‘Mama Al, tau kah kejadian tadi malam?’
Setelah Subuh kulihat banyak chat masuk. Salah satu isinya ini, tentang Mas Danang.
‘Bapaknya Almira kelahi sama pemilik Mebel Rulli. Kayaknya salah ngomong sampai dikeroyok suami istri itu.’
'Gimana kabar tuh si mantan? Pukulan Rulli ngeri aku lihat, Ay. Untung motornya gak dirusak.’
Agh! Rasanya mau menghindar dengar berita-berita begini. Kasihan anak-anak kena imbasnya. Di kota kecil ini apa sih yang bisa disembunyikan? Sebuah berita akan cepat menyebar, orang yang kenal kami pasti segera tahu. Mas Danang merusak nama baik sendiri, membuat malu anak-anak.
Dulu mana pernah ia ribut dengan orang, ataukah … mungkin aku saja yang kurang mengenalnya.
Aku beranjak, membalas seadanya pesan teman-teman
“Mama gak akan larang. Mama paham kalian khawatir sama Ayah,” ucapku sambil bantu Syifa dan Naya persiapkan pakaian. Mereka cuma bawa beberapa potong pakaian dalam ransel, sudah pesan tiket online untuk berangkat besok pagi. Tidak ada yang salah, siapa pun anak pasti khawatir lihat keadaan ayahnya begitu. Aku tetap ada bersama mereka yang terus pantau keadaan bapaknya melalui panggilan video. “Arahkan ke Ayah,” pinta Syifa pada Denok. Tampak kondisi Mas Danang masih terbaring diam, mata terpejam. Kata saudaranya ia tak bereaksi jika diajak bicara. Aku ikut merasa pilunya perasaan anak-anak ini. Hanya usapan pada pundak, atau tatapan prihatin yang bisa kubagi. Mereka terikat darah, tentu merasa cinta lebih kuat dibanding aku. Pagi. Dua roti burger isi daging dan sayur dalam wadah, kumasukkan ke dalam tas Naya. Mereka
“Ada masalah aku di sini …? Ini rumah anak, kita sama-sama berhak ….” Gemetar dan terputus-putus suara Mas Danang. Ia dipegang adiknya ternyata sudah berdiri di situ, mendengar ucapan kami tadi. Melihat itu, Denok lekas menarik kursi untuk ayahnya duduk. Namun lelaki itu tetap berdiri. Kupandangi ia dan Mbak Dina. “Aku yang punya masalah, bukan Mas Danang. Kiat bukan mahram dan aku risi kalau tinggal serumah.” “Mbak Aya, bisa kita bahas ini nanti saja, tunggu Mas Danang sehat dulu. Ini baru ke luar rumah sakit lo.” Mbak Dina menegur. “Biarkan!” Suara dan tubuh Mas Danang gemetar, tapi nadanya cukup keras. “Yang minta cerai dia, aku ajak kembali juga ditolak. Apa itu namanya mau bebas, bisa saja dia sudah punya lelaki lain!” Susah payah bicara tapi malah membuat tuduhan. Sorry, Mas! Aku mau saja ribut. Cuma kalau kulawan,
“Bicara apa, mau ributin kami? Suruh ke luar dari rumah ini?” Mataku langsung beralih pada lelaki yang tampak berbeda. Ia tak lagi menatapku mengiba, tapi tatapan menantang. “Iya, ini rumah kita sepakati untuk anak-anak, ke-“ “Kamu ulang-ulang itu terus aku sudah tau, Soraya. Anak-anak juga anakku. Kamu bisa tinggal di rumah anak, begitu pun aku. Kenapa harus ribut?!” Kutelan saliva yang terasa berubah jadi duri, masuk menusuk-nusuk rongga dada. Aku kehabisan kata-kata. Denok pun terlihat tak bisa apa-apa. Yah, memang benar. Ia sama sekali tidak salah! Ini rumah anak kami, tapi bukan milik perempuan itu! Aku bangun dari tempat duduk, melangkah cepat ke kamar perempuan lakn*at tanpa malu. “Aya?” Temanku mengingatkan diri, ia mengikutiku dari belakang.
