Entah ada apa dengan Andre sebenarnya. Jelas, Shaina bisa merasakan sikap uring-uringannya yang semakin menjadi-jadi. Apakah ini ada hubungannya dengan Fenita? Atau wanita-wanita yang lain?
Satu hal yang jelas, Andre tak pernah seperti ini sebelumnya. Pria itu seolah kehilangan gairah hidup dengan menampakkan gesture dan ekspresi lesu setiap harinya. Wajah itu pun nyaris tak pernah lagi berhias senyum.Andre tak ubahnya seperti zombie yang bernyawa!
"Oke, tolong katakan ada apa lagi kali ini, Dre." Shaina menelungkupkan sendok-garpu dengan gemas. Cukup sudah beberapa hari ini ia dianggap figuran. Dan Shaina mulai menampakkan sikap muaknya.Untuk makan malam saja, ia harus memaksa sang suami. Dan sepanjang makan, Andre hanya melamun, seolah asyik dengan dunianya sendiri.
Bahkan beberapa kali pertanyaan random Shaina, hanya berbalas gumaman karena pria itu tak berkonsentrasi.
"Apa maksudmu dengan ada apa?" Andre balik bertanya dengan raut wajah tak suka. Ia pun menyudahi makan meski nasi di piringnya masih tersisa lumayan banyak.
Bolak-balik selingkuh, Andre nyaris tak pernah kehilangan sisi hangat dan romantisnya pada Shaina. Sekali pun itu hanya kamuflase, setidaknya Andre masih menghargai keberadaannya sebagai seorang istri.Tapi kali ini berbeda.Entah apakah perubahan ini disebabkan oleh Fenita atau bukan, yang jelas cukup membuat Shaina berdenyut nyeri. Terlebih bila ini benar karenanya, berarti memang sudah sedalam itu perasaan sang suami pada remaja itu. Dan bukankah dengan Fenita adalah rekor terlama perselingkuhan Andre?
"Jangan menjawab tanyaku dengan pertanyaan juga. Kamu tahu persis apa maksudku. Siapa lagi kali ini yang mampu membuatmu semellow itu hingga seakan tak punya gairah hidup?" Andre memang belum sadar kalau Shaina telah mengetahui tentang Fenita, bahkan sudah sampai taraf mendatangi rumahnya segala. Pria itu hanya menatapnya dengan tatapan yang ... entah. Kemudian, ia hanya menyeringai."Kau selalu bertanya tentang hal yang sama. Prasangkamu bisa saja menjadi kenyataan, Sha. Tidak adakah selain hal negatip yang bisa kau pikirkan tentang aku?""Oh ya? Persetan menjadi kenyataan atau tidak, itu bukan lagi masalah untukku. Tak diharapkan pun, hal brengsek itu sudah lama terjadi, kan?" Shaina mulai terpancing."Terserah apa katamu, Sha." Andre mengibaskan tangannya. Pria itu berlalu dari meja makan dan menyambar kunci mobil di atas bufet. Lagi-lagi bermaksud meninggalkan semua tanpa akhir yang jelas.“Kita sedang bicara, tak bisakah kau menghargaiku sedikit saja?” teriak Shaina, reflek mengikutinya.
Namun, Andre sama sekali tak menggubris. Pria itu tetap pergi dan tak lama, suara mobilnya terdengar dari halaman rumah.
Shaina luar biasa jengkel dibuatnya. Ia menghempaskan diri pada sofa dengan seribu satu pikiran berkecamuk. Wanita itu tahu, ia harus melakukan sesuatu, kecuali ia merelakan semuanya tanpa perubahan.
Ponsel dalam sakunya tiba-tiba saja berbunyi, pertanda ada pesan yang masuk. Malas, Shaina meraih benda itu. Dahinya berkerut. Sebuah nomor tak terdaftar dengan foto profil motor sport mengirimkan beberapa pesan kepadanya.
[Ini abang]
[Ayo bertemu di kafe Nirwana besok sore.][Ada sesuatu yang harus kita bahas]
[Dan mungkin, ini berkaitan dengan apa yang menjadi tujuanmu datang ke rumah empat hari yang lalu]
Mata Shaina seketika membulat. Bang Shiraj? Tanpa dikomando, debar-debar dalam dadanya tiba-tiba begitu saja hebat bergemuruh.Ini bukan tentang Shirajudin Ahmad yang masih memberi efek getar di setiap chat atau pun sekedar dering misscallnya. Tapi isi pesan itu, apa maksudnya? Apa dia ... tahu? Tahu dari mana? Dan apakah hal tersebut ada kaitannya dengan perubahan sikap Andre?Begitu banyak tanya yang rasanya ingin saat ini juga terjawab. Namun Shaina memilih bersabar.Memperpanjang komunikasi meski hanya via chat dan itu pun bukan untuk membahas masa lalu, masih cukup untuk membuat Shaina ada dalam mode waspada penuh. Karena Shaina sadar betul, setinggi apa potensi pria itu dalam 'menyusahkan' hatinya.
