Membicarakan Rizki, Alya teringat akan pemandangan yang dilihatnya di luar bar semalam.Di mana orang itu?Orang itu tentu saja sudah dibawa pulang oleh Hana.Mengenai apa yang terjadi dan apa yang dilakukan Rizki semalam, Wulan tidak mengetahuinya sampai sekarang. Alya merasa bahwa ini sudah cukup jelas.Walaupun kesal, Alya tidak bisa menunjukkannya di depan Wulan. Akhirnya, dia hanya bisa mencarikan Rizki alasan yang akan sulit diketahui kebenarannya."Semalam dia bergadang, jadi hari ini dia nggak bisa bangun."Setelah memberikan alasan itu, Alya tiba-tiba tersadar bahwa apa yang dikatakannya juga benar. Pria itu memang bergadang, hanya saja apa yang pria itu lakukan tidak diketahui oleh orang lain.Mendengar jawabannya, wajah sang nenek seketika tampak kecewa. "Dia sudah sebesar itu tapi masih saja bergadang."Alya hanya tersenyum dan tidak membalasnya.Melihat sikap Alya yang tenang, wanita tua itu menghela napas. "Hanya kamu yang bisa menoleransi sifatnya.""Nggak juga," ucap Al
Orang itu bertubuh tinggi dan ramping, wajahnya tampan, tetapi tatapan matanya dingin.Ketika pandangan mereka bertemu, langkah Alya seketika terhenti."Rizki?"Melihat Rizki di sini, jelas Wulan sangat terkejut."Nenek," Rizki memanggil sang nenek dengan suara beratnya.Suaranya agak serak, memancarkan keseksian yang melankolis.Alya terkekeh pelan, suaranya hampir tidak terdengar.Namun, sepertinya Rizki mendengarnya. Pria itu mengangkat pandangannya dan menatap Alya dalam-dalam."Apa yang terjadi? Alya bilang kamu habis bergadang dan nggak bisa bangun, jadi aku kira hari ini kamu nggak datang."Rizki tidak menduga Alya akan mencarikannya alasan seperti ini.Dia mengatupkan bibirnya, lalu berkata pada sang nenek dengan nada merayu, "Jangankan bergadang, walau aku nggak tidur sampai pagi pun, aku tetap harus datang untuk menemui Nenek.""Dasar mulut manis," ucap Wulan sambil pura-pura kesal, tetapi senyum di wajahnya tak bisa disembunyikan.Kemudian, Rizki menghampiri Alya dan berkata
Melihat pesan tersebut, Alya refleks mengangkat kepalanya dan menatap Rizki. Tatapan Alya pun bertemu dengan mata hitamnya yang dalam itu.Pria itu sedang menatapnya dengan tajam.Setelah berkontak mata sesaat, Alya membuang muka dan mengabaikannya.Rizki tak bisa berkata-kata.Ponselnya bergetar lagi, Alya lalu kembali mengambil ponselnya dan membaca pesan tersebut."Kemarilah."Tidak, dia tidak mau."Setelah Nenek dioperasi, kamu bisa melakukan apa pun yang kamu mau. Sekarang menurutlah sedikit, ayo kerja sama denganku. Bukankah kamu bilang hubungan kita ini sebuah transaksi?"Kalimat terakhir pesan itu membuat Alya akhirnya tersadar.Benar, sejak awal hubungan mereka adalah transaksi.Ini adalah hal yang sudah mereka sepakati bersama, kenapa sekarang dia merasa sentimental?Dengan pemikiran ini, Alya menarik napas dalam-dalam, lalu perlahan dia pun menghampiri Rizki.Meskipun dia sudah mempersiapkan mentalnya, setiap langkah yang dia ambil untuk menghampiri Rizki masih terasa sangat
Alya berulang kali mencuci tangannya dengan ekspresi dingin.Dia berpikir, kalau dia sendiri menyentuh Hana, tampaknya dia tidak akan bereaksi seperti ini. Dia tidak merasakan apa pun terhadap Hana.Namun, begitu dia teringat Rizki yang bersama dengan Hana semalam, dia merasa kotor, sangat kotor.Kekotoran semacam ini, secara psikologis menimbulkan rasa jijik.Cuacanya memang sudah dingin. Setelah dia cuci tangan berkali-kali, kehangatan yang baru saja kembali ke tangannya pun menghilang. Tangannya jadi sedingin es.Alya mengeringkan tangannya, lalu berbalik dan berjalan keluar dari toilet.Tiba-tiba langkah kakinya terhenti, dia melihat Rizki yang sedang bersandar di pintu masuk.Dia bersandar di sana, sedikit menunduk dan menatap ke lantai. Profil pria itu membuat wajahnya tampak sangat tiga dimensi dan tampan. Siapa pun bahkan dapat melihat bulu matanya yang panjang.Mendengar suara gerakan, Rizki pun mendongak dan menatap Alya. Tatapannya yang dalam jatuh ke tangan wanita itu.Akib
