Bungsuku berubah.
Apa itu hanya perasaanku yang sensitif? Ia menghindar kontak mata kalau kami bicara, itu pun kupaksa, sebab saat kami berpapasan selalu ada alasan Denok menghindar.
“Denok ada masalah apa, Sayang? Bilang ke mama, mama pasti dengar.” Aku mengikutinya ke kamar, ia urung mau menutup pintu dan menguncinya dari dalam, seperti yang dilakukan akhir-akhir ini.
Bibir kecil itu terkatup. Ia berbaring memiringkan badan membelakangiku.
“Ngantuk. Capek.”
Mau kuusap punggungnya tapi ditepis.
“Denok … mama minta maaf kalau ada salah. Tapi mama belum tahu salahnya di mana? Coba bilang, biar mama bisa perbaiki.”
“Gak ada. Aku mau tidur.” Hati ini tersayat saat buah hati memilih menyimpan sendiri masalahnya.
Aku menghela napas berat. “Baiklah, kalau Denok sudah siap bicara mama akan sediakan waktu special, sehari pun gak apa. Tinggal bilang aja kapan, ya.”
Rambutnya kuusap, ia menarik kepala menghindar. Aku ke luar kamarnya dengan bola mata terasa perih. Mungkin aku perlu mengingat-ingat, bagian mana yang sudah salah kulakukan.
Berhari-hari berlalu, tak ada perubahan. Sudah usaha kudekatkan diri mengajak Denok ke mana ia mau, makan apa, atau main ke tempat saudara pun semua ditolak. Alasan banyak tugas yang kutahu itu pasti bukan alasan.
Sampai sebuah telepon dari guru Denok, amat mengejutkanku.
Aku menjauh dari ruang produksi menuju parkiran. Ini masih di pabrik sedang lihat pembuatan bata ekspos produk baru kami, bata hias yang banyak diminati konsumen, dan siap kami kirim seluruh area Kalimantan.
Wali kelas ini langsung menyampaikan permasalahan Denok di sekolah.
“… kami mau tanya saja, kenapa surat yang dikirim ke orang tua tidak mendapat respon, kami minta Ibu ataukah Bapak bisa hadir ke sekolah untuk membicarakan ini.” Bagai petir di siang bolong menyambar tubuh, aku mencoba mengendalikan diri.
“Maaf, kapan surat itu dikasih ke anak saya, Bu?”
“Empat hari lalu.”
Aku terdiam mengingat-ingat.
“Sudah tiga kali bolos tanpa izin, padahal kami sudah beri sangsi, tetap saja kemarin terulang.”
Aku mendengar dengan kepala terasa melayang. Bukankah anak itu aku antar sampai depan gerbang? Meskipun ia bisa naik motor aku belum izinkan berangkat sendiri, lalu jam pulang ia sudah menunggu di luar gerbang? Bagaimana sebegitu pintarnya berbohong …?
“Oh ya, apa ananda Denok pernah sakit selama dua hari, Bu?”
Aku menggeleng, lalu cepat menjawab. “Seingat saya tidak pernah sakit setahun ini … ada apa, Bu?”
“Nah sejak izin sakit dua hari itu mulai tuh bolos, nilai semua pelajarannya terus merosot di bawah 7, ada yang sampai 5. Itu sangat tidak biasa, Bu.”
Astagfirullah … tubuhku makin melemas, tersandar pada mobil kupijat kening yang berdenyut. Aku menoleh pada karyawan di sana, mengangkat tangan kode akan pulang dulu, lalu masuk mobil.
Kapan izin sakit? Apa … saat Syifa, ah aku ingat ia nginap di rumah April saat aku dan Mas Danang menemui kakaknya yang sakit. Ya Allah, jangan sampai ….
Wali kelas Denok sangat berharap kerjasama kami sebagai orang tua memerhatikan lagi anak, lalu beliau menutup panggilan.
Allah … pikiran buruk hadir menghantuiku.
