Makin banyak yang datang, tapi tidak anak-anakku mereka bersikukuh memilih tidak ingin melihat ini. Aku paham, asal mereka tahu saja kalau bapaknya sudah menikah itu cukup.
Aku duduk lesehan di antara para tamu, menyaksikan semua sampai kata sah dari pernikahan terpaut usia 26 tahun itu terucap. Genggaman erat tangan teman-teman makin menguatkanku untuk tak menangis.“Terima kasih atas keikhlasannya Bu Soraya. Kami atas nama keluarga meminta maaf yang sebesar-besarnya,” tandas paman April yang sebelumnya kupaksa datang untuk menjadi wali.Ia datang sendiri dengan wajah banyak tertunduk, sama seperti yang dilakukan keponakannya itu. Sementara ibunya April tak menampakkan batang hidung sama sekali, sudah pasti malu, merasa bersalah Mas Danang diam-diam menikahi anaknya beberapa hari lalu di rumahnya, tanpa sepengetahuanku.Aku tak menjawab kalimat basa-basi itu. Terlalu sulit untuk banyak bersandiwara, berpura menerima padahal hati ini berat, amat berat.“Kalau kamu gak kuat di rumah bisa langsung ke rumahku, Aya, kita ngerujak rame-rame.”“Ke rumahku juga bisa. Pintu lebar kebuka untukmu. Jangan simpan sendiri masalah, nanti jadi penyakit. Akan ada orang yang kesenangan kalau kamu sakit.”Aku mengangguk haru. Lepas acara teman-teman berlomba menyemangati. Sampai si pengantin perempuan terlihat diabaikan, ia terus tertunduk, sebab tak ada yang mendekat barang mengucapkan selamat padanya. Mas Danang ngobrol dengan teman-teman sesama pengusaha di ruang lain, terlihat lupa memperhatikan istri barunya.Justru akulah yang dikerumuni, awalnya perhatian mereka membuat hati sendu, memanaskan mata sampai kemudian tawa bisa kulepaskan jua. Ada saja hal lucu yang jadi topik pembicaraan mereka, termasuk si Sri, tatangga yang melorot kemben saat nyanyi di kondangan, bukan malu ia malah guyon kalau para penonton kebetulan beruntung melihat ‘bolanya’ hahaa.Ah, nikmatnya memiliki banyak teman baik, mereka mendukungku meski aku tak pernah mengumbar keluhan.Lepas acara, semua pamit pulang. Si April yang sejak tadi hanya bungkam, merasa sendiri di antara keramaian gegas masuk kamar, dan mungkin sekarang sudah berganti pakaian, menunggu Mas Danang menemuinya.“Mas, rumah ini khusus untuk kita dan anak-anak. Jangan bawa istrimu ke sini.” Aku mengingatkan saat lelaki ini masuk kamar kami.“Baiklah, Dik. Aku hargai ikhlasmu, kamu butuh waktu. Semoga dua keluarga ini nantinya bisa akur.”“Maaf, Mas. Jangan terlalu berharap, ingat, aku lakukan ini hanya untuk anak-anak.”“Loh, kenapa begitu?”“Ya memang begitu. Rumah ini milik anak-anak, dan keluarga baru Mas Danang itu harus mulai dari nol. Ah ya, Almira sedang butuh biaya banyak, rumah yang baru dibeli dari Pak Idris itu sudah kutawarkan.”“Soraya!” Kasar ia menyebut nama panjangku. Tak pernah seperti ini. Yah, mungkin aku harus terbiasa dengan sikap barunya.“Aku nggak mungkin pakai uang pabrik atau uang CV. untuk biaya sekolah. Kemarin lunasin rumah itu juga kepake asuransi pendidikan Almira, aku terlanjur deal karena ada yang nawarin.”“Kamu kenapa bertindak sesukamu, hah?!”