“Ma apa boleh aku nginap di rumah kak April?” Terdengar ragu Denok berkata begitu. Aku yang tengah melihat surat kerjasama dengan perusahaan pengolahan kayu lekas menyingkirkan berkas ke sisi meja, menatap wajah anakku yang terlihat segan.
Senyum kuberikan, lalu menyentuh pipinya lembut. “Boleh aja, Sayang. Kenapa enggak, Ayah kan juga ada di sana.”Matanya berbinar senang, tapi terasa menggores silet di dalam dada.“Makasiih, Ma. Mama baiiik banget!” Tubuhku dipeluk dan pipi ini diciumnya gemas.Gadis manja kelas 2 SMP itu segera menelepon seseorang sambil berjalan ke kamar.“Kak April Mama bolehin. Jemput aku, ya! Oh Ayah? Oke aku siap-siap dulu.”Udara terasa sulit kuhela. Denok … masih begitu akrab dengannya.Kenapa ada nyeri terasa menyengat?Secara kasat mata aku menunjukkan ppenerimaan atas kehadiran April di antara diri dan mas Danang, tanpa pernah mulutku menjelekkan mereka di depan anak-anak dan itu yang membuat mereka membuka diri menerima orang itu sebagai istri bapaknya. Meski diminta suamiku memanggil Bunda, mereka masih menolak, alasan akrab dengan panggilan kakak. Mas Danang terlihat paham dan tak memaksa. Semua butuh waktu. Aku berusaha tak ikut campur semua hal tentang April.“Mama yakin? Kami masih boleh sayang Kak April seperti dulu?” Ini pertanyaan Syifa.“Iya apa Mama gak akan sedih?” Naya pun bertanya. Mereka takut melukai hatiku.Aku mengangguk, dengan bola mata terasa panas dan perih.Sebisa mungkin air mata yang akan luruh kutahan, kupeluk mereka meyakinkan aku baik-baik saja. Itu saat pertama mereka izin, ikut nginap di rumah baru papanya yang konon sangat luas, juga ada kolam renang panjang di halaman belakang.Begitu mereka pergi aku gegas ke kamar. Menutup wajah dengan bantal, tangis ini pecah sekuatnya, mengeluarkan semua sesak yang terasa menekan ulu hati. Ya Rabb … apa aku telah salah memilih jalan ini? Terbersit sesal kenapa aku bertahan.*Kucoba berdamai dengan keadaan. Membagi diri untuk anak-anak dan pekerjaan. Mas Danang begitu tahu aku membekukan keuangan khusus untuk bisnis, tak dipakai untuk keperluan pribadi apa pun alasannya, mulai lepas tangan, seperti membiarkan saja aku mengendalikan pabrik dan CV.Lelaki itu tak jua menafkahi, alasan aku sudah dapat gaji dari usaha kami. Ya, sistemnya memang kami berdua sebagai pemilik juga bergaji, seperti karyawan, itu kulakukan sejak awal dulu agar tak merasa omset sebagai uang boleh dipakai apa saja. Itu salah satu alasan usaha ini bertahan.Yang menggelikan, Mas Danang tetap ambil gajinya untuk menafkahi April, dan itu kuhentikan bulan lalu, membuatnya kecewa kemudian memulai bisnis baru lain, yang entah darimana saja modalnya.Aku fokus meluaskan jual beli kayu merambah pada pengolahannya. Di awal ini waktu tersita banyak. Meski kupercayakan pada orang lain tetap aku juga harus melihat, survey lokasi hingga membuat pertemuan dengan beberapa perusahaan untuk memulai kerjasama. Masalah bertambah saat pabrik bata berkurang peminat, karena mereka beralih pada batako ringan dari batu apung yang lebih murah.Pikiran ini terbagi. Meski sudah kujelaskan, tetap saja mendapat rengekkan anak-anak memintaku menemani mereka. Tiga kepala putriku dengan tiga keinginan berbeda sulit kupenuhi. Belum lagi curhatan tentang lawan jenis yang coba kudengar, tapi kemudian tertidur sebab kelelahan, lalu menuai protes.Sementara ini kubiarkan mereka lari saudaraku atau ke mama tirinya, sampai kondisi usaha memungkinkan aku bisa sedikit santai.