Ponsel dengan wallpaper empat putri cantik kupandang nanar, pikiran sedang memilih kalimat tepat menanyakan pada anak itu. Denok tadi malam nginap di rumah ayahnya. Hari Sabtu memang biasa ia ke sana dan pulang minggu sore. Kuputuskan menelepon Mas Danang dulu.
“Mas di mana?”
“I-ini, lagi di rumah Jumri.”
“Oh.”
“Ada apa, Dik?”
“Apa Denok di rumah?”
“Tadi mau ke luar sama April. Jalan katanya. Kenapa? Hubungi langsung ke nomornya saja.”
“Ya sudah, Mas.”
Usai panggilan, telepon genggam itu kutempelkan di dada, ikut merasakan degup jantungku tak beraturan. April sudah kutegur tidak boleh bawa Denok ke tempat yang tak semestinya, tapi apa orang itu akan menurut?
Kuarahkan kendaraan ke pinggir kota. Menelepon Denok dua kali tak diangkat, kuputuskan menepi.
‘Kamu di mana, Sayang? Temanin mama ke Hypermart, yuk!’
Tak ada tanda-tanda dibuka. Aku mengetuk setir, menunggu. Kulirik lagi layar. Dibaca. Lalu tanda ia mengetik. Kutunggu dengan sabar.
Lama.
Biasanya jempol anak itu gesit menari pada layar hape, apa ini isinya super panjang?
Aku bersabar menunggu semenit lagi.
‘Lagi gak bisa, Ma. Lagi bikin masak sama Kak April. Gak bisa ditinggal.’
Tertegun sejenak, refleks aku tersenyum.
Denok … ia tidak suka masak, lebih pilih menyikat WC kalau aku minta bantu di dapur. Merasa tak beres aku teruskan melaju. Jantung ini sudah tak karuan, putriku terasa makin pintar berdusta. Ya Allah, jangan mengujiku melebihi kekuatan ini ….
Sampai di rumah sederhana itu, terlihat ada dua lelaki tinggi besar tengah tarik menarik dengan April.
“Jangaaan!” Sumpah serapah keluar dari mulutnya melawan. Sepertinya memperebutkan amplop putih.
Aku turun dari mobil, bertanya pada tetangga depan. Beberapa orang memang tengah keluar dari rumah, melihat tapi tak ada yang berusaha mendekat.
“Ada apa, Bu?”
“Itu barang-barang tadi diambil paksa, sekarang apakah lagi yang direbut,” ujar ibu berdaster batik.
Aku mengangguk. Melihat dua lelaki bertampang sangar itu balik memarahi April yang terlihat tidak takut.
Ia sudah ke luar dari ruko Galaksi itu. Sekarang kudengar jualan via online dan diantar ke rumah-rumah. Mereka makin kesulitan keuangan, beberapa kali teman dekat katakan Mas Danang mencoba cari pinjaman lagi, tapi malah meminta pertimbangan dariku. Mereka tidak percaya lagi jika itu bukan atas permintaanku.
Betapa kuatnya nilai kepercayaan. Begitu tidak ada maka akan sulit sendiri. Mas Danang makin ekstra keras gali lubang tutup lubang. Padahal aku menanti ia minta harta bagiannya, seperti waktu itu, dan ada alasan minta berpisah.
Agh! Kenapa jadi pikir mereka?! Tujuanku ke sini untuk Denok.
Aku gegas mendekat. Masuk halaman tepat saat lelaki sangar mendorong April, membuat perempuan itu tersungkur, keningnya mengenai sudut jendela yang terbuka.
“Suamiku akan bayar semua! Dengar itu! Dasar …!” Mulutnya terus mengumpat, menyebut tiga nama hewan berulang-ulang.
Dua orang yang berhasil merebut amplop gegas pergi. Tampak sebagian uang merah robek terjatuh di lantai.
Setelah halaman ini kosong mataku beralih padanya, ia tengah mengusap pelipis yang berdarah.
