Mobil masuk di jalan daerah kampus Unpar, di sini area kumpulnya kos-kosan para mahasiswa. Aku bertanya pada beberapa pemuda, ternyata ada yang tahu nama Jerry anak ekonomi. Mereka menyebut cirinya, aku hanya mengiyakan berharap itu benar orangnya.
Sampai lah di sini, jalan kecil aku turun. Mobil kutitip di depan rumah toko kue. Aku bertanya pada beberapa orang lagi, belum ada yang kenal. Ini memang konyol, aku begitu saja percaya omongan April, yang bisa saja membohongiku. Tapi Denok juga jelas berbohong, hapenya sekarang juga tidak bisa dihubungi.
Denok … maafkan mama yang mungkin kurang memperhatikanmu. Mama terima sebesar apa pun amarahmu, asal kamu jujur. Dibohong begini rasanya mama gak sanggup.
Sudah di jalan paling dalam langkahku terayun, kata pemuda yang kutanya barusan kos Jerry paling ujung sini. Ada dua kos empat pintu, posisi saling membelakangi. Sepi, semua pintu tertutup rapat aku celinguk mencari orang untuk bertanya, sampai mata terhenti pada sepasang sepatu sandal yang sangat kukenal. Ada di rak sepatu kamar nomor 4.
Kakiku mendadak kaku, berusaha menyeret langkah mendekati kamar itu. Tepat di depan selasar aku berdiri, memandangi lagi alas kaki yang membuat napas terasa pendek. Telapak tangan dingin saling meremas.
Apa benar ada Denokku di dalam …? Tidak! Hatiku menentang keras.
Jendela kos ini tertutup, gordennya pun tak dibuka. Pasti aku salah! Tidak ada orang di dalam.
Kuketuk pintu, tanpa memanggil. Bibir ini terkatup kelu. Tenggorokkan terasa sangat kering.
Terus kuketuk lagi cukup keras, sampai ada suara dari dalam minta menunggu. Jantungku makin berdegup kuat. Ada orang di dalam.
Kemudian pintu terbuka sedikit, keluar kepala pemuda berkulit putih.
“Cari siapa, Bu?”
Bibirku terbuka gemetar, kata ini sulit sekali ke luar.
Firasat mengatakan hal lain sebab ada aroma yang tak asing di hidung dari pemuda ini. Pewangi milik Denok …!
Pikiranku langsung kalut. Kudorong pintu kuat, ia yang bingung melihatku jadi kaget, badannya terdorong saat pintu terbuka lebar.
“Eh, Bu? Bu!”
Ia mencoba menghalangi langkah panjangku ke kamar. Di depan pintu kamat tubuh ini langsung hampir jatuh. Berpegangan erat pada kusen pintu, aku berusaha tetap berdiri kuat.
“Ma-Mama …?!”
Mataku masih melihat anak itu kaku tanpa kedip, tak percaya rasanya melihat ini anakku baring di kasur lantai dengan badan tertutupi selimut. Denok kebingungan, ia makin menutupi badan dengan kain biru itu, lalu lekas memasang pakaian bawah yang ada di sisi kasur dengan gerakan kalut. Ia lakukan itu sambil menangis.
Tubuhku pun luruh terduduk, tapi mata masih melihat padanya. Rasa tak percaya dan mengira ini mimpi saja.
Pemuda yang tadi membuka pintu masuk melewatiku, tubuhnya membungkuk menarik kaus oblongnya menutupi bawah tubuh tanpa benang. Ia pun memakai pakaian sambil menutupi diri dengan selimut. Dua anak muda itu sangat pasi, saling pandang ketakutan lalu tertunduk dalam.
Allah … kutangkup wajah dengan telapak tangan. Sama sekali tidak ada air mata. Rasa ini sulit dijelaskan. Otakku kosong tak bisa berpikir apa-apa, kesadaranku tersisa setengah ataukah mungkin hilang.
“Maafkan Denok, Ma … maaf … maaf ….” Denok tersungkur sujud di depanku.
