“Besok sudah pulang, Soraya?”
“Iya. Anak ayam sudah nunggu emaknya, haa.”
“Bapak ayam ditinggal, nih?”
Apaan nih maksudnya?
Aku terdiam, muka terasa panas tapi juga merasa Mahesa terlalu agresif jadi lelaki. Apa karena ia produser, biasa dekat dengan banyak wanita. Biasa merayu siapa yang ia mau.
Respek padanya terasa berkurang. Pasti orang ini suka main-main. Di mana-mana lelaki itu sama.
“Jangan banyak pikir negatif. Gak semua lelaki begitu.”
Hah?! Ini … ia bisa nebak pikiranku?
“Aku masih di sini. Bagaimana kalau kita wisata ke Borobudur, mau?” Ia terus bicara saat aku terdiam.
“Tenang ada tiga orang teman nanti, kita gak s
“Tolonglah, aku pusing ini, Jum. Sudah ke mana-mana belum dapat jalan juga.”“Ya, kayak yang aku bilang tadi, Bang. Maaf. Tetap belum bisa bantu. Pemasukkan turun akhir-akhir ini, bukannya tidak mau bantu.” Pundakku ditepuk Jumri sebelum ia kembali masuk tokonya.Satu jam sudah aku di sini mungkin terasa terlalu memaksanya, sampai ia keluar lagi tadi, mengingatkan aku kalau dirinya tetap tidak bisa membantu.Aku di depan deretan ruko sembako ini, sebentar lagi semua akan tutup menjelang sore. Pasar akan berganti lapak jualan pakaian di depan toko-toko sampai malam.Kuremas kepala yang terasa akan pecah, belum juga dapat jalan keluar masalah keuanganku sampai detik ini. Hari keempat bayiku dan April dirawat. Istriku sudah membaik, harusnya sudah bisa pulang, tapi aku belum punya uang untuk bayar administrasi.
Urusan istriku ke luar rumah sakit lancar. Kami sudah di rumah. “Istirahat aja, Sayang. Mas mau masakin bayam dulu.” Kubuka jendela lebar-lebar, di luar sedang sejuk, lebih enak angin alami untuk istriku ini. Selama di rumah sakit ia keluhkan kipas angin yang berada tepat di atas kepala. Ia jadi benci kipas dan AC, katanya kepalanya seperti penuh angin, haha, ada-ada saja. Bayam, juga ikan gabus kuambil seekor dari kulkas, bahan ini kutitip Denok beli saat ke pasar Kahayan tadi pagi. Aku bersihkan sayur, sambil pikirkan bayi kami yang masih dalam perawatan. Anakku itu tetap di rumah sakit sampai bisa kuat dan ke luar dari inkubator. Tubuhnya kecil, lahir di usia kandungan 7 bulan, sungguh aku tidak tahu April hamil sebelum sakit, ia tidak bilang apa-apa. Untunglah selama sering ngamuk itu tak pengaruh, bayinya lahir dengan fisik
Dari tempat Soraya segera kulajukan roda dua menuju rumah Haji Muin, letaknya jalan Tjilik Riwut kilometer 15. Akan kucoba mohon pinjaman tidak usah pakai agunan. Semoga ada sedikit kebaikan hatinya memudahkanku. Perjuangan cari pinjaman begini sudah beberapakali kulakukan, makin ke sini semakin sulit saja. Padahal dulu mudah kulakukan. Saat jadi ketua panitia pembangunan masjid, waktu itu sukarelawan, teman-teman, relasi bisnis maupun kawan grup wirausaha langsung berlomba guyurkan uang dari rekening mereka. Pembangunan lancar, aku dipuji sukses dan dianggap berjasa sebagai bagian pendiri rumah ibadah itu. Namun, sekarang hanya sebagai kenangan, yang terkenal kini justru Danang sebaliknya, seorang yang tak bisa dipercaya. Mungkin mereka kecewa banyak pinjamanku macet, lalu tersebar reputasi buruk, hingga mereka terlupa jasaku dulu. Begitulah. Separuh perjalanan sudah kutempuh, tiba-tiba terin
