Cukup di benak kutahan rasa terkejut. Pernah berfirasat akan begini akhirnya, melihat bagaimana borosnya mereka menghambur uang, hanya tak menyangka kalau secepat ini terjadi.
Aku tetap diam menunggu ia selesai bicara.“… aku ada cicilan besar dan tambang lagi ngadat.” Wajahnya terpasang memelas.“Sebesar berapa kok sampai terpikir jual pabrik, Mas?”Ia memberanikan diri menatapku. “Hutang di bank hampir milyaran, Dik … belum lagi yang pribadi, ini gara-gara aku main saham.”“Yang online itu?” Ia mengangguk lemah. “Ya Allah sejak dulu aku menentang keras Mas lakuin itu. Resikonya besar.”“Terlanjur … rumah mungkin akan disita. Sebagian isinya diambil Jumri, puluhan juta uangnya kupinjam.”Aku menghela nafas berat. “Kalian boros sekali. Belum setahun sudah mandi hutang. Kenapa bisa kelepasan begitu?”“Pabrik dijual juga gak akan bisa nutupin kalau begitu, Mas. Lepasin semua aset kalian. Lunasi semua, biarkan barang habis asal lepas dari pinjaman, apalagi yang berbunga. Mobil, rumah lepasin semua. Pabrik itu untuk nyari rupiah biarpun sedikit hasilnya.“Justru itu April tidak mau lepas mobilnya. Rumah itu juga suratnya di bank, paling-paling disita tanpa harga. Sudah nunggak dua bulan ini, Dik.”Jujur sisi hitam hatiku mau tertawa melihat memelasnya wajah suami. Ia seperti anak tertua yang meminta jajan padaku. Kamu memang lemah atur keuangan, Mas. Tambah lagi binimu itu cuma tahu buang uang tanpa pikir berusaha. Kasihan sekali.“Aya paham, Mas … semoga urusan Mas Danang cepat selesai. Tapi pabrik juga sedang masa sulit. Sejak permintaan menurun gaji karyawan juga menyusut, banyak yang berhenti cari kerja lain. Suratnya pun aku pakai buat nyari dana kemarin pas lagi sulit-sulitnya, jadi kurasa tidak akan ada yang tertarik membelinya. Coba jual rumah yang Mas tempati itu sebelum disita bank, sisanya kan bisa dipakai nutupi yang lain.”Aku cuma bisa menyarankan tapi juga ragu. Mana ada orang mau membeli bangunan yang sedang bermasalah dengan bank, kecuali dengan harga rendah.Ia mengangkat wajah lesu.“Kayu kita?”Aku menarik napas panjang. “Itu satu-satunya untuk ngebulkan dapur, biaya anak sekolah. Kasihan anak-anak kalau itu dilepas.”“Tapi kita bisa mulai usaha lain, Dik.”Sampai di sini tubuhku menegang, gemerutuk gigi menahan geram, darah mengalir cepat memanaskan kepala.“Kita pernah mulai dari nol saat CV belum ada apa-apanya. Ayo kita mulai lagi. Aku sedang tertekan ditagih terus. Aku bingung, Dik.”Tahukah kau Mas Danang, lelaki super egois! Di saat susah kau memohon ke sini, tapi saat senang kau hamburkan dengan hujan kesenangan pada yang lain. Maaf aku bukan tong sampahmu …!“Mas itu dulu, kita pernah sulit dan Mas mau aku mengulangi kesulitan itu lagi?!” Nada suaraku meninggi. “Ini sudah tidak ada hubungan denganku. Obrolkan baik-baik dengan April, mulailah membagi bebanmu padanya, jangan hanya membagi kesenangan. Kalian pasti bisa mulai dari nol.”Ia menatapku sebentar lalu memandang kosong dinding.“Apa kamu tidak bisa membantu? Tabungan asuransi masa tua bukankah bisa dicairkan saja?”“Apa? Kenapa jadi semua mau diambil? Kita ini makin tua, kesehatan kita mana tahu ke depannya.” Aku tertawa tanpa suara. Silakan Mas Danang buat keputusan sendiri, yang pasti aku gak sanggup berpikir yang berat-berat. Mulailah dengan istrimu itu. Ia pasti bisa diandalkan.” Aku berdiri, menggeser kursi.