“Mama sibuk banget, mulai lupa deh sama kita.”“Mama gak asyik.”Dan ….“Lebih senang di rumah Kak April. Kita bisa seru-seruan bareng, gak kayak Mama, kaku.”Dibandingkan begitu terasa menyakitkan.“Maaf ya Sayang, mama akan punya waktu banyak setelah semua stabil. Mama ini usaha sendiri, badan remuk juga gak kuat sana-sini,” jelasku sambil memohon pengertian para kesayangan itu.Ini amat berat, aku mau teriak melepaskan segala beban yang menumpuk, tapi kekuatan tersembunyi itu muncul saat aku berniat kuat dan tak ingin bergantung pada suami.Harapan pada Tuhan tetap kugantung, meski iman ini masih naik-turun.Luka hati sempat terbuka saat kudengar usaha tambang Mas Danang dan relasinya sukses. April sekarang mengendarai sedan harga 400-an juta. Teman-teman yang ceritakan itu, karena selama delapan bulanan ini kami tak pernah bertemu muka. Luka itu terasa mungkin karena diri seudzon ia terasa ingin memanasiku. Namun kucoba redam, jangan sampai pikiran negatif ini menyakiti diriku sendiri.“Sekarang kayak gak kenal loh sama si April. Pakaiannya modis kurang bahan. Kulitnya juga makin kayak susu, gak kuning langsat kayak dulu.”Topik saat bertemu dengan teman-teman pasti ada menyerempet tentang madu muda itu.“Kamu jangan kalah, Aya. Nanti dia makin ngelunjak.”Aku hanya tersenyum tipis. “Udah biarin aja, baguslah kalau cantik biar Mas Danang gak nyari yang baru lagi,” timpalku membawa lara ini jadi tawa. Padahal di dalam sana luka lama terasa berdarah.Mas Danang memang sedang terbang. Ia mencintai dan memanjakan istrinya itu dengan sangat berlebihan. Biarlah aku mengabaikan luka, fokus saja pada apa yang kupunya saja.*“Masakan mama sudah selesai, nih. Ini sambal goreng hati permintaan Kak Naya, ini kare ayam pesanan Syifa, dan … ini ayam goreng pesanan Denok.”“Kak Al, bikin steik sendiri, hmm … biki ngilerr gak nih?” Almira yang tengah libur akhir semester ada di antara kami.Hari minggu ini aku dibantu Almira khusus bagian masak, mendaftar pesanan menu para gadis yang tadi gotong royong bersih-bersih rumah. Lihat, mata mereka langsung berbinar dan tubuh tertarik ke arah meja makan.Usahaku mulai stabil dan saatnya membayar waktu yang sebelumnya hilang bersama anak-anak.“Waah, Makasiih, Ma. Ini pasti enaak bangeet.” Jempol Naya terangkat ke atas.Tubuhku yang bau bawang, masih pakai celemek dipeluk mereka ramai-ramai.“Sama-sama, Sayang. Ayo makan. Mama mau ganti baju dulu.”Suasana ruang makan pun riuh. Kami semua berkumpul sambil berbagi cerita seru. Harusnya makan itu diam, tapi entah kenapa bagi kami terasa keakraban makin kuat di sekitar meja makan.Setelah selesai tak ada satu pun beranjak, masih ada saja yang belum selesai dibahas, termasuk cowok yang menyukai Naya sampai rutin mengirimkan surat puitis untuknya, haa.“Assalamuaalaikum.” Suara khas orang yang kami kenal masuk dari pintu samping. Kami menjawab berbarengan.