“Ayo, makan yang banyak.” Aku menyuapi Syifa yang masih pucat. Bibirnya putih dan kering. Kemarin Hb-nya sempat drop, sampai butuh transfusi sekantung darah. Awalnya aku mau memberi darah ini, tapi kondisi kelelahan membuat fisikku tak memenuhi syarat. Akhirnya pakai dari yang tersedia di rumah sakit saja.
Kami memindahkannya dirawat di rumah sakit, ini sudah hari ketiga. Alhamdulillah, hasil pemeriksaan sementara tidak ada yang serius, walaupun masih butuh pemeriksaan lanjut. Keadaannya mulai membaik. Jantungku sempat dag dig dug terus menerus melihat kondisinya kemarin, kini bisa menarik napas lega.
Mas Danang juga menyusul, ia tak tega melihat keadaan Syifa saat Nay meneleponnya via video.
Ya Rabb … keadaan kemarin terasa menampar diri. Aku tersadar saat-saat kritis itu hanya ada kekuatan lewat munajat pada-Nya. Tuhanku … satu-satunya tempat berharap saat aku takut kehilangan Syifa. Saat kondisinya terlihat sangat drop, masih terngiang bagaimana hatiku menjerit memohon Tuhan tak mengambilnya.
Aku masuk ruangan, mendadak kaku melihat Syifa terisak memeluk bapaknya. Anak-anakku begitu dekat dengan Mas Danang.
Aku menghela napas, mencari kekuatan diri sembari mendekat.
“Loh kenapa nangis, Sayang? Besok kita boleh pulang,” ujarku mengusap kepalanya. Mas Danang juga mengusap-usap punggung gadisku.
“… Ma … aku itu terus mimpi Ayah pergi dari kita ….” Air mata ini seketika mengalir, panas dan perih menjalar sampai ke dada.
Syifa lalu meraih tanganku, melepas Mas Danang lalu memeluk dadaku, hingga aku dan suami saling pandang dalam jarak dekat. Mata lelaki itu berkaca.
“Mama, Ayah jangan pernah pisah, Syifa gak mau kehilangan dua-duanya.” Aku menegang. Tak bisa menahan isak yang kemudian menyesak ke luar. Kami bertiga pun berpelukkan erat. Lalu Naya juga Al yang ada di sini ikut memeluk kami dari belakang.
“Syifa gak mau kita pisaaah, huu.”
“Ssst … jangan bicara begitu. Berdoa saja, Nak. Lihat kan mama sama ayahmu di sini.” Aku terus menenangkannya, meski hati sendiri sulit ditenangkan.
Beberapa saat suasana haru gara-gara Syifa yang jadi sensitif karena mimpinya. Aku diam-diam menelan rasa bersalah. Terpikir ingin menyerah memang terbersit di benak, saat Mas Danang menuntut hartanya. Rasa ingin cerai dan segera membagi gono-gini biar semua usai, itu yang ada di kepalaku kemarin-kemarin.
Apa syifa merasakannya sampai sakit begini?
Ya Rabb … berikan yang terbaik sesuai kekuatanku.
*
Aku bertahan di sini sampai Syifa siap ditinggal. Mas Danang lebih dulu pulang, karena telepon April hampir tiap jam, maklum ia pergi sampai lima hari. Kecurigaan di sana kalau kami berbulan madu terdengar saat Mas Danang menerima teleponnya, dan berusaha menjelaskan.
“Kami tidak ngapa-ngapain, kenapa pakai curiga gitu? Sayang, tau kan hubungan kami seperti apa …?”
“Percaya. Kamu itu gak ada duanya.”
Gombal Mas Danang padanya membuatku mual.
Tidak ada sakit untuk itu, karena memang nafsuku sudah hilang padanya. Andai bukan karena anak-anak mungkin ini sudah cepat kulepas. Rasa padanya hanya tertinggal sayang, kasihan ia yang dimabuk oleh syahwat sampai sulit melihat kekurangan April. Percaya begitu saja padahal banyak isu April punya pacar lebih muda. Ah, entahlah. Kapan mata Mas Danang terbuka.
