Ia menegakkan badan mukanya mendekat dengan mata tajam. “Sudah lama kubiarkan keuangan kamu kuasai, Soraya. Kamu pikir aku bodoh. Dari awal menikahi April aku banting tulang sendiri!”
Wah, wah rupanya ia selalu memikirkan bagiannya dalam pekerjaanku. Ke sini ku kira baik-baik saja, tapi ternyata menyimpan bara yang masih merah.
Aku bangkit. “Kita bicara di kamar, Mas!”
“Di sini saja. Denok akan paham, biar tahu ibunya itu seperti apa!’
Astagfirrullah ….
Aku kembali duduk.
“Kita perlu membagi harta yang ada, aku punya keluarga tang harus kunafkahi, Aya. Keperluan pribadiku. Mana hasil dari pabrik yang sekarang makin laku? Mana bagianku? Selama ini aku diam tanpa mau tanya, berharap kamu sadar ada hakku di sana. Tapi memang kamu gila harta. Semua dimakan sendiri. Keadaanku sulit seolah kamu tutup mata. Apa itu istri yang baik, hah?”
Terperanjat aku mendengar ini, semua isi hatinya seperti muntah begitu saja ke mukaku.
“Apa Mas ini kesulitan keuangan lagi? Bukannya sudah punya toko, lalu kurang apa? Bagus dong kalian bisa merintis usaha yang hebat. Masih bisa naik mobil. Gak kayak kita dulu di awal yang harus ngikat pinggang nahan lapar.”
“April tanya bagianku dari harta bersama ki-”
Ia terlihat keceplosan sebab segera terdiam. Aku tertawa geli, sampai mata ini berair.
“Jadi Mas begini karena ditekan istri muda itu? Baru tau aku seorang Danang takut istri rupanya.” Lagi tawa berusaha kutahan. “Itu milik anak-anak, Mas, bukan milik kita. Semua sudah kualihkan atas nama anak-anak. Kalau April punya anak mungkin akan kumasukkan juga.”
Mukanya merah padam, tampak rahangnya mengeras.
“Ingat malu, Mas Danang. Jangan buat anak-anak putus sekolah gara-gara sikapmu. Menyesal gak akan bisa mengulang semua," lanjutku.
“Tapi aku punya keluarga yang harus kubiayai, Aya.”
Gemetar jemariku mengepal.
“Keluarga? Keluarga mana yang butuh biaya banyak? Keluargamu di sini sudah kupenuhi semua, Mas, yang harusnya jadi tanggung jawabmu. Harus Mas tau kami tidak kekurangan, aku gak pernah ngemis uang, kan? Hanya minta waktu Mas Danang perhatikan anak-anak, itu saja.”
Ia memukul meja keras, menyentak jantungku langsung berdegup kencang. Lalu tanpa salam ke luar pintu. Aku terhenyak di tempat duduk, dengan mata menatap nanar punggung itu sampai naik mobil.
Kamu bilang sulit tapi masih naik avanza, Mas. Apa itu hasil hutang lagi?
Ah, kenapa perasaanku terasa lelah.
*
Mas Danang memang labil. Setelah marah hari itu ia terus menghubungi untuk meminta maaf, lalu datang dan janji tidak akan bicara atau bersikap kasar lagi. Ia katakan terbawa emosi akibat tertekan. Walau tak kutanggapi ia membuktikan ucapannya dengan bersikap manis, saat kami sama-sama menghadiri wisuda Almira.
Sejak awal menikah kami memang sangat akur, tak pernah ada pertengkaran hebat. Seperti yang kubilang di awal, ada masalah kami selalu bicara berbisik agar anak-anak tak mendengar. Kondisi selalu dibuat nyaman, meski terkadang membohongi diri sendiri, sebab saat marah tetap harus berpura baik-baik di depan anak. Itu yang membuat kami dikagumi mereka.
Naya pernah nyeletuk kalau ingin suami seperti sosok ayahnya, dan ia ingin menjadi istri sepertiku kelak, diamini Almira dan Syifa yang sepertinya sepemikiran. Ah, mungkin mereka kira kami pasangan sempurna, padahal hubungan ini telah amat hambar, pasca menikah lagi kami belum ‘berhubungan’, karena selain aku belum siap, ia juga terlihat tak berselera lagi padaku. Itu tidak masalah, sebab aku masih merasa jijik.