“Mana Denok?” Aku tak peduli ia meringis melihat darahnya sendiri. Perempuan bercelana jeans pendek itu bangun, akan masuk seolah tak melihatku.
“Mana Denok?!” Kucengkeram lengannya kuat.
“Aw! Sakit!”
“Katakan!” Kepalaku terasa berasap, mungkin seperti gunung berapi siap meletus. Muka masam tak memedulikanku ini membuat diri super geram.
“Aku gak tau. Di rumah pacarnya mungkin!” Ia mengibas tanganku, akan masuk.
Cengkeramanku makin kuat. “Pacarnya siapa? Di mana?!”
“Mana aku tahu, Denok itu bukan bayi lagi!”
Ya Allah … tolong redam jiwa pembunuh dalam diri ini. Apa kamu sangka orang sabar tak bisa berniat membunuh? Oh jangan salah, itu bisa saja muncul dan bangkit kalau dihadapkan pada perempuan tanpa muka seperti di depanku ini.
Kutarik leher bajunya yang longgar. “Katakan siapa pacar Denok, di mana?! Ini pasti gara-gara kelakuanmu sampai anakku liar!”
Ia tersenyum, mata mendelik membiarkan aliran darah dari pelipisnya jatuh dan menetes di dagu.
“Aku gak kenal. Itu kakak kelasnya dulu. Mana mau dia curhat sama ibunya yang cuma mikir duit. Bisa saja sekarang mereka sudah kebablasan,” ujarnya sambil tersenyum tipis.
Cekalanku melonggar, tiba-tiba merasa blank. Denok …?
“Denok pernah bilang cowok itu ngekos daerah kampus Unpar, pacarnya kuliah jurusan ekonomi. Coba tanya aja namanya Jerry.”
April akan masuk, melihatku termangu ia lalu mundur lagi. “Makanya jaga suami, jaga anak, jangan bisanya kuasai harta orang aja.” Ia langsung gegas masuk, menutup pintu cepat.
Aku menggeram. Kalau tak pikir hukum, merusak rumah dan melukai orang ada pasalnya sudah kuhancurkan pintu, dan wanita di dalam itu.
Mobil masuk di jalan daerah kampus Unpar, di sini area kumpulnya kos-kosan para mahasiswa. Aku bertanya pada beberapa pemuda, ternyata ada yang tahu nama Jerry anak ekonomi. Mereka menyebut cirinya, aku hanya mengiyakan berharap itu benar orangnya. Sampai lah di sini, jalan kecil aku turun. Mobil kutitip di depan rumah toko kue. Aku bertanya pada beberapa orang lagi, belum ada yang kenal. Ini memang konyol, aku begitu saja percaya omongan April, yang bisa saja membohongiku. Tapi Denok juga jelas berbohong, hapenya sekarang juga tidak bisa dihubungi. Denok … maafkan mama yang mungkin kurang memperhatikanmu. Mama terima sebesar apa pun amarahmu, asal kamu jujur. Dibohong begini rasanya mama gak sanggup. Sudah di jalan paling dalam langkahku terayun, kata pemuda yang kutanya barusan kos Jerry paling ujung sini. Ada dua kos empat pintu, posisi saling membelakangi.
Air mata sampai ke luar karena aku belum bisa berhenti ketawa. Mati juga dia! Haa.Segera kuletakkan koran begitu lihat suami datang dengan wajah super cerah.“Mas ….” Aku berdiri, mendekatinya sambil menggelayut manja, melingkari tangan di tengkuk, sun sayang tidak lupa.“Sudah lihat berita orang yang ganggu kamu itu OD?” tanyanya. Aku mengangguk bahagia.“Iya, Mas. Rasain tuh hukuman berat buat dia. Aku mana mau dekat dengannya kalau bukan diguna-gunain. Aku kan cintanya cuma sama Mas Danang ….” Makin kurapatkan badan, menariknya ke kamar rumah kami yang sekarang, ruang sedingin es selalu butuh sesuatu yang panas.Rumah baru sejak perceraian suamiku tercinta. Lihat saja, pernah semarah apa pun dia ini padaku hubungan kami pasti akan kembali membara.