“Eh, itu Ayah ayo sambut.” Mereka berdiri, bagai anak kecil bergantian menyalim bapaknya.Aku ikut menemui Mas Danang, meraih dan mencium takzim punggung tangannya.“Sudah makan belum, Mas?”Ia menggeleng. Aku segera mengambilkan satu piring.“Ayo, Mas makan dulu.” Kutarik kursi untuknya, mengambilkan nasi dan lauk.“Porsi sedikit saja,” pintanya saat kutanya seberapa.Setelah menyiapkan segelas air di sisi kanan Mas Danang aku ikut duduk, menemaninya. Anak-anak cukup banyak bertanya kabar bapaknya, sambil saling membantu membersihkan piring-piring kotor.Tatapan lelaki itu sesekali melirik kosong pada keceriaan anak-anakku dan keakraban kami. Ia terlihat tak berselera mengunyah makanan, tapi tetap menghabiskan yang ada di piring. Firasat merasa kedatangannya ini ada yang ingin disampaikan.Kupandangi ia dalam diam, meski telinga mendengar keramaian putri-putriku, tapi otak terbawa mengingat bagaimana sosok di depan mata ini.Kami pasangan terkenal solid dan saling melengkapi. Dalam usaha ia seorang pelobi terbaik, mudah berteman akrab dengan relasi, sikap humble dan ramah modal utamanya, sampai aku yang pendiam ikut terbawa gemar berteman hingga sekarang. Lalu aku si pengatur keuangan, membagi sesuai pos-pos keperluan sedisiplin mungkin, agar modal yang pas-pasan tak terpakai dan malah berujung minus.Kami bisa berjaya, tak khawatir akan biaya kesehatan dan pendidikan anak-anak. Namun kini … cerita sudah berbeda.“Dik … aku mau bicara.”Seperti yang kuduga. Ia mulai bicara serius saat anak-anak sudah ke ruang depan.Ia menatapku lekat, sedang aku menahan diri untuk tak bertanya ada apa.“Mas mau minta tolong …” Ia menggantung kalimat dan … aku menunggu.Mas Danang lama tertunduk.“Bagaimana kalau pabrik bata dijual saja ….”Apa?!Cukup di benak kutahan rasa terkejut. Pernah berfirasat akan begini akhirnya, melihat bagaimana borosnya mereka menghambur uang, hanya tak menyangka kalau secepat ini terjadi.Aku tetap diam menunggu ia selesai bicara.“… aku ada cicilan besar dan tambang lagi ngadat.” Wajahnya terpasang memelas.“Sebesar berapa kok sampai terpikir jual pabrik, Mas?”Ia memberanikan diri menatapku. “Hutang di bank hampir milyaran, Dik … belum lagi yang pribadi, ini gara-gara aku main saham.”“Yang online itu?” Ia mengangguk lemah. “Ya Allah sejak dulu aku menentang keras Mas lakuin itu. Resikonya besar.”“Terlanjur … rumah mungkin akan disita. Sebagian isinya diambil Jumri, puluhan juta uangnya kupinjam.”Aku menghela nafas berat. “Kalian boros sekali. Belum setahun sudah mandi hutang. Kenapa bisa kelepasan begitu?&rdquo
Ia menegakkan badan mukanya mendekat dengan mata tajam. “Sudah lama kubiarkan keuangan kamu kuasai, Soraya. Kamu pikir aku bodoh. Dari awal menikahi April aku banting tulang sendiri!”Wah, wah rupanya ia selalu memikirkan bagiannya dalam pekerjaanku. Ke sini ku kira baik-baik saja, tapi ternyata menyimpan bara yang masih merah.Aku bangkit. “Kita bicara di kamar, Mas!”“Di sini saja. Denok akan paham, biar tahu ibunya itu seperti apa!’Astagfirrullah ….Aku kembali duduk.“Kita perlu membagi harta yang ada, aku punya keluarga tang harus kunafkahi, Aya. Keperluan pribadiku. Mana hasil dari pabrik yang sekarang makin laku? Mana bagianku? Selama ini aku diam tanpa mau tanya, berharap kamu sadar ada hakku di sana. Tapi memang
