Meski masih agak pening, Shaina memaksakan dirinya untuk tetap mandi. Alvi pasti akan marah kalau tahu, apalagi demamnya belum sepenuhnya turun. Tapi mau bagaimana lagi, badan rasanya lengket semua. Lagi pula, ia bukan tipe wanita yang betah bila tak mandi seharian, sekali pun dalam keadaan sakit. Mudah-mudahan setelah sekali lagi minum obat, demamnya akan hilang sepenuhnya.Usai berpakaian, Shaina bermaksud untuk kembali berbaring. Wanita itu meraih ponsel untuk memeriksa adakah panggilan atau chat yang masuk.Tak lama, mata Shaina seketika membola seusai membaca sederet chat yang masuk beberapa saat lalu.[Jangan kaget saat melihat pria berengsek itu pulang dalam keadaan babak belur, Sha.][Abang telah perintahkan anak buah untuk memberinya pelajaran tadi.][Ternyata nyali suamimu itu memang luar biasa. Ia masih nekad berusaha menemui Feni.][Kendalikan dia, atau aku akan membuatnya lebih celaka dari itu kalau dia masih nekad juga.][Sha … apa kau yakin masih mau tetap bertahan be
Shaina memasuki dapur dengan dada berdebar kencang.Mbak Sumi bilang, sang mama tengah keranjingan mencoba berbagai resep masakan yang dipelajarinya, meski terkadang akan berakhir dengan dibagikan ke para tetangga karena tak ada yang sanggup menghabiskan.Tentu saja, karena mereka hanya tinggal bertiga: Sarah—mama Shaina, papa sambungnya dan mbak Sumi yang bertugas untuk mengurus rumah. Atau mungkin tepatnya, agar Sarah ada teman mengobrol karena sesungguhnya, ia tak terlalu memerlukan jasa ART. Shaina bahkan sudah merasakan air matanya mengalir melihat punggung wanita yang melahirkannya itu.Sang mama tampak lebih kurus dibanding tahun lalu. Tak tahan didera haru, bergegas Shaina menghampiri dan memeluk tubuh ramping itu dari belakang. Gerakan reflek pertanda kaget dari Sarah, dibalas Shaina dengan mengeratkan pelukan. “Assalamualaikum, Ma.” “Waalaikumsalam.” Sarah membalas dengan suara yang sama seraknya. Tentu, cuma seorang ibu yang dapat mengerti arti sebuah pelukan seorang an
Usai menyerahkan KTP pada receptionis lantai dasar, Shaina bergegas menuju lift. Saat ini, ia tengah berada dalam sebuah gedung perkantoran untuk tujuan walk in interview di salah satu perusahaan di lantai 10.Butuh kesiapan mental bagi Shaina untuk menginjakkan kaki di tempat ini. Setelah sekian lama terlena hanya menyimpan ijazah sarjananya hanya sebagai penghuni filing cabinet di kamar.Setelah menikahi Andre, Shaina memang tak pernah ikut pusing memikirkan keuangan rumah tangganya. Orang tua Andre secara rutin menopang kebutuhan mereka karena saat itu, baik Andre atau pun dirinya, masih berada di tingkat akhir perkuliahan.Meski pada akhirnya Andre ‘didisiplinkan’ oleh papa mertuanya untuk bisa mandiri, Shaina tetap tak terlalu merasa terimbas. Transferan tetap rutin mengalir ke rekeningnya meski tak sebesar dulu.Mertua memang menginginkan Andre tetap berperan sebagai seorang suami dalam arti yang sesungguhnya. Yang bukan hanya lihai memberi nafkah batin, tapi juga mampu mencukup
“Serius, Sha?”Saat ini, Shaina tengah berada di rumah Alvi. Usai walk in interview yang hasilnya agak mengecewakan, Shaina memutuskan mengunjungi Alvi. Sahabatnya itu pun belum lama baru saja pulang dari sekolah tempatnya bekerja.Keduanya makan siang bersama dan memilih istirahat di kamar Alvi setelahnya, mengobrol santai sambil berbaring.“Apa yang menjadi pertimbangan kamu akhirnya memutuskan untuk cari kerja? Sudah ada bayangan keputusan macam apa yang akan kamu ambil?” Alvi menatapnya serius. Berita tentang Shaina yang berniat mencari kerja, direspon Alvi dengan sangat antusias.“Sejujurnya, aku masih bingung, Vi. Aku belum yakin akan mengambil langkah apa. Tapi, aku merasa harus memulai sesuatu. Mungkin, karena alam bawah sadarku juga secara tak langsung mengingatkan, kalau aku nggak bisa selamanya setergantung ini pada Andre. Minimal, aku mesti mandiri secara finansial dulu, kan?”“Itu bagus. Salah satu penyebab terklasik seorang wanita tak berani memutuskan untuk bercerai ada