“Apa Mas gak malu kalau Almira putus di tengah jalan? Apa kata orang-orang? Sedangkan kita sudah membangga-banggakan anak jadi calon dokter, Mas. Itu cita-cita terbesar Almira juga.”Ia terlihat melunak. Aku sangat mengenalnya, harga diri Mas Danang itu cukup tinggi, marah jika diremehkan. Ia merasa orang yang mampu dalam segala hal. Mungkin juga berhasil mendapatkan istri muda nan cantik termasuk kebanggaan di depan teman-temannya. Padahal kalau bukan aku yang atur keuangan usaha kami sudah lama gulung tikar.Kami keluar kamar tepat saat April menunggu di depan kamar bekasnya dulu. Tak kusangka perempuan itu memakai pakaian tipis seperti … lingerie, warna cream yang atasnya dilapisi dengan jaket jeans. Bagian dada berenda bentuk V itu sangat rendah, dan oh, astagfirullah … bahan kain yang dipakai seperti bentuk saringan santan, bahkan lebih transparan, tampak jelas celana dalam merah melambai-lambai hasrat lelaki.Mas Danang yang berdiri di depanku terlihat menelan ludah berkali-kali, melihatnya tanpa kedip. Aku yang syok segera tersadar melihat senyum tipis April. Oh, rupanya ia sengaja bawa pakaian ganti itu tadi. Mau memanasiku, hem?Hahaa. Hatiku langsung tertawa. Kelihatan merasa hebat, tapi ini menurutku sangat memalukan. Menjijikkan. Alhamdulillah anak-anakku tak ada di sini.Oke, silakan kau nikmati dulu, April. Jangan lupa, nikmat ini hanya sesaat, sebentar lagi hatimu akan mulai gelisah. Itu kupastikan terjadi.*‘Mas ini yang beli rumah minta dikosongkan besok. Katanya mau dipakai.’Pesan terkirim, langsung dibaca. Kemudian telepon dari Mas Danang. Aku menarik napas tenang.“Assalamuallaikum, ya, Mas?” Aku bersuara tetap selembut biasanya.“Apa-apaan kamu mendadak begini. Mana bisa April pindah secepat itu?! Tunggu dapat rumah baru dulu.”Jadi … mau beli rumah baru? Okelah kasihan juga kalau kalian harus nyewa.“Kebetulan yang beli ini gak sabar mau didekor cantik lagi, hadiah anniversary 15 tahun pernikahan buat istrinya. So sweet, kan? Oh ya isinya juga dibeli lho, Mas, bilang April jangan bawa apa-apa.”“Kamu ini kenapa baru ngomong sekarang?” Ia terdengar gusar.“Buat seorang Mas Danang nyari rumah baru itu gampang. Aku tahu Mas punya saham di Batu Bara Adyaksa, tapi aku gak permasalahkan itu, silakan saja hasilnya untuk istri baru.”Ia terdiam. Setelah pernikahan kedua banyak hal yang terkuak. Bisnis join Mas Danang dengan teman-teman lain, yang dulu mereka sembunyikan satu persatu mereka buka. Dulu takut aku sakit hati atau meminta cerai, tapi melihatku bisa tenang menikahkan suami mereka sepertinya percaya kalau aku bisa terima.Ya, menikahkan memang lebih berat, dibanding tahu pintarnya ia sembunyikan sesuatu di belakangku. Menyadarkan diri tak cukup dalam mengenal sosoknya walaupun puluhan tahun bersama. Begitulah manusia, tak mudah terselami apa yang direncanakan dan dipikirkan.“Soal itu maaf, Dik. Sebenarnya mau jujur tapi terlupa.”Senyumku mencuat. Bagaimana bisa terlupa, bukannya aku istrimu sejak lama.“Gak ada yang perlu dimaafkan, Mas Danang. Aku sudah lebih dari bahagia punya anak-anak.”Kami mengakhiri panggilan karena ia harus segera mencari rumah buat April. Begitulah sekarang, seminggu pasca menikah lagi harinya banyak di sana. Kalaupun ke sini hanya sebentar, sempat minum, dan meyapa anak-anak sepulang sekolah. Sekadar berbasa-basi.Bulan madu memang masih sangat manis akan sayang kalau ia lewatkan. Aku paham itu.“Ma apa boleh aku nginap di rumah kak April?” Terdengar ragu Denok berkata begitu. Aku yang tengah melihat surat kerjasama dengan perusahaan pengolahan kayu lekas menyingkirkan berkas ke sisi meja, menatap wajah anakku yang terlihat segan.Senyum kuberikan, lalu menyentuh pipinya lembut. “Boleh aja, Sayang. Kenapa enggak, Ayah kan juga ada di sana.”Matanya berbinar senang, tapi terasa menggores silet di dalam dada.