“Anak-anak butuh biaya. Naya juga mau masuk kedokteran seperti kakaknya, jauh-jauh hari ia sudah tentukan UI kampusnya. Doakan saja itu lancar. Mas harus bangga pada mereka. Kita akan punya dua calon dokter, keturunan Danang Wiratama, bukankah itu membanggakan, Mas? Jadi biarkan aku mengawal anak-anak tanpa diberatkan dengan hal yang tidak penting.”Mau melangkah menjauhinya, tapi unegku belum tuntas terkatakan. “Aku yang anak-anak andalkan, tanggunganku empat, Mas. Jadi tolong jangan tambah lagi. April kan belum punya anak, yang ia pikirkan cuma satu, kamu. Masa gitu aja gak bisa!” Tersenyum sangat manis kuberikan, seraya menepuk pundaknya.Sempat tertangkap ada kerut dalam di antara alisnya. Ah ternyata ia cepat menua saat jauh dariku. Mungkin ubannya juga lebih dari puluhan sekarang.Ia lelaki yang dulu penuh kewibaan, makin kehilangan pengakuan atas kapasitas lama bisa mengepalai warga. Jabatan RW sudah terlepas, apalagi kegiatan bersama karibnya berkurang, acara penting pun mulai tak diundang. Kurasa ini hukuman sosial yang menyakitkan, saat harga diri biasa tinggi tiba-tiba turun karena salah pilih jalan.*“Aya, sudah tau belum kalau rumah Danang disita? Ada tulisan itu di depan rumahnya.”Seorang teman langsung menanyai itu saat kami bertemu.“Aku gak tau. Mas Danang belum cerita,” dustaku segera mengalihkan perbincangan pada pekerjaan saja.Teman ini pemilik mebel, aku sudah tiga bulan kerjasama dengannya sebagai pemasok bahan. Kita sama-sama perempuan yang aktif bisnis, ia baru saja meneruskan bisnis suami yang belum lama meninggal.“Suka heran sama kamu bisa secuek ini. Apa beneran gak mau tahu? Aku juga pernah lihat April jalan sama orang loh.”“Malas ah bahas itu, mending pikirin nyari duit buat anak-anak.”Segala hal mengenai hati dan mereka ingin kulepas. Biarkan aku mencari kebahagiaan sendiri.‘Mama jemput.’Chat Syifa. Aku gegas pamit pada kawan ini menuju ke sekolah anak.Tak sengaja mata lihat seorang perempuan berjalan kaki di trotoar seberang. Orang yang sangat kukenal. April.Aku perlambat laju mobil.Tak lama sebuah motor besar berhenti di sebelahnya lalu ia segera naik ke boncengan, memeluk tubuh lelaki berjaket kulit itu erat. Siapa itu? Apa teman kuliahnya?Ah! Kuusap kasar permukaan wajah. Untuk apa juga aku harus mengurusi? Kembali kulajukan kendaraan menuju belokan ke sekolah Syifa.Apakah pengkhianatan dibayar sama? Kasihan sekali kamu, Mas ….*
Setelah sempat bertahan dengan bisnis-bisnis baru, kudengar kabar Mas Danang kembali terpuruk, itu kutahu dari teman-teman, sebab ia tak cerita apa pun saat kami bertemu. Hanya wajah kusut yang makin kurus itu memberitakan secara tak langsung. Semua asset tersisa habis. Sekarang mereka menyewa rumah sederhana, dan ia mulai sering pulang ke rumah ini.
Aku meminta anak-anak tetap tenang dan fokus dengan sekolah mereka. Naya sudah kuliah, dan Syifa bersiap menyusul sang kakak masuk perguruan tinggi negeri juga di ibukota. Keinginan mereka sekolah jauh, dan aku hanya mendukung. Sebuah rumah kusewa untuk mengirit biaya. Mereka kumpul dalam satu rumah tak jauh dari kampus.