Bagai keluarga bahagia kami merayakan keberhasilan Almira berenam, Denok pun izin sekolah. Kami tak lupa mengunjungi seaworld, lalu esoknya lagi ke Taman Mini, dan hari berikut ke wisata Kota Tua.
Para putriku yang punya tubuh tinggi melebihi aku ini, begitu bersemangat ambil foto-foto kebersamaan kami.
“Buat kenang-kenangan, kapan lagi kita liburan,” kata Naya mengingat terakhir kami libur sekeluarga saat ia masih SMP.
Hari ketiga Mas Danang mulai gelisah.
“Iya sabar, besok juga pulang.” Ia menenangkan istrinya yang merengek di kejauhan.
“Sabaar, mana bisa langsung pulang. Anak-anak ngajak jalan-jalan dulu.” Suaranya berbisik-bisik menerima telepon di teras.
April sepertinya tak rela, mungkin karena Mas Danang semringah pasang status WA, foto berlatar aquarium raksasa di Seaworld, padahal hanya bersama putri-putrinya apalagi kalau ada aku.
Bisa kulihat tawanya selalu lepas, meladeni anak-anak yang kadang manja padanya. Ada momen paling menyentuh hati, saat kami diajak Naya foto box di sebuah Mall. Kami berdua di tengah diapit anak-anak sambil dirangkul erat, membuat pipiku dan Mas Danang menempel, diancam mereka harus bergaya wajah jelek juga. Haa. Tawa hadir bersamaan dengan rasa teriris di sebelah hatiku.
Membuncah rasa ingin tahu, apakah bahagia di wajah Mas Danang itu topeng, ataukah dari lubuk hatinya terdalam. Entah, apa aku masih boleh mengetahuinya.
*
“Mama Almira maaf nih sebelumnya, aku cuma mau tanya …” Seorang istri temanku juga teman Mas Danang, terlihat ragu menyampaikan maksud kedatangannya ke rumah.
“Tanya apa, Mama Sari? Katakan aja aku gak akan apa-apa.”
“Ini mengenai bapaknya Almira.” Begitu sebagian terbiasa menyebut kami, karena ini orang tua teman Syifa saat sekolah SD dulu. Ia mulai menjelaskan tentang utang piutang Mas Danang dan April.
“… kalau dibungakan makin membengkak, sesuai perjanjian nambah persennya tiap bulan, ini sudah enam bulan belum juga dicicil, padahal kami sedang butuh.”
Aku sudah tak kaget. Ini orang kedua yang datang dan berkata demikian.
“Kayaknya salah alamat kalau tanya ke aku. Mas Danang tidak bilang apa-apa dan aku sama sekali gak tahu urusan ini. Andai ikut tanda tangan mungkin aku bisa bantu.”
“Iya sih, tapi tanya sama si April itu juga bilang gak tanggung jawab. Jadi aku ke mana ini?”
“Loh kata Mas Danang gimana? Coba deh langsung ke orangnya. Emang berapa pinjamannya?”
“Seratus lima puluh juta pokoknya, belum masuk persenan. Itu dulu buat modal jual pakaian katanya.”
“Oh, mungkin buat isi tokonya si April, coba saja ke sana.”
Mamanya Sari berulang-ulang minta maaf kalau membuatku tersinggung. Ia memang orang baik, menagih dengan cara super sopan. Ternyata hutang Mas Danang makin menjamur. Mungkin aku perlu pikirkan lagi mengenai langkah selanjutnya, mengenai harta gono gini yang pernah ia ungkit itu, supaya tak ikut mengganggu pikiran lagi.
*
“Ma, Kak April minta Denok nginap di sana.”
Aku mengerut kening. Kenapa Denok baru bilang saat sudah mau berangkat begini? Biasanya ia izin dulu baru siap-siap.
“Kok sudah mau berangkat aja, kan mama belum bilang iya?” Kupegang lengannya yang tengah memasang tas selempang, sepertinya berisi pakaian.
Denok menghindar tatapanku. Klakson bunyi dari depan rumah.
“Dah, Ma. Aku sudah dijemput.”
Ia cepat menyalim tanganku lalu setengah berlari ke luar. Mobil avanza Mas Danang.