“Apa?! Kecelakaan??!!”Aku berlari ke parkiran.“Di mana?!” tanyaku setengah berteriak.“Istrinya sudah ada di RSUD Doris, Pak-“Aku langsung putuskan panggilan, kantungi ponsel ke saku baju. Ya ampun, belum dua minggu mobil itu dibeli kok sudah kecelakaan segala. April, April!Aku gegas melajukan motor dari ke arah rumah sakit. Tanpa sempat tanya apa-apa, aku akan ke sana lihat kondisi istriku.Begitu sampai aku lari masuk ruang Gawat Darurat.“Di mana April?, Mana istriku?!” Aku menubruk perawat laki-laki.“April?”“Yang baru kecelakaan mobil!” Linglung, aku memutar-mutar melihat para pasien di di
Balik ke PoV Soraya, ya. “Ibu yakin mau menikahkan putrinya? Ini memang masuk batas minimum usia, tapi bukankah masih terlalu muda. Kalau tidak mendesak tunggu usia 20 atau 21 lebih baik, Bu.” Kesiapan mental Denok dipertanyakan, saat aku mendampingi mereka menyerahkan berkas ke kelurahan. Rencana keluarga dua bulan lagi akad sekaligus resepsi dilaksanakan, saat ijazah Denok keluar ia pun akan bersatus istri. “Ini termasuk kondisi mendesak, Pak. Anak-anak sudah ingin, saya berdosa kalau menghalangi.” Jerry mengiyakan, anak muda itu cukup tegas menjawab saat ditanya kesiapannya, begitu pun Denok. Aku cukup kagum pada keberanian mereka. Apalagi Jerry, hubungan kami dekat ia terbuka kalau pikirannya sering kacau, takut tidak berjodoh kalau kelamaan nunggu Denok. Ia juga serita ada mahasiswi yang cukup ekstrem
‘Mama Al, tau kah kejadian tadi malam?’ Setelah Subuh kulihat banyak chat masuk. Salah satu isinya ini, tentang Mas Danang. ‘Bapaknya Almira kelahi sama pemilik Mebel Rulli. Kayaknya salah ngomong sampai dikeroyok suami istri itu.’ 'Gimana kabar tuh si mantan? Pukulan Rulli ngeri aku lihat, Ay. Untung motornya gak dirusak.’ Agh! Rasanya mau menghindar dengar berita-berita begini. Kasihan anak-anak kena imbasnya. Di kota kecil ini apa sih yang bisa disembunyikan? Sebuah berita akan cepat menyebar, orang yang kenal kami pasti segera tahu. Mas Danang merusak nama baik sendiri, membuat malu anak-anak. Dulu mana pernah ia ribut dengan orang, ataukah … mungkin aku saja yang kurang mengenalnya. Aku beranjak, membalas seadanya pesan teman-teman
“Mama gak akan larang. Mama paham kalian khawatir sama Ayah,” ucapku sambil bantu Syifa dan Naya persiapkan pakaian. Mereka cuma bawa beberapa potong pakaian dalam ransel, sudah pesan tiket online untuk berangkat besok pagi. Tidak ada yang salah, siapa pun anak pasti khawatir lihat keadaan ayahnya begitu. Aku tetap ada bersama mereka yang terus pantau keadaan bapaknya melalui panggilan video. “Arahkan ke Ayah,” pinta Syifa pada Denok. Tampak kondisi Mas Danang masih terbaring diam, mata terpejam. Kata saudaranya ia tak bereaksi jika diajak bicara. Aku ikut merasa pilunya perasaan anak-anak ini. Hanya usapan pada pundak, atau tatapan prihatin yang bisa kubagi. Mereka terikat darah, tentu merasa cinta lebih kuat dibanding aku. Pagi. Dua roti burger isi daging dan sayur dalam wadah, kumasukkan ke dalam tas Naya. Mereka