“Nanti kalau sudah sehat akan kugeber ruqyah April, biar ia lepas tuntas dari pengaruh mistis dalam tubuhnya itu. Mungkin ini pengaruh sama sikapnya pada Adam ….” Aku bicara seolah-olah pada diri sendiri, mengeluh sambil menatap wajah bayiku. “Yang sabar, Mas. Setiap rumah tangga pasti ada aja masalahnya.” Dina mengingatkan. “Iya, terima kasih banyak, Dek, mau terus tolongin mas.” “Kita ini saudara. Namanya saudara ya gitu, mau marah sampai gimana tetep aja nggak bisa benci.” Dina lalu mengambil alih Adam dariku. “Ya, Dek Adam Tampan. Kamu kalau sudah besar jadi kebanggaan ayahmu, ya.” Aku ikut menimang Adam sebelum beranjak. Setelah ini akan ke rumah teman, tanya kerjaan untuk menambah penghasilan. Sisa uang dari Haji Muin tidak berani kuhabiskan, itu untuk jaga-jaga kalau ada situasi gawa
PoV Soraya Baru kuletakkan ponsel, nada suara pesan masuk kembali menarik tangan meraihnya. Dia lagi. Senyum ini makin tertarik lebar lihat foto yang dikirimnya, sosok lelaki manis menatap layar dengan senyum dan tatapan mata penuh arti. Gambar dirinya ada di dekat kaca gedung tinggi. Tanpa sadar kutatap lekat wajah tak bergerak itu, bahkan khilaf, ku-zoom bagian hidung dan mata yang tampak sangat menarik. Ting! Terkejut atas ulah diri sendiri, cepat kugeser layar kembali. ‘Aku jangan ditatap terus, nanti makin suka.’ Muka ini terasa langsung panas. Aneh, darimana ia tahu aku perhatikan wajahnya? Jantung berdebar-debar merasa tertangkap basah, padahal ini aku sendiri di kamar.
Sebentar melihat rumahku, Koh Liem dan Cece mengajak Mahesa mengitari sekitar enam kolam yang sejuk. Dua lelaki itu ngobrol sampai ke ujung tanah ini melihat-lihat usaha kecilku. Sementara aku dan Cece berdiri di sisi kolam. “Lihat ikan itu senang ya, Ay?” celetuk Cece, yang kemudian bilang sempat tertarik bisnis ikan dulunya, tapi urung karena lebih suka usaha yang lain. “Cece bisa buka jual bibitnya,” timpalku. “Gak lah, Ay. Mauku ini ya banyak, semua mau, tapi gak mungkin semua ke-handle.” “Pengen buka wisata taman bunga juga ini,” sambung Koh Liem yang ternyata sudah di dekat kami. “Yang di Surabaya jadi ya, Ce?” “Di Malang jadinya, Ay, udah mulai diurus.” “Asyiik, aku bakal ada tujuan kalau mau jalan ke Malang,” ujarku.
Peluh belum juga kering, baru sampai depan rumah terasa tambah gerah dengar tangis Adam melengking, memecah lengang siang. “Kenapa itu anak nangis dibiarkan?!” Panas matahari di luar terasa pindah ke kepala, aku seharian menumpahkan keringat demi mencari tambahan isi dompet, malah tidak disambut suasana nyaman. April santai menggosok permukaan kulitnya dengan bubuk kuning, wangi jamu-jamuan. Ia melirik sekilas. “Sudah didiamin tadi, nangis lagi. Dia cuma mau sama bapaknya.” “Paling tidak kamu gendong, pasti Adam diam.” “Mas lihatkan biasanya mana mempan?” Ia masih tidak mau kalah. Memang benar kalau Adam nangis digendong April malah makin keras tangisnya. Kuraih tubuh Adam yang mukanya sudah merah basah, sebab kelamaan menang
Di jalan, aku terpaksa mendorong motor yang mogok. Tangisan Adam di gendongan membuatku makin bermandi peluh. Di depan sana ada deretan warung makan. Aku mendorong motor hingga naik ke trotoar. Lelah. Aku butuh istirahat. “Adam ….” Kuusap banjir peluh pada dahi bayiku. “Loh, Bang Danang?” “Oh, Jum.” Bertemu Jumri membuat hatiku sempat ciut, ia baru ke luar dari warung makan. Merasa diri sudah seperti gembel di depannya, keringat bau membasahi ketiak, akibat tadi mandi buru-buru, Adam menangis keras sampai aku belum sempat sabunan. Anak ini memang tidak bisa ditinggal, kalau pun ada ibunya ia tetap pilih anteng di gendonganku. “Mogok motornya?” tanya Jumri basa-basi.