“Makasiih, Ma. Mama baiiik banget!” Tubuhku dipeluk dan pipi ini diciumnya gemas.Gadis manja kelas 2 SMP itu segera menelepon seseorang sambil berjalan ke kamar.“Kak April Mama bolehin. Jemput aku, ya! Oh Ayah? Oke aku siap-siap dulu.”Udara terasa sulit kuhela. Denok … masih begitu akrab dengannya.Kenapa ada nyeri terasa menyengat?Secara kasat mata aku menunjukkan ppenerimaan atas kehadiran April di antara diri dan mas Danang, tanpa
Cukup di benak kutahan rasa terkejut. Pernah berfirasat akan begini akhirnya, melihat bagaimana borosnya mereka menghambur uang, hanya tak menyangka kalau secepat ini terjadi.Aku tetap diam menunggu ia selesai bicara.“… aku ada cicilan besar dan tambang lagi ngadat.” Wajahnya terpasang memelas.“Sebesar berapa kok sampai terpikir jual pabrik, Mas?”Ia memberanikan diri menatapku. “Hutang di bank hampir milyaran, Dik … belum lagi yang pribadi, ini gara-gara aku main saham.”“Yang online itu?” Ia mengangguk lemah. “Ya Allah sejak dulu aku menentang keras Mas lakuin itu. Resikonya besar.”“Terlanjur … rumah mungkin akan disita. Sebagian isinya diambil Jumri, puluhan juta uangnya kupinjam.”Aku menghela nafas berat. “Kalian boros sekali. Belum setahun sudah mandi hutang. Kenapa bisa kelepasan begitu?&rdquo
Ia menegakkan badan mukanya mendekat dengan mata tajam. “Sudah lama kubiarkan keuangan kamu kuasai, Soraya. Kamu pikir aku bodoh. Dari awal menikahi April aku banting tulang sendiri!”Wah, wah rupanya ia selalu memikirkan bagiannya dalam pekerjaanku. Ke sini ku kira baik-baik saja, tapi ternyata menyimpan bara yang masih merah.Aku bangkit. “Kita bicara di kamar, Mas!”“Di sini saja. Denok akan paham, biar tahu ibunya itu seperti apa!’Astagfirrullah ….Aku kembali duduk.“Kita perlu membagi harta yang ada, aku punya keluarga tang harus kunafkahi, Aya. Keperluan pribadiku. Mana hasil dari pabrik yang sekarang makin laku? Mana bagianku? Selama ini aku diam tanpa mau tanya, berharap kamu sadar ada hakku di sana. Tapi memang
“Ayo, makan yang banyak.” Aku menyuapi Syifa yang masih pucat. Bibirnya putih dan kering. Kemarin Hb-nya sempat drop, sampai butuh transfusi sekantung darah. Awalnya aku mau memberi darah ini, tapi kondisi kelelahan membuat fisikku tak memenuhi syarat. Akhirnya pakai dari yang tersedia di rumah sakit saja. Kami memindahkannya dirawat di rumah sakit, ini sudah hari ketiga. Alhamdulillah, hasil pemeriksaan sementara tidak ada yang serius, walaupun masih butuh pemeriksaan lanjut. Keadaannya mulai membaik. Jantungku sempat dag dig dug terus menerus melihat kondisinya kemarin, kini bisa menarik napas lega. Mas Danang juga menyusul, ia tak tega melihat keadaan Syifa saat Nay meneleponnya via video. Ya Rabb … keadaan kemarin terasa menampar diri. Aku tersadar saat-saat kritis itu hanya ada kekuatan lewat munajat pada-Nya. Tuhanku … satu-satunya tempat berharap s
Bungsuku berubah.Apa itu hanya perasaanku yang sensitif? Ia menghindar kontak mata kalau kami bicara, itu pun kupaksa, sebab saat kami berpapasan selalu ada alasan Denok menghindar.“Denok ada masalah apa, Sayang? Bilang ke mama, mama pasti dengar.” Aku mengikutinya ke kamar, ia urung mau menutup pintu dan menguncinya dari dalam, seperti yang dilakukan akhir-akhir ini.Bibir kecil itu terkatup. Ia berbaring memiringkan badan membelakangiku.“Ngantuk. Capek.”Mau kuusap punggungnya tapi ditepis.“Denok … mama minta maaf kalau ada salah. Tapi mama belum tahu salahnya di mana? Coba bilang, biar mama bisa perbaiki.”“Gak ada. Aku mau tidur.” Hati ini tersayat saat buah hati memilih menyi