Panas. Panas banget! Aku kipas-kipas dengan buku. Bukannya AC sudah full dingin, aku kok masih kepanasan gini? “Sadaqallahul azim ….” Menyelesaikan ngajinya Jerry berbalik, melihatku yang bermandi keringat. “Kenapa, Yang?” Dia tanya setelah simpan mushaf di nakas. “Enggak tau nih, panas kok sampe gini, lihat!” Kutunjuk keringat membasahi leher. Dilihatnya suhu AC, lalu lihat lagi padaku, sejenak tatapannya heran. Diambilnya tisu. “Nih dilap. Aku ke masjid dulu, ya.” Jerry memang setia jamaah di masjid sekarang, tadi pulang habis Magrib cuma buat ngaji di rumah. “Hu um, jangan lama-lama.” Senyum bibirnya, sambil mengacak rambutku. Sikap suamiku ini sangat manis. Orangnya tenang dan manjain aku banget
Hari ketiga berlalu. Ayah sudah berangkat ke Jogja kemarin sore, nyusul Mama yang sudah dua hari lebih dulu ke sana. Hari ini akad sekaligus resepsi Kak Almira. Mama April masih lemah semenjak berturut-turut diruqyah. Aku gak tega ninggalinnya, aku juga masih terus keringatan dan muntah kalau dibacain ayat. Katanya aku yang paling kuat dipengaruhi. Iya kuakui, kemarin-kemarin bahkan aku merasa amat dekat dengan Mama April. Jerry juga batal ikut, jadi tiket kami bertiga digantikan oleh keluarga lain. Ayah orang terpenting harus hadir, Mama April kasian kalau aku juga pergi. Dia korban perjanjian gaib nenek moyang, siapa lah yang mau begitu. “Ustaz Hidayat akan tetap mendampingi pengobatan, Beb. Sambil ruqyah pengobatan Thibbun Nabawi juga tetap dilakukan.” Jerry setia mengingatkanku terus dzikir, saat ada tanda gak enak perasaan, bawaan gelisah, dan kesal akan a
Kedua belah keluarga dan mempelai sudah ada di Gedung Balai Pamungkas, dekat Stadion Kridosono, untuk melaksanakan resepsi. Almira dan suami sudah memakai pakaian Paes Ageng Jangan Menir, sangat cantik dan tampan. Almira juga berdarah Jogja dari Mas Danang, tidak masalah kompak memakai adat Jogja. Alhamdulillah, akad di rumah tadi pagi lancar tanpa halangan. Mas Danang cukup tenang menggenggam erat tangan Angger Wijatmoko saat prosesi, dalam sekali ucap langsung sah. Suara menantu terdengar sangat mantap dan tegas. Aku lega. Ini sudah hampir dua jam duduk di kursi sisi pelaminan, berdampingan dengan Mas danang sebagai orang tua perempuan. Kunikmati suasana, sesekali lirik Almira di pelaminan tengah, ia tampak selalu senyum lepas, kadang berbisik dengan sang suami, malu-malu_ah, teringat diriku dulu, ya begitu, mengenakan baju adat Jawa juga. Semoga kebahagiaan selalu ada padamu, Nak. Biarkan s
“Besok sudah pulang, Soraya?” “Iya. Anak ayam sudah nunggu emaknya, haa.” “Bapak ayam ditinggal, nih?” Apaan nih maksudnya? Aku terdiam, muka terasa panas tapi juga merasa Mahesa terlalu agresif jadi lelaki. Apa karena ia produser, biasa dekat dengan banyak wanita. Biasa merayu siapa yang ia mau. Respek padanya terasa berkurang. Pasti orang ini suka main-main. Di mana-mana lelaki itu sama. “Jangan banyak pikir negatif. Gak semua lelaki begitu.” Hah?! Ini … ia bisa nebak pikiranku? “Aku masih di sini. Bagaimana kalau kita wisata ke Borobudur, mau?” Ia terus bicara saat aku terdiam. “Tenang ada tiga orang teman nanti, kita gak s
“Tolonglah, aku pusing ini, Jum. Sudah ke mana-mana belum dapat jalan juga.”“Ya, kayak yang aku bilang tadi, Bang. Maaf. Tetap belum bisa bantu. Pemasukkan turun akhir-akhir ini, bukannya tidak mau bantu.” Pundakku ditepuk Jumri sebelum ia kembali masuk tokonya.Satu jam sudah aku di sini mungkin terasa terlalu memaksanya, sampai ia keluar lagi tadi, mengingatkan aku kalau dirinya tetap tidak bisa membantu.Aku di depan deretan ruko sembako ini, sebentar lagi semua akan tutup menjelang sore. Pasar akan berganti lapak jualan pakaian di depan toko-toko sampai malam.Kuremas kepala yang terasa akan pecah, belum juga dapat jalan keluar masalah keuanganku sampai detik ini. Hari keempat bayiku dan April dirawat. Istriku sudah membaik, harusnya sudah bisa pulang, tapi aku belum punya uang untuk bayar administrasi.