Tanpa berniat membalas pesan tersebut, Shaina segera mematikan data seluler. Tak ingin komunikasi terjalin lebih lanjut lagi.Meski jujur, ada sedikit protes dari sudut tersembunyi hati tentang keputusannya itu. Dan itu cukup membuatnya untuk mengutuk dirinya sendiri.
***Kafe Nirwana di sore hari masih belum terlalu ramai. Biasanya pengunjung akan membludak seiring waktu-waktu pulang kantor nanti. Shaina berkali menghela napasnya, mencoba meredakan debar yang amat mengganggu itu.Situasi yang lucu.Haruskah ia berhadapan dengan ayah kekasih suaminya dengan hati yang berdebar gila seperti itu?Situasi di antara mereka sudah tak lagi sama. Mungkin saja bahkan pertemuan ini akan berakhir tak mengenakkan. Seperti apa pun Shirajudin Ahmad di masa lalu, di saat kini ia adalah ayah dari Fenita Febriani. Dan bisa dipastikan, pria itu akan berpihak pada anaknya.
Bisa jadi, pria itu akan ikut marah kepadanya karena sebagai seorang istri, Shaina dianggap tak mampu menjaga suaminya.Atau jangan-jangan, ia akan dituding mendapat karma atas perbuatan salah di masa lalu mereka. Huh, yang benar saja. Dengan menudingnya, bukankah sama artinya pria itu menunjuk dirinya sendiri?
Monolog absurd dalam benaknya, cenderung mengubah mood Shaina dan membuat emosinya terhadap pria itu cenderung berkembang.Membuat Shaina bersiap dalam mode 'perang', karena sepenuhnya sadar situasi di antara mereka tidaklah lagi sama. Dan bila prasangkanya benar terjadi, bukankah membela diri dan fokus menganggap Shiraj sebagai musuh, adalah hal terlogis yang harus dilakukannya?
Ya, seburuk apa pun resikonya, Shaina sudah memperhitungkan itu ketika mengirim chat balasan untuk setuju bertemu pada sore ini. Matanya menyisir setiap inci ruangan, mencari sosok yang katanya telah ada lebih dulu di tempat ini.[Aku di pojok kanan. Dari tempatmu berdiri, tertutup tanaman hias. Kamu nggak bakal bisa lihat aku dari situ]Shaina bergegas menuju tempat yang di maksud usai membaca chatnya barusan. Dipersiapkannya mental sebaik mungkin, meski hatinya riuh menyadari ada yang berbeda dari chat tersebut.Dulu, Shiraj selalu membiasakan menyebut dirinya dengan panggilan ‘abang’. Jadi, ketika kini ia mengganti dengan istilah ‘aku’, entah kenapa Shaina merasa merinding karenanya. Ia merasakan kesan yang lebih … intim? Ah, entahlah.
‘Please Shaina, jangan mempersoalkan printilan dari pelajaran bahasa Indonesia di saat genting seperti ini!’
Sosok yang tak asing itu langsung tertangkap pandangan matanya kala Shaina kian mendekat. Wanita itu pun sadar bahwa ia tengah ditatap dengan begitu intens tanpa jeda. Berusaha untuk tak merasa risih, Shaina meraih kursi di hadapannya dan mencoba duduk dengan tenang.
Rasanya sia-sia umur sudah dua puluh tujuh tapi masih bisa gemetar hanya karena ditatap selekat itu. Tapi ... ini betul-betul sesuatu.