“Ada masalah aku di sini …? Ini rumah anak, kita sama-sama berhak ….” Gemetar dan terputus-putus suara Mas Danang. Ia dipegang adiknya ternyata sudah berdiri di situ, mendengar ucapan kami tadi. Melihat itu, Denok lekas menarik kursi untuk ayahnya duduk. Namun lelaki itu tetap berdiri. Kupandangi ia dan Mbak Dina. “Aku yang punya masalah, bukan Mas Danang. Kiat bukan mahram dan aku risi kalau tinggal serumah.” “Mbak Aya, bisa kita bahas ini nanti saja, tunggu Mas Danang sehat dulu. Ini baru ke luar rumah sakit lo.” Mbak Dina menegur. “Biarkan!” Suara dan tubuh Mas Danang gemetar, tapi nadanya cukup keras. “Yang minta cerai dia, aku ajak kembali juga ditolak. Apa itu namanya mau bebas, bisa saja dia sudah punya lelaki lain!” Susah payah bicara tapi malah membuat tuduhan. Sorry, Mas! Aku mau saja ribut. Cuma kalau kulawan,
“Bicara apa, mau ributin kami? Suruh ke luar dari rumah ini?” Mataku langsung beralih pada lelaki yang tampak berbeda. Ia tak lagi menatapku mengiba, tapi tatapan menantang. “Iya, ini rumah kita sepakati untuk anak-anak, ke-“ “Kamu ulang-ulang itu terus aku sudah tau, Soraya. Anak-anak juga anakku. Kamu bisa tinggal di rumah anak, begitu pun aku. Kenapa harus ribut?!” Kutelan saliva yang terasa berubah jadi duri, masuk menusuk-nusuk rongga dada. Aku kehabisan kata-kata. Denok pun terlihat tak bisa apa-apa. Yah, memang benar. Ia sama sekali tidak salah! Ini rumah anak kami, tapi bukan milik perempuan itu! Aku bangun dari tempat duduk, melangkah cepat ke kamar perempuan lakn*at tanpa malu. “Aya?” Temanku mengingatkan diri, ia mengikutiku dari belakang.
POV Soraya Setelah tertegun sejenak, suami meletakkan ponselku di atas kasur, tepat di sisinya. Aku menatap semua pergerakannya dalam diam. Sepertinya memang ada yang tak kutahu. “Dek … maaf sebelumnya kalau mas belum cerita ini.” “Ceritakan saja, Mas. Saya siap dengar,” balasku tenang. Sesakit apa yang akan ia katakan, mungkin aku kuat karena pernah mengalaminya dulu. “Sebenarnya ini sudah lama. Mas mengenalnya sudah dua tahun belakangan. Hanya dia baru bilang suka beberapa bulan lalu.” Aku coba mengatur napas, untuk melonggarkan dada yang terasa nyeri dan sesak. Akankah ini terulang seperti Mas Danang dulu lakukan …? Tidak. Jangan ya, Rabb …! “Dia usia 40 tahun, belum menikah. Dan … bilang jatuh cinta pada mas.” Mas Mahesa mengambil tanganku, menggenggamnya erat. “Maafkan mas …” kalimatnya yang menggantung membuatku terpukul. Bayangan pengakuan Mas Danang dan April saat itu mengitari pikiran, menghantuiku. “Mas pernah
“Tante, apa kabar?”Aku yang mendapat sapaan itu langsung menoleh, seseorang perempuan berhijab panjang, dengan masker putih hingga yang terlihat hanya matanya.“Alhamdulillah, baik. Apa kabar juga,” balasku, tersenyum sambil mengingat-ngingat dia siapa.Seperti paham, ia menurunkan maskernya. Perempuan berwajah tirus dengan hidung lancip dan sedikit parut luka kecil di dekat hidung. Meski begitu dia tampak cantik.“Alhamdulillah baik juga, Tan. Saya … April,” ucapnya sambil meraih dan menyalim tanganku.“April?” Segera kubuka tangan memeluk tubuhnya. Sudah lumayan lama kami tak bertemu. “Senang bertemu kamu lagi.”Aku memang pernah dengar dia sakit, dan setelah sehat aku kemudian tak tahu lagi bagaimana hidupnya, hingga bisa bertemu di sini sekarang.April tampak jauh lebih baik.“Saya juga senang ketemu Tante.” Suaranya yang masih khas, tetapi kini