Denok sama bapaknya, tapi kenapa perasaanku tidak enak?
Aku mau telepon Mas Danang, urung bertepatan Naya menelepon via video call.
Kugeser layar hijau. Langsung terlihat ada Syifa terbaring lemah di dipan.
Belum sempat ucap salam aku keburu kaget lihat ruangan di belakang.
“Syifa kenapa, Kak Nay?”
“Sakit, Ma. Tadi pingsan. Kak Al masih piket di rumah sakit, ini di klinik dekat rumah aja.”
“Coba arahkan ke adiknya.” Aku menegang melihat Syifa lemah, ia meneleng ke layar ponsel, bibirnya terlihat putih pucat.
“Ya Allah … apa kata dokter?”
“Masih nunggu pemeriksaan. Tensinya rendah banget, kepala sakit.”
Ah, anakku itu pasti kelelahan. Mata Syifa sayu menatapku, seakan meminta diri segera ada di sisinya.
“Kak Almira pulang jam berapa?”
“Piketnya sampai nanti malam, Ma.” Almira tengah koas di rumah sakit yang letaknya cukup jauh dari rumah. “Tadi Nay terpaksa absen, gak ada yang jaga Syifa ….”
“Iya, iya, Sayang. Mama akan cari tiket segera ke situ, ya.”
Begitu menutup telepon aku langsung hubungi penjual tiket langganan. Alhamdulillah dapat seat penerbangan GA553 pukul 17.30 nanti. Masih tiga jam setengah lagi.
Aku lekas menghubungi orang kepercayaan di pabrik, sambil menuju toko kayu kami yang letaknya masih dalam kota. Mengarahkan mereka akan apa yang belum dan akan dilakukan, kemudian sisanya bisa aku pantau lewat telepon. Keadaan Syifa lebih kuutamakan.
Tak lupa dua saudariku Widi dan Laras, kuminta bawa anak-anak nginap dan jaga rumah, menemani Denok. Hanya kami bertiga saudara yang tinggal sekota. Dua saudaraku lain di luar kota, juga ibu yang sudah sepuh tinggal bersama kakak tertua, jarak tempuh 5 jam dari sini.
Untuk masalah rumah tanggaku Ibu sama sekali tidak tahu sampai sekarang. Walau beberapa kali ke sana hanya sebatas melepas kangen dan ngobrol ringan. Ibu pernah stroke, dan kami sepakat membagi hal-hal yang menyenangkan saja padanya.
“Mama pergi dadakan?” Denok baru tahu karena ia tadi les, dan ini melihatku bersiap berangkat.
“Iya, kak Syifa butuh Mama, Nok. Gak apa kan sama tante Laras dan tante Wid dulu?”
Ia mengangguk patuh. Kuusap kepala yang selalu harum bunga itu, mengecup pucuknya sebelum berangkat. Pak Sam supir pabrik bersiap mengantar ke bandara.
“Kalau Kak April mau ke sini boleh gak, Ma?” Pertanyaannya menahan langkahku, aku berbalik menatapnya lekat.
“Ke sini? Memang dia mau ke sini? Mau apa, Denok? Gak usah ya.”
“Kenapa? Dulukan Kak April tinggal di sini juga. Kasihan, Ma rumahnya AC kurang dingin. Panas.”
Tenggorokkanku terasa disumpal batu. Sudah kepala kalut ditambah urusan April juga.
“Sayang, dia itu biasa di kampung, jangankan AC, kipas angin aja dulu dia muntah-muntah masuk angin. Pokoknya nurut sama mama, ya?”
Denok mengangkat jari telunjuk dan jari tengah membentuk V.
Ah, lama-lama dekat dengan perempuan itu anakku malah membelanya. Tak apa, ini akan sebentar saja, setelah Denok lulus ia juga akan nyusul kakak-kakaknya, itu rencanaku.
