Apa ini yang dinamakan senjata makan tuan?
Meski tak berniat, kedatangan Shaina dan Alvi jelas berpotensi mengagetkan orang tua Fenita dengan kabar yang tak ingin didengar oleh orang tua mana pun.
Namun nyatanya, kekagetan itu juga menjadi milik Shaina. Hanya Tuhan yang tahu betapa keras perjuangannya untuk tak terlihat shock, untuk tampak normal setidaknya di hadapan Alvi. Dan itu nyaris tak mungkin, selain karena tak berbakat akting, Shaina pun tak pernah menduga akan mengalami hal ini.
Dalam kegetiran hatinya, wanita itu dipaksa mengakui inilah alasan kenapa harus Fenita Febrianti yang menjadi selingkuhan terkasih suaminya.
"Sebaiknya kamu harus punya alasan yang masuk akal atas sikapmu tadi. Ada apa sebenarnya? Siapa dia, Sha? Kamu kenal papanya Fenita, kan? Karena aku bisa ngerasain kegugupan kalian tadi." Alvi tak hentinya memuntahkan protes sejak Shaina menyeretnya pulang tanpa mengutarakan apa pun yang menjadi maksud mereka mendatangi rumah itu.
Rasanya tak masuk di akal Alvi. Ketika menemani Shaina yang tampak siap berperang, namun hanya berakhir mendengar kalimat konyol yang diucapkan oleh sahabatnya itu.
"Tolong beri kartu nama anda, pak. Lain kali akan saya hubungi lagi untuk menjelaskan maksud kedatangan saya hari ini."Dan di antara kecanggungan mereka, pria itu menurut saja apa yang dikatakan Shaina. Memberi kartu nama dengan disertai ucapan lirih yang mungkin diharap tak perlu didengar oleh Alvi."Masih nomor yang sama."
Begitu saja. Jangankan ada adegan keributan, sekedar memberitahu maksud kedatangan mereka saja, Shaina tidak melakukannya.
Ada apakah ini? Alvi bertaruh, kalau Shaina dan papa Fenita itu telah saling mengenal sebelumnya. Sangat jelas terlihat dari ucapan, gesture terkejut dan tatap intens pria itu pada Shaina.
Shaina meneguk ludah dengan susah payah. Alvi memang sahabatnya. Namun tak segala tentangnya Alvi selalu tahu. Atau tepatnya, tak sedetail itu tahu."Aku masih menunggu kamu untuk cerita. Ada sesuatu di antara kalian, kan? Yang aku nggak tahu?" tembak Alvi, to the point. Ayolah, baginya semua terlalu jelas untuk bisa diabaikan begitu saja!"Sebenarnya kamu tahu. Cuma, kamu nggak tahu saja kalau dia orangnya."
"Dia itu orang yang pernah aku ceritain dulu, saat masih sekolah," tambah Shaina lagi ketika dilihatnya Alvi hanya menatap dengan sorot penuh tanya serta dahi berkerut
"Dari kita kenal sampai sekarang, ada milyaran hal yang pernah kamu ceritakan ke aku, yang mana?” desaknya, tak sabar.
"Dia ... Shirajudin Ahmad, Vi. Dulu aku memanggil dia bang Shiraj karena katanya nggak enak kalau dipanggil Om," tutur Shaina, lirih.Alvi tersentak. Ingatan wanita itu pun seketika menjadi terang benderang. Tentu saja ia mengenal siapa pria itu, meski hanya dari cerita sang sahabat dulu!"Astaga, jadi dia? Jangan bilang kalau kalian …?” Alvi tak melanjutkan ucapannya. Karena ‘realita’ versi cerita Shaina dengan apa yang dilihatnya tadi, terlalu tak cocok dalam logika Alvi. Dan biasanya, firasatnya jarang sekali salah!