April juga sudah lulus kudengar membuka toko pakaian di simpang empat kota. Mas Danang juga baru buka toko ponsel di pasar. Modal pinjaman seorang teman baik yang masih percaya padanya.
“Aku ikut senang, Mas. Kalian bisa bangkit. Yang pentingkan hutang tidak ada,” ucapku saat ia ada di rumah. Sedikit curhat tentang usaha barunya.
Mas Danang tengah menyeruput teh, duduk bersamaku dan Denok yang kini sudah SMA. Ia masih manja pada bapaknya. Sambil kami ngobrol Denok sesekali menyahut sambil mencabut uban pendek yang katanya gatal seperti kutu. Aku belum merasakannya.
Hubungan kami sekarang seperti sebatas teman, aku terbuka kapan ia mau bicara dan datang ke rumah, karena memang diri tak menyimpan dendam apa pun.
“Wisuda Kak Almira apa Ayah ikut?” Denok bertanya. Mas Danang lalu mendongak.
“Emang boleh ayah ikut?”
“Ya bolehlah, ya kan, Ma?”
Aku mengangguk, tak lupa senyum.
“Bawa Bunda April boleh?”
“Kak April, Yah. Kita tetap ogah manggil Bunda.” Denok manyun, Mas Danang tertawa. Ia selalu gagal menyuruh anak-anak memanggil istrinya Bunda. Aku pun geli kalau sampai putri-putriku memanggil April begitu. Mereka itu pernah akrab sebagai adik kakak, tentu aneh langsung memanggil lain. Aku saja tak setuju.
“Iya, iya, gimana kalau Kak April ikut?”
“Mas …” Aku membuka suara. “ini hari spesial Almira, kalau mau liburan sendiri silakan setelah wisuda aja. Bukan sama kami,” tegasku.
“Dik, April mau kamu menganggapnya sebagai saudara. Bukan dibedakan begini. Urusan ekonomi aja kalian sudah jauh beda, loh, kamu kok selalu buat pembatasan begitu.”
Syut! Darah ini terasa cepat naik ke ubun-ubun. Sepertinya arah pembicaraan mulai panas.
“Sayang Denok, masuk kamar dulu gih, mama sama Ayah mau bicara.” Kupandangi tenang bungsuku itu. Meski mereka sudah besar aku tak mau anak-anak mendengar pembicaraan serius orang tua.
Mas Danang terlihat jadi sensitif, ia menatapku tak suka.
“Kamu itu sudah terlalu egois.”
Mataku menyipit. “Tuduhan macam apa ini, Mas? Di mana letak salahku?”
Ia menegakkan badan mukanya mendekat dengan mata tajam. “Sudah lama kubiarkan keuangan kamu kuasai, Soraya. Kamu pikir aku bodoh. Dari awal menikahi April aku banting tulang sendiri!”Wah, wah rupanya ia selalu memikirkan bagiannya dalam pekerjaanku. Ke sini ku kira baik-baik saja, tapi ternyata menyimpan bara yang masih merah.Aku bangkit. “Kita bicara di kamar, Mas!”“Di sini saja. Denok akan paham, biar tahu ibunya itu seperti apa!’Astagfirrullah ….Aku kembali duduk.“Kita perlu membagi harta yang ada, aku punya keluarga tang harus kunafkahi, Aya. Keperluan pribadiku. Mana hasil dari pabrik yang sekarang makin laku? Mana bagianku? Selama ini aku diam tanpa mau tanya, berharap kamu sadar ada hakku di sana. Tapi memang