Shirajudin Ahmad tak sepenuhnya berubah. Dari dulu Ia selalu mampu membuat Shaina meleleh hanya dengan sebuah tatapan.Tunggu ....Apa maksudnya saat ini ia sedang meleleh? Shaina mencoba balas menatap pria itu dengan pikiran yang tenang. Tak ingin Shiraj begitu mudah 'mengintimidasi' perasaannya, sama seperti bertahun lalu."Saya sudah di sini. Abang bisa cerita apa pun yang menjadi maksud dalam chat kemarin." Shaina memulai, berusaha setengah mati untuk tenang. Hanya Tuhan yang tahu betapa ia berjuang keras untuk itu."Kamu makin cantik...."Kalimat jawaban yang melenceng itu, sukses membuat Shaina terpaku."Kamu makin cantik."Bersiap menghadapi Shiraj dengan segala kemungkinan terburuk, membuat Shaina tak menyangka akan mendengar kalimat semacam itu sebagai pembuka percakapan.Wanita itu tak dapat mengelak untuk tertegun, untuk kemudian tersadar beberapa detik kemudian. Matanya dipaksa mendelik, meski ia yakin pipinya sudah semerah kepiting rebus sekarang."Abang sudah punya anak gadis sekarang. Please, bersikap yang sewajarnya atau kita hentikan saja pembicaraan ini." Shaina menggertak meski tak yakin. Dilihatnya Shiraj menghela napas."Abang menunggu kamu menghubungi lebih dulu sejak itu. Pasti ada alasan yang masuk akal kenapa secara tiba-tiba kamu datang ke rumah, setelah sekian lama kita tidak bertemu. Dan itu pasti tak ada kaitannya dengan ... kita."Tentu saja.Bertahun mengenal pria itu, Shaina memang mengetahui apa pun tentangnya. Nama-nama anggota keluarganya, kampung halamannya, pekerjaannya, nomor rekeningnya, tapi tidak dengan alamatnya.Hingga jelas, pasti ada alasan kena
"Seharusnya kamu menelpon suamimu di saat seperti ini. Aku tadi lagi ada rapat sekolah, terpaksa izin gara-gara kamu," gerutu Alvi, seraya meletakkan secangkir coklat panas di atas nakas. Tangannya beralih ke dahi Shaina yang tengah berbalut kompres, bermaksud menggantinya."Demamnya tinggi banget, lho, Sha. Mestinya obat penurun panasnya sudah mulai bekerja. Kita ke Dokter saja atau gimana?" Meski cerewet dan hobby ceplas-ceplos, nyatanya Alvi tetap yang paling peduli. Dia bahkan datang tak lama setelah Shaina menelpon, mengeluh tentang keadaan dirinya. Shaina menggeleng lemah. "Nggak usah. Nggak ada Dokter yang ganteng di sekitaran sini," jawabnya, mencoba bercanda."Sudah jadi bini jangan suka melantur. Nggak neko-neko saja buktinya diselingkuhin terus," sindir Alvi, kejam."Makanya aku lagi menimbang untuk neko-neko saja sekalian. Minta minum, Vi." Shaina mencoba bangkit dari baringnya. Alvi membantu sang sahabat untuk duduk bersender pada kepala ranjang. Disodorkannya cangkir c
Meski masih agak pening, Shaina memaksakan dirinya untuk tetap mandi. Alvi pasti akan marah kalau tahu, apalagi demamnya belum sepenuhnya turun. Tapi mau bagaimana lagi, badan rasanya lengket semua. Lagi pula, ia bukan tipe wanita yang betah bila tak mandi seharian, sekali pun dalam keadaan sakit. Mudah-mudahan setelah sekali lagi minum obat, demamnya akan hilang sepenuhnya.Usai berpakaian, Shaina bermaksud untuk kembali berbaring. Wanita itu meraih ponsel untuk memeriksa adakah panggilan atau chat yang masuk.Tak lama, mata Shaina seketika membola seusai membaca sederet chat yang masuk beberapa saat lalu.[Jangan kaget saat melihat pria berengsek itu pulang dalam keadaan babak belur, Sha.][Abang telah perintahkan anak buah untuk memberinya pelajaran tadi.][Ternyata nyali suamimu itu memang luar biasa. Ia masih nekad berusaha menemui Feni.][Kendalikan dia, atau aku akan membuatnya lebih celaka dari itu kalau dia masih nekad juga.][Sha … apa kau yakin masih mau tetap bertahan be
Shaina memasuki dapur dengan dada berdebar kencang.Mbak Sumi bilang, sang mama tengah keranjingan mencoba berbagai resep masakan yang dipelajarinya, meski terkadang akan berakhir dengan dibagikan ke para tetangga karena tak ada yang sanggup menghabiskan.Tentu saja, karena mereka hanya tinggal bertiga: Sarah—mama Shaina, papa sambungnya dan mbak Sumi yang bertugas untuk mengurus rumah. Atau mungkin tepatnya, agar Sarah ada teman mengobrol karena sesungguhnya, ia tak terlalu memerlukan jasa ART. Shaina bahkan sudah merasakan air matanya mengalir melihat punggung wanita yang melahirkannya itu.Sang mama tampak lebih kurus dibanding tahun lalu. Tak tahan didera haru, bergegas Shaina menghampiri dan memeluk tubuh ramping itu dari belakang. Gerakan reflek pertanda kaget dari Sarah, dibalas Shaina dengan mengeratkan pelukan. “Assalamualaikum, Ma.” “Waalaikumsalam.” Sarah membalas dengan suara yang sama seraknya. Tentu, cuma seorang ibu yang dapat mengerti arti sebuah pelukan seorang an