POV Danang“Saya minta maaf ... sangat mohon dimaafkan Al ... keluarga Mama, Papi, dan keluarga Ayah. Saya sudah terlalu jauh melangkah ... ini kesalahan besar yang sudah saya lakukan. Saya ... sudah menyakiti semua orang, terutama Almira.”Angger bicara begitu di malam harinya, saat kami sudah pulang dan berkumpul di rumah, kecuali Naya yang tetap tinggal di rumah besan.Semua kompak tinggal di rumah yang dulu Soraya beli saat anak-anak kuliah, dan sudah direnovasi berlantai tiga ini. Kami tidak ada yang menyewa hotel. Tempat ini lebih dari cukup untuk menikmati kebersamaan luar biasa, yang amat langka terjadi. Meski kami sudah bukan suami istri, Soraya tampak tak canggung menganggapku sebagai bagian dari keluarga.“Kami mendukungmu, Nak Angger. Keputusan apa pun memang hanya kalian berdua yang menjalani. Jika berdua sama-sama ingin bertahan, berjuanglah. Kami akan mendukung selama itu ke arah yang baik. Kami salut kamu be
Malam ini aku, Mas Mahesa juga Rama ngumpul di ruang tengah, kita baru selesai videocall dengan putri Mas Mahesa yang tinggal di Belanda. Rama dengan Bahasa Inggrisnya tadi amat fasih bicara dengan ponakan dan saudara lain di sana. Kontak kami memang sebatas video call, setelah tiga kali pertemuan secara langsung dengan gadis berwajah khas India itusangat ramah dan baik padaku, yang dipanggil Mami olehnya. “Kapan kita liburan ke Belanda?” Mas Mahesa bertanya. “Kalau liburan panjang bisa, Mas, sebelum Rama masuk SD, gimana?” “Bisa. Gimana, Dek Rama mau kita ketemu sama Mark dan Loui?” “Mau, Pi. Mau banget. Biar naik sepeda bareng.” Aku pun setujui kami akan liburan tiga bulan lagi. Selama fisik masih kuat ke manapun diajak suami oke aja. Beberapa tempat wisata di Indonesia sudah Mas Mahesa ajak. Ia termasuk laki-laki yang suka travelling, dan aku pun merasa ketularan. Masa tua kami isi sosial juga menjalin silaturahmi dengan ana
PoV Soraya“Pakabar Mama?” Pelukan dan cium pipi kiri kanan saat aku bertemu Almira di restoran.“Alhamdulillah, mama sehat. Kamu gimana, Sayang?”“Alhamdulillah, Ma.” Almira membuka tangan mengisyaratkan aku melihat kalau ia baik-baik saja.Aku tersenyum lega. “Kita ke ruang sana, yuk.” Tangan Al kemudian kugamit, kami mengikuti seorang waiters yang mengantarkan ke ruang pesananku.“Mama sempet nunggu, kah tadi?”“Enggak, kok, Al, papimu barusan aja pergi.”“Jadi beneran kita berdua aja nih?” Wajahnya sedikit heran melihat kami menyusuri lorong yang diapit susunan batu alam.“Skali-kali mama ngedate sama kamu, ya ‘kan?” godaku.“Aih, Mama. Tapi kok bikin deg-deg’an ya. Kita kemana? Kok, berasa kayak mau dikasih surprise. Masa aku lupa ini ulang tahunku?” katanya
