“Namanya Fenita, Vi. Dan sialnya, dia masih remaja. Masih kelas tiga SMA," tutur Shaina, setelah hampir setengah jam lamanya hanya terdiam dengan raut wajah kacau dan buliran bening yang sesekali menetes dari matanya.
Alvi yang sejak tadi hanya mengamati, tak urung terkaget juga. Sebenarnya, ia sudah lumayan khatam dengan keadaan Shaina, karena siklus sama yang selalu berulang. Shaina datang padanya, berkeluh kesah tentang sang suami, namun akhirnya berlalu begitu saja tanpa solusi.
“Besok-besok, pasti dia mencari yang lebih muda dari itu," cibir Alvi.“Dan ini rekor terlama perselingkuhan Andre, Vi. Mereka sudah setahun ini menjalin hubungan.” “Hah?”Shaina meraih coklat yang tak lagi panas itu dan meneguknya hingga tandas. Ada kilat amarah, namun berselubung pasrah dari sorot matanya. Jangan tanyakan lagi seperti apa bentuk hatinya saat ini.Dan itu bukanlah luka baru. Sudah sejak lama, Hati itu tak pernah lagi normal. Berkali, skandal terlarang Andre membuatnya tersayat, hancur untuk kemudian ’pulih’ dengan bentuk yang tak lagi sama.
“Terus, ini akan bermuara ke mana? Kalau kamu cuma mau cerita numpahin beban, oke, aku dengerin. Biasanya kan juga gitu.” tanya Alvi, kalem. Shaina menatapnya nanar. “Jujur, Aku kagum banget sama kamu, Sha. Nggak ada masalah berat dalam kamus hidup kamu. Bahkan, kamu nggak perlu solusi apa pun. Cukup dengan curhat, semua masalah hilang."“Vi …. “ Shaina tahu Alvi tengah memprovokasinya dengan cara menyindir. Shaina bahkan sudah merasa terlalu malu untuk tersinggung. Kenyataannya, apa yang diucapkan Alvi hampir seluruhnya benar.Tapi demi apa pun, Shaina tetap saja manusia biasa. Mana mungkin hatinya sedungu itu untuk tak terpengaruh karena permasalahan yang selalu sama? Siapa wanita di dunia ini yang sanggup mengadapi perselingkuhan suami dengan hati yang masih baik-baik saja?
“Menurutmu, aku harus apa, Vi?” gumam Shaina lemah.Bukan pertanyaan yang sulit. Shaina sendiri tahu, apa yang akan dijawab sang sahabat. Karena sejatinya, itu pun adalah suara dari bagian terkecil hatinya yang masih waras.
“Tanya hatimu, Sha. Tanpa bertanya pun aku yakin kamu paham harus berbuat apa. Mau sampai kapan kamu harus rela diselingkuhi terus-terusan? Iya kalau cuma gitu -gitu doang, tapi kalau selingkuhnya sudah kejauhan, kamu nggak ngeri penyakit, Sha?”“Bucin juga mestinya ada takaran wajarnya. Kalau gini, kamu tuh sama saja kayak ngobral harga diri,” lanjutnya lagi. Shaina hanya mampu melirik Alvi tanpa balas berkomentar. "Lho, iya dong. Di mana-mana harga diri itu dijunjung. Dengan sikapmu yang selembek agar-agar, itu malah mengundang Andre untuk terus-terusan menginjaknya. Wajar dia makin merajalela, wong kamunya aja takut banget kehilangan gitu.” “Hubungan pacaran dan pernikahan itu beda, Vi. Aku ngggak dalam satu hubungan di mana bisa angkuh mengucap ‘putus’ dengan mudahnya. Ini pernikahan, Vi, pernikahan. Bukan cuma antara aku dan Andre, tapi juga kedua belah pihak keluarga besar kami. Terlebih kamu ngerti kan dulu, gimana aku bisa nikah sama dia. Terus, apa kata mereka nanti bila sekarang aku memilih untuk bercerai?”Alvi menghela napas beratnya. Yah, Shaina benar. Alvi adalah salah satu ‘saksi’ yang memahami bagaimana Shaina dan Andre akhirnya bisa bersama. Full drama, complicated juga.Tapi Alvi tentu tetap menginginkan sang sahabat untuk realistis. Kalau nilai pernikahan hanya dijunjung oleh salah satu pihak saja apakah tidak timpang? Apa wajar?