Aku pulang setelah Syifa checkup lengkap agar diri ini tenang, syukur hasilnya semua baik-baik saja. Entah karena begitu tertekan dengan mimpinya sampai pingsan, Syifa belum juga membuka semua.
*
“Kenapa baru bilang, Laras?! Ini penting buatku!” Bagai terpukul palu besi kepala ini mendengar laporan adikku.
Saat kami di Jakarta, Denok selalu nginap di tempat April dan ada tetangga yang lihat anak itu diajak ke kafe remang-remang.
Aku tak tahan lagi untuk diam. Denok masih di sekolah dan aku sekarang akan ke rumah wanita itu! Belum juga ganti pakaian sejak dari penerbangan tadi, mobil langsung kulajukan membelah jalan sampai baru sadar dengan kecepatan penuh. Emosi ini begitu ingin meledak.
Aku menolak keras ada orang yang akan merusak pikiran putriku.
Di rumah sederhana itu tidak ada orang. Parkiran kosong dan pavingnya berlumut juga berumput di selanya, sama seperti hati pemiliknya.
Sampailah aku di toko pakaian serba seratus ribu miliknya. Ada terparkir sedan mini second yang harganya di bawah 100 juta, pengganti mobil mewahnya dulu, bersebelahan dengan mobil Mas Danang. Berarti lelaki itu ada di sini. Bagus biar tahu kelakuan istrinya. Mereka ini memang hebat, susah dan punya hutang banya tapi tetap gaya pakai mobil. Urat malunya sudah putus.
“Halo, Ce. Aku di depan ruko Galaksi. Lanjutin rencana kita, ya.”
“Beneran kamu? Baguslah. Lanjutin.”
“Oke, siap. Xie xie, Ce.”
“Sama-sama, Aya.”
Aku turun dari mobil setelah simpan ponsel ke dalam tas.
“Mana bosmu?” Aku tak melepas kacamata hitam, bertanya pada penjaga pakaian yang tengah mengganti pajangan manekin.
“Ada di belakang, Bu.”
Tanpa bertanya lagi aku langsung ke dalam. Ruang belakang ini rupanya ada sebuah pintu kaca riben, semacam ruang kantor. Aku mendorong tanpa mengetuk. Tak disangka mata langsung tertuju pada dua orang yang tengah bercint*, sambil berdiri di sudut.
Kubuang muka ke arah tembok. Bagai disengat, permukaan kulit wajah ini terasa panas.
“Kalian hewan? Begituan tapi pintunya tidak dikunci?!” Kalimat ini sulit kutahan.
Masih kuatur napas karena kaget lihat pemandangan barusan. Sangat menjijikkan.
Mereka terdiam. Aku yang masih menghadap tembok berbalik. “Bagaimana kalau Denok yang masuk ke sini?!”
Muka Mas Danang merah padam, rambut acak-acakan. Ia merapikan kemeja menutupi celana bagian depan. April yang memakai terusan di atas lutut terlihat senyum dikulum. Tidak punya malu, bangga dengan perbuatannya.
“… maaf, Dik. Aku kebetulan aja ke sini.”
“Karena kebelet sampai ninggalin tokonya ke sini?” Aku tersenyum sambil menahan badan yang gemetar. Lelaki ini benar-benar puber kedua. Ia sulit mengendalikan diri.
“April, kenapa kamu bawa Denok ke karokean Puri, hah? Kamu mau rusak otak anakku?!” geram ini memuncak, ingin kujambak rambut pirangya. Wajah itu sekarang memang makin cantik, tapi aku tak merasa jatuh di bawahnya. Sikap yang buruk lebih rendah dari apa pun.
“Itu cuma tempat nongkrong biasa kok, Kak-“
“Kak? Aku bukan kakakmu. Panggil Ibu. Bu Soraya!”
“Dik-“ Aku mengangkat telapak tangan, tanpa melihat Mas Danang. Meminta tak ikut campur. Ini urusan perempuan.
“Buatmu begitu biasa. Senang-senang, rame-rame buang uang. Goyang kepala ngikutin musik? Minum-minum, gak ada batas laki-perempuan? Buat kamu itu biasa kan?!” kutekan setiap kata biar Mas Danang mendengar jelas. “Sedangkan buat anakku yang pikirannya masih bersih, beda! Jangan pernah bawa Denok lagi, ingat itu!”
