Kuminta waktu untuk berpikir, menjanjikan paling lama sebulan. Waktu yang terlalu cepat untukku memutuskan, tapi mungkin akan menjadi waktu terlama untuk mereka yang tak sabar akan konaknya. Ah, manusia, betapa dosa menjanjikan keenakkan sampai kau mengabaikan segalanya.
Memohon-mohon ia meninggalkan niat mendua sepertinya tak akan mempan. Terlihat Mas Danang mulai sering menghilang dan desas-desus tentang mereka pun bermunculan.“Mama Almira, itu kok April pindah sering dikunjungin Denok sama bapaknya?”“Iya dengar-dengar bapaknya Almira pernah datang sendiri malah, ngantar sesuatu gitu. Hati-hati loh zaman sekarang biar kayak anak sama bapak tetap bisa tertarik.”“Hu uh, Mbak Aya, bisa kejadian itu. Aku juga ngilu lihat akrabnya April sama Mas Danang, kok lain gitu ya tatapan matanya, beda kalau sama anak sendiri kan kelihatan banget dari mata, Mbak.”Saat kumpul arisan warga sebulan sekali ini, aku malah dihujani rentetan pertanyaan dan tanggapan ibu-ibu dengan kabar itu. Terlebih Mas Danang absen datang, tak seperti biasa. Bahasan mereka mulai dari kenapa April pindah, juga Mas Danang sering tercuri mengarahkan kendaraan ke rumah bekas Pak Idris itu kutanggapi senyum saja. Sebab kenyataannya memang begitu. Aku sudah tak kaget lagi.“Ibu-ibu doain saja yang terbaik.” Satu-satunya kalimat tanggapanku.“Lah kalau beneran gimana Mama Almira ini, nggak cukup doa aja sebaiknya sebelum terjadi dicegah dulu. Jangan dibiarin!”“Bener, Mbak. Sebelum terlambat kayak istrinya Pak Dul yang sampe kelahi di jalan itu ya gara-gara dibiar-biarkan, eh malah mlendung benaran.”Sudah terlanjur terjadi, mau dicegah bagaimana?Para emak-emak yang kepo menembakiku dengan ribuan tanya lain. Ah, lihat ini, Mas. Aku sudah berusaha menutupi, tapi kamu sendiri yang tak bisa menahan diri.Keputusan memang sudah terselip di benak, tinggal siapkan diri untuk tidak menangis saat waktu itu tiba. Luka hati sudah tak berbentuk, ia hanya bertahan untuk bisa tetap melihat senyum anak-anak.*Bertukar pikiran dengan seorang teman yang berprofesi sebagai notaris, aku ingin menyelamatkan hak anak-anak. Sebab selentingan kabar April tengah belajar nyetir, dan Mas Danang menanyakan mobil seorang teman yang dijual. Itu pasti ada hubungannya.Rekening dan ATM dua usaha kami semua atas namaku, karena selama ini aku yang mengatur keuangan. Milik Mas Danang rasanya hanya kartu kredit dan ATM bersama yang dipinjam waktu itu dariku, isinya tak seberapa. Entah darimana uang untuk bayar rumah Pak Idris itu diam-diam, jawabannya belum jelas dan malah terlihat menghindar. Baiklah aku tak ingin tahu itu, yang pasti safetybox aman.Merasa tak mungkin menahan semua sendiri aku membuka dialog dengan orangtua Mas Danang yang sudah berumur. Terpaksa, bagaimanapun mereka pasti juga akan tahu. Ibunya menangis meminta maaf, beliau tahu perjuangan kami berdarah-darah di awal dulu.