“Justru karena itulah, Sha, please. Pikirkan saja dirimu. Sudah cukup kamu mengalah selama ini. Sudah cukup kebucinan kamu mentoleransi serial perselingkuhan Andre itu. Kalau kamu lelah, bilang lelah. Kamu bukan perempuan yang dikutuk untuk tetap bertahan dalam penderitaan, oke? Iya aku tahu perceraian dibenci oleh Allah. Tapi perzinahan dalam pernikahan jauh lebih keji dibanding perceraian itu sendiri. Mestinya sudah dirajam sampe mati tuh si Andre!” ‘Kamu bukan perempuan yang dikutuk untuk tetap bertahan dalam penderitaan'Ah, sial. Kalimat Alvi itu begitu mengena dihatinya. Namun, sesadar dan sewaras apa pun pikirannya, untuk dapat memutuskan apa yang bagi sebagian masyarakat dianggap tabu itu tetaplah berat.
Shaina paham betul, betapa status janda masih menjadi mimpi buruk bagi setiap wanita. Bahkan aib!
“Tolongin aku, Vi.” Shaina menggenggam erat jemari Alvi.“Tolongin gimana? Anterin kamu ke Pengadilan Agama?” Alvi bertanya antusias, namun semangatnya perlahan mundur saat dilihatnya Shaina menggeleng lemah.“Anterin aku ke rumah bocah itu.”
“Hah?” Mata Alvi membola.
Entah berapa kali Andre selingkuh, belum pernah sekali pun Shaina beraksi dengan melabrak semacam ini. Paling mereka hanya bertengkar, Shaina mengadu padanya dan perlahan keadaan akan menjadi normal kembali.
Alvi saja sampai bosan dan kebal. Karena Shaina itu tipe bucin yang jangankan dinasehati, dihasut sekalipun tidak akan ada gunanya.
“Kok tumben? Kamu mau ngapain? Mau marah? Terus, kalau sudah marah, selesai lagi ?” “Setidaknya, orang tua anak itu harus tahu kelakuan anak mereka di luar seperti apa. Sebelum semua jadi terlanjur.” Shaina tampak setengah menerawang.“Memang kamu yakin mereka belum terlanjur? Katanya tadi sudah setahun backstreet. Kira-kira, setahun itu mereka ngapain aja? Masa iya cuma jajan cilok sama piknik ke alun-alun doang?” Alvi mendengkus.“Setidaknya aku belum pernah lihat foto mesum mereka. Ah entahlah. Yang jelas, hubungan mereka itu harus berakhir. Dia bahkan belum ujian, belum tamat. Nggak apa-apa kalau Andre tulus. Tapi kita tahu gimana bangsatnya dia. Masa depan anak itu masih panjang, Vi.”
Alvi pun seketika melongo. Ia betul-betul tak habis pikir, apa motif Shaina sebenarnya ingin mendatangi rumah selingkuhan Andre itu. Ingin menyelamatkan rumah tangganya, atau menyelamatkan masa depan bocah penyuka suami orang?***
Inilah harinya. Akhirnya Shaina dan juga Alvi tengah dalam perjalanan mencari alamat rumah gadis bernama Fenita Febriani itu. Nama yang manis, namun kelakuan kelewat pahit!
“Ini mah komplek orang berduit, Sha. Kamu yakin nggak salah alamat?”“Memang kenapa? Apa hubungannya?”
“Ya aneh. Kok mau-maunya anak orang kaya jadi selingkuhannya si Andre? Motifnya pasti bukan uang. Dibilang nyari kasih sayang, ntar aku malah ngakak.” Shaina memilih diam dengan angan yang terus mengembara. Ada semacam benang merah yang mengantarnya pada situasi déjà vu.Entah kenapa, sejak tadi dadanya tak berhenti berdebar. Seolah mempertanyakan kesiapan mentalnya untuk menghadapi babak yang mungkin seru, beberapa saat ke depan.
Tak lama, mobil yang yang dikemudikan Shaina berhenti tepat di rumah bernomor 147. Sebuah rumah megah dengan arsitektur mewah yang menandakan penghuni rumah bukan orang sembarangan dari segi materi.
“Cek lagi bukti-buktimu sebelum kita masuk.” Alvi mengingatkan sebelum mereka turun.
“Beres. Sudah aku print out semua.”
“Kita masuk?” Alvi menatap Shaina, memastikan kesiapan mental sang sahabat.“Oke.”
Perlahan Shaina mendekati gerbang dan mencari letak bel. Ada pos satpam di depan, tapi tampak kosong. Mungkin karena ini hari minggu.