Mobil masuk di jalan daerah kampus Unpar, di sini area kumpulnya kos-kosan para mahasiswa. Aku bertanya pada beberapa pemuda, ternyata ada yang tahu nama Jerry anak ekonomi. Mereka menyebut cirinya, aku hanya mengiyakan berharap itu benar orangnya. Sampai lah di sini, jalan kecil aku turun. Mobil kutitip di depan rumah toko kue. Aku bertanya pada beberapa orang lagi, belum ada yang kenal. Ini memang konyol, aku begitu saja percaya omongan April, yang bisa saja membohongiku. Tapi Denok juga jelas berbohong, hapenya sekarang juga tidak bisa dihubungi. Denok … maafkan mama yang mungkin kurang memperhatikanmu. Mama terima sebesar apa pun amarahmu, asal kamu jujur. Dibohong begini rasanya mama gak sanggup. Sudah di jalan paling dalam langkahku terayun, kata pemuda yang kutanya barusan kos Jerry paling ujung sini. Ada dua kos empat pintu, posisi saling membelakangi.
Air mata sampai ke luar karena aku belum bisa berhenti ketawa. Mati juga dia! Haa.Segera kuletakkan koran begitu lihat suami datang dengan wajah super cerah.“Mas ….” Aku berdiri, mendekatinya sambil menggelayut manja, melingkari tangan di tengkuk, sun sayang tidak lupa.“Sudah lihat berita orang yang ganggu kamu itu OD?” tanyanya. Aku mengangguk bahagia.“Iya, Mas. Rasain tuh hukuman berat buat dia. Aku mana mau dekat dengannya kalau bukan diguna-gunain. Aku kan cintanya cuma sama Mas Danang ….” Makin kurapatkan badan, menariknya ke kamar rumah kami yang sekarang, ruang sedingin es selalu butuh sesuatu yang panas.Rumah baru sejak perceraian suamiku tercinta. Lihat saja, pernah semarah apa pun dia ini padaku hubungan kami pasti akan kembali membara.
“Apa?! Kecelakaan??!!”Aku berlari ke parkiran.“Di mana?!” tanyaku setengah berteriak.“Istrinya sudah ada di RSUD Doris, Pak-“Aku langsung putuskan panggilan, kantungi ponsel ke saku baju. Ya ampun, belum dua minggu mobil itu dibeli kok sudah kecelakaan segala. April, April!Aku gegas melajukan motor dari ke arah rumah sakit. Tanpa sempat tanya apa-apa, aku akan ke sana lihat kondisi istriku.Begitu sampai aku lari masuk ruang Gawat Darurat.“Di mana April?, Mana istriku?!” Aku menubruk perawat laki-laki.“April?”“Yang baru kecelakaan mobil!” Linglung, aku memutar-mutar melihat para pasien di di
POV Soraya Setelah tertegun sejenak, suami meletakkan ponselku di atas kasur, tepat di sisinya. Aku menatap semua pergerakannya dalam diam. Sepertinya memang ada yang tak kutahu. “Dek … maaf sebelumnya kalau mas belum cerita ini.” “Ceritakan saja, Mas. Saya siap dengar,” balasku tenang. Sesakit apa yang akan ia katakan, mungkin aku kuat karena pernah mengalaminya dulu. “Sebenarnya ini sudah lama. Mas mengenalnya sudah dua tahun belakangan. Hanya dia baru bilang suka beberapa bulan lalu.” Aku coba mengatur napas, untuk melonggarkan dada yang terasa nyeri dan sesak. Akankah ini terulang seperti Mas Danang dulu lakukan …? Tidak. Jangan ya, Rabb …! “Dia usia 40 tahun, belum menikah. Dan … bilang jatuh cinta pada mas.” Mas Mahesa mengambil tanganku, menggenggamnya erat. “Maafkan mas …” kalimatnya yang menggantung membuatku terpukul. Bayangan pengakuan Mas Danang dan April saat itu mengitari pikiran, menghantuiku. “Mas pernah