Aku sudah tak bertenaga, menjatuhkan tangan yang menutup muka ke pangkuan, melihat wajah anakku itu lamat-lamat. Ia terisak dengan mata takut, pemuda itu gemetar menyodorkan segelas air pada Denok lalu diberikan padaku.
“Minum dulu, Ma. Maafin Denok ….”
Air itu kuambil, sekuat mungkin bertahan menguasai diri agar tetap sadar. Kuteguk susah payah, habis segelas itu baru terasa bisa mulai jalan otak. Kejadian barusan … kutatap lagi wajah putriku yang terus terisak memohon maaf.
Tangan ini terangkat, menatapnya sendu dan lekat, kusentuh pucuk kepalanya terdiam di sana beberapa saat.
“Allah … berikan masa depan terbaik untuk putriku ini ….” Kalimat terucap bersama luruhnya linangan air mataku, makin deras saat Denok menyambar memeluk dadaku erat, sambil tak henti mengucap maaf.
Empat huruf … kata yang sama saat bapaknya membuat kesalahan terbesar … kini kudengar sama dari bungsuku ….
Setengah jam menangis, masih posisi sama di lantai tepat di garis pintu kamar. Setelah ada kemampuan menerima, takdir buruk yang mungkin sudah digariskan aku menangkup kedua pipi putriku. Jerry ikut duduk di depanku, mereka berdua mengakui kesalahannya, secara terbuka. Aku yang memaksa, aku hanya minta kejujuran dan tanggung jawab mereka atas kesalahan ini.
Jerry bilang habis nonton film dari kaset yang dibawa Denok. Ternyata itu April berikan, film barat yang kuyakin sarat adegan dewasa, judulnya saja Kiss Me.
“Kenapa kalian tidak bisa memilah tontonan mana yang pantas, hah? Kenapa mau aja disuruh, lalu tidak mikir akibatnya?!” Mereka tertunduk, mengaku bersalah.
Perasaan cinta monyet itu ada sejak lama, lalu ternoda dan hubungan ini terlalu jauh. Aku mencoba mendengarkan semua isi kepala dua anak muda ini
Kupaksa mereka kuras semua apa isi pikiran dengan sejujurnya, dan apa yang mereka inginkan setelah kesalahan ini.
Denokku … yang masih terlalu muda.
Terpaksa. Terpaksa kuterima semua ujian yang Ia beri. Sebagai orang tua harus ada sebuah keputusan tegas dan itu sudah terpikirkan di otakku. Juga … keputusan lain yang pasti segera kutunaikan.
*
Belum sempat kuceritakan tentang Denok, Mas Danang ke rumah mengatakan tertekan dengan hutangnya. Aku menunggu giliran bicara, membiarkan ia melepas semua kekesalan pada para penagih yang tak lain juga teman-teman kami.
“Aku gak punya tanggapan tentang masalahmu, Mas. Aku cuma mau kamu dengar ini.”
Kunyalakan perekam suara. Pengakuan anakku tentang April yang mencuci otaknya, mengatakan aku menguasai harta tanpa bapaknya mendapat apa-apa. Hal yang membuat Denok marah padaku. Lalu, tangisan putri kesayangan kehilangan mahkota, akibat tontonan yang sering April ajak ia saksikan. Itu kurekam saat kami di kos Jerry. Terpikir lakukan, sebagai bukti tanpa harus aku yang jelaskan.
“Apa ini?!” Lelaki ini kaget bukan main. Mukanya merah dan gigi gemerutuk. Kubiarkan ia putar ulang, dan ulang, memastikan pendengarannya. Sementara aku hanya diam menatap kosong di depan sana.
Inilah noda yang kau buat di pernikahan kita, Mas. Nodanya telah menyebar pada anakku ….
Tak lama April muncul, rupanya ia menyusul suaminya dengan naik ojek.
“Mas nggak bisa dong pergi gitu aja! Orang-orang itu nagihnya ke aku,” rengeknya cuek mendekat.
Aku langsung berdiri melipat tangan. “Jangan injak rumahku!”
