Alya berulang kali mencuci tangannya dengan ekspresi dingin.Dia berpikir, kalau dia sendiri menyentuh Hana, tampaknya dia tidak akan bereaksi seperti ini. Dia tidak merasakan apa pun terhadap Hana.Namun, begitu dia teringat Rizki yang bersama dengan Hana semalam, dia merasa kotor, sangat kotor.Kekotoran semacam ini, secara psikologis menimbulkan rasa jijik.Cuacanya memang sudah dingin. Setelah dia cuci tangan berkali-kali, kehangatan yang baru saja kembali ke tangannya pun menghilang. Tangannya jadi sedingin es.Alya mengeringkan tangannya, lalu berbalik dan berjalan keluar dari toilet.Tiba-tiba langkah kakinya terhenti, dia melihat Rizki yang sedang bersandar di pintu masuk.Dia bersandar di sana, sedikit menunduk dan menatap ke lantai. Profil pria itu membuat wajahnya tampak sangat tiga dimensi dan tampan. Siapa pun bahkan dapat melihat bulu matanya yang panjang.Mendengar suara gerakan, Rizki pun mendongak dan menatap Alya. Tatapannya yang dalam jatuh ke tangan wanita itu.Akib
Alya dengan refleks membantah, "Nggak."Kemudian, Alya segera bertanya kembali, "Siapa yang mengatakan itu padamu?"Mendengar ini, Rizki menyipitkan matanya. "Benarkah nggak? Kamu ingin tahu siapa yang memberitahuku?""Oh." Alya dengan tidak setuju berkata, "Aku Ingin tahu siapa yang ahli menyebarkan rumor, Faisal? Andi? Benar, Andi meneleponku dan memberitahuku bahwa kamu mabuk. Dia memintaku untuk menjemputmu. Sebelum aku sempat menolak, dia sudah menutup teleponnya."Rizki mengerutkan kening, menatap Alya yang tampak berbicara dengan tenang."Tadinya aku ingin meminta Kepala Pelayan untuk menjemputmu, tapi malam sudah larut. Kepala Pelayan sudah makin tua, nggak baik untuk mengganggunya. Aku pikir dengan adanya Andi dan Faisal, akan ada orang-orang yang mengurusmu. Jadi meskipun kamu mabuk, nggak akan ada masalah.""Jadi?"Penjelasan Alya terdengar sangat lancar, seolah sama sekali tidak ada masalah."Jadi setelah aku memikirkan itu, aku tidur."Setelah selesai berbicara, Alya menat
Alya membungkuk untuk melihat data di layar komputer.Pola makan dan tidur dicatat dengan jelas di komputer. Karena sanatorium memiliki banyak pasien, para perawat tidak mungkin mengingat secara detail kebiasaan setiap orang.Jadi untuk dapat membedakan pasien-pasiennya dengan baik, sanatorium akan mencatat semua detail ini.Alya membaca data itu dengan saksama. Seperti yang dikatakan sang perawat, perubahannya sangat sedikit. Begitu tak kentara hingga hampir dapat diabaikan.Biasanya sanatorium memiliki kisaran. Jika tidak melebihi kisaran itu, maka hal tersebut dianggap normal.Alya mengatupkan bibirnya, merasa sedikit berat hati.Mungkin, dia hanya berpikir berlebihan?Dia dapat merasakannya, emosi Nenek sepertinya sedikit berubah, tetapi tidak ke arah yang positif."Nyonya Alya, aku mengerti kekhawatiranmu terhadap Nyonya Wulan. Tapi ... mungkinkah kekhawatiranmu membuatmu bingung?"Alya tidak membantahnya, bahkan dia menuruti perkataannya dan berkata, "Hm, mungkin kekhawatiranku m
Wulan terdiam sejenak, lalu bertanya, "Operasinya dimajukan?""Ya."Setelah itu Wulan terdiam.Melihat sang nenek dari samping, Alya berpikir sejenak sebelum berkata, "Nenek, walaupun operasi terdengar menyeramkan, sebenarnya prosesnya nggak semenakutkan itu. Saat itu, Nenek hanya perlu tidur sebentar. Ketika bangun nanti, Nenek akan mendapati diri Nenek sudah sembuh."Saat mengatakan ini, nada bicara Alya terdengar ceria dan sedikit jail.Rizki pun tak bisa menahan diri untuk meliriknya.Alya sudah lama tidak kelihatan sesemangat ini.Mungkin emosi Alya telah memengaruhi sang nenek, Wulan pun tersenyum dan berkata, "Kamu selalu tahu cara membuatku senang.""Apanya. Nenek, semua yang kukatakan itu benar. Kalau Nenek nggak percaya, besok Nenek bisa tanyakan pada Dokter.""Ya, ya, aku tahu kamu mengkhawatirkanku. Aku nggak takut."Ketika mereka meninggalkan sanatorium, waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam.Tadinya Alya ingin menemani lebih lama lagi, tetapi Wulan harus istirahat. Jadi,
