tak paham, Shaina mencoba mengajaknya berpikir realistis dengan kenangan mereka sebagai rujukan.
"Fenita belum pernah tersentuh, Sha, kalau itu maksudmu."Shaina pun tersentak dan menganga."Aku membawanya periksa ke dokter sesaat begitu tahu dia berhubungan dengan suami orang." Shiraj mengalihkan pandang."Abang? Kenapa, apakah abang ... takut?""Sebagai seorang ayah, tentu saja," akunya, lemah. Shaina menyeringai. "Apa yang akan abang lakukan bila hasil pemeriksaan menunjukkan sebaliknya?"Adrenalin wanita itu seolah tertantang untuk menanyakan hal yang bagai memiliki dua sisi itu. Namun, Shiraj menatapnya dengan yakin.
"Abang akan menyeret suamimu itu ke penjara untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya!"Shaina tertawa pedih. "Abang nggak sadar kalau abang itu egois?""Abang bisa lebih egois dari itu, Sha. Abang paham arah kalimatmu. Tapi satu hal yang pasti, kami berbeda, kamu tahu itu dengan baik melebihi siapa pun!” Pria itu menatap Shaina dengan sangat lekat. Tatapan yang sialnya, masih mengalirkan arus berbahaya ke hati Shaina.
“Ingat, Sha, kamu yang memilih pergi. Namun setelah tahu kamu hanya dipecundangi seperti ini setelah memilih meninggalkan abang, jangan salahkan bila abang akan melakukan hal yang jauh lebih egois dari ini. Seperti misalnya ... berusaha untuk mendapatkan kamu kembali!"
"Seharusnya kamu menelpon suamimu di saat seperti ini. Aku tadi lagi ada rapat sekolah, terpaksa izin gara-gara kamu," gerutu Alvi, seraya meletakkan secangkir coklat panas di atas nakas. Tangannya beralih ke dahi Shaina yang tengah berbalut kompres, bermaksud menggantinya."Demamnya tinggi banget, lho, Sha. Mestinya obat penurun panasnya sudah mulai bekerja. Kita ke Dokter saja atau gimana?" Meski cerewet dan hobby ceplas-ceplos, nyatanya Alvi tetap yang paling peduli. Dia bahkan datang tak lama setelah Shaina menelpon, mengeluh tentang keadaan dirinya. Shaina menggeleng lemah. "Nggak usah. Nggak ada Dokter yang ganteng di sekitaran sini," jawabnya, mencoba bercanda."Sudah jadi bini jangan suka melantur. Nggak neko-neko saja buktinya diselingkuhin terus," sindir Alvi, kejam."Makanya aku lagi menimbang untuk neko-neko saja sekalian. Minta minum, Vi." Shaina mencoba bangkit dari baringnya. Alvi membantu sang sahabat untuk duduk bersender pada kepala ranjang. Disodorkannya cangkir c
Meski masih agak pening, Shaina memaksakan dirinya untuk tetap mandi. Alvi pasti akan marah kalau tahu, apalagi demamnya belum sepenuhnya turun. Tapi mau bagaimana lagi, badan rasanya lengket semua. Lagi pula, ia bukan tipe wanita yang betah bila tak mandi seharian, sekali pun dalam keadaan sakit. Mudah-mudahan setelah sekali lagi minum obat, demamnya akan hilang sepenuhnya.Usai berpakaian, Shaina bermaksud untuk kembali berbaring. Wanita itu meraih ponsel untuk memeriksa adakah panggilan atau chat yang masuk.Tak lama, mata Shaina seketika membola seusai membaca sederet chat yang masuk beberapa saat lalu.[Jangan kaget saat melihat pria berengsek itu pulang dalam keadaan babak belur, Sha.][Abang telah perintahkan anak buah untuk memberinya pelajaran tadi.][Ternyata nyali suamimu itu memang luar biasa. Ia masih nekad berusaha menemui Feni.][Kendalikan dia, atau aku akan membuatnya lebih celaka dari itu kalau dia masih nekad juga.][Sha … apa kau yakin masih mau tetap bertahan be
Shaina memasuki dapur dengan dada berdebar kencang.Mbak Sumi bilang, sang mama tengah keranjingan mencoba berbagai resep masakan yang dipelajarinya, meski terkadang akan berakhir dengan dibagikan ke para tetangga karena tak ada yang sanggup menghabiskan.Tentu saja, karena mereka hanya tinggal bertiga: Sarah—mama Shaina, papa sambungnya dan mbak Sumi yang bertugas untuk mengurus rumah. Atau mungkin tepatnya, agar Sarah ada teman mengobrol karena sesungguhnya, ia tak terlalu memerlukan jasa ART. Shaina bahkan sudah merasakan air matanya mengalir melihat punggung wanita yang melahirkannya itu.Sang mama tampak lebih kurus dibanding tahun lalu. Tak tahan didera haru, bergegas Shaina menghampiri dan memeluk tubuh ramping itu dari belakang. Gerakan reflek pertanda kaget dari Sarah, dibalas Shaina dengan mengeratkan pelukan. “Assalamualaikum, Ma.” “Waalaikumsalam.” Sarah membalas dengan suara yang sama seraknya. Tentu, cuma seorang ibu yang dapat mengerti arti sebuah pelukan seorang an