“Sudah, Dik, sudah. Mereka masih muda, butuh hiburan juga.”
“Jangan tutup matamu, Mas. Hiburan yang gimana dulu? Silakan orang ini mau jungkir balik, Mas, tapi jangan bawa-bawa Denok!”
Aku memelototi nyalang perempuan yang mengusap-usap rambutnya dengan jari. Andai jadi penjahat sudah kulenyapkan manusia tanpa malu ini.
April, kamu lupa semua jasaku sampai kamu ada di titik ini. Oh, orang sepertimu pasti tak akan paham apa itu syukur, sampai kamu merasakan sulit yang sebenarnya.
“Ruko ini bulan depan sewanya aku naikkan empat kali lipat. Jadi sisa yang sudah kamu bayar itu akan nutupi pembayaran bulan besok. Itu kalau kamu setuju, kalau tidak silakan angkat kaki.”
Ia membelalak. “Tapi ini sudah disewa setahun-“
“Dik apa maksudnya ini?” Mereka berdua menatapku dengan sorot mata sama. Kaget.
“Ruko ini milikku, atas nama Naya. Jadi sebagai ibunya aku berhak mengatur aset anakku. Tinggal kamu pilih mau bertahan atau ke luar.”
Aku tersenyum sambil melangkah keluar, hampir bertubrukan dengan seorang pemuda berwajah mirip aktor Korea. Matanya merah dan bau tak enak menguar dari tubuhnya.
Aku menahan langkah melihat apa yang terjadi.
“Beb, minta uangnya, Beb. Aku pengen, nih!”
Aku menganga, begitu pun mulut Mas Danang tadi terbungkam dengar ruko ini punyaku langsung menganga. Merah padam mukanya sembari meraih tengkuk baju pemuda itu.
“Kamu siapa, hah?! Apa-apaan ini?!”
April mundur ke pojok ruang. Wajahnya pasi seketika.
“Eh, Pak Tua, ini pacarku.” Ia menunjuk April. Muka pemuda itu terlihat dalam pengaruh obat, tatapan matanya sayu dan tidak fokus.
Pukulan mas Danang tepat mengenai pipinya membuat April terpekik. Ah, urus urusan kalian. Aku melenggang ke luar tanpa ingin ikut campur.
Teriakkan dari dalam sudah dipastikan keributan antara tiga orang itu. Aku hanya menatap pajangan pakaian yang terlihat sangat murahan. Sebentar lagi tempat ini kosong.
Mas Danang mana tahu kalau aku akrab dengan Cece Liu, pemilik lima deret ruko Galaksi. Teman yang rencanakan sandiwara ini, untuk membungkam kesombongan mereka. Dua orang itu nyicil avanza dan sedan pada teman Cece secara pribadi, tapi sering nunggak dan sulit ditagih. Sisa sewa yang masih 4 bulan tak akan dikembalikan, tapi untuk lunasi hutang mereka. Uh, kasihan sekali nasibmu, Mas, sebentar lagi tak punya roda empat yang bisa dibangga.