POV Soraya Setelah tertegun sejenak, suami meletakkan ponselku di atas kasur, tepat di sisinya. Aku menatap semua pergerakannya dalam diam. Sepertinya memang ada yang tak kutahu. “Dek … maaf sebelumnya kalau mas belum cerita ini.” “Ceritakan saja, Mas. Saya siap dengar,” balasku tenang. Sesakit apa yang akan ia katakan, mungkin aku kuat karena pernah mengalaminya dulu. “Sebenarnya ini sudah lama. Mas mengenalnya sudah dua tahun belakangan. Hanya dia baru bilang suka beberapa bulan lalu.” Aku coba mengatur napas, untuk melonggarkan dada yang terasa nyeri dan sesak. Akankah ini terulang seperti Mas Danang dulu lakukan …? Tidak. Jangan ya, Rabb …! “Dia usia 40 tahun, belum menikah. Dan … bilang jatuh cinta pada mas.” Mas Mahesa mengambil tanganku, menggenggamnya erat. “Maafkan mas …” kalimatnya yang menggantung membuatku terpukul. Bayangan pengakuan Mas Danang dan April saat itu mengitari pikiran, menghantuiku. “Mas pernah
“Tante, apa kabar?”Aku yang mendapat sapaan itu langsung menoleh, seseorang perempuan berhijab panjang, dengan masker putih hingga yang terlihat hanya matanya.“Alhamdulillah, baik. Apa kabar juga,” balasku, tersenyum sambil mengingat-ngingat dia siapa.Seperti paham, ia menurunkan maskernya. Perempuan berwajah tirus dengan hidung lancip dan sedikit parut luka kecil di dekat hidung. Meski begitu dia tampak cantik.“Alhamdulillah baik juga, Tan. Saya … April,” ucapnya sambil meraih dan menyalim tanganku.“April?” Segera kubuka tangan memeluk tubuhnya. Sudah lumayan lama kami tak bertemu. “Senang bertemu kamu lagi.”Aku memang pernah dengar dia sakit, dan setelah sehat aku kemudian tak tahu lagi bagaimana hidupnya, hingga bisa bertemu di sini sekarang.April tampak jauh lebih baik.“Saya juga senang ketemu Tante.” Suaranya yang masih khas, tetapi kini
POV Danang“Saya minta maaf ... sangat mohon dimaafkan Al ... keluarga Mama, Papi, dan keluarga Ayah. Saya sudah terlalu jauh melangkah ... ini kesalahan besar yang sudah saya lakukan. Saya ... sudah menyakiti semua orang, terutama Almira.”Angger bicara begitu di malam harinya, saat kami sudah pulang dan berkumpul di rumah, kecuali Naya yang tetap tinggal di rumah besan.Semua kompak tinggal di rumah yang dulu Soraya beli saat anak-anak kuliah, dan sudah direnovasi berlantai tiga ini. Kami tidak ada yang menyewa hotel. Tempat ini lebih dari cukup untuk menikmati kebersamaan luar biasa, yang amat langka terjadi. Meski kami sudah bukan suami istri, Soraya tampak tak canggung menganggapku sebagai bagian dari keluarga.“Kami mendukungmu, Nak Angger. Keputusan apa pun memang hanya kalian berdua yang menjalani. Jika berdua sama-sama ingin bertahan, berjuanglah. Kami akan mendukung selama itu ke arah yang baik. Kami salut kamu be
Malam ini aku, Mas Mahesa juga Rama ngumpul di ruang tengah, kita baru selesai videocall dengan putri Mas Mahesa yang tinggal di Belanda. Rama dengan Bahasa Inggrisnya tadi amat fasih bicara dengan ponakan dan saudara lain di sana. Kontak kami memang sebatas video call, setelah tiga kali pertemuan secara langsung dengan gadis berwajah khas India itusangat ramah dan baik padaku, yang dipanggil Mami olehnya. “Kapan kita liburan ke Belanda?” Mas Mahesa bertanya. “Kalau liburan panjang bisa, Mas, sebelum Rama masuk SD, gimana?” “Bisa. Gimana, Dek Rama mau kita ketemu sama Mark dan Loui?” “Mau, Pi. Mau banget. Biar naik sepeda bareng.” Aku pun setujui kami akan liburan tiga bulan lagi. Selama fisik masih kuat ke manapun diajak suami oke aja. Beberapa tempat wisata di Indonesia sudah Mas Mahesa ajak. Ia termasuk laki-laki yang suka travelling, dan aku pun merasa ketularan. Masa tua kami isi sosial juga menjalin silaturahmi dengan ana