Kakinya yang akan menginjak teras tertahan. Wajah itu cemberut menatap Mas Danang yang langsung berdiri mendekatinya.
Aku menahan napas. Firasat benar.
Plak! Plakk!!
Dua tamparan keras telapak tangan Mas Danang mendarat tepat pada pipinya.
“Mas, kenapa?! Dia itu pembohong. Lihat harta kamu sudah kuasai semua, ia sengaja memiskinkan kita biar ngemis. Padahal itu hasil kerja-”
“Diam!!” Lagi, pukulan ketiga membuatnya terhuyung.
Aku hanya menahan diri di tempat. Untung Denok kuungsikan ke Pondok Kyai Darmawan sementara ini, jadi tak perlu melihat apa yang terjadi. Kubiarkan mereka sudah saling pukul, karena April melawan dengan mencakar dada lelaki yang sudah masuk usia paruh baya itu.
Aku memanggil seorang bapak tetangga yang mendekat.
“Tolong, Pak Amin. Jelaskan kalau mereka harus pergi dari rumahku. Aku sudah tidak terima mereka di sini.”
“Soraya! Apa-apaan kamu?!”
“Pergi, Mas. Tunggu aku di pengadilan. Aku yang akan gugat cerai Mas Danang. Aku terganggu dengan istrimu, terganggu dengan hutangmu, dan urusan gono gini yang belum selesai. Itu cukup untuk alasanku memohon perceraian, dan tenang saja, ini akan dibagi adil.”
April yang sudah tak karuan tampangnya terlihat berbinar. Mungkin kabar itu langsung menghapus sakit bekas pukulan Mas Danang tadi.
“Tapi, Dik, aku tidak mau ceraikan kamu.”
Mual mendengarnya. “Pokoknya ketemu di pengadilan!” Aku gegas masuk rumah, mengunci pintu.
Masih terdengar kemudian Mas Danang memaki perempuan yang ia anggap penyebab masalah ini.
Jujur, aku baru lihat lelaki itu kasar pada perempuan. Sangat memilukan, tapi April memang pantas menerima tamparan, bahkan yang lebih sakit dari itu. Terlihat ia tak ada kapoknya bicara kasar.
*
“Mama yakin dengan ini?”
Aku mengangguk dengan senyum, dan mata menatap penuh sayang pada tiga anakku di kejauhan. Almira, Naya, dan Syifa ….
“Jangan pernah khawatirkan mama. Doakan saja semua yang terbaik untuk kita, Sayang.”
“Al dukung apa pun yang terbaik untuk Mama. Mama wanita kuat, kami mencintai, Mama.”
“Mama juga cinta semua anak mama. Tetap semangat, belajar sebaik mungkin. Doa mama menyertai kalian.”
Syifa yang awalnya seperti menolak keputusanku cerai terlihat ikut melunak. Aku jelaskan semua permasalahannya, juga keadaan Denok yang sempat membuat mereka menangis saat mengetahuinya. Bungsuku itu sedang kumasukkan di pondok sampai nanti lulus SMA, untuk mengalihkan ia dari pikiran yang terlanjur salah. Nanti setelah lulus rencana akan menikahkannya dengan Jerry. Aku dan keluarga pemuda itu sudah saling sepakat. Semoga saja Tuhan meridhoi, kesalahan kemarin diberi kesempatan mereka pertanggung jawabkan.
“Mama jangan khawatir kita sedih, kita punya penghibur ini.”
Naya menunjukkan anggota baru di rumah, diberi nama si manis dan si putih_dua kucing jenis Persia, warna putih dan abu. Hewan lucu itu ada di pangkuan Naya, menggapai-gapai layar. Ah, hangatnya hatiku melihat mereka baik-baik saja.
Ini menjadi pelajaran berharga untuk semua. Ribuan maaf Mas Danang sebagai kepala rumah tangga tak akan menghapus semua. Noda tetaplah noda, karena ini bukan noda biasa.