Bungsuku berubah.Apa itu hanya perasaanku yang sensitif? Ia menghindar kontak mata kalau kami bicara, itu pun kupaksa, sebab saat kami berpapasan selalu ada alasan Denok menghindar.“Denok ada masalah apa, Sayang? Bilang ke mama, mama pasti dengar.” Aku mengikutinya ke kamar, ia urung mau menutup pintu dan menguncinya dari dalam, seperti yang dilakukan akhir-akhir ini.Bibir kecil itu terkatup. Ia berbaring memiringkan badan membelakangiku.“Ngantuk. Capek.”Mau kuusap punggungnya tapi ditepis.“Denok … mama minta maaf kalau ada salah. Tapi mama belum tahu salahnya di mana? Coba bilang, biar mama bisa perbaiki.”“Gak ada. Aku mau tidur.” Hati ini tersayat saat buah hati memilih menyi
Mobil masuk di jalan daerah kampus Unpar, di sini area kumpulnya kos-kosan para mahasiswa. Aku bertanya pada beberapa pemuda, ternyata ada yang tahu nama Jerry anak ekonomi. Mereka menyebut cirinya, aku hanya mengiyakan berharap itu benar orangnya. Sampai lah di sini, jalan kecil aku turun. Mobil kutitip di depan rumah toko kue. Aku bertanya pada beberapa orang lagi, belum ada yang kenal. Ini memang konyol, aku begitu saja percaya omongan April, yang bisa saja membohongiku. Tapi Denok juga jelas berbohong, hapenya sekarang juga tidak bisa dihubungi. Denok … maafkan mama yang mungkin kurang memperhatikanmu. Mama terima sebesar apa pun amarahmu, asal kamu jujur. Dibohong begini rasanya mama gak sanggup. Sudah di jalan paling dalam langkahku terayun, kata pemuda yang kutanya barusan kos Jerry paling ujung sini. Ada dua kos empat pintu, posisi saling membelakangi.
Air mata sampai ke luar karena aku belum bisa berhenti ketawa. Mati juga dia! Haa.Segera kuletakkan koran begitu lihat suami datang dengan wajah super cerah.“Mas ….” Aku berdiri, mendekatinya sambil menggelayut manja, melingkari tangan di tengkuk, sun sayang tidak lupa.“Sudah lihat berita orang yang ganggu kamu itu OD?” tanyanya. Aku mengangguk bahagia.“Iya, Mas. Rasain tuh hukuman berat buat dia. Aku mana mau dekat dengannya kalau bukan diguna-gunain. Aku kan cintanya cuma sama Mas Danang ….” Makin kurapatkan badan, menariknya ke kamar rumah kami yang sekarang, ruang sedingin es selalu butuh sesuatu yang panas.Rumah baru sejak perceraian suamiku tercinta. Lihat saja, pernah semarah apa pun dia ini padaku hubungan kami pasti akan kembali membara.
“Apa?! Kecelakaan??!!”Aku berlari ke parkiran.“Di mana?!” tanyaku setengah berteriak.“Istrinya sudah ada di RSUD Doris, Pak-“Aku langsung putuskan panggilan, kantungi ponsel ke saku baju. Ya ampun, belum dua minggu mobil itu dibeli kok sudah kecelakaan segala. April, April!Aku gegas melajukan motor dari ke arah rumah sakit. Tanpa sempat tanya apa-apa, aku akan ke sana lihat kondisi istriku.Begitu sampai aku lari masuk ruang Gawat Darurat.“Di mana April?, Mana istriku?!” Aku menubruk perawat laki-laki.“April?”“Yang baru kecelakaan mobil!” Linglung, aku memutar-mutar melihat para pasien di di
Balik ke PoV Soraya, ya. “Ibu yakin mau menikahkan putrinya? Ini memang masuk batas minimum usia, tapi bukankah masih terlalu muda. Kalau tidak mendesak tunggu usia 20 atau 21 lebih baik, Bu.” Kesiapan mental Denok dipertanyakan, saat aku mendampingi mereka menyerahkan berkas ke kelurahan. Rencana keluarga dua bulan lagi akad sekaligus resepsi dilaksanakan, saat ijazah Denok keluar ia pun akan bersatus istri. “Ini termasuk kondisi mendesak, Pak. Anak-anak sudah ingin, saya berdosa kalau menghalangi.” Jerry mengiyakan, anak muda itu cukup tegas menjawab saat ditanya kesiapannya, begitu pun Denok. Aku cukup kagum pada keberanian mereka. Apalagi Jerry, hubungan kami dekat ia terbuka kalau pikirannya sering kacau, takut tidak berjodoh kalau kelamaan nunggu Denok. Ia juga serita ada mahasiswi yang cukup ekstrem