“Ayo, makan yang banyak.” Aku menyuapi Syifa yang masih pucat. Bibirnya putih dan kering. Kemarin Hb-nya sempat drop, sampai butuh transfusi sekantung darah. Awalnya aku mau memberi darah ini, tapi kondisi kelelahan membuat fisikku tak memenuhi syarat. Akhirnya pakai dari yang tersedia di rumah sakit saja. Kami memindahkannya dirawat di rumah sakit, ini sudah hari ketiga. Alhamdulillah, hasil pemeriksaan sementara tidak ada yang serius, walaupun masih butuh pemeriksaan lanjut. Keadaannya mulai membaik. Jantungku sempat dag dig dug terus menerus melihat kondisinya kemarin, kini bisa menarik napas lega. Mas Danang juga menyusul, ia tak tega melihat keadaan Syifa saat Nay meneleponnya via video. Ya Rabb … keadaan kemarin terasa menampar diri. Aku tersadar saat-saat kritis itu hanya ada kekuatan lewat munajat pada-Nya. Tuhanku … satu-satunya tempat berharap s
Bungsuku berubah.Apa itu hanya perasaanku yang sensitif? Ia menghindar kontak mata kalau kami bicara, itu pun kupaksa, sebab saat kami berpapasan selalu ada alasan Denok menghindar.“Denok ada masalah apa, Sayang? Bilang ke mama, mama pasti dengar.” Aku mengikutinya ke kamar, ia urung mau menutup pintu dan menguncinya dari dalam, seperti yang dilakukan akhir-akhir ini.Bibir kecil itu terkatup. Ia berbaring memiringkan badan membelakangiku.“Ngantuk. Capek.”Mau kuusap punggungnya tapi ditepis.“Denok … mama minta maaf kalau ada salah. Tapi mama belum tahu salahnya di mana? Coba bilang, biar mama bisa perbaiki.”“Gak ada. Aku mau tidur.” Hati ini tersayat saat buah hati memilih menyi
Mobil masuk di jalan daerah kampus Unpar, di sini area kumpulnya kos-kosan para mahasiswa. Aku bertanya pada beberapa pemuda, ternyata ada yang tahu nama Jerry anak ekonomi. Mereka menyebut cirinya, aku hanya mengiyakan berharap itu benar orangnya. Sampai lah di sini, jalan kecil aku turun. Mobil kutitip di depan rumah toko kue. Aku bertanya pada beberapa orang lagi, belum ada yang kenal. Ini memang konyol, aku begitu saja percaya omongan April, yang bisa saja membohongiku. Tapi Denok juga jelas berbohong, hapenya sekarang juga tidak bisa dihubungi. Denok … maafkan mama yang mungkin kurang memperhatikanmu. Mama terima sebesar apa pun amarahmu, asal kamu jujur. Dibohong begini rasanya mama gak sanggup. Sudah di jalan paling dalam langkahku terayun, kata pemuda yang kutanya barusan kos Jerry paling ujung sini. Ada dua kos empat pintu, posisi saling membelakangi.
Air mata sampai ke luar karena aku belum bisa berhenti ketawa. Mati juga dia! Haa.Segera kuletakkan koran begitu lihat suami datang dengan wajah super cerah.“Mas ….” Aku berdiri, mendekatinya sambil menggelayut manja, melingkari tangan di tengkuk, sun sayang tidak lupa.“Sudah lihat berita orang yang ganggu kamu itu OD?” tanyanya. Aku mengangguk bahagia.“Iya, Mas. Rasain tuh hukuman berat buat dia. Aku mana mau dekat dengannya kalau bukan diguna-gunain. Aku kan cintanya cuma sama Mas Danang ….” Makin kurapatkan badan, menariknya ke kamar rumah kami yang sekarang, ruang sedingin es selalu butuh sesuatu yang panas.Rumah baru sejak perceraian suamiku tercinta. Lihat saja, pernah semarah apa pun dia ini padaku hubungan kami pasti akan kembali membara.