Di hitungan ke-tiga, seorang wanita paruh baya yang sepertinya adalah seorang ART, tampak keluar dari pintu samping. Sorot mata itu tampak tajam memperhatikan Shaina dan Alvi, penuh waspada.
"Pagi, Mbak. Betul ini rumahnya Fenita Febriani?” “Iya betul. Mbak berdua siapa, ya?” “Bisa kami bertemu dengan Fenita? Atau dengan orang tuanya lebih bagus.” Alvi menjawab dengan gaya wibawa yang meyakinkan. “Mbak Feni sedang keluar, Mbak. Di dalam cuma ada bapak.” “Oh, Nggak apa-apa. Dengan bapak justru lebih bagus,” ucap Shaina tersenyum tipis. “Tapi, Mbak berdua ini siapa kalau boleh tahu?” “Kami guru sekolahnya. Kedatangan kami ke sini karena ada yang ingin dibicarakan dengan orang tua Fenita.” Alvi menjawab cepat. Toh memang benar ia seorang guru.“Lagi?” Samar, wanita paruh baya itu berucap seraya membuka gerbang. Namun masih cukup jelas untuk terdengar. Shaina dan Alvi pun kompak berpandangan.“Silahkan masuk, Bu. Mohon maaf, tunggu di sini dulu sementara saya panggil bapak. Biasanya bapak jarang mau terima tamu di hari Minggu, tapi berhubung ini gurunya mbak Feni, mungkin bapak bersedia,” tuturnya, menggambarkan betapa eksklusifnya sang majikan.
Shaina dan Alvi dipersilahkan duduk menunggu di teras. Sementara wanita itu menghadap tuannya masuk.
“Sepertinya, anak ini memang hobby membuat masalah. Kamu nggak dengar pas ART-nya bilang ‘lagi’ tadi? “ bisik Alvi. Shaina hanya membenarkan dalam hati.
“Aku bisa tebak, kalau bukan produk broken home, pasti dia lumayan kurang kasih sayang. Hari libur begini saja malah cuma bapaknya yang ada di rumah,” cetus Alvi lagi.
Shaina tak berkomentar. Ia lebih sibuk mengendalikan detak jantungnya yang mendadak tak beraturan sejak tadi.
“Coba tebak sekaget apa dia begitu tahu kita bukan guru anaknya. Kira-kira apa kita bakal diusir karena dianggap menipu?” Alvi nyengir dengan raut wajah penasaran.
“Aku pastikan harus telah mengatakan semua sebelum kita diusir.” “Sebaiknya dia memang nggak banyak tingkah kalau tak mau kelakuan anaknya viral. Kita bisa aja hantam dengan mendatangi langsung sekolahnya. Pasti lebih seru.” “Kasihan dia,Vi. Karena sesungguhnya dia pun korban.” “Hey!” seru Alvi, jengkel. “Korban apaan? Dia nyosor suami orang kok dibilang korb….” “Selamat pagi.”Suara sapa dengan nada baritone menyapa ruang dengar Shaina dan Alvi. Membuat mereka reflek mengalihkan fokus pada sang pemilik rumah yang telah berdiri tak jauh dari sofa yang mereka duduki.
Ada beberapa detik yang terbuang setelah akhirnya Shaina tersadar. Kesadaran yang justru mengantarkannya pada keterkejutan yang tak diduganya sama sekali. Bahkan dalam mimpi sekalipun.Wanita itu hanya bisa terpaku menatap pria yang juga menatapnya dengan sorot keterkejutan yang sama.