‘Mama Al, tau kah kejadian tadi malam?’ Setelah Subuh kulihat banyak chat masuk. Salah satu isinya ini, tentang Mas Danang. ‘Bapaknya Almira kelahi sama pemilik Mebel Rulli. Kayaknya salah ngomong sampai dikeroyok suami istri itu.’ 'Gimana kabar tuh si mantan? Pukulan Rulli ngeri aku lihat, Ay. Untung motornya gak dirusak.’ Agh! Rasanya mau menghindar dengar berita-berita begini. Kasihan anak-anak kena imbasnya. Di kota kecil ini apa sih yang bisa disembunyikan? Sebuah berita akan cepat menyebar, orang yang kenal kami pasti segera tahu. Mas Danang merusak nama baik sendiri, membuat malu anak-anak. Dulu mana pernah ia ribut dengan orang, ataukah … mungkin aku saja yang kurang mengenalnya. Aku beranjak, membalas seadanya pesan teman-teman
“Mama gak akan larang. Mama paham kalian khawatir sama Ayah,” ucapku sambil bantu Syifa dan Naya persiapkan pakaian. Mereka cuma bawa beberapa potong pakaian dalam ransel, sudah pesan tiket online untuk berangkat besok pagi. Tidak ada yang salah, siapa pun anak pasti khawatir lihat keadaan ayahnya begitu. Aku tetap ada bersama mereka yang terus pantau keadaan bapaknya melalui panggilan video. “Arahkan ke Ayah,” pinta Syifa pada Denok. Tampak kondisi Mas Danang masih terbaring diam, mata terpejam. Kata saudaranya ia tak bereaksi jika diajak bicara. Aku ikut merasa pilunya perasaan anak-anak ini. Hanya usapan pada pundak, atau tatapan prihatin yang bisa kubagi. Mereka terikat darah, tentu merasa cinta lebih kuat dibanding aku. Pagi. Dua roti burger isi daging dan sayur dalam wadah, kumasukkan ke dalam tas Naya. Mereka
“Ada masalah aku di sini …? Ini rumah anak, kita sama-sama berhak ….” Gemetar dan terputus-putus suara Mas Danang. Ia dipegang adiknya ternyata sudah berdiri di situ, mendengar ucapan kami tadi. Melihat itu, Denok lekas menarik kursi untuk ayahnya duduk. Namun lelaki itu tetap berdiri. Kupandangi ia dan Mbak Dina. “Aku yang punya masalah, bukan Mas Danang. Kiat bukan mahram dan aku risi kalau tinggal serumah.” “Mbak Aya, bisa kita bahas ini nanti saja, tunggu Mas Danang sehat dulu. Ini baru ke luar rumah sakit lo.” Mbak Dina menegur. “Biarkan!” Suara dan tubuh Mas Danang gemetar, tapi nadanya cukup keras. “Yang minta cerai dia, aku ajak kembali juga ditolak. Apa itu namanya mau bebas, bisa saja dia sudah punya lelaki lain!” Susah payah bicara tapi malah membuat tuduhan. Sorry, Mas! Aku mau saja ribut. Cuma kalau kulawan,
POV Soraya Setelah tertegun sejenak, suami meletakkan ponselku di atas kasur, tepat di sisinya. Aku menatap semua pergerakannya dalam diam. Sepertinya memang ada yang tak kutahu. “Dek … maaf sebelumnya kalau mas belum cerita ini.” “Ceritakan saja, Mas. Saya siap dengar,” balasku tenang. Sesakit apa yang akan ia katakan, mungkin aku kuat karena pernah mengalaminya dulu. “Sebenarnya ini sudah lama. Mas mengenalnya sudah dua tahun belakangan. Hanya dia baru bilang suka beberapa bulan lalu.” Aku coba mengatur napas, untuk melonggarkan dada yang terasa nyeri dan sesak. Akankah ini terulang seperti Mas Danang dulu lakukan …? Tidak. Jangan ya, Rabb …! “Dia usia 40 tahun, belum menikah. Dan … bilang jatuh cinta pada mas.” Mas Mahesa mengambil tanganku, menggenggamnya erat. “Maafkan mas …” kalimatnya yang menggantung membuatku terpukul. Bayangan pengakuan Mas Danang dan April saat itu mengitari pikiran, menghantuiku. “Mas pernah