Sidang pertama kedua lancar kami akhirnya sepakat berpisah. Sepertinya Mas Danang segera setuju karena separuh harta bersama akan menjadi miliknya. Aku tak peduli lagi, yang paling berharga adalah anak-anak. Kesalahanku sempat bertahan untuk anak malah berbuah noda untuk anakku. Miris. Tak ada yang bisa kulakukan untuk mengulang waktu. Penyesalan tetaplah penyesalan.
Keputusan pun cepat diketuk. Kami resmi berpisah. Mas Danang mendapat utuh CV. Kayu Berkah, aku pabrik bata. Dan harta lain yang memang atas namaku, Almira, juga Naya tetap hak anak. Kami membuat perjanjian kuat hitam di atas putih, agar tidak ada permasalahan lagi di kemudian hari.
Mas Danang wajib menafkahi anak, karena masih sekolah sejumlah sepuluh juta sebulan. Itu jumlah kecil, aku meragukan ia bisa memenuhinya. Tak ingin memikirkan atau berharap banyak aku harus bersyukur apa yang ada. Memulai sendiri mungkin akan lebih ringan dibanding tertekan.
*
“Aya, coba lihat ini!” Aku menengok layar ponsel teman yang main ke rumah.
“Apa itu?” Kuperjelas mata melihatnya. Sekejap mataku membulat tak percaya. “Ini beneran dia?!”
Temanku itu mengangguk. Entah dari mana ia dapat gambar itu.
“Kamu siap-siap dengar kabar baik,” godanya terkikik geli.
“Itu menjijikkan!” jawabku sambil mendorong ponsel, membuat tawanya makin pecah. Ya, orang di video itu memang pantas ditertawai, bahkan diludahi. Perbuatan layak hewan, mungkin otaknya sudah melorot ke dengkul.
*
Aku bertemu April di sebuah mini market. Terlihat belanjaannya penuh satu trolley. Aku tak bisa diam tanpa menyapanya.
“Wah, wah, kaya lagi ya. Belanjaan banyak banget.” Ia ada di depanku, tengah memilih handbody botol besar.
Awalnya melirik, lalu melihat arahku sambil senyum lebar. Bangga.
“Emang situ belanjanya gitu doang.” Matanya mendelik ke keranjang plastik milikku, yang berisi dua kotak susu tulang. Garis bibir sebelahnya menaik. “Bagus itu buat tulang yang sudah keropos, faktor u yang artinya udah bau tanah,” katanya seraya tertawa mengejek.
Aku ikut tertawa. “Ketawa aja, bentar lagi kamu nangis. Hati-hati lho, video mesummu itu bisa-bisa kesebar,” desisku sambil melewatinya.
Aku tahu ia pasti syok sekarang.
Air mata sampai ke luar karena aku belum bisa berhenti ketawa. Mati juga dia! Haa.Segera kuletakkan koran begitu lihat suami datang dengan wajah super cerah.“Mas ….” Aku berdiri, mendekatinya sambil menggelayut manja, melingkari tangan di tengkuk, sun sayang tidak lupa.“Sudah lihat berita orang yang ganggu kamu itu OD?” tanyanya. Aku mengangguk bahagia.“Iya, Mas. Rasain tuh hukuman berat buat dia. Aku mana mau dekat dengannya kalau bukan diguna-gunain. Aku kan cintanya cuma sama Mas Danang ….” Makin kurapatkan badan, menariknya ke kamar rumah kami yang sekarang, ruang sedingin es selalu butuh sesuatu yang panas.Rumah baru sejak perceraian suamiku tercinta. Lihat saja, pernah semarah apa pun dia ini padaku hubungan kami pasti akan kembali membara.