“Apa?! Kecelakaan??!!”Aku berlari ke parkiran.“Di mana?!” tanyaku setengah berteriak.“Istrinya sudah ada di RSUD Doris, Pak-“Aku langsung putuskan panggilan, kantungi ponsel ke saku baju. Ya ampun, belum dua minggu mobil itu dibeli kok sudah kecelakaan segala. April, April!Aku gegas melajukan motor dari ke arah rumah sakit. Tanpa sempat tanya apa-apa, aku akan ke sana lihat kondisi istriku.Begitu sampai aku lari masuk ruang Gawat Darurat.“Di mana April?, Mana istriku?!” Aku menubruk perawat laki-laki.“April?”“Yang baru kecelakaan mobil!” Linglung, aku memutar-mutar melihat para pasien di di
Balik ke PoV Soraya, ya. “Ibu yakin mau menikahkan putrinya? Ini memang masuk batas minimum usia, tapi bukankah masih terlalu muda. Kalau tidak mendesak tunggu usia 20 atau 21 lebih baik, Bu.” Kesiapan mental Denok dipertanyakan, saat aku mendampingi mereka menyerahkan berkas ke kelurahan. Rencana keluarga dua bulan lagi akad sekaligus resepsi dilaksanakan, saat ijazah Denok keluar ia pun akan bersatus istri. “Ini termasuk kondisi mendesak, Pak. Anak-anak sudah ingin, saya berdosa kalau menghalangi.” Jerry mengiyakan, anak muda itu cukup tegas menjawab saat ditanya kesiapannya, begitu pun Denok. Aku cukup kagum pada keberanian mereka. Apalagi Jerry, hubungan kami dekat ia terbuka kalau pikirannya sering kacau, takut tidak berjodoh kalau kelamaan nunggu Denok. Ia juga serita ada mahasiswi yang cukup ekstrem
‘Mama Al, tau kah kejadian tadi malam?’ Setelah Subuh kulihat banyak chat masuk. Salah satu isinya ini, tentang Mas Danang. ‘Bapaknya Almira kelahi sama pemilik Mebel Rulli. Kayaknya salah ngomong sampai dikeroyok suami istri itu.’ 'Gimana kabar tuh si mantan? Pukulan Rulli ngeri aku lihat, Ay. Untung motornya gak dirusak.’ Agh! Rasanya mau menghindar dengar berita-berita begini. Kasihan anak-anak kena imbasnya. Di kota kecil ini apa sih yang bisa disembunyikan? Sebuah berita akan cepat menyebar, orang yang kenal kami pasti segera tahu. Mas Danang merusak nama baik sendiri, membuat malu anak-anak. Dulu mana pernah ia ribut dengan orang, ataukah … mungkin aku saja yang kurang mengenalnya. Aku beranjak, membalas seadanya pesan teman-teman
POV Soraya Setelah tertegun sejenak, suami meletakkan ponselku di atas kasur, tepat di sisinya. Aku menatap semua pergerakannya dalam diam. Sepertinya memang ada yang tak kutahu. “Dek … maaf sebelumnya kalau mas belum cerita ini.” “Ceritakan saja, Mas. Saya siap dengar,” balasku tenang. Sesakit apa yang akan ia katakan, mungkin aku kuat karena pernah mengalaminya dulu. “Sebenarnya ini sudah lama. Mas mengenalnya sudah dua tahun belakangan. Hanya dia baru bilang suka beberapa bulan lalu.” Aku coba mengatur napas, untuk melonggarkan dada yang terasa nyeri dan sesak. Akankah ini terulang seperti Mas Danang dulu lakukan …? Tidak. Jangan ya, Rabb …! “Dia usia 40 tahun, belum menikah. Dan … bilang jatuh cinta pada mas.” Mas Mahesa mengambil tanganku, menggenggamnya erat. “Maafkan mas …” kalimatnya yang menggantung membuatku terpukul. Bayangan pengakuan Mas Danang dan April saat itu mengitari pikiran, menghantuiku. “Mas pernah