Shaina tetap menjalani hari-harinya seperti biasa. Terbongkarnya perselingkuhan Andre dan Fenita, nyatanya tak lantas membuat rumah tangga mereka harus berada di titik klimaks.Sikap Andre masih sama seperti sebelumnya. Seolah tanpa beban, merasa Shaina sudah kebal dengan doktrin, kalau perselingkuhannya hanyalah sekedar hal iseng yang tak perlu menggoyahkan rumah tangga mereka.Namun, bukan berarti Shaina tak menyadari, Andre tak sebiasa itu dalam bersikap. Pria yang sudah 6 tahun menjadi suaminya itu, jelas-jelas seakan tengah mengalami tekanan batin yang coba untuk disembunyikannya.Hal yang membuat Shaina berpikir keras, sudah sedalam itukah sosok Fenita menguasai hatinya?“Kamu kemarin ngapain di Graha Persada, Sha?”Shaina yang tengah asyik berselancar dalam situs lowongan kerja, terkaget dengan pertanyaan Andre yang to the point. Padahal sewaktu makan malam tadi, ia tak menanyakan apa pun sama sekali.Beberapa hari ini, Shaina memang lebih memilih menghabiskan waktu di ruang ba
Suasana meja makan di pagi hari, masih tetap sesunyi sebelumnya. Hanya raga saja yang hadir, namun, jiwa Shaina mau pun Andre, seolah sibuk dengan pengembaraannya masing-masing.Entah pukul berapa sang suami pulang semalam setelah pergi begitu saja membawa kekesalan anehnya. Yang jelas, saat sempat terbangun di pukul 2 pagi, Andre belum terlihat sama sekali.Dan Shaina, merasa malas untuk sekedar bertanya.“Kuharap, kamu masih bisa menghargaiku, Sha. Batalkan rencanamu untuk bekerja, karena aku benar-benar serius melarangnya.” Andre tiba-tiba memecah hening. Pria itu juga mengucap kata ‘serius’ dengan penuh penekanan.“Kenapa?”“Karena perkara nafkah adalah urusanku. Dan aku yakin telah menunaikannya sebaik mungkin hingga kau tak dalam keadaan kekurangan.”“Siapa bilang aku ingin melakukannya karena kekurangan nafkah?”“Kalau hanya sekedar mencari kesibukan, kau bisa mencari alternatip lain,” tegas Andre. Jujur, rasanya baru kali ini Shaina merasakan dilema yang cukup membingungkan.
Senja telah beranjak semakin tua kala Shaina masih asyik duduk terpekur di salah satu kursi kafe. Entah mengapa, pengunjung kafe sore ini tidak terlalu banyak. Mungkin karena hujan yang cukup lebat hingga menghadang mereka untuk datang.Dan mungkin karena hujan pula, Shirajudin Ahmad sampai membuatnya menunggu hingga hampir satu jam lamanya.Pria itu akhirnya datang juga, tepat pukul 7 malam dengan keadaan yang tak sepenuhnya kering. Raut cemas dan bersalah, sangat kentara sekali terlihat dari ekspresi wajahnya.“Maafkan abang, Sha. Abang terlambat sekali, ya?”Shaina hanya tersenyum tipis. Memberanikan menatap wajah yang masih sangat tampan itu dengan sepenuh sadarnya.“Ada meeting dengan klien yang tak bisa abang tinggal begitu saja. Maaf sudah membuat kamu menunggu lama, Sha.” Shiraj masih berusaha menjelaskan untuk mengurai rasa bersalahnya.“Abang bisa mengabari aku untuk menunda janji temu kita kalau memang sesibuk itu. Aku tidak apa-apa, kok.”“No, sama sekali bukan masalah!” S
“Dari mana, Kamu?”Shaina terlonjak, kaget setengah mati.Ruangan berubah benderang kala Andre menyalakan saklar tak jauh dari tempatnya berdiri. Meski telah bertekad dan merasa siap, nyatanya, Shaina merasa sedikit gentar juga.Seumur-umur membersamai Andre, baru kali ini pria itu tumben-tumbenan sengaja menunggunya pulang dalam kegelapan disertai kalimat tanya yang begitu dingin.Shaina melirik sang suami sambil terus berjalan menuju kamar. Keadaan tubuh yang basah, sungguh membuatnya merasa tak nyaman untuk menghadapi Andre. Setidaknya, ia merasa harus membersihkan diri dan berganti pakaian dulu.“Aku sedang bertanya padamu, Shaina!” Andre menegur kesal melihat sang istri yang melewatinya begitu saja.Shaina? Bila diingat-ingat, rasanya sudah beberapa kali ini Andre menyebut namanya secara lengkap. Heran, kan, padahal toh, ‘Shaina’ memang namanya. Namun ketika diucap secara lengkap olehnya, Shaina paham kalau Andre sedang dalam kondisi hati yang tak terlalu baik.“Bertanya pun haru