Tuhan … apakah ini alasan kenapa sejak tadi dadanya tak berhenti berdebar?Apa ini yang dinamakan senjata makan tuan?Meski tak berniat, kedatangan Shaina dan Alvi jelas berpotensi mengagetkan orang tua Fenita dengan kabar yang tak ingin didengar oleh orang tua mana pun.Namun nyatanya, kekagetan itu juga menjadi milik Shaina. Hanya Tuhan yang tahu betapa keras perjuangannya untuk tak terlihat shock, untuk tampak normal setidaknya di hadapan Alvi. Dan itu nyaris tak mungkin, selain karena tak berbakat akting, Shaina pun tak pernah menduga akan mengalami hal ini.Dalam kegetiran hatinya, wanita itu dipaksa mengakui inilah alasan kenapa harus Fenita Febrianti yang menjadi selingkuhan terkasih suaminya."Sebaiknya kamu harus punya alasan yang masuk akal atas sikapmu tadi. Ada apa sebenarnya? Siapa dia, Sha? Kamu kenal papanya Fenita, kan? Karena aku bisa ngerasain kegugupan kalian tadi." Alvi tak hentinya memuntahkan protes sejak Shaina menyeretnya pulang tanpa mengutarakan apa pun yang menjadi maksud mereka mendatangi rumah itu.Rasanya tak masuk di akal Alvi
PoV Alviani malikAku memang pernah mendengar nama Shirajudin Ahmad dari mulut Shaina saat kami masih kelas dua SMA dulu. Ia mengenal pria itu lewat sosial media dan entah bagaimana caranya, tiba-tiba menjadi akrab begitu saja.Saat itu aku tidak begitu antusias mendengarnya. Karena selain namanya yang luamayan jadul menurutku, dengar-dengar katanya dia juga sudah menikah dan telah memiliki seorang putri pula.“Hati-hati, Sha. Berteman dengan om-om itu rawan banget, loh. Kita nggak tahu apa yang ada di pikiran dia.”Aku merasa perlu mengingatkan Shaina. Jangan sampailah dia punya gebetan om-om. Shaina itu kan cantik. Dia itu tipe perempuan yang kalau berjalan, semua cowok akan melihat padanya dengan atensi penuh (dengan ilustrasi mata gagal berkedip dan liur yg menetes).Itu dulu tanpa riasan sama sekali, masih sangat alami. Tapi untunglah, dia bilang itu bukan jenis hubungan istimewa bergenre romance yang perlu di khawatirkan. Katanya hanya sekedar dekat, semacam teman curhat dan se
Entah ada apa dengan Andre sebenarnya. Jelas, Shaina bisa merasakan sikap uring-uringannya yang semakin menjadi-jadi. Apakah ini ada hubungannya dengan Fenita? Atau wanita-wanita yang lain?Satu hal yang jelas, Andre tak pernah seperti ini sebelumnya. Pria itu seolah kehilangan gairah hidup dengan menampakkan gesture dan ekspresi lesu setiap harinya. Wajah itu pun nyaris tak pernah lagi berhias senyum.Andre tak ubahnya seperti zombie yang bernyawa!"Oke, tolong katakan ada apa lagi kali ini, Dre." Shaina menelungkupkan sendok-garpu dengan gemas. Cukup sudah beberapa hari ini ia dianggap figuran. Dan Shaina mulai menampakkan sikap muaknya.Untuk makan malam saja, ia harus memaksa sang suami. Dan sepanjang makan, Andre hanya melamun, seolah asyik dengan dunianya sendiri.Bahkan beberapa kali pertanyaan random Shaina, hanya berbalas gumaman karena pria itu tak berkonsentrasi."Apa maksudmu dengan ada apa?" Andre balik bertanya dengan raut wajah tak suka. Ia pun menyudahi makan meski nas
"Kamu makin cantik."Bersiap menghadapi Shiraj dengan segala kemungkinan terburuk, membuat Shaina tak menyangka akan mendengar kalimat semacam itu sebagai pembuka percakapan.Wanita itu tak dapat mengelak untuk tertegun, untuk kemudian tersadar beberapa detik kemudian. Matanya dipaksa mendelik, meski ia yakin pipinya sudah semerah kepiting rebus sekarang."Abang sudah punya anak gadis sekarang. Please, bersikap yang sewajarnya atau kita hentikan saja pembicaraan ini." Shaina menggertak meski tak yakin. Dilihatnya Shiraj menghela napas."Abang menunggu kamu menghubungi lebih dulu sejak itu. Pasti ada alasan yang masuk akal kenapa secara tiba-tiba kamu datang ke rumah, setelah sekian lama kita tidak bertemu. Dan itu pasti tak ada kaitannya dengan ... kita."Tentu saja.Bertahun mengenal pria itu, Shaina memang mengetahui apa pun tentangnya. Nama-nama anggota keluarganya, kampung halamannya, pekerjaannya, nomor rekeningnya, tapi tidak dengan alamatnya.Hingga jelas, pasti ada alasan kena