“Ayo, makan yang banyak.” Aku menyuapi Syifa yang masih pucat. Bibirnya putih dan kering. Kemarin Hb-nya sempat drop, sampai butuh transfusi sekantung darah. Awalnya aku mau memberi darah ini, tapi kondisi kelelahan membuat fisikku tak memenuhi syarat. Akhirnya pakai dari yang tersedia di rumah sakit saja. Kami memindahkannya dirawat di rumah sakit, ini sudah hari ketiga. Alhamdulillah, hasil pemeriksaan sementara tidak ada yang serius, walaupun masih butuh pemeriksaan lanjut. Keadaannya mulai membaik. Jantungku sempat dag dig dug terus menerus melihat kondisinya kemarin, kini bisa menarik napas lega. Mas Danang juga menyusul, ia tak tega melihat keadaan Syifa saat Nay meneleponnya via video. Ya Rabb … keadaan kemarin terasa menampar diri. Aku tersadar saat-saat kritis itu hanya ada kekuatan lewat munajat pada-Nya. Tuhanku … satu-satunya tempat berharap s
Bungsuku berubah.Apa itu hanya perasaanku yang sensitif? Ia menghindar kontak mata kalau kami bicara, itu pun kupaksa, sebab saat kami berpapasan selalu ada alasan Denok menghindar.“Denok ada masalah apa, Sayang? Bilang ke mama, mama pasti dengar.” Aku mengikutinya ke kamar, ia urung mau menutup pintu dan menguncinya dari dalam, seperti yang dilakukan akhir-akhir ini.Bibir kecil itu terkatup. Ia berbaring memiringkan badan membelakangiku.“Ngantuk. Capek.”Mau kuusap punggungnya tapi ditepis.“Denok … mama minta maaf kalau ada salah. Tapi mama belum tahu salahnya di mana? Coba bilang, biar mama bisa perbaiki.”“Gak ada. Aku mau tidur.” Hati ini tersayat saat buah hati memilih menyi
Mobil masuk di jalan daerah kampus Unpar, di sini area kumpulnya kos-kosan para mahasiswa. Aku bertanya pada beberapa pemuda, ternyata ada yang tahu nama Jerry anak ekonomi. Mereka menyebut cirinya, aku hanya mengiyakan berharap itu benar orangnya. Sampai lah di sini, jalan kecil aku turun. Mobil kutitip di depan rumah toko kue. Aku bertanya pada beberapa orang lagi, belum ada yang kenal. Ini memang konyol, aku begitu saja percaya omongan April, yang bisa saja membohongiku. Tapi Denok juga jelas berbohong, hapenya sekarang juga tidak bisa dihubungi. Denok … maafkan mama yang mungkin kurang memperhatikanmu. Mama terima sebesar apa pun amarahmu, asal kamu jujur. Dibohong begini rasanya mama gak sanggup. Sudah di jalan paling dalam langkahku terayun, kata pemuda yang kutanya barusan kos Jerry paling ujung sini. Ada dua kos empat pintu, posisi saling membelakangi.
Air mata sampai ke luar karena aku belum bisa berhenti ketawa. Mati juga dia! Haa.Segera kuletakkan koran begitu lihat suami datang dengan wajah super cerah.“Mas ….” Aku berdiri, mendekatinya sambil menggelayut manja, melingkari tangan di tengkuk, sun sayang tidak lupa.“Sudah lihat berita orang yang ganggu kamu itu OD?” tanyanya. Aku mengangguk bahagia.“Iya, Mas. Rasain tuh hukuman berat buat dia. Aku mana mau dekat dengannya kalau bukan diguna-gunain. Aku kan cintanya cuma sama Mas Danang ….” Makin kurapatkan badan, menariknya ke kamar rumah kami yang sekarang, ruang sedingin es selalu butuh sesuatu yang panas.Rumah baru sejak perceraian suamiku tercinta. Lihat saja, pernah semarah apa pun dia ini padaku hubungan kami pasti akan kembali membara.