“Apa?! Kecelakaan??!!”Aku berlari ke parkiran.“Di mana?!” tanyaku setengah berteriak.“Istrinya sudah ada di RSUD Doris, Pak-“Aku langsung putuskan panggilan, kantungi ponsel ke saku baju. Ya ampun, belum dua minggu mobil itu dibeli kok sudah kecelakaan segala. April, April!Aku gegas melajukan motor dari ke arah rumah sakit. Tanpa sempat tanya apa-apa, aku akan ke sana lihat kondisi istriku.Begitu sampai aku lari masuk ruang Gawat Darurat.“Di mana April?, Mana istriku?!” Aku menubruk perawat laki-laki.“April?”“Yang baru kecelakaan mobil!” Linglung, aku memutar-mutar melihat para pasien di di
Balik ke PoV Soraya, ya. “Ibu yakin mau menikahkan putrinya? Ini memang masuk batas minimum usia, tapi bukankah masih terlalu muda. Kalau tidak mendesak tunggu usia 20 atau 21 lebih baik, Bu.” Kesiapan mental Denok dipertanyakan, saat aku mendampingi mereka menyerahkan berkas ke kelurahan. Rencana keluarga dua bulan lagi akad sekaligus resepsi dilaksanakan, saat ijazah Denok keluar ia pun akan bersatus istri. “Ini termasuk kondisi mendesak, Pak. Anak-anak sudah ingin, saya berdosa kalau menghalangi.” Jerry mengiyakan, anak muda itu cukup tegas menjawab saat ditanya kesiapannya, begitu pun Denok. Aku cukup kagum pada keberanian mereka. Apalagi Jerry, hubungan kami dekat ia terbuka kalau pikirannya sering kacau, takut tidak berjodoh kalau kelamaan nunggu Denok. Ia juga serita ada mahasiswi yang cukup ekstrem
‘Mama Al, tau kah kejadian tadi malam?’ Setelah Subuh kulihat banyak chat masuk. Salah satu isinya ini, tentang Mas Danang. ‘Bapaknya Almira kelahi sama pemilik Mebel Rulli. Kayaknya salah ngomong sampai dikeroyok suami istri itu.’ 'Gimana kabar tuh si mantan? Pukulan Rulli ngeri aku lihat, Ay. Untung motornya gak dirusak.’ Agh! Rasanya mau menghindar dengar berita-berita begini. Kasihan anak-anak kena imbasnya. Di kota kecil ini apa sih yang bisa disembunyikan? Sebuah berita akan cepat menyebar, orang yang kenal kami pasti segera tahu. Mas Danang merusak nama baik sendiri, membuat malu anak-anak. Dulu mana pernah ia ribut dengan orang, ataukah … mungkin aku saja yang kurang mengenalnya. Aku beranjak, membalas seadanya pesan teman-teman
“Mama gak akan larang. Mama paham kalian khawatir sama Ayah,” ucapku sambil bantu Syifa dan Naya persiapkan pakaian. Mereka cuma bawa beberapa potong pakaian dalam ransel, sudah pesan tiket online untuk berangkat besok pagi. Tidak ada yang salah, siapa pun anak pasti khawatir lihat keadaan ayahnya begitu. Aku tetap ada bersama mereka yang terus pantau keadaan bapaknya melalui panggilan video. “Arahkan ke Ayah,” pinta Syifa pada Denok. Tampak kondisi Mas Danang masih terbaring diam, mata terpejam. Kata saudaranya ia tak bereaksi jika diajak bicara. Aku ikut merasa pilunya perasaan anak-anak ini. Hanya usapan pada pundak, atau tatapan prihatin yang bisa kubagi. Mereka terikat darah, tentu merasa cinta lebih kuat dibanding aku. Pagi. Dua roti burger isi daging dan sayur dalam wadah, kumasukkan ke dalam tas Naya. Mereka