"Nggak gitu." Shaina mengelak, seolah tahu apa yang ada di pikiran sang sahabat. Dan inilah yang sebenarnya ia takuti hingga tak pernah sejujur itu bercerita pada Alvi dulu."Pasti gitu" Alvi tetap kekeh. Apa lagi dilihatnya, Shaina tak tampak menyangkal."Lalu, apa yang jadi kendala kamu untuk nggak cerita ke dia tentang kelakuan anaknya? Kenapa harus segala minta kartu nama, kamu mau sambung komunikasi lagi?""Karena situasinya sudah keburu canggung." Shaina mengalihkan pandang."Karena kamu pernah ada di posisi anaknya?" tembak Alvi. Shaina hanya terdiam, seolah membenarkan."Kenapa aku merasa kamu menyembunyikan sesuatu dari aku, Sha?” Alvi mengembuskan napas beratnya. Ada sebersit rasa kecewa yang menyelinap. Ternyata, kedekatan mereka, tak lantas membuat Shaina mau berbagi semua hal dengannya.
Shaina hanya mampu terdiam dengan batin menggumam lirih."Karena kamu adalah sahabat aku, Vi...."
***
Tiga hari telah berlalu namun hingga kini, Shaina belum mampu memutuskan harus berbuat apa.Shirajudin Ahmad harus tahu tentang bagaimana anaknya, dan itu adalah hal yang pasti. Hanya saja Shaina masih merasa perlu mengumpulkan ulang segenap keberaniannya untuk kembali menghadapi pria yang pernah jadi bagian dari masa lalunya itu.
Rasanya ironi yang komedi sekali. Meski entah apa hal yang mendasarinya juga sama, yang jelas ia pernah ada di posisi Fenita. Pria yang dipanggilnya ‘abang’ itu pernah menjadi bagian penting dalam riwayat cintanya. He's the real first. For everything.Mencoba menghalau bayang masa lalu, Shaina meneguk coklat hangatnya perlahan. Minuman kegemaran yang selalu menemaninya saat merasa gundah.Orang bilang, cokelat manjur untuk mengendalikan mood menjadi lebih stabil. Meski Shaina meyakini itu hanyalah sekedar mitos, namun sugesti positif itu tetap diharapkannya. Yah, selain cokelat memang memiliki cita rasa yang nikmat. Mudah untuk disukai siapa saja.
Diliriknya Andre—sang suami-- yang tengah khidmat menyendiri di teras depan, dengan ponsel yang tak pernah lepas dari tangannya. Shaina memutuskan menghampirinya.“Ada apa?”
“Huh?” Andre yang tak siap dengan kedatangan sang istri, hanya bisa menggumam bingung. Ponsel yang dipegangnya, secara otomatis ia masukkan ke dalam saku kemeja.
“Aku tanya kamu kenapa?” Shaina mengulang dengan sabar dan datar.
“Memangnya aku kenapa?” Andre mencoba tertawa, mengalihkan kecanggungan.
“Kamu kayak sedang tak bersemangat begitu. Ada masalahkah?”
Kalau tak salah memperhatikan, sudah sejak kemarin Shaina melihat ekspresi keruh di wajah suaminya. Apa pun yang ada di ponsel itu tak lagi mampu membuatnya tersenyum. Setidaknya, itu yang di pelajari Shaina dari kebiasaan sang suami.“Nggak ada yang serius, Sha. Hanya sedikit masalah pekerjaan. Dan aku yakin bisa mengatasinya.”
Seperti dugaan Shaina. Bila ditanya, tentu Andre akan berkilah karena alasan pekerjaan. Mungkin baginya, Shaina memang selugu itu untuk tak menangkap gejala puber yang begitu jelas diperlihatkannya.Atau kalau pun ia 'tahu ' Shaina mengetahuinya, mungkin Andre akan tetap tenang karena yakin, Shaina hanya akan sedikit bergolak, untuk kemudian tenang kembali. Tanpa perlawanan berarti.“Yakin?”