“Apa pun keputusanmu, Aya … emak rido, semua di tanganmu. Cuma satu permintaan emak, jangan sampai anak-anakmu benci Danang. Bagaimana pun bapaknya akan menjadi wali pernikahan mereka nantinya. Tolong jangan sampai hati mereka terluka ….”Aku pun berpikiran sama, Mak. Cukup aku saja yang berdarah jangan anak-anak, walaupun tak terhindarkan sakit itu pasti ada, dan aku hanya mengurangi.Di rumah anak-anak mulai mencecar tanya, memang tak mungkin kusumpal telinga mereka untuk tak mendengar isu di luar. Apalagi Mas Danang menghindari mereka, mungkin karena tak punya jawaban.Pada si sulung yang beranjak dewasa aku cukup mudah menjelaskan apa yang akan terjadi setelah ini. Kami sempat bertangisan lama via video call. Lalu pada tiga putriku di rumah, kumulai perlahan dengan lebih mengakrabkan diri pada mereka. Nonton drakor kesukaan Syifa, ikut renang kecintaan Naya, dan mengalihkan kemanjaan Denok di malam hari biasa pada April kini padaku.Waktu berkualitas bersama mereka membuatku merasa kembali remaja, menyeimbangkan obrolan dengan keseruan topik asing di telinga. Yah, walaupun belum begitu nyambung, aku merasa cukup sukses melakukannya.Dua minggu berlalu, mereka terlihat siap menerima berita buruk ini. Sengaja kuajak mereka nginap di hotel Aqua, sebuah hotel bintang empat di kota ini. Dalam kondisi tenang dan senang kami berempat kumpul, duduk melingkar di atas bed ukuran king.“… jadi … Ayah akan nikah dengan Kak April?!”Walaupun perlahan kuungkap tetap saja Naya dan Syifa tersentak, keduanya langsung menangis memelukku. Dalam isak kami kuyakinkan kalau semua akan baik-baik saja. Semua akan tetap seperti semula. Tidak ada yang akan berubah.“Apa kami akan panggil Kak April Mama juga?” Si bungsuku bertanya dengan polosnya.Aku tersenyum, mengecup keningnya penuh rasa. “Tidak harus, kalian tetap seperti biasa saja.”Naya dan Syifa sudah menyeka air mata, tapi memeluk lenganku kiri kanan.“Mama beneran gak apa …?”Lagi-lagi aku tersenyum. “Ayah ingin bahagia dengan menambah keluarga baru. Kita ingin lihat Ayah bahagia ‘kan?”Hanya Denok yang mengangguk, sementara Naya dan syifa menatapku penuh tanya. Entah apa yang ada di pikiran mereka sekarang.*Hari ini kurasa sudah waktu yang tepat. Tidak harus menunggu sebulan Mas Danang mendengar jawaban.Aku melajukan mobil ke rumah itu. Rumah yang dibeli untuk April, dan sudah kuurus balik nama atas Almira. Kebetulan surat lengkapnya masih di tangan Pak Idris karena ternyata baru dibayar separuh.Mas Danang sempat marah besar terlebih saat tahu pemasukan usaha kami kubekukan dalam satu rekening.“Kenapa tanpa persetujuanku?!” desisnya geram, tentu tanpa terdengar dari luar kamar.“Kalau rumah itu kan aku yang lunasin sisanya, Mas. Itu jadi hak Almira. Kebetulan dulu pernah janji belikan rumah untuknya. Bukannya janji adalah utang?” sahutku waktu itu dan membuat mukanya merah.“April biar belajar mencintai Mas Danang dari nol. Ingat kita dulu gimana merintis, Mas,” lanjutku tetap setenang mungkin.“Dulu ya beda, kita belum punya apa-apa-““Dan, aku bertahan karena cinta pada Mas Danang yang tak punya apa-apa. Rela berbagi mie instan sebungkus untuk berdua. Itu bukti cintaku, Mas. Kalau April minta Mas nikahi karena cinta, biar ia mulai semua dari awal.”Hari itu ia pergi tanpa kata dan makin betah di luar rumah. Sudah pasti ia ke sini, itu mobilnya terparkir tenang di halaman.Buta oleh cinta Mas Danang terlihat tak punya malu. Akulah yang merasa malu atas kelakuan mereka ini, malu atas nama anak-anak.Pintu depan setengah terbuka, aku masuk tanpa salam. Terlihat satu set sofa baru dengan meja kaca bulat dialasi taplak sulam mawar. Kapan mereka belanja? Uang dari mana?Mas Danang kaget lihat aku sudah sampai dapur. Mereka sepertinya habis makan. Lelaki yang mulai tumbuh satu dua helai uban di kepalanya itu habis cuci tangan. Dan April baru keluar dari kamar mandi terhenti sejenak melihatku.Jadi Mas Danang pilih makan di sini?