“Ada masalah aku di sini …? Ini rumah anak, kita sama-sama berhak ….” Gemetar dan terputus-putus suara Mas Danang. Ia dipegang adiknya ternyata sudah berdiri di situ, mendengar ucapan kami tadi. Melihat itu, Denok lekas menarik kursi untuk ayahnya duduk. Namun lelaki itu tetap berdiri. Kupandangi ia dan Mbak Dina. “Aku yang punya masalah, bukan Mas Danang. Kiat bukan mahram dan aku risi kalau tinggal serumah.” “Mbak Aya, bisa kita bahas ini nanti saja, tunggu Mas Danang sehat dulu. Ini baru ke luar rumah sakit lo.” Mbak Dina menegur. “Biarkan!” Suara dan tubuh Mas Danang gemetar, tapi nadanya cukup keras. “Yang minta cerai dia, aku ajak kembali juga ditolak. Apa itu namanya mau bebas, bisa saja dia sudah punya lelaki lain!” Susah payah bicara tapi malah membuat tuduhan. Sorry, Mas! Aku mau saja ribut. Cuma kalau kulawan,
“Bicara apa, mau ributin kami? Suruh ke luar dari rumah ini?” Mataku langsung beralih pada lelaki yang tampak berbeda. Ia tak lagi menatapku mengiba, tapi tatapan menantang. “Iya, ini rumah kita sepakati untuk anak-anak, ke-“ “Kamu ulang-ulang itu terus aku sudah tau, Soraya. Anak-anak juga anakku. Kamu bisa tinggal di rumah anak, begitu pun aku. Kenapa harus ribut?!” Kutelan saliva yang terasa berubah jadi duri, masuk menusuk-nusuk rongga dada. Aku kehabisan kata-kata. Denok pun terlihat tak bisa apa-apa. Yah, memang benar. Ia sama sekali tidak salah! Ini rumah anak kami, tapi bukan milik perempuan itu! Aku bangun dari tempat duduk, melangkah cepat ke kamar perempuan lakn*at tanpa malu. “Aya?” Temanku mengingatkan diri, ia mengikutiku dari belakang.
Panas. Panas banget! Aku kipas-kipas dengan buku. Bukannya AC sudah full dingin, aku kok masih kepanasan gini? “Sadaqallahul azim ….” Menyelesaikan ngajinya Jerry berbalik, melihatku yang bermandi keringat. “Kenapa, Yang?” Dia tanya setelah simpan mushaf di nakas. “Enggak tau nih, panas kok sampe gini, lihat!” Kutunjuk keringat membasahi leher. Dilihatnya suhu AC, lalu lihat lagi padaku, sejenak tatapannya heran. Diambilnya tisu. “Nih dilap. Aku ke masjid dulu, ya.” Jerry memang setia jamaah di masjid sekarang, tadi pulang habis Magrib cuma buat ngaji di rumah. “Hu um, jangan lama-lama.” Senyum bibirnya, sambil mengacak rambutku. Sikap suamiku ini sangat manis. Orangnya tenang dan manjain aku banget
POV Soraya Setelah tertegun sejenak, suami meletakkan ponselku di atas kasur, tepat di sisinya. Aku menatap semua pergerakannya dalam diam. Sepertinya memang ada yang tak kutahu. “Dek … maaf sebelumnya kalau mas belum cerita ini.” “Ceritakan saja, Mas. Saya siap dengar,” balasku tenang. Sesakit apa yang akan ia katakan, mungkin aku kuat karena pernah mengalaminya dulu. “Sebenarnya ini sudah lama. Mas mengenalnya sudah dua tahun belakangan. Hanya dia baru bilang suka beberapa bulan lalu.” Aku coba mengatur napas, untuk melonggarkan dada yang terasa nyeri dan sesak. Akankah ini terulang seperti Mas Danang dulu lakukan …? Tidak. Jangan ya, Rabb …! “Dia usia 40 tahun, belum menikah. Dan … bilang jatuh cinta pada mas.” Mas Mahesa mengambil tanganku, menggenggamnya erat. “Maafkan mas …” kalimatnya yang menggantung membuatku terpukul. Bayangan pengakuan Mas Danang dan April saat itu mengitari pikiran, menghantuiku. “Mas pernah