“Tante, apa kabar?”Aku yang mendapat sapaan itu langsung menoleh, seseorang perempuan berhijab panjang, dengan masker putih hingga yang terlihat hanya matanya.“Alhamdulillah, baik. Apa kabar juga,” balasku, tersenyum sambil mengingat-ngingat dia siapa.Seperti paham, ia menurunkan maskernya. Perempuan berwajah tirus dengan hidung lancip dan sedikit parut luka kecil di dekat hidung. Meski begitu dia tampak cantik.“Alhamdulillah baik juga, Tan. Saya … April,” ucapnya sambil meraih dan menyalim tanganku.“April?” Segera kubuka tangan memeluk tubuhnya. Sudah lumayan lama kami tak bertemu. “Senang bertemu kamu lagi.”Aku memang pernah dengar dia sakit, dan setelah sehat aku kemudian tak tahu lagi bagaimana hidupnya, hingga bisa bertemu di sini sekarang.April tampak jauh lebih baik.“Saya juga senang ketemu Tante.” Suaranya yang masih khas, tetapi kini
POV Danang“Saya minta maaf ... sangat mohon dimaafkan Al ... keluarga Mama, Papi, dan keluarga Ayah. Saya sudah terlalu jauh melangkah ... ini kesalahan besar yang sudah saya lakukan. Saya ... sudah menyakiti semua orang, terutama Almira.”Angger bicara begitu di malam harinya, saat kami sudah pulang dan berkumpul di rumah, kecuali Naya yang tetap tinggal di rumah besan.Semua kompak tinggal di rumah yang dulu Soraya beli saat anak-anak kuliah, dan sudah direnovasi berlantai tiga ini. Kami tidak ada yang menyewa hotel. Tempat ini lebih dari cukup untuk menikmati kebersamaan luar biasa, yang amat langka terjadi. Meski kami sudah bukan suami istri, Soraya tampak tak canggung menganggapku sebagai bagian dari keluarga.“Kami mendukungmu, Nak Angger. Keputusan apa pun memang hanya kalian berdua yang menjalani. Jika berdua sama-sama ingin bertahan, berjuanglah. Kami akan mendukung selama itu ke arah yang baik. Kami salut kamu be
Malam ini aku, Mas Mahesa juga Rama ngumpul di ruang tengah, kita baru selesai videocall dengan putri Mas Mahesa yang tinggal di Belanda. Rama dengan Bahasa Inggrisnya tadi amat fasih bicara dengan ponakan dan saudara lain di sana. Kontak kami memang sebatas video call, setelah tiga kali pertemuan secara langsung dengan gadis berwajah khas India itusangat ramah dan baik padaku, yang dipanggil Mami olehnya. “Kapan kita liburan ke Belanda?” Mas Mahesa bertanya. “Kalau liburan panjang bisa, Mas, sebelum Rama masuk SD, gimana?” “Bisa. Gimana, Dek Rama mau kita ketemu sama Mark dan Loui?” “Mau, Pi. Mau banget. Biar naik sepeda bareng.” Aku pun setujui kami akan liburan tiga bulan lagi. Selama fisik masih kuat ke manapun diajak suami oke aja. Beberapa tempat wisata di Indonesia sudah Mas Mahesa ajak. Ia termasuk laki-laki yang suka travelling, dan aku pun merasa ketularan. Masa tua kami isi sosial juga menjalin silaturahmi dengan ana
PoV Soraya“Pakabar Mama?” Pelukan dan cium pipi kiri kanan saat aku bertemu Almira di restoran.“Alhamdulillah, mama sehat. Kamu gimana, Sayang?”“Alhamdulillah, Ma.” Almira membuka tangan mengisyaratkan aku melihat kalau ia baik-baik saja.Aku tersenyum lega. “Kita ke ruang sana, yuk.” Tangan Al kemudian kugamit, kami mengikuti seorang waiters yang mengantarkan ke ruang pesananku.“Mama sempet nunggu, kah tadi?”“Enggak, kok, Al, papimu barusan aja pergi.”“Jadi beneran kita berdua aja nih?” Wajahnya sedikit heran melihat kami menyusuri lorong yang diapit susunan batu alam.“Skali-kali mama ngedate sama kamu, ya ‘kan?” godaku.“Aih, Mama. Tapi kok bikin deg-deg’an ya. Kita kemana? Kok, berasa kayak mau dikasih surprise. Masa aku lupa ini ulang tahunku?” katanya