“Dik … ada apa?”Ada apa katanya? Aku hampir tertawa.Mata ini bergantian melihat dua orang itu. Terutama perempuan yang mengenakan celana kain di atas lutut cuek mulai membersihkan meja. Seolah aku makhluk tak terlihat.Hebat kamu, Mas. Belum dapat jawaban dariku sudah berani berduaan begini? Apa Mas gak pikirkan apa kata orang-orang? Di mana rasa malu itu?”“Mas … aku ke sini mau jawab setuju Mas Danang nikahi April ini. Aku tetap bertahan, dan dia itu akan jadi maduku.” Kutekan kalimat terakhir.Mas Danang terlihat lega. Sementara April memasang muka masam, sudah pasti ia berharap aku diceraikan.“Aku yang akan nikahkan kalian malam ini juga.” Kutatap April yang terlihat terkejut, menunjuk mukanya.“Kamu, datang nanti bada magrib. Aku sudah siapkan kejutan buat kalian, yah sebuah pesta kecil-kecilan. Semua warga harus tahu kan kalau kamu akan jadi maduku. Bukankah begitu, Mas?” Aku beralih lagi pada Mas Danang yang sekejap kaku.“Dik … kami sudah nikah siri di kampung April. Tidak perlu undang-“Kutahan rasa sesak yang langsung menyengat. Rupanya benar tidak sabar mereka. Diri ini sudah tak dianggap.“Kalau nikah diam-diam orang tidak tahu kalau April maduku, Mas. Bukankah kamu memang mau diakui kan April? Gak enak lo nanti kalian dikira kumpul kebo!”Merah padam muka Mas Danang.“Datang nanti malam. Aku sudah undang tetangga, Mas. Ini cara terbaik untuk menjaga wajah Mas Danang tetap dierhitungkan orang. Biarkan kalian nikah dua kali atau tiga kali, itu tak masalah. Aku mau anak-anakku menyaksikan kalau pernikahan itu ada, bukan hubungan terlarang ayahnya. Jangan egois, Mas! Apa yang mereka dengar dari orang lain itu lebih menyakitkan dibanding ini!”Aku berbalik, melangkah cepat ke luar dengan perasaan tak karuan, dan bola mata ini perih dan memanas. Berusaha kulawan nyeri, sayang kalau harus menangis lagi. Bukankah anak-anak lebih suka kalau aku tertawa. Soraya, kamu pasti kuat …!Beberapa tetangga melihat heran ke sini, aku mengangguk kecil sambil melempar senyum kaku sebelum masuk mobil. Biarlah mereka menduga-duga. Aku sudah tak sabar melihat dekor rumah dan ramainya ibu-ibu berkumpul di rumah nanti, menyaksikan bagaimana kunikahkan suamiku.“Ma, Naya pulang sekolah langsung ke rumah Tante Laras aja.” “Iya, Nay. Mama sudah checkin ke Aqua lagi, dua adikmu Syifa di sana sama Tante Wid, apa gak gabung aja? Ajak Tante Laras skalian biar rame.” Aku sengaja bawa kami nginap lagi malam ini, menghindari rumah tentunya. Sebenarnya bisa nginap di rumah saudara, tapi keputusan menikahkan Mas Danang mengundang banyak tanya, aku sedang malas bahas itu berulang-ulang. Bukankah cukup sekali kujelaskan dan mereka harusnya faham. Pengulangan tanya hanya membuka luka yang sudah kubalut. “Nanti deh Nay pikirin, ada tugas kelompok juga ini, Ma, besok dkumpul.” “Iya, Sayang, kerjakan aja dulu. Nanti kita ketemu.” “Mama di mana?” Naya mungkin dengar suara vacum comedo yang menyedot di cuping hidung. “Em,” Aku terjeda pegawai salon permisi akan menyedot bagian dagu. “ini mama di salon, lagi bersih-bersih komedo.” “Ah, coba tau tadi Nay ikut.” “Boleh dong lang