“Apa?! Kecelakaan??!!”Aku berlari ke parkiran.“Di mana?!” tanyaku setengah berteriak.“Istrinya sudah ada di RSUD Doris, Pak-“Aku langsung putuskan panggilan, kantungi ponsel ke saku baju. Ya ampun, belum dua minggu mobil itu dibeli kok sudah kecelakaan segala. April, April!Aku gegas melajukan motor dari ke arah rumah sakit. Tanpa sempat tanya apa-apa, aku akan ke sana lihat kondisi istriku.Begitu sampai aku lari masuk ruang Gawat Darurat.“Di mana April?, Mana istriku?!” Aku menubruk perawat laki-laki.“April?”“Yang baru kecelakaan mobil!” Linglung, aku memutar-mutar melihat para pasien di di
Balik ke PoV Soraya, ya. “Ibu yakin mau menikahkan putrinya? Ini memang masuk batas minimum usia, tapi bukankah masih terlalu muda. Kalau tidak mendesak tunggu usia 20 atau 21 lebih baik, Bu.” Kesiapan mental Denok dipertanyakan, saat aku mendampingi mereka menyerahkan berkas ke kelurahan. Rencana keluarga dua bulan lagi akad sekaligus resepsi dilaksanakan, saat ijazah Denok keluar ia pun akan bersatus istri. “Ini termasuk kondisi mendesak, Pak. Anak-anak sudah ingin, saya berdosa kalau menghalangi.” Jerry mengiyakan, anak muda itu cukup tegas menjawab saat ditanya kesiapannya, begitu pun Denok. Aku cukup kagum pada keberanian mereka. Apalagi Jerry, hubungan kami dekat ia terbuka kalau pikirannya sering kacau, takut tidak berjodoh kalau kelamaan nunggu Denok. Ia juga serita ada mahasiswi yang cukup ekstrem
POV Soraya Setelah tertegun sejenak, suami meletakkan ponselku di atas kasur, tepat di sisinya. Aku menatap semua pergerakannya dalam diam. Sepertinya memang ada yang tak kutahu. “Dek … maaf sebelumnya kalau mas belum cerita ini.” “Ceritakan saja, Mas. Saya siap dengar,” balasku tenang. Sesakit apa yang akan ia katakan, mungkin aku kuat karena pernah mengalaminya dulu. “Sebenarnya ini sudah lama. Mas mengenalnya sudah dua tahun belakangan. Hanya dia baru bilang suka beberapa bulan lalu.” Aku coba mengatur napas, untuk melonggarkan dada yang terasa nyeri dan sesak. Akankah ini terulang seperti Mas Danang dulu lakukan …? Tidak. Jangan ya, Rabb …! “Dia usia 40 tahun, belum menikah. Dan … bilang jatuh cinta pada mas.” Mas Mahesa mengambil tanganku, menggenggamnya erat. “Maafkan mas …” kalimatnya yang menggantung membuatku terpukul. Bayangan pengakuan Mas Danang dan April saat itu mengitari pikiran, menghantuiku. “Mas pernah
“Tante, apa kabar?”Aku yang mendapat sapaan itu langsung menoleh, seseorang perempuan berhijab panjang, dengan masker putih hingga yang terlihat hanya matanya.“Alhamdulillah, baik. Apa kabar juga,” balasku, tersenyum sambil mengingat-ngingat dia siapa.Seperti paham, ia menurunkan maskernya. Perempuan berwajah tirus dengan hidung lancip dan sedikit parut luka kecil di dekat hidung. Meski begitu dia tampak cantik.“Alhamdulillah baik juga, Tan. Saya … April,” ucapnya sambil meraih dan menyalim tanganku.“April?” Segera kubuka tangan memeluk tubuhnya. Sudah lumayan lama kami tak bertemu. “Senang bertemu kamu lagi.”Aku memang pernah dengar dia sakit, dan setelah sehat aku kemudian tak tahu lagi bagaimana hidupnya, hingga bisa bertemu di sini sekarang.April tampak jauh lebih baik.“Saya juga senang ketemu Tante.” Suaranya yang masih khas, tetapi kini