“Tante, apa kabar?”Aku yang mendapat sapaan itu langsung menoleh, seseorang perempuan berhijab panjang, dengan masker putih hingga yang terlihat hanya matanya.“Alhamdulillah, baik. Apa kabar juga,” balasku, tersenyum sambil mengingat-ngingat dia siapa.Seperti paham, ia menurunkan maskernya. Perempuan berwajah tirus dengan hidung lancip dan sedikit parut luka kecil di dekat hidung. Meski begitu dia tampak cantik.“Alhamdulillah baik juga, Tan. Saya … April,” ucapnya sambil meraih dan menyalim tanganku.“April?” Segera kubuka tangan memeluk tubuhnya. Sudah lumayan lama kami tak bertemu. “Senang bertemu kamu lagi.”Aku memang pernah dengar dia sakit, dan setelah sehat aku kemudian tak tahu lagi bagaimana hidupnya, hingga bisa bertemu di sini sekarang.April tampak jauh lebih baik.“Saya juga senang ketemu Tante.” Suaranya yang masih khas, tetapi kini
POV Danang“Saya minta maaf ... sangat mohon dimaafkan Al ... keluarga Mama, Papi, dan keluarga Ayah. Saya sudah terlalu jauh melangkah ... ini kesalahan besar yang sudah saya lakukan. Saya ... sudah menyakiti semua orang, terutama Almira.”Angger bicara begitu di malam harinya, saat kami sudah pulang dan berkumpul di rumah, kecuali Naya yang tetap tinggal di rumah besan.Semua kompak tinggal di rumah yang dulu Soraya beli saat anak-anak kuliah, dan sudah direnovasi berlantai tiga ini. Kami tidak ada yang menyewa hotel. Tempat ini lebih dari cukup untuk menikmati kebersamaan luar biasa, yang amat langka terjadi. Meski kami sudah bukan suami istri, Soraya tampak tak canggung menganggapku sebagai bagian dari keluarga.“Kami mendukungmu, Nak Angger. Keputusan apa pun memang hanya kalian berdua yang menjalani. Jika berdua sama-sama ingin bertahan, berjuanglah. Kami akan mendukung selama itu ke arah yang baik. Kami salut kamu be
Malam ini aku, Mas Mahesa juga Rama ngumpul di ruang tengah, kita baru selesai videocall dengan putri Mas Mahesa yang tinggal di Belanda. Rama dengan Bahasa Inggrisnya tadi amat fasih bicara dengan ponakan dan saudara lain di sana. Kontak kami memang sebatas video call, setelah tiga kali pertemuan secara langsung dengan gadis berwajah khas India itusangat ramah dan baik padaku, yang dipanggil Mami olehnya. “Kapan kita liburan ke Belanda?” Mas Mahesa bertanya. “Kalau liburan panjang bisa, Mas, sebelum Rama masuk SD, gimana?” “Bisa. Gimana, Dek Rama mau kita ketemu sama Mark dan Loui?” “Mau, Pi. Mau banget. Biar naik sepeda bareng.” Aku pun setujui kami akan liburan tiga bulan lagi. Selama fisik masih kuat ke manapun diajak suami oke aja. Beberapa tempat wisata di Indonesia sudah Mas Mahesa ajak. Ia termasuk laki-laki yang suka travelling, dan aku pun merasa ketularan. Masa tua kami isi sosial juga menjalin silaturahmi dengan ana
PoV Soraya“Pakabar Mama?” Pelukan dan cium pipi kiri kanan saat aku bertemu Almira di restoran.“Alhamdulillah, mama sehat. Kamu gimana, Sayang?”“Alhamdulillah, Ma.” Almira membuka tangan mengisyaratkan aku melihat kalau ia baik-baik saja.Aku tersenyum lega. “Kita ke ruang sana, yuk.” Tangan Al kemudian kugamit, kami mengikuti seorang waiters yang mengantarkan ke ruang pesananku.“Mama sempet nunggu, kah tadi?”“Enggak, kok, Al, papimu barusan aja pergi.”“Jadi beneran kita berdua aja nih?” Wajahnya sedikit heran melihat kami menyusuri lorong yang diapit susunan batu alam.“Skali-kali mama ngedate sama kamu, ya ‘kan?” godaku.“Aih, Mama. Tapi kok bikin deg-deg’an ya. Kita kemana? Kok, berasa kayak mau dikasih surprise. Masa aku lupa ini ulang tahunku?” katanya