Makin banyak yang datang, tapi tidak anak-anakku mereka bersikukuh memilih tidak ingin melihat ini. Aku paham, asal mereka tahu saja kalau bapaknya sudah menikah itu cukup.Aku duduk lesehan di antara para tamu, menyaksikan semua sampai kata sah dari pernikahan terpaut usia 26 tahun itu terucap. Genggaman erat tangan teman-teman makin menguatkanku untuk tak menangis.“Terima kasih atas keikhlasannya Bu Soraya. Kami atas nama keluarga meminta maaf yang sebesar-besarnya,” tandas paman April yang sebelumnya kupaksa datang untuk menjadi wali.Ia datang sendiri dengan wajah banyak tertunduk, sama seperti yang dilakukan keponakannya itu. Sementara ibunya April tak menampakkan batang hidung sama sekali, sudah pasti malu, merasa bersalah Mas Danang diam-diam menikahi anaknya beberapa hari lalu di rumahnya, tanpa sepengetahuanku.Aku tak menjawab kalimat basa-basi itu. Terlalu sulit untuk banyak bersandiwara, berpura menerima pa
“Ma apa boleh aku nginap di rumah kak April?” Terdengar ragu Denok berkata begitu. Aku yang tengah melihat surat kerjasama dengan perusahaan pengolahan kayu lekas menyingkirkan berkas ke sisi meja, menatap wajah anakku yang terlihat segan.Senyum kuberikan, lalu menyentuh pipinya lembut. “Boleh aja, Sayang. Kenapa enggak, Ayah kan juga ada di sana.”Matanya berbinar senang, tapi terasa menggores silet di dalam dada.“Makasiih, Ma. Mama baiiik banget!” Tubuhku dipeluk dan pipi ini diciumnya gemas.Gadis manja kelas 2 SMP itu segera menelepon seseorang sambil berjalan ke kamar.“Kak April Mama bolehin. Jemput aku, ya! Oh Ayah? Oke aku siap-siap dulu.”Udara terasa sulit kuhela. Denok … masih begitu akrab dengannya.Kenapa ada nyeri terasa menyengat?Secara kasat mata aku menunjukkan ppenerimaan atas kehadiran April di antara diri dan mas Danang, tanpa
Cukup di benak kutahan rasa terkejut. Pernah berfirasat akan begini akhirnya, melihat bagaimana borosnya mereka menghambur uang, hanya tak menyangka kalau secepat ini terjadi.Aku tetap diam menunggu ia selesai bicara.“… aku ada cicilan besar dan tambang lagi ngadat.” Wajahnya terpasang memelas.“Sebesar berapa kok sampai terpikir jual pabrik, Mas?”Ia memberanikan diri menatapku. “Hutang di bank hampir milyaran, Dik … belum lagi yang pribadi, ini gara-gara aku main saham.”“Yang online itu?” Ia mengangguk lemah. “Ya Allah sejak dulu aku menentang keras Mas lakuin itu. Resikonya besar.”“Terlanjur … rumah mungkin akan disita. Sebagian isinya diambil Jumri, puluhan juta uangnya kupinjam.”Aku menghela nafas berat. “Kalian boros sekali. Belum setahun sudah mandi hutang. Kenapa bisa kelepasan begitu?&rdquo
Ia menegakkan badan mukanya mendekat dengan mata tajam. “Sudah lama kubiarkan keuangan kamu kuasai, Soraya. Kamu pikir aku bodoh. Dari awal menikahi April aku banting tulang sendiri!”Wah, wah rupanya ia selalu memikirkan bagiannya dalam pekerjaanku. Ke sini ku kira baik-baik saja, tapi ternyata menyimpan bara yang masih merah.Aku bangkit. “Kita bicara di kamar, Mas!”“Di sini saja. Denok akan paham, biar tahu ibunya itu seperti apa!’Astagfirrullah ….Aku kembali duduk.“Kita perlu membagi harta yang ada, aku punya keluarga tang harus kunafkahi, Aya. Keperluan pribadiku. Mana hasil dari pabrik yang sekarang makin laku? Mana bagianku? Selama ini aku diam tanpa mau tanya, berharap kamu sadar ada hakku di sana. Tapi memang