Alya dengan refleks membantah, "Nggak."Kemudian, Alya segera bertanya kembali, "Siapa yang mengatakan itu padamu?"Mendengar ini, Rizki menyipitkan matanya. "Benarkah nggak? Kamu ingin tahu siapa yang memberitahuku?""Oh." Alya dengan tidak setuju berkata, "Aku Ingin tahu siapa yang ahli menyebarkan rumor, Faisal? Andi? Benar, Andi meneleponku dan memberitahuku bahwa kamu mabuk. Dia memintaku untuk menjemputmu. Sebelum aku sempat menolak, dia sudah menutup teleponnya."Rizki mengerutkan kening, menatap Alya yang tampak berbicara dengan tenang."Tadinya aku ingin meminta Kepala Pelayan untuk menjemputmu, tapi malam sudah larut. Kepala Pelayan sudah makin tua, nggak baik untuk mengganggunya. Aku pikir dengan adanya Andi dan Faisal, akan ada orang-orang yang mengurusmu. Jadi meskipun kamu mabuk, nggak akan ada masalah.""Jadi?"Penjelasan Alya terdengar sangat lancar, seolah sama sekali tidak ada masalah."Jadi setelah aku memikirkan itu, aku tidur."Setelah selesai berbicara, Alya menat
Alya membungkuk untuk melihat data di layar komputer.Pola makan dan tidur dicatat dengan jelas di komputer. Karena sanatorium memiliki banyak pasien, para perawat tidak mungkin mengingat secara detail kebiasaan setiap orang.Jadi untuk dapat membedakan pasien-pasiennya dengan baik, sanatorium akan mencatat semua detail ini.Alya membaca data itu dengan saksama. Seperti yang dikatakan sang perawat, perubahannya sangat sedikit. Begitu tak kentara hingga hampir dapat diabaikan.Biasanya sanatorium memiliki kisaran. Jika tidak melebihi kisaran itu, maka hal tersebut dianggap normal.Alya mengatupkan bibirnya, merasa sedikit berat hati.Mungkin, dia hanya berpikir berlebihan?Dia dapat merasakannya, emosi Nenek sepertinya sedikit berubah, tetapi tidak ke arah yang positif."Nyonya Alya, aku mengerti kekhawatiranmu terhadap Nyonya Wulan. Tapi ... mungkinkah kekhawatiranmu membuatmu bingung?"Alya tidak membantahnya, bahkan dia menuruti perkataannya dan berkata, "Hm, mungkin kekhawatiranku m
Wulan terdiam sejenak, lalu bertanya, "Operasinya dimajukan?""Ya."Setelah itu Wulan terdiam.Melihat sang nenek dari samping, Alya berpikir sejenak sebelum berkata, "Nenek, walaupun operasi terdengar menyeramkan, sebenarnya prosesnya nggak semenakutkan itu. Saat itu, Nenek hanya perlu tidur sebentar. Ketika bangun nanti, Nenek akan mendapati diri Nenek sudah sembuh."Saat mengatakan ini, nada bicara Alya terdengar ceria dan sedikit jail.Rizki pun tak bisa menahan diri untuk meliriknya.Alya sudah lama tidak kelihatan sesemangat ini.Mungkin emosi Alya telah memengaruhi sang nenek, Wulan pun tersenyum dan berkata, "Kamu selalu tahu cara membuatku senang.""Apanya. Nenek, semua yang kukatakan itu benar. Kalau Nenek nggak percaya, besok Nenek bisa tanyakan pada Dokter.""Ya, ya, aku tahu kamu mengkhawatirkanku. Aku nggak takut."Ketika mereka meninggalkan sanatorium, waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam.Tadinya Alya ingin menemani lebih lama lagi, tetapi Wulan harus istirahat. Jadi,
Sang sopir hanya terdiam.Tuannya belum masuk ke dalam mobil.Sang sopir dengan hati-hati melirik ke arah Rizki yang berdiri di luar, raut wajah pria itu sangat suram. Dengan suara kecil sopir itu bertanya, "Nyonya, Tuan ....""Dia ada urusan, jadi dia nggak naik mobil ini. Ayo kita pergi."Sang sopir tidak berani berbicara, tetapi dia juga tidak berani menjalankan mobilnya. Meskipun Rizki adalah majikannya, tetapi dia juga mengerti, yang duduk di belakang adalah istrinya Rizki. Tuan mereka biasanya sangat mudah terpengaruh, terutama oleh istrinya. Sebagian besar keputusan dibuat oleh Alya.Sopir itu tidak berani menyinggung Rizki ataupun Alya.Sesaat kemudian, pintu mobil tiba-tiba terbuka tanpa peringatan. Lalu, Rizki menunduk untuk masuk ke mobil.Alya memandangnya.Rizki menyilangkan kakinya, tatapan dinginnya terpaku pada sopir di kursi depan. "Jalankan mobilnya."Suaranya terdengar tak acuh dan dingin. Sang sopir tidak berani untuk berdiam lebih lama dan cepat-cepat menjalankan m