Usai menyerahkan KTP pada receptionis lantai dasar, Shaina bergegas menuju lift. Saat ini, ia tengah berada dalam sebuah gedung perkantoran untuk tujuan walk in interview di salah satu perusahaan di lantai 10.Butuh kesiapan mental bagi Shaina untuk menginjakkan kaki di tempat ini. Setelah sekian lama terlena hanya menyimpan ijazah sarjananya hanya sebagai penghuni filing cabinet di kamar.Setelah menikahi Andre, Shaina memang tak pernah ikut pusing memikirkan keuangan rumah tangganya. Orang tua Andre secara rutin menopang kebutuhan mereka karena saat itu, baik Andre atau pun dirinya, masih berada di tingkat akhir perkuliahan.Meski pada akhirnya Andre ‘didisiplinkan’ oleh papa mertuanya untuk bisa mandiri, Shaina tetap tak terlalu merasa terimbas. Transferan tetap rutin mengalir ke rekeningnya meski tak sebesar dulu.Mertua memang menginginkan Andre tetap berperan sebagai seorang suami dalam arti yang sesungguhnya. Yang bukan hanya lihai memberi nafkah batin, tapi juga mampu mencukup
“Serius, Sha?”Saat ini, Shaina tengah berada di rumah Alvi. Usai walk in interview yang hasilnya agak mengecewakan, Shaina memutuskan mengunjungi Alvi. Sahabatnya itu pun belum lama baru saja pulang dari sekolah tempatnya bekerja.Keduanya makan siang bersama dan memilih istirahat di kamar Alvi setelahnya, mengobrol santai sambil berbaring.“Apa yang menjadi pertimbangan kamu akhirnya memutuskan untuk cari kerja? Sudah ada bayangan keputusan macam apa yang akan kamu ambil?” Alvi menatapnya serius. Berita tentang Shaina yang berniat mencari kerja, direspon Alvi dengan sangat antusias.“Sejujurnya, aku masih bingung, Vi. Aku belum yakin akan mengambil langkah apa. Tapi, aku merasa harus memulai sesuatu. Mungkin, karena alam bawah sadarku juga secara tak langsung mengingatkan, kalau aku nggak bisa selamanya setergantung ini pada Andre. Minimal, aku mesti mandiri secara finansial dulu, kan?”“Itu bagus. Salah satu penyebab terklasik seorang wanita tak berani memutuskan untuk bercerai ada
Shaina tetap menjalani hari-harinya seperti biasa. Terbongkarnya perselingkuhan Andre dan Fenita, nyatanya tak lantas membuat rumah tangga mereka harus berada di titik klimaks.Sikap Andre masih sama seperti sebelumnya. Seolah tanpa beban, merasa Shaina sudah kebal dengan doktrin, kalau perselingkuhannya hanyalah sekedar hal iseng yang tak perlu menggoyahkan rumah tangga mereka.Namun, bukan berarti Shaina tak menyadari, Andre tak sebiasa itu dalam bersikap. Pria yang sudah 6 tahun menjadi suaminya itu, jelas-jelas seakan tengah mengalami tekanan batin yang coba untuk disembunyikannya.Hal yang membuat Shaina berpikir keras, sudah sedalam itukah sosok Fenita menguasai hatinya?“Kamu kemarin ngapain di Graha Persada, Sha?”Shaina yang tengah asyik berselancar dalam situs lowongan kerja, terkaget dengan pertanyaan Andre yang to the point. Padahal sewaktu makan malam tadi, ia tak menanyakan apa pun sama sekali.Beberapa hari ini, Shaina memang lebih memilih menghabiskan waktu di ruang ba
Suasana meja makan di pagi hari, masih tetap sesunyi sebelumnya. Hanya raga saja yang hadir, namun, jiwa Shaina mau pun Andre, seolah sibuk dengan pengembaraannya masing-masing.Entah pukul berapa sang suami pulang semalam setelah pergi begitu saja membawa kekesalan anehnya. Yang jelas, saat sempat terbangun di pukul 2 pagi, Andre belum terlihat sama sekali.Dan Shaina, merasa malas untuk sekedar bertanya.“Kuharap, kamu masih bisa menghargaiku, Sha. Batalkan rencanamu untuk bekerja, karena aku benar-benar serius melarangnya.” Andre tiba-tiba memecah hening. Pria itu juga mengucap kata ‘serius’ dengan penuh penekanan.“Kenapa?”“Karena perkara nafkah adalah urusanku. Dan aku yakin telah menunaikannya sebaik mungkin hingga kau tak dalam keadaan kekurangan.”“Siapa bilang aku ingin melakukannya karena kekurangan nafkah?”“Kalau hanya sekedar mencari kesibukan, kau bisa mencari alternatip lain,” tegas Andre. Jujur, rasanya baru kali ini Shaina merasakan dilema yang cukup membingungkan.
Senja telah beranjak semakin tua kala Shaina masih asyik duduk terpekur di salah satu kursi kafe. Entah mengapa, pengunjung kafe sore ini tidak terlalu banyak. Mungkin karena hujan yang cukup lebat hingga menghadang mereka untuk datang.Dan mungkin karena hujan pula, Shirajudin Ahmad sampai membuatnya menunggu hingga hampir satu jam lamanya.Pria itu akhirnya datang juga, tepat pukul 7 malam dengan keadaan yang tak sepenuhnya kering. Raut cemas dan bersalah, sangat kentara sekali terlihat dari ekspresi wajahnya.“Maafkan abang, Sha. Abang terlambat sekali, ya?”Shaina hanya tersenyum tipis. Memberanikan menatap wajah yang masih sangat tampan itu dengan sepenuh sadarnya.“Ada meeting dengan klien yang tak bisa abang tinggal begitu saja. Maaf sudah membuat kamu menunggu lama, Sha.” Shiraj masih berusaha menjelaskan untuk mengurai rasa bersalahnya.“Abang bisa mengabari aku untuk menunda janji temu kita kalau memang sesibuk itu. Aku tidak apa-apa, kok.”“No, sama sekali bukan masalah!” S