“Ayo, makan yang banyak.” Aku menyuapi Syifa yang masih pucat. Bibirnya putih dan kering. Kemarin Hb-nya sempat drop, sampai butuh transfusi sekantung darah. Awalnya aku mau memberi darah ini, tapi kondisi kelelahan membuat fisikku tak memenuhi syarat. Akhirnya pakai dari yang tersedia di rumah sakit saja. Kami memindahkannya dirawat di rumah sakit, ini sudah hari ketiga. Alhamdulillah, hasil pemeriksaan sementara tidak ada yang serius, walaupun masih butuh pemeriksaan lanjut. Keadaannya mulai membaik. Jantungku sempat dag dig dug terus menerus melihat kondisinya kemarin, kini bisa menarik napas lega. Mas Danang juga menyusul, ia tak tega melihat keadaan Syifa saat Nay meneleponnya via video. Ya Rabb … keadaan kemarin terasa menampar diri. Aku tersadar saat-saat kritis itu hanya ada kekuatan lewat munajat pada-Nya. Tuhanku … satu-satunya tempat berharap s
Bungsuku berubah.Apa itu hanya perasaanku yang sensitif? Ia menghindar kontak mata kalau kami bicara, itu pun kupaksa, sebab saat kami berpapasan selalu ada alasan Denok menghindar.“Denok ada masalah apa, Sayang? Bilang ke mama, mama pasti dengar.” Aku mengikutinya ke kamar, ia urung mau menutup pintu dan menguncinya dari dalam, seperti yang dilakukan akhir-akhir ini.Bibir kecil itu terkatup. Ia berbaring memiringkan badan membelakangiku.“Ngantuk. Capek.”Mau kuusap punggungnya tapi ditepis.“Denok … mama minta maaf kalau ada salah. Tapi mama belum tahu salahnya di mana? Coba bilang, biar mama bisa perbaiki.”“Gak ada. Aku mau tidur.” Hati ini tersayat saat buah hati memilih menyi
Mobil masuk di jalan daerah kampus Unpar, di sini area kumpulnya kos-kosan para mahasiswa. Aku bertanya pada beberapa pemuda, ternyata ada yang tahu nama Jerry anak ekonomi. Mereka menyebut cirinya, aku hanya mengiyakan berharap itu benar orangnya. Sampai lah di sini, jalan kecil aku turun. Mobil kutitip di depan rumah toko kue. Aku bertanya pada beberapa orang lagi, belum ada yang kenal. Ini memang konyol, aku begitu saja percaya omongan April, yang bisa saja membohongiku. Tapi Denok juga jelas berbohong, hapenya sekarang juga tidak bisa dihubungi. Denok … maafkan mama yang mungkin kurang memperhatikanmu. Mama terima sebesar apa pun amarahmu, asal kamu jujur. Dibohong begini rasanya mama gak sanggup. Sudah di jalan paling dalam langkahku terayun, kata pemuda yang kutanya barusan kos Jerry paling ujung sini. Ada dua kos empat pintu, posisi saling membelakangi.
POV Soraya Setelah tertegun sejenak, suami meletakkan ponselku di atas kasur, tepat di sisinya. Aku menatap semua pergerakannya dalam diam. Sepertinya memang ada yang tak kutahu. “Dek … maaf sebelumnya kalau mas belum cerita ini.” “Ceritakan saja, Mas. Saya siap dengar,” balasku tenang. Sesakit apa yang akan ia katakan, mungkin aku kuat karena pernah mengalaminya dulu. “Sebenarnya ini sudah lama. Mas mengenalnya sudah dua tahun belakangan. Hanya dia baru bilang suka beberapa bulan lalu.” Aku coba mengatur napas, untuk melonggarkan dada yang terasa nyeri dan sesak. Akankah ini terulang seperti Mas Danang dulu lakukan …? Tidak. Jangan ya, Rabb …! “Dia usia 40 tahun, belum menikah. Dan … bilang jatuh cinta pada mas.” Mas Mahesa mengambil tanganku, menggenggamnya erat. “Maafkan mas …” kalimatnya yang menggantung membuatku terpukul. Bayangan pengakuan Mas Danang dan April saat itu mengitari pikiran, menghantuiku. “Mas pernah