“Tante, apa kabar?”Aku yang mendapat sapaan itu langsung menoleh, seseorang perempuan berhijab panjang, dengan masker putih hingga yang terlihat hanya matanya.“Alhamdulillah, baik. Apa kabar juga,” balasku, tersenyum sambil mengingat-ngingat dia siapa.Seperti paham, ia menurunkan maskernya. Perempuan berwajah tirus dengan hidung lancip dan sedikit parut luka kecil di dekat hidung. Meski begitu dia tampak cantik.“Alhamdulillah baik juga, Tan. Saya … April,” ucapnya sambil meraih dan menyalim tanganku.“April?” Segera kubuka tangan memeluk tubuhnya. Sudah lumayan lama kami tak bertemu. “Senang bertemu kamu lagi.”Aku memang pernah dengar dia sakit, dan setelah sehat aku kemudian tak tahu lagi bagaimana hidupnya, hingga bisa bertemu di sini sekarang.April tampak jauh lebih baik.“Saya juga senang ketemu Tante.” Suaranya yang masih khas, tetapi kini
POV Danang“Saya minta maaf ... sangat mohon dimaafkan Al ... keluarga Mama, Papi, dan keluarga Ayah. Saya sudah terlalu jauh melangkah ... ini kesalahan besar yang sudah saya lakukan. Saya ... sudah menyakiti semua orang, terutama Almira.”Angger bicara begitu di malam harinya, saat kami sudah pulang dan berkumpul di rumah, kecuali Naya yang tetap tinggal di rumah besan.Semua kompak tinggal di rumah yang dulu Soraya beli saat anak-anak kuliah, dan sudah direnovasi berlantai tiga ini. Kami tidak ada yang menyewa hotel. Tempat ini lebih dari cukup untuk menikmati kebersamaan luar biasa, yang amat langka terjadi. Meski kami sudah bukan suami istri, Soraya tampak tak canggung menganggapku sebagai bagian dari keluarga.“Kami mendukungmu, Nak Angger. Keputusan apa pun memang hanya kalian berdua yang menjalani. Jika berdua sama-sama ingin bertahan, berjuanglah. Kami akan mendukung selama itu ke arah yang baik. Kami salut kamu be
Malam ini aku, Mas Mahesa juga Rama ngumpul di ruang tengah, kita baru selesai videocall dengan putri Mas Mahesa yang tinggal di Belanda. Rama dengan Bahasa Inggrisnya tadi amat fasih bicara dengan ponakan dan saudara lain di sana. Kontak kami memang sebatas video call, setelah tiga kali pertemuan secara langsung dengan gadis berwajah khas India itusangat ramah dan baik padaku, yang dipanggil Mami olehnya. “Kapan kita liburan ke Belanda?” Mas Mahesa bertanya. “Kalau liburan panjang bisa, Mas, sebelum Rama masuk SD, gimana?” “Bisa. Gimana, Dek Rama mau kita ketemu sama Mark dan Loui?” “Mau, Pi. Mau banget. Biar naik sepeda bareng.” Aku pun setujui kami akan liburan tiga bulan lagi. Selama fisik masih kuat ke manapun diajak suami oke aja. Beberapa tempat wisata di Indonesia sudah Mas Mahesa ajak. Ia termasuk laki-laki yang suka travelling, dan aku pun merasa ketularan. Masa tua kami isi sosial juga menjalin silaturahmi dengan ana
PoV Soraya“Pakabar Mama?” Pelukan dan cium pipi kiri kanan saat aku bertemu Almira di restoran.“Alhamdulillah, mama sehat. Kamu gimana, Sayang?”“Alhamdulillah, Ma.” Almira membuka tangan mengisyaratkan aku melihat kalau ia baik-baik saja.Aku tersenyum lega. “Kita ke ruang sana, yuk.” Tangan Al kemudian kugamit, kami mengikuti seorang waiters yang mengantarkan ke ruang pesananku.“Mama sempet nunggu, kah tadi?”“Enggak, kok, Al, papimu barusan aja pergi.”“Jadi beneran kita berdua aja nih?” Wajahnya sedikit heran melihat kami menyusuri lorong yang diapit susunan batu alam.“Skali-kali mama ngedate sama kamu, ya ‘kan?” godaku.“Aih, Mama. Tapi kok bikin deg-deg’an ya. Kita kemana? Kok, berasa kayak mau dikasih surprise. Masa aku lupa ini ulang tahunku?” katanya