“Ayo, makan yang banyak.” Aku menyuapi Syifa yang masih pucat. Bibirnya putih dan kering. Kemarin Hb-nya sempat drop, sampai butuh transfusi sekantung darah. Awalnya aku mau memberi darah ini, tapi kondisi kelelahan membuat fisikku tak memenuhi syarat. Akhirnya pakai dari yang tersedia di rumah sakit saja. Kami memindahkannya dirawat di rumah sakit, ini sudah hari ketiga. Alhamdulillah, hasil pemeriksaan sementara tidak ada yang serius, walaupun masih butuh pemeriksaan lanjut. Keadaannya mulai membaik. Jantungku sempat dag dig dug terus menerus melihat kondisinya kemarin, kini bisa menarik napas lega. Mas Danang juga menyusul, ia tak tega melihat keadaan Syifa saat Nay meneleponnya via video. Ya Rabb … keadaan kemarin terasa menampar diri. Aku tersadar saat-saat kritis itu hanya ada kekuatan lewat munajat pada-Nya. Tuhanku … satu-satunya tempat berharap s
Bungsuku berubah.Apa itu hanya perasaanku yang sensitif? Ia menghindar kontak mata kalau kami bicara, itu pun kupaksa, sebab saat kami berpapasan selalu ada alasan Denok menghindar.“Denok ada masalah apa, Sayang? Bilang ke mama, mama pasti dengar.” Aku mengikutinya ke kamar, ia urung mau menutup pintu dan menguncinya dari dalam, seperti yang dilakukan akhir-akhir ini.Bibir kecil itu terkatup. Ia berbaring memiringkan badan membelakangiku.“Ngantuk. Capek.”Mau kuusap punggungnya tapi ditepis.“Denok … mama minta maaf kalau ada salah. Tapi mama belum tahu salahnya di mana? Coba bilang, biar mama bisa perbaiki.”“Gak ada. Aku mau tidur.” Hati ini tersayat saat buah hati memilih menyi
Mobil masuk di jalan daerah kampus Unpar, di sini area kumpulnya kos-kosan para mahasiswa. Aku bertanya pada beberapa pemuda, ternyata ada yang tahu nama Jerry anak ekonomi. Mereka menyebut cirinya, aku hanya mengiyakan berharap itu benar orangnya. Sampai lah di sini, jalan kecil aku turun. Mobil kutitip di depan rumah toko kue. Aku bertanya pada beberapa orang lagi, belum ada yang kenal. Ini memang konyol, aku begitu saja percaya omongan April, yang bisa saja membohongiku. Tapi Denok juga jelas berbohong, hapenya sekarang juga tidak bisa dihubungi. Denok … maafkan mama yang mungkin kurang memperhatikanmu. Mama terima sebesar apa pun amarahmu, asal kamu jujur. Dibohong begini rasanya mama gak sanggup. Sudah di jalan paling dalam langkahku terayun, kata pemuda yang kutanya barusan kos Jerry paling ujung sini. Ada dua kos empat pintu, posisi saling membelakangi.
Air mata sampai ke luar karena aku belum bisa berhenti ketawa. Mati juga dia! Haa.Segera kuletakkan koran begitu lihat suami datang dengan wajah super cerah.“Mas ….” Aku berdiri, mendekatinya sambil menggelayut manja, melingkari tangan di tengkuk, sun sayang tidak lupa.“Sudah lihat berita orang yang ganggu kamu itu OD?” tanyanya. Aku mengangguk bahagia.“Iya, Mas. Rasain tuh hukuman berat buat dia. Aku mana mau dekat dengannya kalau bukan diguna-gunain. Aku kan cintanya cuma sama Mas Danang ….” Makin kurapatkan badan, menariknya ke kamar rumah kami yang sekarang, ruang sedingin es selalu butuh sesuatu yang panas.Rumah baru sejak perceraian suamiku tercinta. Lihat saja, pernah semarah apa pun dia ini padaku hubungan kami pasti akan kembali membara.