POV Danang“Saya minta maaf ... sangat mohon dimaafkan Al ... keluarga Mama, Papi, dan keluarga Ayah. Saya sudah terlalu jauh melangkah ... ini kesalahan besar yang sudah saya lakukan. Saya ... sudah menyakiti semua orang, terutama Almira.”Angger bicara begitu di malam harinya, saat kami sudah pulang dan berkumpul di rumah, kecuali Naya yang tetap tinggal di rumah besan.Semua kompak tinggal di rumah yang dulu Soraya beli saat anak-anak kuliah, dan sudah direnovasi berlantai tiga ini. Kami tidak ada yang menyewa hotel. Tempat ini lebih dari cukup untuk menikmati kebersamaan luar biasa, yang amat langka terjadi. Meski kami sudah bukan suami istri, Soraya tampak tak canggung menganggapku sebagai bagian dari keluarga.“Kami mendukungmu, Nak Angger. Keputusan apa pun memang hanya kalian berdua yang menjalani. Jika berdua sama-sama ingin bertahan, berjuanglah. Kami akan mendukung selama itu ke arah yang baik. Kami salut kamu be
Malam ini aku, Mas Mahesa juga Rama ngumpul di ruang tengah, kita baru selesai videocall dengan putri Mas Mahesa yang tinggal di Belanda. Rama dengan Bahasa Inggrisnya tadi amat fasih bicara dengan ponakan dan saudara lain di sana. Kontak kami memang sebatas video call, setelah tiga kali pertemuan secara langsung dengan gadis berwajah khas India itusangat ramah dan baik padaku, yang dipanggil Mami olehnya. “Kapan kita liburan ke Belanda?” Mas Mahesa bertanya. “Kalau liburan panjang bisa, Mas, sebelum Rama masuk SD, gimana?” “Bisa. Gimana, Dek Rama mau kita ketemu sama Mark dan Loui?” “Mau, Pi. Mau banget. Biar naik sepeda bareng.” Aku pun setujui kami akan liburan tiga bulan lagi. Selama fisik masih kuat ke manapun diajak suami oke aja. Beberapa tempat wisata di Indonesia sudah Mas Mahesa ajak. Ia termasuk laki-laki yang suka travelling, dan aku pun merasa ketularan. Masa tua kami isi sosial juga menjalin silaturahmi dengan ana
PoV Soraya“Pakabar Mama?” Pelukan dan cium pipi kiri kanan saat aku bertemu Almira di restoran.“Alhamdulillah, mama sehat. Kamu gimana, Sayang?”“Alhamdulillah, Ma.” Almira membuka tangan mengisyaratkan aku melihat kalau ia baik-baik saja.Aku tersenyum lega. “Kita ke ruang sana, yuk.” Tangan Al kemudian kugamit, kami mengikuti seorang waiters yang mengantarkan ke ruang pesananku.“Mama sempet nunggu, kah tadi?”“Enggak, kok, Al, papimu barusan aja pergi.”“Jadi beneran kita berdua aja nih?” Wajahnya sedikit heran melihat kami menyusuri lorong yang diapit susunan batu alam.“Skali-kali mama ngedate sama kamu, ya ‘kan?” godaku.“Aih, Mama. Tapi kok bikin deg-deg’an ya. Kita kemana? Kok, berasa kayak mau dikasih surprise. Masa aku lupa ini ulang tahunku?” katanya