POV DanangAh, harusnya ketenangan sudah kugenggam ... tapi kenapa terasa masih jauh. Setelah semua yang kuminta pada anak-anak terpenuhi, juga hubungan Adam yang membaik dengan April pun dikabulkan. Aku tetap merasa ada yang berlubang dalam dasar hati.Ada apa denganku ...?Pagi-pagi, seperti biasa keluar kamar aku langsung ke dapur, berpapasan dan berbagi senyum dengan Almira. Wajah pucatnya cepat mengurai senyum lebar setelah menyadari tatapanku, kurasa senyum itu sangat dipaksakan.“Ayah mau sarapan apa, nanti tinggal bilang simbok, ya, Al buru-buru piket pagi. Kalau bahan kurang atau butuh apa bisa wa aja, pulangnya Al belikan.”Di atas rasa sedih atas rumahtangganya ia masih memikirkan keperluanku. Dia pikir aku tak tahu apa-apa. Betapa aku merasa tak berguna sebagai ayah. Kalimatnya terasa menegurku yang selama ini terlalu banyak permintaan dan kecerewetan, termasuk tentang makanan.“Ah, ayah a
“Wuaah, ini ajaib, Mama Al.” “Cakepnya, anak bule, kulit putih ambil mamanya, hidung mancung dari papanya.” “Kada nyangka, Aya, ikam kawa bisi anak lagi.” (Nggak nyangka, Aya, kamu bisa punya anak lagi) Itu sebagian kecil beragam komentar kawan-kawan saat aku lahiran, bahkan sampai sekarang. Sejak hamil sampai melahirkan mereka rutin lakukan panggilan video, ikut gemas lihat perkembangan anakku. Sekarang Rama sedang aktif-aktifnya melangkah, seperti mau cepat bisa lari. Otot kakinya sudah kuat, tak pernah terlihat jatuh lagi. Aku bersyukur atas kesehatannya ini. Dua perawat siaga, satu bertugas untuk Rama, satu untukku. Suami benar-benar memanjakan kami dengan kemampuannya. Ia melarangku terlalu lelah mengejar Rama yang sangat aktif bermain. “Biarkan yang muda aja
PoV SorayaHari di mana anak-anak memberi hadiah untukku, lukisan pemandangan yang menggetarkan hati. Sangat mengharukan, karena di situ ada kenangan dua orang yang tersimpan dalam.Pertama, tempat itu tempat Mas Danang dulu mengutarakan isi hati. Getaran cinta pertama pada lawan jenis. Kenapa bisa di sana, ya karena aku mengenalnya saat study tour kelas 2 SMA ke Jogja. Ia lebih tua 6 tahun dariku, bertemu di Borobudur langsung bilang suka dalam pandangan pertama. Jodoh menggariskan kami bertemu lagi di Palangkaraya dua tahun kemudian, lalu menikah di usiaku yang masih terbilang muda.Kedua, itu tempat kenangan bersama Mas Mahesa juga. Getaran pertama muncul makin kuat padanya, ia pernah dalam diam menungguku menikmati pemandangan bak karpet hijau terpampang di depan mata. Meski sudah tua saat itu, tapi getarku padanya sempat membuat diri
PoV Denok“Iya, iya. Kewajiban seorang mama ya memang begitu. Memastikan kalau anak-anaknya tumbuh baik.”“Termasuk harus berbohong?” Kututup mulut yang refleks bertanya.“Bohong buat kebaikan kenapa enggak?”“Ih, namanya Mama jahat sama diri sendiri.” Aku memeluk kakinya, mata hampir kembali basah.“Al, Nay, Fa, Denok … kalian dengarkan, ya. Mama ini sayang diri sendiri, sayang kalian-““Sayang Ayah?” Mama terhenti melihatku.Mengatup mulut sedikit mengangguk.“Ya, mama akui sayang ayahmu juga … 21 tahun bersama sebelum peristiwa itu bukanlah waktu sebentar. Kebaikan ayah kalian, di awal kami membangun rumah tangga