“Apa?! Kecelakaan??!!”Aku berlari ke parkiran.“Di mana?!” tanyaku setengah berteriak.“Istrinya sudah ada di RSUD Doris, Pak-“Aku langsung putuskan panggilan, kantungi ponsel ke saku baju. Ya ampun, belum dua minggu mobil itu dibeli kok sudah kecelakaan segala. April, April!Aku gegas melajukan motor dari ke arah rumah sakit. Tanpa sempat tanya apa-apa, aku akan ke sana lihat kondisi istriku.Begitu sampai aku lari masuk ruang Gawat Darurat.“Di mana April?, Mana istriku?!” Aku menubruk perawat laki-laki.“April?”“Yang baru kecelakaan mobil!” Linglung, aku memutar-mutar melihat para pasien di di
Balik ke PoV Soraya, ya. “Ibu yakin mau menikahkan putrinya? Ini memang masuk batas minimum usia, tapi bukankah masih terlalu muda. Kalau tidak mendesak tunggu usia 20 atau 21 lebih baik, Bu.” Kesiapan mental Denok dipertanyakan, saat aku mendampingi mereka menyerahkan berkas ke kelurahan. Rencana keluarga dua bulan lagi akad sekaligus resepsi dilaksanakan, saat ijazah Denok keluar ia pun akan bersatus istri. “Ini termasuk kondisi mendesak, Pak. Anak-anak sudah ingin, saya berdosa kalau menghalangi.” Jerry mengiyakan, anak muda itu cukup tegas menjawab saat ditanya kesiapannya, begitu pun Denok. Aku cukup kagum pada keberanian mereka. Apalagi Jerry, hubungan kami dekat ia terbuka kalau pikirannya sering kacau, takut tidak berjodoh kalau kelamaan nunggu Denok. Ia juga serita ada mahasiswi yang cukup ekstrem
‘Mama Al, tau kah kejadian tadi malam?’ Setelah Subuh kulihat banyak chat masuk. Salah satu isinya ini, tentang Mas Danang. ‘Bapaknya Almira kelahi sama pemilik Mebel Rulli. Kayaknya salah ngomong sampai dikeroyok suami istri itu.’ 'Gimana kabar tuh si mantan? Pukulan Rulli ngeri aku lihat, Ay. Untung motornya gak dirusak.’ Agh! Rasanya mau menghindar dengar berita-berita begini. Kasihan anak-anak kena imbasnya. Di kota kecil ini apa sih yang bisa disembunyikan? Sebuah berita akan cepat menyebar, orang yang kenal kami pasti segera tahu. Mas Danang merusak nama baik sendiri, membuat malu anak-anak. Dulu mana pernah ia ribut dengan orang, ataukah … mungkin aku saja yang kurang mengenalnya. Aku beranjak, membalas seadanya pesan teman-teman
“Mama gak akan larang. Mama paham kalian khawatir sama Ayah,” ucapku sambil bantu Syifa dan Naya persiapkan pakaian. Mereka cuma bawa beberapa potong pakaian dalam ransel, sudah pesan tiket online untuk berangkat besok pagi. Tidak ada yang salah, siapa pun anak pasti khawatir lihat keadaan ayahnya begitu. Aku tetap ada bersama mereka yang terus pantau keadaan bapaknya melalui panggilan video. “Arahkan ke Ayah,” pinta Syifa pada Denok. Tampak kondisi Mas Danang masih terbaring diam, mata terpejam. Kata saudaranya ia tak bereaksi jika diajak bicara. Aku ikut merasa pilunya perasaan anak-anak ini. Hanya usapan pada pundak, atau tatapan prihatin yang bisa kubagi. Mereka terikat darah, tentu merasa cinta lebih kuat dibanding aku. Pagi. Dua roti burger isi daging dan sayur dalam wadah, kumasukkan ke dalam tas Naya. Mereka
POV Soraya Setelah tertegun sejenak, suami meletakkan ponselku di atas kasur, tepat di sisinya. Aku menatap semua pergerakannya dalam diam. Sepertinya memang ada yang tak kutahu. “Dek … maaf sebelumnya kalau mas belum cerita ini.” “Ceritakan saja, Mas. Saya siap dengar,” balasku tenang. Sesakit apa yang akan ia katakan, mungkin aku kuat karena pernah mengalaminya dulu. “Sebenarnya ini sudah lama. Mas mengenalnya sudah dua tahun belakangan. Hanya dia baru bilang suka beberapa bulan lalu.” Aku coba mengatur napas, untuk melonggarkan dada yang terasa nyeri dan sesak. Akankah ini terulang seperti Mas Danang dulu lakukan …? Tidak. Jangan ya, Rabb …! “Dia usia 40 tahun, belum menikah. Dan … bilang jatuh cinta pada mas.” Mas Mahesa mengambil tanganku, menggenggamnya erat. “Maafkan mas …” kalimatnya yang menggantung membuatku terpukul. Bayangan pengakuan Mas Danang dan April saat itu mengitari pikiran, menghantuiku. “Mas pernah