POV DanangAh, harusnya ketenangan sudah kugenggam ... tapi kenapa terasa masih jauh. Setelah semua yang kuminta pada anak-anak terpenuhi, juga hubungan Adam yang membaik dengan April pun dikabulkan. Aku tetap merasa ada yang berlubang dalam dasar hati.Ada apa denganku ...?Pagi-pagi, seperti biasa keluar kamar aku langsung ke dapur, berpapasan dan berbagi senyum dengan Almira. Wajah pucatnya cepat mengurai senyum lebar setelah menyadari tatapanku, kurasa senyum itu sangat dipaksakan.“Ayah mau sarapan apa, nanti tinggal bilang simbok, ya, Al buru-buru piket pagi. Kalau bahan kurang atau butuh apa bisa wa aja, pulangnya Al belikan.”Di atas rasa sedih atas rumahtangganya ia masih memikirkan keperluanku. Dia pikir aku tak tahu apa-apa. Betapa aku merasa tak berguna sebagai ayah. Kalimatnya terasa menegurku yang selama ini terlalu banyak permintaan dan kecerewetan, termasuk tentang makanan.“Ah, ayah a
“Wuaah, ini ajaib, Mama Al.” “Cakepnya, anak bule, kulit putih ambil mamanya, hidung mancung dari papanya.” “Kada nyangka, Aya, ikam kawa bisi anak lagi.” (Nggak nyangka, Aya, kamu bisa punya anak lagi) Itu sebagian kecil beragam komentar kawan-kawan saat aku lahiran, bahkan sampai sekarang. Sejak hamil sampai melahirkan mereka rutin lakukan panggilan video, ikut gemas lihat perkembangan anakku. Sekarang Rama sedang aktif-aktifnya melangkah, seperti mau cepat bisa lari. Otot kakinya sudah kuat, tak pernah terlihat jatuh lagi. Aku bersyukur atas kesehatannya ini. Dua perawat siaga, satu bertugas untuk Rama, satu untukku. Suami benar-benar memanjakan kami dengan kemampuannya. Ia melarangku terlalu lelah mengejar Rama yang sangat aktif bermain. “Biarkan yang muda aja
PoV SorayaHari di mana anak-anak memberi hadiah untukku, lukisan pemandangan yang menggetarkan hati. Sangat mengharukan, karena di situ ada kenangan dua orang yang tersimpan dalam.Pertama, tempat itu tempat Mas Danang dulu mengutarakan isi hati. Getaran cinta pertama pada lawan jenis. Kenapa bisa di sana, ya karena aku mengenalnya saat study tour kelas 2 SMA ke Jogja. Ia lebih tua 6 tahun dariku, bertemu di Borobudur langsung bilang suka dalam pandangan pertama. Jodoh menggariskan kami bertemu lagi di Palangkaraya dua tahun kemudian, lalu menikah di usiaku yang masih terbilang muda.Kedua, itu tempat kenangan bersama Mas Mahesa juga. Getaran pertama muncul makin kuat padanya, ia pernah dalam diam menungguku menikmati pemandangan bak karpet hijau terpampang di depan mata. Meski sudah tua saat itu, tapi getarku padanya sempat membuat diri
PoV Denok“Iya, iya. Kewajiban seorang mama ya memang begitu. Memastikan kalau anak-anaknya tumbuh baik.”“Termasuk harus berbohong?” Kututup mulut yang refleks bertanya.“Bohong buat kebaikan kenapa enggak?”“Ih, namanya Mama jahat sama diri sendiri.” Aku memeluk kakinya, mata hampir kembali basah.“Al, Nay, Fa, Denok … kalian dengarkan, ya. Mama ini sayang diri sendiri, sayang kalian-““Sayang Ayah?” Mama terhenti melihatku.Mengatup mulut sedikit mengangguk.“Ya, mama akui sayang ayahmu juga … 21 tahun bersama sebelum peristiwa itu bukanlah waktu sebentar. Kebaikan ayah kalian, di awal kami membangun rumah tangga