“Tante, apa kabar?”Aku yang mendapat sapaan itu langsung menoleh, seseorang perempuan berhijab panjang, dengan masker putih hingga yang terlihat hanya matanya.“Alhamdulillah, baik. Apa kabar juga,” balasku, tersenyum sambil mengingat-ngingat dia siapa.Seperti paham, ia menurunkan maskernya. Perempuan berwajah tirus dengan hidung lancip dan sedikit parut luka kecil di dekat hidung. Meski begitu dia tampak cantik.“Alhamdulillah baik juga, Tan. Saya … April,” ucapnya sambil meraih dan menyalim tanganku.“April?” Segera kubuka tangan memeluk tubuhnya. Sudah lumayan lama kami tak bertemu. “Senang bertemu kamu lagi.”Aku memang pernah dengar dia sakit, dan setelah sehat aku kemudian tak tahu lagi bagaimana hidupnya, hingga bisa bertemu di sini sekarang.April tampak jauh lebih baik.“Saya juga senang ketemu Tante.” Suaranya yang masih khas, tetapi kini
POV Danang“Saya minta maaf ... sangat mohon dimaafkan Al ... keluarga Mama, Papi, dan keluarga Ayah. Saya sudah terlalu jauh melangkah ... ini kesalahan besar yang sudah saya lakukan. Saya ... sudah menyakiti semua orang, terutama Almira.”Angger bicara begitu di malam harinya, saat kami sudah pulang dan berkumpul di rumah, kecuali Naya yang tetap tinggal di rumah besan.Semua kompak tinggal di rumah yang dulu Soraya beli saat anak-anak kuliah, dan sudah direnovasi berlantai tiga ini. Kami tidak ada yang menyewa hotel. Tempat ini lebih dari cukup untuk menikmati kebersamaan luar biasa, yang amat langka terjadi. Meski kami sudah bukan suami istri, Soraya tampak tak canggung menganggapku sebagai bagian dari keluarga.“Kami mendukungmu, Nak Angger. Keputusan apa pun memang hanya kalian berdua yang menjalani. Jika berdua sama-sama ingin bertahan, berjuanglah. Kami akan mendukung selama itu ke arah yang baik. Kami salut kamu be
Malam ini aku, Mas Mahesa juga Rama ngumpul di ruang tengah, kita baru selesai videocall dengan putri Mas Mahesa yang tinggal di Belanda. Rama dengan Bahasa Inggrisnya tadi amat fasih bicara dengan ponakan dan saudara lain di sana. Kontak kami memang sebatas video call, setelah tiga kali pertemuan secara langsung dengan gadis berwajah khas India itusangat ramah dan baik padaku, yang dipanggil Mami olehnya. “Kapan kita liburan ke Belanda?” Mas Mahesa bertanya. “Kalau liburan panjang bisa, Mas, sebelum Rama masuk SD, gimana?” “Bisa. Gimana, Dek Rama mau kita ketemu sama Mark dan Loui?” “Mau, Pi. Mau banget. Biar naik sepeda bareng.” Aku pun setujui kami akan liburan tiga bulan lagi. Selama fisik masih kuat ke manapun diajak suami oke aja. Beberapa tempat wisata di Indonesia sudah Mas Mahesa ajak. Ia termasuk laki-laki yang suka travelling, dan aku pun merasa ketularan. Masa tua kami isi sosial juga menjalin silaturahmi dengan ana
PoV Soraya“Pakabar Mama?” Pelukan dan cium pipi kiri kanan saat aku bertemu Almira di restoran.“Alhamdulillah, mama sehat. Kamu gimana, Sayang?”“Alhamdulillah, Ma.” Almira membuka tangan mengisyaratkan aku melihat kalau ia baik-baik saja.Aku tersenyum lega. “Kita ke ruang sana, yuk.” Tangan Al kemudian kugamit, kami mengikuti seorang waiters yang mengantarkan ke ruang pesananku.“Mama sempet nunggu, kah tadi?”“Enggak, kok, Al, papimu barusan aja pergi.”“Jadi beneran kita berdua aja nih?” Wajahnya sedikit heran melihat kami menyusuri lorong yang diapit susunan batu alam.“Skali-kali mama ngedate sama kamu, ya ‘kan?” godaku.“Aih, Mama. Tapi kok bikin deg-deg’an ya. Kita kemana? Kok, berasa kayak mau dikasih surprise. Masa aku lupa ini ulang tahunku?” katanya