“Tante, apa kabar?”Aku yang mendapat sapaan itu langsung menoleh, seseorang perempuan berhijab panjang, dengan masker putih hingga yang terlihat hanya matanya.“Alhamdulillah, baik. Apa kabar juga,” balasku, tersenyum sambil mengingat-ngingat dia siapa.Seperti paham, ia menurunkan maskernya. Perempuan berwajah tirus dengan hidung lancip dan sedikit parut luka kecil di dekat hidung. Meski begitu dia tampak cantik.“Alhamdulillah baik juga, Tan. Saya … April,” ucapnya sambil meraih dan menyalim tanganku.“April?” Segera kubuka tangan memeluk tubuhnya. Sudah lumayan lama kami tak bertemu. “Senang bertemu kamu lagi.”Aku memang pernah dengar dia sakit, dan setelah sehat aku kemudian tak tahu lagi bagaimana hidupnya, hingga bisa bertemu di sini sekarang.April tampak jauh lebih baik.“Saya juga senang ketemu Tante.” Suaranya yang masih khas, tetapi kini
POV Danang“Saya minta maaf ... sangat mohon dimaafkan Al ... keluarga Mama, Papi, dan keluarga Ayah. Saya sudah terlalu jauh melangkah ... ini kesalahan besar yang sudah saya lakukan. Saya ... sudah menyakiti semua orang, terutama Almira.”Angger bicara begitu di malam harinya, saat kami sudah pulang dan berkumpul di rumah, kecuali Naya yang tetap tinggal di rumah besan.Semua kompak tinggal di rumah yang dulu Soraya beli saat anak-anak kuliah, dan sudah direnovasi berlantai tiga ini. Kami tidak ada yang menyewa hotel. Tempat ini lebih dari cukup untuk menikmati kebersamaan luar biasa, yang amat langka terjadi. Meski kami sudah bukan suami istri, Soraya tampak tak canggung menganggapku sebagai bagian dari keluarga.“Kami mendukungmu, Nak Angger. Keputusan apa pun memang hanya kalian berdua yang menjalani. Jika berdua sama-sama ingin bertahan, berjuanglah. Kami akan mendukung selama itu ke arah yang baik. Kami salut kamu be
Malam ini aku, Mas Mahesa juga Rama ngumpul di ruang tengah, kita baru selesai videocall dengan putri Mas Mahesa yang tinggal di Belanda. Rama dengan Bahasa Inggrisnya tadi amat fasih bicara dengan ponakan dan saudara lain di sana. Kontak kami memang sebatas video call, setelah tiga kali pertemuan secara langsung dengan gadis berwajah khas India itusangat ramah dan baik padaku, yang dipanggil Mami olehnya. “Kapan kita liburan ke Belanda?” Mas Mahesa bertanya. “Kalau liburan panjang bisa, Mas, sebelum Rama masuk SD, gimana?” “Bisa. Gimana, Dek Rama mau kita ketemu sama Mark dan Loui?” “Mau, Pi. Mau banget. Biar naik sepeda bareng.” Aku pun setujui kami akan liburan tiga bulan lagi. Selama fisik masih kuat ke manapun diajak suami oke aja. Beberapa tempat wisata di Indonesia sudah Mas Mahesa ajak. Ia termasuk laki-laki yang suka travelling, dan aku pun merasa ketularan. Masa tua kami isi sosial juga menjalin silaturahmi dengan ana
PoV Soraya“Pakabar Mama?” Pelukan dan cium pipi kiri kanan saat aku bertemu Almira di restoran.“Alhamdulillah, mama sehat. Kamu gimana, Sayang?”“Alhamdulillah, Ma.” Almira membuka tangan mengisyaratkan aku melihat kalau ia baik-baik saja.Aku tersenyum lega. “Kita ke ruang sana, yuk.” Tangan Al kemudian kugamit, kami mengikuti seorang waiters yang mengantarkan ke ruang pesananku.“Mama sempet nunggu, kah tadi?”“Enggak, kok, Al, papimu barusan aja pergi.”“Jadi beneran kita berdua aja nih?” Wajahnya sedikit heran melihat kami menyusuri lorong yang diapit susunan batu alam.“Skali-kali mama ngedate sama kamu, ya ‘kan?” godaku.“Aih, Mama. Tapi kok bikin deg-deg’an ya. Kita kemana? Kok, berasa kayak mau dikasih surprise. Masa aku lupa ini ulang tahunku?” katanya