POV DanangAh, harusnya ketenangan sudah kugenggam ... tapi kenapa terasa masih jauh. Setelah semua yang kuminta pada anak-anak terpenuhi, juga hubungan Adam yang membaik dengan April pun dikabulkan. Aku tetap merasa ada yang berlubang dalam dasar hati.Ada apa denganku ...?Pagi-pagi, seperti biasa keluar kamar aku langsung ke dapur, berpapasan dan berbagi senyum dengan Almira. Wajah pucatnya cepat mengurai senyum lebar setelah menyadari tatapanku, kurasa senyum itu sangat dipaksakan.“Ayah mau sarapan apa, nanti tinggal bilang simbok, ya, Al buru-buru piket pagi. Kalau bahan kurang atau butuh apa bisa wa aja, pulangnya Al belikan.”Di atas rasa sedih atas rumahtangganya ia masih memikirkan keperluanku. Dia pikir aku tak tahu apa-apa. Betapa aku merasa tak berguna sebagai ayah. Kalimatnya terasa menegurku yang selama ini terlalu banyak permintaan dan kecerewetan, termasuk tentang makanan.“Ah, ayah a
“Wuaah, ini ajaib, Mama Al.” “Cakepnya, anak bule, kulit putih ambil mamanya, hidung mancung dari papanya.” “Kada nyangka, Aya, ikam kawa bisi anak lagi.” (Nggak nyangka, Aya, kamu bisa punya anak lagi) Itu sebagian kecil beragam komentar kawan-kawan saat aku lahiran, bahkan sampai sekarang. Sejak hamil sampai melahirkan mereka rutin lakukan panggilan video, ikut gemas lihat perkembangan anakku. Sekarang Rama sedang aktif-aktifnya melangkah, seperti mau cepat bisa lari. Otot kakinya sudah kuat, tak pernah terlihat jatuh lagi. Aku bersyukur atas kesehatannya ini. Dua perawat siaga, satu bertugas untuk Rama, satu untukku. Suami benar-benar memanjakan kami dengan kemampuannya. Ia melarangku terlalu lelah mengejar Rama yang sangat aktif bermain. “Biarkan yang muda aja
PoV SorayaHari di mana anak-anak memberi hadiah untukku, lukisan pemandangan yang menggetarkan hati. Sangat mengharukan, karena di situ ada kenangan dua orang yang tersimpan dalam.Pertama, tempat itu tempat Mas Danang dulu mengutarakan isi hati. Getaran cinta pertama pada lawan jenis. Kenapa bisa di sana, ya karena aku mengenalnya saat study tour kelas 2 SMA ke Jogja. Ia lebih tua 6 tahun dariku, bertemu di Borobudur langsung bilang suka dalam pandangan pertama. Jodoh menggariskan kami bertemu lagi di Palangkaraya dua tahun kemudian, lalu menikah di usiaku yang masih terbilang muda.Kedua, itu tempat kenangan bersama Mas Mahesa juga. Getaran pertama muncul makin kuat padanya, ia pernah dalam diam menungguku menikmati pemandangan bak karpet hijau terpampang di depan mata. Meski sudah tua saat itu, tapi getarku padanya sempat membuat diri
PoV Denok“Iya, iya. Kewajiban seorang mama ya memang begitu. Memastikan kalau anak-anaknya tumbuh baik.”“Termasuk harus berbohong?” Kututup mulut yang refleks bertanya.“Bohong buat kebaikan kenapa enggak?”“Ih, namanya Mama jahat sama diri sendiri.” Aku memeluk kakinya, mata hampir kembali basah.“Al, Nay, Fa, Denok … kalian dengarkan, ya. Mama ini sayang diri sendiri, sayang kalian-““Sayang Ayah?” Mama terhenti melihatku.Mengatup mulut sedikit mengangguk.“Ya, mama akui sayang ayahmu juga … 21 tahun bersama sebelum peristiwa itu bukanlah waktu sebentar. Kebaikan ayah kalian, di awal kami membangun rumah tangga