POV Soraya Setelah tertegun sejenak, suami meletakkan ponselku di atas kasur, tepat di sisinya. Aku menatap semua pergerakannya dalam diam. Sepertinya memang ada yang tak kutahu. “Dek … maaf sebelumnya kalau mas belum cerita ini.” “Ceritakan saja, Mas. Saya siap dengar,” balasku tenang. Sesakit apa yang akan ia katakan, mungkin aku kuat karena pernah mengalaminya dulu. “Sebenarnya ini sudah lama. Mas mengenalnya sudah dua tahun belakangan. Hanya dia baru bilang suka beberapa bulan lalu.” Aku coba mengatur napas, untuk melonggarkan dada yang terasa nyeri dan sesak. Akankah ini terulang seperti Mas Danang dulu lakukan …? Tidak. Jangan ya, Rabb …! “Dia usia 40 tahun, belum menikah. Dan … bilang jatuh cinta pada mas.” Mas Mahesa mengambil tanganku, menggenggamnya erat. “Maafkan mas …” kalimatnya yang menggantung membuatku terpukul. Bayangan pengakuan Mas Danang dan April saat itu mengitari pikiran, menghantuiku. “Mas pernah
“Tante, apa kabar?”Aku yang mendapat sapaan itu langsung menoleh, seseorang perempuan berhijab panjang, dengan masker putih hingga yang terlihat hanya matanya.“Alhamdulillah, baik. Apa kabar juga,” balasku, tersenyum sambil mengingat-ngingat dia siapa.Seperti paham, ia menurunkan maskernya. Perempuan berwajah tirus dengan hidung lancip dan sedikit parut luka kecil di dekat hidung. Meski begitu dia tampak cantik.“Alhamdulillah baik juga, Tan. Saya … April,” ucapnya sambil meraih dan menyalim tanganku.“April?” Segera kubuka tangan memeluk tubuhnya. Sudah lumayan lama kami tak bertemu. “Senang bertemu kamu lagi.”Aku memang pernah dengar dia sakit, dan setelah sehat aku kemudian tak tahu lagi bagaimana hidupnya, hingga bisa bertemu di sini sekarang.April tampak jauh lebih baik.“Saya juga senang ketemu Tante.” Suaranya yang masih khas, tetapi kini
POV Danang“Saya minta maaf ... sangat mohon dimaafkan Al ... keluarga Mama, Papi, dan keluarga Ayah. Saya sudah terlalu jauh melangkah ... ini kesalahan besar yang sudah saya lakukan. Saya ... sudah menyakiti semua orang, terutama Almira.”Angger bicara begitu di malam harinya, saat kami sudah pulang dan berkumpul di rumah, kecuali Naya yang tetap tinggal di rumah besan.Semua kompak tinggal di rumah yang dulu Soraya beli saat anak-anak kuliah, dan sudah direnovasi berlantai tiga ini. Kami tidak ada yang menyewa hotel. Tempat ini lebih dari cukup untuk menikmati kebersamaan luar biasa, yang amat langka terjadi. Meski kami sudah bukan suami istri, Soraya tampak tak canggung menganggapku sebagai bagian dari keluarga.“Kami mendukungmu, Nak Angger. Keputusan apa pun memang hanya kalian berdua yang menjalani. Jika berdua sama-sama ingin bertahan, berjuanglah. Kami akan mendukung selama itu ke arah yang baik. Kami salut kamu be
Malam ini aku, Mas Mahesa juga Rama ngumpul di ruang tengah, kita baru selesai videocall dengan putri Mas Mahesa yang tinggal di Belanda. Rama dengan Bahasa Inggrisnya tadi amat fasih bicara dengan ponakan dan saudara lain di sana. Kontak kami memang sebatas video call, setelah tiga kali pertemuan secara langsung dengan gadis berwajah khas India itusangat ramah dan baik padaku, yang dipanggil Mami olehnya. “Kapan kita liburan ke Belanda?” Mas Mahesa bertanya. “Kalau liburan panjang bisa, Mas, sebelum Rama masuk SD, gimana?” “Bisa. Gimana, Dek Rama mau kita ketemu sama Mark dan Loui?” “Mau, Pi. Mau banget. Biar naik sepeda bareng.” Aku pun setujui kami akan liburan tiga bulan lagi. Selama fisik masih kuat ke manapun diajak suami oke aja. Beberapa tempat wisata di Indonesia sudah Mas Mahesa ajak. Ia termasuk laki-laki yang suka travelling, dan aku pun merasa ketularan. Masa tua kami isi sosial juga menjalin silaturahmi dengan ana