"Seharusnya kamu menelpon suamimu di saat seperti ini. Aku tadi lagi ada rapat sekolah, terpaksa izin gara-gara kamu," gerutu Alvi, seraya meletakkan secangkir coklat panas di atas nakas. Tangannya beralih ke dahi Shaina yang tengah berbalut kompres, bermaksud menggantinya."Demamnya tinggi banget, lho, Sha. Mestinya obat penurun panasnya sudah mulai bekerja. Kita ke Dokter saja atau gimana?" Meski cerewet dan hobby ceplas-ceplos, nyatanya Alvi tetap yang paling peduli. Dia bahkan datang tak lama setelah Shaina menelpon, mengeluh tentang keadaan dirinya. Shaina menggeleng lemah. "Nggak usah. Nggak ada Dokter yang ganteng di sekitaran sini," jawabnya, mencoba bercanda."Sudah jadi bini jangan suka melantur. Nggak neko-neko saja buktinya diselingkuhin terus," sindir Alvi, kejam."Makanya aku lagi menimbang untuk neko-neko saja sekalian. Minta minum, Vi." Shaina mencoba bangkit dari baringnya. Alvi membantu sang sahabat untuk duduk bersender pada kepala ranjang. Disodorkannya cangkir c
Meski masih agak pening, Shaina memaksakan dirinya untuk tetap mandi. Alvi pasti akan marah kalau tahu, apalagi demamnya belum sepenuhnya turun. Tapi mau bagaimana lagi, badan rasanya lengket semua. Lagi pula, ia bukan tipe wanita yang betah bila tak mandi seharian, sekali pun dalam keadaan sakit. Mudah-mudahan setelah sekali lagi minum obat, demamnya akan hilang sepenuhnya.Usai berpakaian, Shaina bermaksud untuk kembali berbaring. Wanita itu meraih ponsel untuk memeriksa adakah panggilan atau chat yang masuk.Tak lama, mata Shaina seketika membola seusai membaca sederet chat yang masuk beberapa saat lalu.[Jangan kaget saat melihat pria berengsek itu pulang dalam keadaan babak belur, Sha.][Abang telah perintahkan anak buah untuk memberinya pelajaran tadi.][Ternyata nyali suamimu itu memang luar biasa. Ia masih nekad berusaha menemui Feni.][Kendalikan dia, atau aku akan membuatnya lebih celaka dari itu kalau dia masih nekad juga.][Sha … apa kau yakin masih mau tetap bertahan be
Shaina memasuki dapur dengan dada berdebar kencang.Mbak Sumi bilang, sang mama tengah keranjingan mencoba berbagai resep masakan yang dipelajarinya, meski terkadang akan berakhir dengan dibagikan ke para tetangga karena tak ada yang sanggup menghabiskan.Tentu saja, karena mereka hanya tinggal bertiga: Sarah—mama Shaina, papa sambungnya dan mbak Sumi yang bertugas untuk mengurus rumah. Atau mungkin tepatnya, agar Sarah ada teman mengobrol karena sesungguhnya, ia tak terlalu memerlukan jasa ART. Shaina bahkan sudah merasakan air matanya mengalir melihat punggung wanita yang melahirkannya itu.Sang mama tampak lebih kurus dibanding tahun lalu. Tak tahan didera haru, bergegas Shaina menghampiri dan memeluk tubuh ramping itu dari belakang. Gerakan reflek pertanda kaget dari Sarah, dibalas Shaina dengan mengeratkan pelukan. “Assalamualaikum, Ma.” “Waalaikumsalam.” Sarah membalas dengan suara yang sama seraknya. Tentu, cuma seorang ibu yang dapat mengerti arti sebuah pelukan seorang an
Usai menyerahkan KTP pada receptionis lantai dasar, Shaina bergegas menuju lift. Saat ini, ia tengah berada dalam sebuah gedung perkantoran untuk tujuan walk in interview di salah satu perusahaan di lantai 10.Butuh kesiapan mental bagi Shaina untuk menginjakkan kaki di tempat ini. Setelah sekian lama terlena hanya menyimpan ijazah sarjananya hanya sebagai penghuni filing cabinet di kamar.Setelah menikahi Andre, Shaina memang tak pernah ikut pusing memikirkan keuangan rumah tangganya. Orang tua Andre secara rutin menopang kebutuhan mereka karena saat itu, baik Andre atau pun dirinya, masih berada di tingkat akhir perkuliahan.Meski pada akhirnya Andre ‘didisiplinkan’ oleh papa mertuanya untuk bisa mandiri, Shaina tetap tak terlalu merasa terimbas. Transferan tetap rutin mengalir ke rekeningnya meski tak sebesar dulu.Mertua memang menginginkan Andre tetap berperan sebagai seorang suami dalam arti yang sesungguhnya. Yang bukan hanya lihai memberi nafkah batin, tapi juga mampu mencukup