POV DanangAh, harusnya ketenangan sudah kugenggam ... tapi kenapa terasa masih jauh. Setelah semua yang kuminta pada anak-anak terpenuhi, juga hubungan Adam yang membaik dengan April pun dikabulkan. Aku tetap merasa ada yang berlubang dalam dasar hati.Ada apa denganku ...?Pagi-pagi, seperti biasa keluar kamar aku langsung ke dapur, berpapasan dan berbagi senyum dengan Almira. Wajah pucatnya cepat mengurai senyum lebar setelah menyadari tatapanku, kurasa senyum itu sangat dipaksakan.“Ayah mau sarapan apa, nanti tinggal bilang simbok, ya, Al buru-buru piket pagi. Kalau bahan kurang atau butuh apa bisa wa aja, pulangnya Al belikan.”Di atas rasa sedih atas rumahtangganya ia masih memikirkan keperluanku. Dia pikir aku tak tahu apa-apa. Betapa aku merasa tak berguna sebagai ayah. Kalimatnya terasa menegurku yang selama ini terlalu banyak permintaan dan kecerewetan, termasuk tentang makanan.“Ah, ayah a
“Wuaah, ini ajaib, Mama Al.” “Cakepnya, anak bule, kulit putih ambil mamanya, hidung mancung dari papanya.” “Kada nyangka, Aya, ikam kawa bisi anak lagi.” (Nggak nyangka, Aya, kamu bisa punya anak lagi) Itu sebagian kecil beragam komentar kawan-kawan saat aku lahiran, bahkan sampai sekarang. Sejak hamil sampai melahirkan mereka rutin lakukan panggilan video, ikut gemas lihat perkembangan anakku. Sekarang Rama sedang aktif-aktifnya melangkah, seperti mau cepat bisa lari. Otot kakinya sudah kuat, tak pernah terlihat jatuh lagi. Aku bersyukur atas kesehatannya ini. Dua perawat siaga, satu bertugas untuk Rama, satu untukku. Suami benar-benar memanjakan kami dengan kemampuannya. Ia melarangku terlalu lelah mengejar Rama yang sangat aktif bermain. “Biarkan yang muda aja
PoV SorayaHari di mana anak-anak memberi hadiah untukku, lukisan pemandangan yang menggetarkan hati. Sangat mengharukan, karena di situ ada kenangan dua orang yang tersimpan dalam.Pertama, tempat itu tempat Mas Danang dulu mengutarakan isi hati. Getaran cinta pertama pada lawan jenis. Kenapa bisa di sana, ya karena aku mengenalnya saat study tour kelas 2 SMA ke Jogja. Ia lebih tua 6 tahun dariku, bertemu di Borobudur langsung bilang suka dalam pandangan pertama. Jodoh menggariskan kami bertemu lagi di Palangkaraya dua tahun kemudian, lalu menikah di usiaku yang masih terbilang muda.Kedua, itu tempat kenangan bersama Mas Mahesa juga. Getaran pertama muncul makin kuat padanya, ia pernah dalam diam menungguku menikmati pemandangan bak karpet hijau terpampang di depan mata. Meski sudah tua saat itu, tapi getarku padanya sempat membuat diri
PoV Denok“Iya, iya. Kewajiban seorang mama ya memang begitu. Memastikan kalau anak-anaknya tumbuh baik.”“Termasuk harus berbohong?” Kututup mulut yang refleks bertanya.“Bohong buat kebaikan kenapa enggak?”“Ih, namanya Mama jahat sama diri sendiri.” Aku memeluk kakinya, mata hampir kembali basah.“Al, Nay, Fa, Denok … kalian dengarkan, ya. Mama ini sayang diri sendiri, sayang kalian-““Sayang Ayah?” Mama terhenti melihatku.Mengatup mulut sedikit mengangguk.“Ya, mama akui sayang ayahmu juga … 21 tahun bersama sebelum peristiwa itu bukanlah waktu sebentar. Kebaikan ayah kalian, di awal kami membangun rumah tangga