Usai menyerahkan KTP pada receptionis lantai dasar, Shaina bergegas menuju lift. Saat ini, ia tengah berada dalam sebuah gedung perkantoran untuk tujuan walk in interview di salah satu perusahaan di lantai 10.Butuh kesiapan mental bagi Shaina untuk menginjakkan kaki di tempat ini. Setelah sekian lama terlena hanya menyimpan ijazah sarjananya hanya sebagai penghuni filing cabinet di kamar.Setelah menikahi Andre, Shaina memang tak pernah ikut pusing memikirkan keuangan rumah tangganya. Orang tua Andre secara rutin menopang kebutuhan mereka karena saat itu, baik Andre atau pun dirinya, masih berada di tingkat akhir perkuliahan.Meski pada akhirnya Andre ‘didisiplinkan’ oleh papa mertuanya untuk bisa mandiri, Shaina tetap tak terlalu merasa terimbas. Transferan tetap rutin mengalir ke rekeningnya meski tak sebesar dulu.Mertua memang menginginkan Andre tetap berperan sebagai seorang suami dalam arti yang sesungguhnya. Yang bukan hanya lihai memberi nafkah batin, tapi juga mampu mencukup
“Serius, Sha?”Saat ini, Shaina tengah berada di rumah Alvi. Usai walk in interview yang hasilnya agak mengecewakan, Shaina memutuskan mengunjungi Alvi. Sahabatnya itu pun belum lama baru saja pulang dari sekolah tempatnya bekerja.Keduanya makan siang bersama dan memilih istirahat di kamar Alvi setelahnya, mengobrol santai sambil berbaring.“Apa yang menjadi pertimbangan kamu akhirnya memutuskan untuk cari kerja? Sudah ada bayangan keputusan macam apa yang akan kamu ambil?” Alvi menatapnya serius. Berita tentang Shaina yang berniat mencari kerja, direspon Alvi dengan sangat antusias.“Sejujurnya, aku masih bingung, Vi. Aku belum yakin akan mengambil langkah apa. Tapi, aku merasa harus memulai sesuatu. Mungkin, karena alam bawah sadarku juga secara tak langsung mengingatkan, kalau aku nggak bisa selamanya setergantung ini pada Andre. Minimal, aku mesti mandiri secara finansial dulu, kan?”“Itu bagus. Salah satu penyebab terklasik seorang wanita tak berani memutuskan untuk bercerai ada
Shaina tetap menjalani hari-harinya seperti biasa. Terbongkarnya perselingkuhan Andre dan Fenita, nyatanya tak lantas membuat rumah tangga mereka harus berada di titik klimaks.Sikap Andre masih sama seperti sebelumnya. Seolah tanpa beban, merasa Shaina sudah kebal dengan doktrin, kalau perselingkuhannya hanyalah sekedar hal iseng yang tak perlu menggoyahkan rumah tangga mereka.Namun, bukan berarti Shaina tak menyadari, Andre tak sebiasa itu dalam bersikap. Pria yang sudah 6 tahun menjadi suaminya itu, jelas-jelas seakan tengah mengalami tekanan batin yang coba untuk disembunyikannya.Hal yang membuat Shaina berpikir keras, sudah sedalam itukah sosok Fenita menguasai hatinya?“Kamu kemarin ngapain di Graha Persada, Sha?”Shaina yang tengah asyik berselancar dalam situs lowongan kerja, terkaget dengan pertanyaan Andre yang to the point. Padahal sewaktu makan malam tadi, ia tak menanyakan apa pun sama sekali.Beberapa hari ini, Shaina memang lebih memilih menghabiskan waktu di ruang ba
Suasana meja makan di pagi hari, masih tetap sesunyi sebelumnya. Hanya raga saja yang hadir, namun, jiwa Shaina mau pun Andre, seolah sibuk dengan pengembaraannya masing-masing.Entah pukul berapa sang suami pulang semalam setelah pergi begitu saja membawa kekesalan anehnya. Yang jelas, saat sempat terbangun di pukul 2 pagi, Andre belum terlihat sama sekali.Dan Shaina, merasa malas untuk sekedar bertanya.“Kuharap, kamu masih bisa menghargaiku, Sha. Batalkan rencanamu untuk bekerja, karena aku benar-benar serius melarangnya.” Andre tiba-tiba memecah hening. Pria itu juga mengucap kata ‘serius’ dengan penuh penekanan.“Kenapa?”“Karena perkara nafkah adalah urusanku. Dan aku yakin telah menunaikannya sebaik mungkin hingga kau tak dalam keadaan kekurangan.”“Siapa bilang aku ingin melakukannya karena kekurangan nafkah?”“Kalau hanya sekedar mencari kesibukan, kau bisa mencari alternatip lain,” tegas Andre. Jujur, rasanya baru kali ini Shaina merasakan dilema yang cukup membingungkan.