“Kamu mau ngomong apa sih sebenarnya?” Tentu saja Andre cukup peka dengan maksud kalimat sang istri, meski tak diucapkan dengan nada menyindir.
“Tentu kamu pun paham apa maksudku. Kali ini, siapa lagi?” Shaina bertanya dengan tenang. Hanya itulah yang bisa ia lakukan.
Betapa pun perbuatan Andre menyakitinya, namun, Shaina tak pernah punya cukup keberanian untuk bersikap tegas. Sepintas, ia malah terlihat seperti istri yang masa bodo dengan kelakuan sang suami di luar sana.
Dan bukankah hal itu yang membuat Andre seolah mendapat angin segar untuk tetap bermain-main di luar mahligai?
“Apa pun yang kulakukan, itu tak akan mempengaruhimu sama sekali, kan, Sha?” Andre menyeringai dengan kalimat ambigu. Ada pendar kecewa samar pada sinar matanya, namun tak mampu terdeteksi oleh Shaina.
“Aku pergi dulu. Nggak usah menungguku untuk makan malam.” Pria itu berdiri dan pergi begitu saja. Bahkan tanpa memberi kecupan basa-basi pada keningnya, seperti yang biasa ia lakukan.
Shaina hanya menatap kepergiannya dengan sorot nanar. Ia bahkan tahu ke mana tujuan Andre pergi sekarang.
Wanita itu meraba dadanya, seolah mencari tahu dengan seksama, tentang apa yang tengah ia rasakan. Benarkah yang Andre katakan tadi, kalau semua ini tak mempengaruhinya sama sekali?
"Semua yang kulakukan ini, lebih untuk diriku sendiri, Ndre, andai kau tahu. Kalau saja rasa bersalah itu tak selalu menghantuiku, membuangmu tentu adalah perkara mudah bagiku. Tak perlu menunggu selama ini. Itu pasti telah kulakukan sejak kau menghianatiku untuk pertama kalinya ...."PoV Alviani malikAku memang pernah mendengar nama Shirajudin Ahmad dari mulut Shaina saat kami masih kelas dua SMA dulu. Ia mengenal pria itu lewat sosial media dan entah bagaimana caranya, tiba-tiba menjadi akrab begitu saja.Saat itu aku tidak begitu antusias mendengarnya. Karena selain namanya yang luamayan jadul menurutku, dengar-dengar katanya dia juga sudah menikah dan telah memiliki seorang putri pula.“Hati-hati, Sha. Berteman dengan om-om itu rawan banget, loh. Kita nggak tahu apa yang ada di pikiran dia.”Aku merasa perlu mengingatkan Shaina. Jangan sampailah dia punya gebetan om-om. Shaina itu kan cantik. Dia itu tipe perempuan yang kalau berjalan, semua cowok akan melihat padanya dengan atensi penuh (dengan ilustrasi mata gagal berkedip dan liur yg menetes).Itu dulu tanpa riasan sama sekali, masih sangat alami. Tapi untunglah, dia bilang itu bukan jenis hubungan istimewa bergenre romance yang perlu di khawatirkan. Katanya hanya sekedar dekat, semacam teman curhat dan se
Entah ada apa dengan Andre sebenarnya. Jelas, Shaina bisa merasakan sikap uring-uringannya yang semakin menjadi-jadi. Apakah ini ada hubungannya dengan Fenita? Atau wanita-wanita yang lain?Satu hal yang jelas, Andre tak pernah seperti ini sebelumnya. Pria itu seolah kehilangan gairah hidup dengan menampakkan gesture dan ekspresi lesu setiap harinya. Wajah itu pun nyaris tak pernah lagi berhias senyum.Andre tak ubahnya seperti zombie yang bernyawa!"Oke, tolong katakan ada apa lagi kali ini, Dre." Shaina menelungkupkan sendok-garpu dengan gemas. Cukup sudah beberapa hari ini ia dianggap figuran. Dan Shaina mulai menampakkan sikap muaknya.Untuk makan malam saja, ia harus memaksa sang suami. Dan sepanjang makan, Andre hanya melamun, seolah asyik dengan dunianya sendiri.Bahkan beberapa kali pertanyaan random Shaina, hanya berbalas gumaman karena pria itu tak berkonsentrasi."Apa maksudmu dengan ada apa?" Andre balik bertanya dengan raut wajah tak suka. Ia pun menyudahi makan meski nas