PoV Soraya“Pakabar Mama?” Pelukan dan cium pipi kiri kanan saat aku bertemu Almira di restoran.“Alhamdulillah, mama sehat. Kamu gimana, Sayang?”“Alhamdulillah, Ma.” Almira membuka tangan mengisyaratkan aku melihat kalau ia baik-baik saja.Aku tersenyum lega. “Kita ke ruang sana, yuk.” Tangan Al kemudian kugamit, kami mengikuti seorang waiters yang mengantarkan ke ruang pesananku.“Mama sempet nunggu, kah tadi?”“Enggak, kok, Al, papimu barusan aja pergi.”“Jadi beneran kita berdua aja nih?” Wajahnya sedikit heran melihat kami menyusuri lorong yang diapit susunan batu alam.“Skali-kali mama ngedate sama kamu, ya ‘kan?” godaku.“Aih, Mama. Tapi kok bikin deg-deg’an ya. Kita kemana? Kok, berasa kayak mau dikasih surprise. Masa aku lupa ini ulang tahunku?” katanya
POV DanangAh, harusnya ketenangan sudah kugenggam ... tapi kenapa terasa masih jauh. Setelah semua yang kuminta pada anak-anak terpenuhi, juga hubungan Adam yang membaik dengan April pun dikabulkan. Aku tetap merasa ada yang berlubang dalam dasar hati.Ada apa denganku ...?Pagi-pagi, seperti biasa keluar kamar aku langsung ke dapur, berpapasan dan berbagi senyum dengan Almira. Wajah pucatnya cepat mengurai senyum lebar setelah menyadari tatapanku, kurasa senyum itu sangat dipaksakan.“Ayah mau sarapan apa, nanti tinggal bilang simbok, ya, Al buru-buru piket pagi. Kalau bahan kurang atau butuh apa bisa wa aja, pulangnya Al belikan.”Di atas rasa sedih atas rumahtangganya ia masih memikirkan keperluanku. Dia pikir aku tak tahu apa-apa. Betapa aku merasa tak berguna sebagai ayah. Kalimatnya terasa menegurku yang selama ini terlalu banyak permintaan dan kecerewetan, termasuk tentang makanan.“Ah, ayah a
“Wuaah, ini ajaib, Mama Al.” “Cakepnya, anak bule, kulit putih ambil mamanya, hidung mancung dari papanya.” “Kada nyangka, Aya, ikam kawa bisi anak lagi.” (Nggak nyangka, Aya, kamu bisa punya anak lagi) Itu sebagian kecil beragam komentar kawan-kawan saat aku lahiran, bahkan sampai sekarang. Sejak hamil sampai melahirkan mereka rutin lakukan panggilan video, ikut gemas lihat perkembangan anakku. Sekarang Rama sedang aktif-aktifnya melangkah, seperti mau cepat bisa lari. Otot kakinya sudah kuat, tak pernah terlihat jatuh lagi. Aku bersyukur atas kesehatannya ini. Dua perawat siaga, satu bertugas untuk Rama, satu untukku. Suami benar-benar memanjakan kami dengan kemampuannya. Ia melarangku terlalu lelah mengejar Rama yang sangat aktif bermain. “Biarkan yang muda aja
PoV SorayaHari di mana anak-anak memberi hadiah untukku, lukisan pemandangan yang menggetarkan hati. Sangat mengharukan, karena di situ ada kenangan dua orang yang tersimpan dalam.Pertama, tempat itu tempat Mas Danang dulu mengutarakan isi hati. Getaran cinta pertama pada lawan jenis. Kenapa bisa di sana, ya karena aku mengenalnya saat study tour kelas 2 SMA ke Jogja. Ia lebih tua 6 tahun dariku, bertemu di Borobudur langsung bilang suka dalam pandangan pertama. Jodoh menggariskan kami bertemu lagi di Palangkaraya dua tahun kemudian, lalu menikah di usiaku yang masih terbilang muda.Kedua, itu tempat kenangan bersama Mas Mahesa juga. Getaran pertama muncul makin kuat padanya, ia pernah dalam diam menungguku menikmati pemandangan bak karpet hijau terpampang di depan mata. Meski sudah tua saat itu, tapi getarku padanya sempat membuat diri
PoV Denok“Iya, iya. Kewajiban seorang mama ya memang begitu. Memastikan kalau anak-anaknya tumbuh baik.”“Termasuk harus berbohong?” Kututup mulut yang refleks bertanya.“Bohong buat kebaikan kenapa enggak?”“Ih, namanya Mama jahat sama diri sendiri.” Aku memeluk kakinya, mata hampir kembali basah.“Al, Nay, Fa, Denok … kalian dengarkan, ya. Mama ini sayang diri sendiri, sayang kalian-““Sayang Ayah?” Mama terhenti melihatku.Mengatup mulut sedikit mengangguk.“Ya, mama akui sayang ayahmu juga … 21 tahun bersama sebelum peristiwa itu bukanlah waktu sebentar. Kebaikan ayah kalian, di awal kami membangun rumah tangga