POV DanangAh, harusnya ketenangan sudah kugenggam ... tapi kenapa terasa masih jauh. Setelah semua yang kuminta pada anak-anak terpenuhi, juga hubungan Adam yang membaik dengan April pun dikabulkan. Aku tetap merasa ada yang berlubang dalam dasar hati.Ada apa denganku ...?Pagi-pagi, seperti biasa keluar kamar aku langsung ke dapur, berpapasan dan berbagi senyum dengan Almira. Wajah pucatnya cepat mengurai senyum lebar setelah menyadari tatapanku, kurasa senyum itu sangat dipaksakan.“Ayah mau sarapan apa, nanti tinggal bilang simbok, ya, Al buru-buru piket pagi. Kalau bahan kurang atau butuh apa bisa wa aja, pulangnya Al belikan.”Di atas rasa sedih atas rumahtangganya ia masih memikirkan keperluanku. Dia pikir aku tak tahu apa-apa. Betapa aku merasa tak berguna sebagai ayah. Kalimatnya terasa menegurku yang selama ini terlalu banyak permintaan dan kecerewetan, termasuk tentang makanan.“Ah, ayah a
“Wuaah, ini ajaib, Mama Al.” “Cakepnya, anak bule, kulit putih ambil mamanya, hidung mancung dari papanya.” “Kada nyangka, Aya, ikam kawa bisi anak lagi.” (Nggak nyangka, Aya, kamu bisa punya anak lagi) Itu sebagian kecil beragam komentar kawan-kawan saat aku lahiran, bahkan sampai sekarang. Sejak hamil sampai melahirkan mereka rutin lakukan panggilan video, ikut gemas lihat perkembangan anakku. Sekarang Rama sedang aktif-aktifnya melangkah, seperti mau cepat bisa lari. Otot kakinya sudah kuat, tak pernah terlihat jatuh lagi. Aku bersyukur atas kesehatannya ini. Dua perawat siaga, satu bertugas untuk Rama, satu untukku. Suami benar-benar memanjakan kami dengan kemampuannya. Ia melarangku terlalu lelah mengejar Rama yang sangat aktif bermain. “Biarkan yang muda aja
PoV SorayaHari di mana anak-anak memberi hadiah untukku, lukisan pemandangan yang menggetarkan hati. Sangat mengharukan, karena di situ ada kenangan dua orang yang tersimpan dalam.Pertama, tempat itu tempat Mas Danang dulu mengutarakan isi hati. Getaran cinta pertama pada lawan jenis. Kenapa bisa di sana, ya karena aku mengenalnya saat study tour kelas 2 SMA ke Jogja. Ia lebih tua 6 tahun dariku, bertemu di Borobudur langsung bilang suka dalam pandangan pertama. Jodoh menggariskan kami bertemu lagi di Palangkaraya dua tahun kemudian, lalu menikah di usiaku yang masih terbilang muda.Kedua, itu tempat kenangan bersama Mas Mahesa juga. Getaran pertama muncul makin kuat padanya, ia pernah dalam diam menungguku menikmati pemandangan bak karpet hijau terpampang di depan mata. Meski sudah tua saat itu, tapi getarku padanya sempat membuat diri
PoV Denok“Iya, iya. Kewajiban seorang mama ya memang begitu. Memastikan kalau anak-anaknya tumbuh baik.”“Termasuk harus berbohong?” Kututup mulut yang refleks bertanya.“Bohong buat kebaikan kenapa enggak?”“Ih, namanya Mama jahat sama diri sendiri.” Aku memeluk kakinya, mata hampir kembali basah.“Al, Nay, Fa, Denok … kalian dengarkan, ya. Mama ini sayang diri sendiri, sayang kalian-““Sayang Ayah?” Mama terhenti melihatku.Mengatup mulut sedikit mengangguk.“Ya, mama akui sayang ayahmu juga … 21 tahun bersama sebelum peristiwa itu bukanlah waktu sebentar. Kebaikan ayah kalian, di awal kami membangun rumah tangga