"Kamu makin cantik."Bersiap menghadapi Shiraj dengan segala kemungkinan terburuk, membuat Shaina tak menyangka akan mendengar kalimat semacam itu sebagai pembuka percakapan.Wanita itu tak dapat mengelak untuk tertegun, untuk kemudian tersadar beberapa detik kemudian. Matanya dipaksa mendelik, meski ia yakin pipinya sudah semerah kepiting rebus sekarang."Abang sudah punya anak gadis sekarang. Please, bersikap yang sewajarnya atau kita hentikan saja pembicaraan ini." Shaina menggertak meski tak yakin. Dilihatnya Shiraj menghela napas."Abang menunggu kamu menghubungi lebih dulu sejak itu. Pasti ada alasan yang masuk akal kenapa secara tiba-tiba kamu datang ke rumah, setelah sekian lama kita tidak bertemu. Dan itu pasti tak ada kaitannya dengan ... kita."Tentu saja.Bertahun mengenal pria itu, Shaina memang mengetahui apa pun tentangnya. Nama-nama anggota keluarganya, kampung halamannya, pekerjaannya, nomor rekeningnya, tapi tidak dengan alamatnya.Hingga jelas, pasti ada alasan kena
"Seharusnya kamu menelpon suamimu di saat seperti ini. Aku tadi lagi ada rapat sekolah, terpaksa izin gara-gara kamu," gerutu Alvi, seraya meletakkan secangkir coklat panas di atas nakas. Tangannya beralih ke dahi Shaina yang tengah berbalut kompres, bermaksud menggantinya."Demamnya tinggi banget, lho, Sha. Mestinya obat penurun panasnya sudah mulai bekerja. Kita ke Dokter saja atau gimana?" Meski cerewet dan hobby ceplas-ceplos, nyatanya Alvi tetap yang paling peduli. Dia bahkan datang tak lama setelah Shaina menelpon, mengeluh tentang keadaan dirinya. Shaina menggeleng lemah. "Nggak usah. Nggak ada Dokter yang ganteng di sekitaran sini," jawabnya, mencoba bercanda."Sudah jadi bini jangan suka melantur. Nggak neko-neko saja buktinya diselingkuhin terus," sindir Alvi, kejam."Makanya aku lagi menimbang untuk neko-neko saja sekalian. Minta minum, Vi." Shaina mencoba bangkit dari baringnya. Alvi membantu sang sahabat untuk duduk bersender pada kepala ranjang. Disodorkannya cangkir c
Meski masih agak pening, Shaina memaksakan dirinya untuk tetap mandi. Alvi pasti akan marah kalau tahu, apalagi demamnya belum sepenuhnya turun. Tapi mau bagaimana lagi, badan rasanya lengket semua. Lagi pula, ia bukan tipe wanita yang betah bila tak mandi seharian, sekali pun dalam keadaan sakit. Mudah-mudahan setelah sekali lagi minum obat, demamnya akan hilang sepenuhnya.Usai berpakaian, Shaina bermaksud untuk kembali berbaring. Wanita itu meraih ponsel untuk memeriksa adakah panggilan atau chat yang masuk.Tak lama, mata Shaina seketika membola seusai membaca sederet chat yang masuk beberapa saat lalu.[Jangan kaget saat melihat pria berengsek itu pulang dalam keadaan babak belur, Sha.][Abang telah perintahkan anak buah untuk memberinya pelajaran tadi.][Ternyata nyali suamimu itu memang luar biasa. Ia masih nekad berusaha menemui Feni.][Kendalikan dia, atau aku akan membuatnya lebih celaka dari itu kalau dia masih nekad juga.][Sha … apa kau yakin masih mau tetap bertahan be