PoV Soraya“Pakabar Mama?” Pelukan dan cium pipi kiri kanan saat aku bertemu Almira di restoran.“Alhamdulillah, mama sehat. Kamu gimana, Sayang?”“Alhamdulillah, Ma.” Almira membuka tangan mengisyaratkan aku melihat kalau ia baik-baik saja.Aku tersenyum lega. “Kita ke ruang sana, yuk.” Tangan Al kemudian kugamit, kami mengikuti seorang waiters yang mengantarkan ke ruang pesananku.“Mama sempet nunggu, kah tadi?”“Enggak, kok, Al, papimu barusan aja pergi.”“Jadi beneran kita berdua aja nih?” Wajahnya sedikit heran melihat kami menyusuri lorong yang diapit susunan batu alam.“Skali-kali mama ngedate sama kamu, ya ‘kan?” godaku.“Aih, Mama. Tapi kok bikin deg-deg’an ya. Kita kemana? Kok, berasa kayak mau dikasih surprise. Masa aku lupa ini ulang tahunku?” katanya
POV DanangAh, harusnya ketenangan sudah kugenggam ... tapi kenapa terasa masih jauh. Setelah semua yang kuminta pada anak-anak terpenuhi, juga hubungan Adam yang membaik dengan April pun dikabulkan. Aku tetap merasa ada yang berlubang dalam dasar hati.Ada apa denganku ...?Pagi-pagi, seperti biasa keluar kamar aku langsung ke dapur, berpapasan dan berbagi senyum dengan Almira. Wajah pucatnya cepat mengurai senyum lebar setelah menyadari tatapanku, kurasa senyum itu sangat dipaksakan.“Ayah mau sarapan apa, nanti tinggal bilang simbok, ya, Al buru-buru piket pagi. Kalau bahan kurang atau butuh apa bisa wa aja, pulangnya Al belikan.”Di atas rasa sedih atas rumahtangganya ia masih memikirkan keperluanku. Dia pikir aku tak tahu apa-apa. Betapa aku merasa tak berguna sebagai ayah. Kalimatnya terasa menegurku yang selama ini terlalu banyak permintaan dan kecerewetan, termasuk tentang makanan.“Ah, ayah a
“Wuaah, ini ajaib, Mama Al.” “Cakepnya, anak bule, kulit putih ambil mamanya, hidung mancung dari papanya.” “Kada nyangka, Aya, ikam kawa bisi anak lagi.” (Nggak nyangka, Aya, kamu bisa punya anak lagi) Itu sebagian kecil beragam komentar kawan-kawan saat aku lahiran, bahkan sampai sekarang. Sejak hamil sampai melahirkan mereka rutin lakukan panggilan video, ikut gemas lihat perkembangan anakku. Sekarang Rama sedang aktif-aktifnya melangkah, seperti mau cepat bisa lari. Otot kakinya sudah kuat, tak pernah terlihat jatuh lagi. Aku bersyukur atas kesehatannya ini. Dua perawat siaga, satu bertugas untuk Rama, satu untukku. Suami benar-benar memanjakan kami dengan kemampuannya. Ia melarangku terlalu lelah mengejar Rama yang sangat aktif bermain. “Biarkan yang muda aja
PoV SorayaHari di mana anak-anak memberi hadiah untukku, lukisan pemandangan yang menggetarkan hati. Sangat mengharukan, karena di situ ada kenangan dua orang yang tersimpan dalam.Pertama, tempat itu tempat Mas Danang dulu mengutarakan isi hati. Getaran cinta pertama pada lawan jenis. Kenapa bisa di sana, ya karena aku mengenalnya saat study tour kelas 2 SMA ke Jogja. Ia lebih tua 6 tahun dariku, bertemu di Borobudur langsung bilang suka dalam pandangan pertama. Jodoh menggariskan kami bertemu lagi di Palangkaraya dua tahun kemudian, lalu menikah di usiaku yang masih terbilang muda.Kedua, itu tempat kenangan bersama Mas Mahesa juga. Getaran pertama muncul makin kuat padanya, ia pernah dalam diam menungguku menikmati pemandangan bak karpet hijau terpampang di depan mata. Meski sudah tua saat itu, tapi getarku padanya sempat membuat diri
PoV Denok“Iya, iya. Kewajiban seorang mama ya memang begitu. Memastikan kalau anak-anaknya tumbuh baik.”“Termasuk harus berbohong?” Kututup mulut yang refleks bertanya.“Bohong buat kebaikan kenapa enggak?”“Ih, namanya Mama jahat sama diri sendiri.” Aku memeluk kakinya, mata hampir kembali basah.“Al, Nay, Fa, Denok … kalian dengarkan, ya. Mama ini sayang diri sendiri, sayang kalian-““Sayang Ayah?” Mama terhenti melihatku.Mengatup mulut sedikit mengangguk.“Ya, mama akui sayang ayahmu juga … 21 tahun bersama sebelum peristiwa itu bukanlah waktu sebentar. Kebaikan ayah kalian, di awal kami membangun rumah tangga