“Tante, apa kabar?”Aku yang mendapat sapaan itu langsung menoleh, seseorang perempuan berhijab panjang, dengan masker putih hingga yang terlihat hanya matanya.“Alhamdulillah, baik. Apa kabar juga,” balasku, tersenyum sambil mengingat-ngingat dia siapa.Seperti paham, ia menurunkan maskernya. Perempuan berwajah tirus dengan hidung lancip dan sedikit parut luka kecil di dekat hidung. Meski begitu dia tampak cantik.“Alhamdulillah baik juga, Tan. Saya … April,” ucapnya sambil meraih dan menyalim tanganku.“April?” Segera kubuka tangan memeluk tubuhnya. Sudah lumayan lama kami tak bertemu. “Senang bertemu kamu lagi.”Aku memang pernah dengar dia sakit, dan setelah sehat aku kemudian tak tahu lagi bagaimana hidupnya, hingga bisa bertemu di sini sekarang.April tampak jauh lebih baik.“Saya juga senang ketemu Tante.” Suaranya yang masih khas, tetapi kini
POV Danang“Saya minta maaf ... sangat mohon dimaafkan Al ... keluarga Mama, Papi, dan keluarga Ayah. Saya sudah terlalu jauh melangkah ... ini kesalahan besar yang sudah saya lakukan. Saya ... sudah menyakiti semua orang, terutama Almira.”Angger bicara begitu di malam harinya, saat kami sudah pulang dan berkumpul di rumah, kecuali Naya yang tetap tinggal di rumah besan.Semua kompak tinggal di rumah yang dulu Soraya beli saat anak-anak kuliah, dan sudah direnovasi berlantai tiga ini. Kami tidak ada yang menyewa hotel. Tempat ini lebih dari cukup untuk menikmati kebersamaan luar biasa, yang amat langka terjadi. Meski kami sudah bukan suami istri, Soraya tampak tak canggung menganggapku sebagai bagian dari keluarga.“Kami mendukungmu, Nak Angger. Keputusan apa pun memang hanya kalian berdua yang menjalani. Jika berdua sama-sama ingin bertahan, berjuanglah. Kami akan mendukung selama itu ke arah yang baik. Kami salut kamu be
Malam ini aku, Mas Mahesa juga Rama ngumpul di ruang tengah, kita baru selesai videocall dengan putri Mas Mahesa yang tinggal di Belanda. Rama dengan Bahasa Inggrisnya tadi amat fasih bicara dengan ponakan dan saudara lain di sana. Kontak kami memang sebatas video call, setelah tiga kali pertemuan secara langsung dengan gadis berwajah khas India itusangat ramah dan baik padaku, yang dipanggil Mami olehnya. “Kapan kita liburan ke Belanda?” Mas Mahesa bertanya. “Kalau liburan panjang bisa, Mas, sebelum Rama masuk SD, gimana?” “Bisa. Gimana, Dek Rama mau kita ketemu sama Mark dan Loui?” “Mau, Pi. Mau banget. Biar naik sepeda bareng.” Aku pun setujui kami akan liburan tiga bulan lagi. Selama fisik masih kuat ke manapun diajak suami oke aja. Beberapa tempat wisata di Indonesia sudah Mas Mahesa ajak. Ia termasuk laki-laki yang suka travelling, dan aku pun merasa ketularan. Masa tua kami isi sosial juga menjalin silaturahmi dengan ana
PoV Soraya“Pakabar Mama?” Pelukan dan cium pipi kiri kanan saat aku bertemu Almira di restoran.“Alhamdulillah, mama sehat. Kamu gimana, Sayang?”“Alhamdulillah, Ma.” Almira membuka tangan mengisyaratkan aku melihat kalau ia baik-baik saja.Aku tersenyum lega. “Kita ke ruang sana, yuk.” Tangan Al kemudian kugamit, kami mengikuti seorang waiters yang mengantarkan ke ruang pesananku.“Mama sempet nunggu, kah tadi?”“Enggak, kok, Al, papimu barusan aja pergi.”“Jadi beneran kita berdua aja nih?” Wajahnya sedikit heran melihat kami menyusuri lorong yang diapit susunan batu alam.“Skali-kali mama ngedate sama kamu, ya ‘kan?” godaku.“Aih, Mama. Tapi kok bikin deg-deg’an ya. Kita kemana? Kok, berasa kayak mau dikasih surprise. Masa aku lupa ini ulang tahunku?” katanya