POV DanangAh, harusnya ketenangan sudah kugenggam ... tapi kenapa terasa masih jauh. Setelah semua yang kuminta pada anak-anak terpenuhi, juga hubungan Adam yang membaik dengan April pun dikabulkan. Aku tetap merasa ada yang berlubang dalam dasar hati.Ada apa denganku ...?Pagi-pagi, seperti biasa keluar kamar aku langsung ke dapur, berpapasan dan berbagi senyum dengan Almira. Wajah pucatnya cepat mengurai senyum lebar setelah menyadari tatapanku, kurasa senyum itu sangat dipaksakan.“Ayah mau sarapan apa, nanti tinggal bilang simbok, ya, Al buru-buru piket pagi. Kalau bahan kurang atau butuh apa bisa wa aja, pulangnya Al belikan.”Di atas rasa sedih atas rumahtangganya ia masih memikirkan keperluanku. Dia pikir aku tak tahu apa-apa. Betapa aku merasa tak berguna sebagai ayah. Kalimatnya terasa menegurku yang selama ini terlalu banyak permintaan dan kecerewetan, termasuk tentang makanan.“Ah, ayah a
“Wuaah, ini ajaib, Mama Al.” “Cakepnya, anak bule, kulit putih ambil mamanya, hidung mancung dari papanya.” “Kada nyangka, Aya, ikam kawa bisi anak lagi.” (Nggak nyangka, Aya, kamu bisa punya anak lagi) Itu sebagian kecil beragam komentar kawan-kawan saat aku lahiran, bahkan sampai sekarang. Sejak hamil sampai melahirkan mereka rutin lakukan panggilan video, ikut gemas lihat perkembangan anakku. Sekarang Rama sedang aktif-aktifnya melangkah, seperti mau cepat bisa lari. Otot kakinya sudah kuat, tak pernah terlihat jatuh lagi. Aku bersyukur atas kesehatannya ini. Dua perawat siaga, satu bertugas untuk Rama, satu untukku. Suami benar-benar memanjakan kami dengan kemampuannya. Ia melarangku terlalu lelah mengejar Rama yang sangat aktif bermain. “Biarkan yang muda aja
PoV SorayaHari di mana anak-anak memberi hadiah untukku, lukisan pemandangan yang menggetarkan hati. Sangat mengharukan, karena di situ ada kenangan dua orang yang tersimpan dalam.Pertama, tempat itu tempat Mas Danang dulu mengutarakan isi hati. Getaran cinta pertama pada lawan jenis. Kenapa bisa di sana, ya karena aku mengenalnya saat study tour kelas 2 SMA ke Jogja. Ia lebih tua 6 tahun dariku, bertemu di Borobudur langsung bilang suka dalam pandangan pertama. Jodoh menggariskan kami bertemu lagi di Palangkaraya dua tahun kemudian, lalu menikah di usiaku yang masih terbilang muda.Kedua, itu tempat kenangan bersama Mas Mahesa juga. Getaran pertama muncul makin kuat padanya, ia pernah dalam diam menungguku menikmati pemandangan bak karpet hijau terpampang di depan mata. Meski sudah tua saat itu, tapi getarku padanya sempat membuat diri
PoV Denok“Iya, iya. Kewajiban seorang mama ya memang begitu. Memastikan kalau anak-anaknya tumbuh baik.”“Termasuk harus berbohong?” Kututup mulut yang refleks bertanya.“Bohong buat kebaikan kenapa enggak?”“Ih, namanya Mama jahat sama diri sendiri.” Aku memeluk kakinya, mata hampir kembali basah.“Al, Nay, Fa, Denok … kalian dengarkan, ya. Mama ini sayang diri sendiri, sayang kalian-““Sayang Ayah?” Mama terhenti melihatku.Mengatup mulut sedikit mengangguk.“Ya, mama akui sayang ayahmu juga … 21 tahun bersama sebelum peristiwa itu bukanlah waktu sebentar. Kebaikan ayah kalian, di awal kami membangun rumah tangga