POV DanangAh, harusnya ketenangan sudah kugenggam ... tapi kenapa terasa masih jauh. Setelah semua yang kuminta pada anak-anak terpenuhi, juga hubungan Adam yang membaik dengan April pun dikabulkan. Aku tetap merasa ada yang berlubang dalam dasar hati.Ada apa denganku ...?Pagi-pagi, seperti biasa keluar kamar aku langsung ke dapur, berpapasan dan berbagi senyum dengan Almira. Wajah pucatnya cepat mengurai senyum lebar setelah menyadari tatapanku, kurasa senyum itu sangat dipaksakan.“Ayah mau sarapan apa, nanti tinggal bilang simbok, ya, Al buru-buru piket pagi. Kalau bahan kurang atau butuh apa bisa wa aja, pulangnya Al belikan.”Di atas rasa sedih atas rumahtangganya ia masih memikirkan keperluanku. Dia pikir aku tak tahu apa-apa. Betapa aku merasa tak berguna sebagai ayah. Kalimatnya terasa menegurku yang selama ini terlalu banyak permintaan dan kecerewetan, termasuk tentang makanan.“Ah, ayah a
“Wuaah, ini ajaib, Mama Al.” “Cakepnya, anak bule, kulit putih ambil mamanya, hidung mancung dari papanya.” “Kada nyangka, Aya, ikam kawa bisi anak lagi.” (Nggak nyangka, Aya, kamu bisa punya anak lagi) Itu sebagian kecil beragam komentar kawan-kawan saat aku lahiran, bahkan sampai sekarang. Sejak hamil sampai melahirkan mereka rutin lakukan panggilan video, ikut gemas lihat perkembangan anakku. Sekarang Rama sedang aktif-aktifnya melangkah, seperti mau cepat bisa lari. Otot kakinya sudah kuat, tak pernah terlihat jatuh lagi. Aku bersyukur atas kesehatannya ini. Dua perawat siaga, satu bertugas untuk Rama, satu untukku. Suami benar-benar memanjakan kami dengan kemampuannya. Ia melarangku terlalu lelah mengejar Rama yang sangat aktif bermain. “Biarkan yang muda aja
PoV SorayaHari di mana anak-anak memberi hadiah untukku, lukisan pemandangan yang menggetarkan hati. Sangat mengharukan, karena di situ ada kenangan dua orang yang tersimpan dalam.Pertama, tempat itu tempat Mas Danang dulu mengutarakan isi hati. Getaran cinta pertama pada lawan jenis. Kenapa bisa di sana, ya karena aku mengenalnya saat study tour kelas 2 SMA ke Jogja. Ia lebih tua 6 tahun dariku, bertemu di Borobudur langsung bilang suka dalam pandangan pertama. Jodoh menggariskan kami bertemu lagi di Palangkaraya dua tahun kemudian, lalu menikah di usiaku yang masih terbilang muda.Kedua, itu tempat kenangan bersama Mas Mahesa juga. Getaran pertama muncul makin kuat padanya, ia pernah dalam diam menungguku menikmati pemandangan bak karpet hijau terpampang di depan mata. Meski sudah tua saat itu, tapi getarku padanya sempat membuat diri
PoV Denok“Iya, iya. Kewajiban seorang mama ya memang begitu. Memastikan kalau anak-anaknya tumbuh baik.”“Termasuk harus berbohong?” Kututup mulut yang refleks bertanya.“Bohong buat kebaikan kenapa enggak?”“Ih, namanya Mama jahat sama diri sendiri.” Aku memeluk kakinya, mata hampir kembali basah.“Al, Nay, Fa, Denok … kalian dengarkan, ya. Mama ini sayang diri sendiri, sayang kalian-““Sayang Ayah?” Mama terhenti melihatku.Mengatup mulut sedikit mengangguk.“Ya, mama akui sayang ayahmu juga … 21 tahun bersama sebelum peristiwa itu bukanlah waktu sebentar. Kebaikan ayah kalian, di awal kami membangun rumah tangga