POV DanangAh, harusnya ketenangan sudah kugenggam ... tapi kenapa terasa masih jauh. Setelah semua yang kuminta pada anak-anak terpenuhi, juga hubungan Adam yang membaik dengan April pun dikabulkan. Aku tetap merasa ada yang berlubang dalam dasar hati.Ada apa denganku ...?Pagi-pagi, seperti biasa keluar kamar aku langsung ke dapur, berpapasan dan berbagi senyum dengan Almira. Wajah pucatnya cepat mengurai senyum lebar setelah menyadari tatapanku, kurasa senyum itu sangat dipaksakan.“Ayah mau sarapan apa, nanti tinggal bilang simbok, ya, Al buru-buru piket pagi. Kalau bahan kurang atau butuh apa bisa wa aja, pulangnya Al belikan.”Di atas rasa sedih atas rumahtangganya ia masih memikirkan keperluanku. Dia pikir aku tak tahu apa-apa. Betapa aku merasa tak berguna sebagai ayah. Kalimatnya terasa menegurku yang selama ini terlalu banyak permintaan dan kecerewetan, termasuk tentang makanan.“Ah, ayah a
“Wuaah, ini ajaib, Mama Al.” “Cakepnya, anak bule, kulit putih ambil mamanya, hidung mancung dari papanya.” “Kada nyangka, Aya, ikam kawa bisi anak lagi.” (Nggak nyangka, Aya, kamu bisa punya anak lagi) Itu sebagian kecil beragam komentar kawan-kawan saat aku lahiran, bahkan sampai sekarang. Sejak hamil sampai melahirkan mereka rutin lakukan panggilan video, ikut gemas lihat perkembangan anakku. Sekarang Rama sedang aktif-aktifnya melangkah, seperti mau cepat bisa lari. Otot kakinya sudah kuat, tak pernah terlihat jatuh lagi. Aku bersyukur atas kesehatannya ini. Dua perawat siaga, satu bertugas untuk Rama, satu untukku. Suami benar-benar memanjakan kami dengan kemampuannya. Ia melarangku terlalu lelah mengejar Rama yang sangat aktif bermain. “Biarkan yang muda aja
PoV SorayaHari di mana anak-anak memberi hadiah untukku, lukisan pemandangan yang menggetarkan hati. Sangat mengharukan, karena di situ ada kenangan dua orang yang tersimpan dalam.Pertama, tempat itu tempat Mas Danang dulu mengutarakan isi hati. Getaran cinta pertama pada lawan jenis. Kenapa bisa di sana, ya karena aku mengenalnya saat study tour kelas 2 SMA ke Jogja. Ia lebih tua 6 tahun dariku, bertemu di Borobudur langsung bilang suka dalam pandangan pertama. Jodoh menggariskan kami bertemu lagi di Palangkaraya dua tahun kemudian, lalu menikah di usiaku yang masih terbilang muda.Kedua, itu tempat kenangan bersama Mas Mahesa juga. Getaran pertama muncul makin kuat padanya, ia pernah dalam diam menungguku menikmati pemandangan bak karpet hijau terpampang di depan mata. Meski sudah tua saat itu, tapi getarku padanya sempat membuat diri
PoV Denok“Iya, iya. Kewajiban seorang mama ya memang begitu. Memastikan kalau anak-anaknya tumbuh baik.”“Termasuk harus berbohong?” Kututup mulut yang refleks bertanya.“Bohong buat kebaikan kenapa enggak?”“Ih, namanya Mama jahat sama diri sendiri.” Aku memeluk kakinya, mata hampir kembali basah.“Al, Nay, Fa, Denok … kalian dengarkan, ya. Mama ini sayang diri sendiri, sayang kalian-““Sayang Ayah?” Mama terhenti melihatku.Mengatup mulut sedikit mengangguk.“Ya, mama akui sayang ayahmu juga … 21 tahun bersama sebelum peristiwa itu bukanlah waktu sebentar. Kebaikan ayah kalian, di awal kami membangun rumah tangga