Shaina memasuki dapur dengan dada berdebar kencang.Mbak Sumi bilang, sang mama tengah keranjingan mencoba berbagai resep masakan yang dipelajarinya, meski terkadang akan berakhir dengan dibagikan ke para tetangga karena tak ada yang sanggup menghabiskan.Tentu saja, karena mereka hanya tinggal bertiga: Sarah—mama Shaina, papa sambungnya dan mbak Sumi yang bertugas untuk mengurus rumah. Atau mungkin tepatnya, agar Sarah ada teman mengobrol karena sesungguhnya, ia tak terlalu memerlukan jasa ART. Shaina bahkan sudah merasakan air matanya mengalir melihat punggung wanita yang melahirkannya itu.Sang mama tampak lebih kurus dibanding tahun lalu. Tak tahan didera haru, bergegas Shaina menghampiri dan memeluk tubuh ramping itu dari belakang. Gerakan reflek pertanda kaget dari Sarah, dibalas Shaina dengan mengeratkan pelukan. “Assalamualaikum, Ma.” “Waalaikumsalam.” Sarah membalas dengan suara yang sama seraknya. Tentu, cuma seorang ibu yang dapat mengerti arti sebuah pelukan seorang an
Usai menyerahkan KTP pada receptionis lantai dasar, Shaina bergegas menuju lift. Saat ini, ia tengah berada dalam sebuah gedung perkantoran untuk tujuan walk in interview di salah satu perusahaan di lantai 10.Butuh kesiapan mental bagi Shaina untuk menginjakkan kaki di tempat ini. Setelah sekian lama terlena hanya menyimpan ijazah sarjananya hanya sebagai penghuni filing cabinet di kamar.Setelah menikahi Andre, Shaina memang tak pernah ikut pusing memikirkan keuangan rumah tangganya. Orang tua Andre secara rutin menopang kebutuhan mereka karena saat itu, baik Andre atau pun dirinya, masih berada di tingkat akhir perkuliahan.Meski pada akhirnya Andre ‘didisiplinkan’ oleh papa mertuanya untuk bisa mandiri, Shaina tetap tak terlalu merasa terimbas. Transferan tetap rutin mengalir ke rekeningnya meski tak sebesar dulu.Mertua memang menginginkan Andre tetap berperan sebagai seorang suami dalam arti yang sesungguhnya. Yang bukan hanya lihai memberi nafkah batin, tapi juga mampu mencukup
“Serius, Sha?”Saat ini, Shaina tengah berada di rumah Alvi. Usai walk in interview yang hasilnya agak mengecewakan, Shaina memutuskan mengunjungi Alvi. Sahabatnya itu pun belum lama baru saja pulang dari sekolah tempatnya bekerja.Keduanya makan siang bersama dan memilih istirahat di kamar Alvi setelahnya, mengobrol santai sambil berbaring.“Apa yang menjadi pertimbangan kamu akhirnya memutuskan untuk cari kerja? Sudah ada bayangan keputusan macam apa yang akan kamu ambil?” Alvi menatapnya serius. Berita tentang Shaina yang berniat mencari kerja, direspon Alvi dengan sangat antusias.“Sejujurnya, aku masih bingung, Vi. Aku belum yakin akan mengambil langkah apa. Tapi, aku merasa harus memulai sesuatu. Mungkin, karena alam bawah sadarku juga secara tak langsung mengingatkan, kalau aku nggak bisa selamanya setergantung ini pada Andre. Minimal, aku mesti mandiri secara finansial dulu, kan?”“Itu bagus. Salah satu penyebab terklasik seorang wanita tak berani memutuskan untuk bercerai ada