Sang sopir hanya terdiam.Tuannya belum masuk ke dalam mobil.Sang sopir dengan hati-hati melirik ke arah Rizki yang berdiri di luar, raut wajah pria itu sangat suram. Dengan suara kecil sopir itu bertanya, "Nyonya, Tuan ....""Dia ada urusan, jadi dia nggak naik mobil ini. Ayo kita pergi."Sang sopir tidak berani berbicara, tetapi dia juga tidak berani menjalankan mobilnya. Meskipun Rizki adalah majikannya, tetapi dia juga mengerti, yang duduk di belakang adalah istrinya Rizki. Tuan mereka biasanya sangat mudah terpengaruh, terutama oleh istrinya. Sebagian besar keputusan dibuat oleh Alya.Sopir itu tidak berani menyinggung Rizki ataupun Alya.Sesaat kemudian, pintu mobil tiba-tiba terbuka tanpa peringatan. Lalu, Rizki menunduk untuk masuk ke mobil.Alya memandangnya.Rizki menyilangkan kakinya, tatapan dinginnya terpaku pada sopir di kursi depan. "Jalankan mobilnya."Suaranya terdengar tak acuh dan dingin. Sang sopir tidak berani untuk berdiam lebih lama dan cepat-cepat menjalankan m
Perkataan Rizki benar. Data yang Alya peroleh memang menunjukkan adanya perubahan, yang secara tidak langsung menandakan bahwa perasaanya tidak salah.Alya mengeluarkan suara setuju dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya merapikan data tersebut lalu menyimpannya.Setelah merapikan data tersebut, dia teringat sesuatu dan berkata pada Rizki, "Sebenarnya, aku rasa Nenek takut dioperasi. Sore tadi seharusnya kamu nggak memberi tahu Nenek kalau jadwal operasinya akan dimajukan."Mendengar ini, Rizki tertegun sejenak."Benarkah?""Ya."Dia memandang Alya dan melihat ekspresi yang sangat tulus di wajah cantik itu. Tiba-tiba dia menyadari, apa yang dikatakan gadis ini di sanatorium tadi bukanlah kebohongan.Alya memang berkata bahwa kepeduliannya terhadap Nenek bukan karena dirinya.Kalimat itu tidak dia ucapkan hanya karena marah.Gadis ini sungguh menganggap Nenek sebagai neneknya sendiri.Memikirkan hal ini, Rizki sedikit tersenyum. "Baik, aku mengerti. Nanti aku akan menghiburnya."K
Namun, bila dilihat dari sudut pandang yang berbeda, Hana adalah orang yang Rizki sukai. Wajar saja jika pria itu tidak menyembunyikan apa pun dari Hana.Jadi sekarang Alya pun mengerti. Akan tetapi dari sudut pandangnya sendiri, dia masih tidak bisa menyetujuinya.Meskipun dia tidak setuju, selama periode waktu ini dia masih harus berpura-pura tenang.Setelah Alya selesai membersihkan dirinya, dia melihat Rizki yang berbaring di atas sofa.Kemungkinan pria itu lelah, melepas mantelnya, lalu berbaring di sana sambil memejamkan mata.Mendengar suara gerakan, pria itu membuka matanya dan menatap Alya.Alya sudah menatapnya sejak tadi. Ditatap oleh Rizki seperti ini, tatapan mereka berdua pun bertemu dengan dingin. Dengan canggung Alya pun mengalihkan pandangannya.Namun, Rizki tidak peduli, lalu dengan santai bertanya, "Sudah selesai mandinya?"Alya merespons dengan suara kecil, "Hm.""Kalau begitu aku juga mau mandi."Setelah itu, Rizki berdiri dan pergi ke kamar mandi.Setelah 30 menit
"Ya, gencatan senjata."Alya dengan lembut menganggukkan kepalanya. "Bisakah kita kembali seperti dulu?"Kembali seperti dulu?Hati Rizki melompat kegirangan mendengar perkataan itu. Dia sendiri tidak menyadarinya, dia sedikit tergagap ketika berkata, "Kamu, maksudmu ...."Alya meliriknya, lalu menunduk dan berkata dengan serius, "Dalam perjalan pulang, aku sudah memikirkannya dengan sungguh-sungguh. Sekarang emosi Nenek tampak stabil, perubahan-perubahan kecil itu sepertinya nggak akan menjadi masalah. Tapi karena operasinya tinggal setengah bulan lagi, saat ini kita nggak perlu lagi berdebat. Nantinya, jangan sampai Nenek melihat tanda-tanda yang dapat memengaruhi kondisinya."Sampai di sini, Rizki tampaknya memahami sesuatu."Jadi maksudmu ....""Apa kamu belum mengerti maksudku? Sekarang adalah saat yang kritis, jadi kita harus bekerja sama dengan baik. Setelah setengah bulan, kamu bisa melakukan apa pun yang kamu mau. Nggak ada siapa pun, juga apa pun, yang bisa menghalangimu."Al