Kedua anak itu dengan patuh masuk ke rumah.Alya pun menutup pintunya lagi.Kemudian Alya berdiri diam, terdapat keheningan di antara mereka berdua.Setelah cukup lama, Alya akhirnya menoleh dan tersenyum pada Irfan."Bukankah kamu belum makan malam? Aku ingat ada restoran kecil di dekat sini, mau ke sana?"Entah apakah Irfan tidak terpengaruh olehnya atau karena ada alasan lain, begitu mendengar saran Alya, dia segera mengangguk dengan senyum tipis di wajahnya."Ayo."Mereka berdua pun turun ke lantai bawah bersama.Sementara itu di dalam rumah, begitu masuk ke dalam, kedua anak itu segera berbaring di depan pintu dan berusaha mendengarkan suara di luar. Akan tetapi, kekedapan suara pintu ini terlalu bagus. Mau menggunakan posisi apa pun, mereka tidak bisa mendengar sedikit pun suara di luar.Beberapa waktu kemudian, Maya menoleh dan memandang wajah serius kakaknya."Kakak, apakah Mama dan Paman Irfan bertengkar?"Kata "bertengkar" membuat alis Satya sedikit berkerut, lalu dia berkata
Irfan menurunkan pandangannya."Sore tadi kamu nggak mau aku menemanimu lihat-lihat mobil, apakah itu karena kamu mau mengatakan hal-hal ini padaku?""Nggak, aku hanya tiba-tiba nggak ingin ditemani olehmu."Saat ini Alya terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan dingin, "Seandainya kamu nggak datang ke gerbang sekolah anak-anak, aku nggak akan pulang naik mobilmu. Sekarang aku juga nggak akan duduk di sini dan berbicara denganmu. Aku ... sangat kesal padamu."Mendengar ini, ekspresi terkejut muncul di wajah Irfan yang biasanya lembut."Kesal?""Ya, aku nggak mencintaimu. Sebelumnya aku sudah bilang padamu, tapi kamu terus menggangguku. Setiap hari, aku harus menghabiskan waktuku untuk berurusan denganmu. Aku sangat kesal. Terutama setelah kembali ke negara ini, aku sudah nggak punya kesabaran lagi untuk berurusan denganmu. Jadi, bisakah kamu berhenti membuang-buang waktumu dan cari orang lain saja?"Sebuah rasa dingin melintas di mata Irfan, seolah-olah dia tidak dapat memercayai apa y
Setelah dibantu Irfan berdiri, pelayan itu melihat ekspresi khawatir Irfan. Seketika dia pun menjadi bingung.Apakah pria lembut di depannya ini sama dengan pria kasar yang tadi?"A ... aku nggak apa-apa."Namun, pria itu tidak melepaskannya. Sebaliknya, pria itu membantahnya, lalu menarik lengan bajunya untuk memeriksa.Begitu lengan bajunya diangkat, Irfan dapat melihat bahwa tangan gadis ini sangat merah.Raut wajah Irfan berubah, dengan suara beratnya dia berkata, "Ayo dinginkan dulu dengan air dingin.""Oke ...."Kemudian Irfan pun menemani gadis itu ke belakang restoran. Sementara pelayan itu membasuh tangannya dengan air dingin, Irfan terus bersandar di samping dan menunggunya.Berkat air dingin, rasa sakit dari luka bakarnya dengan cepat berkurang. Karena cuaca yang dingin, tangannya hampir mati rasa setelah dibasuh air dingin.Begitu dia keluar, Irfan berdiri di depannya."Aku benar-benar minta maaf, aku akan mengantarmu ke rumah sakit.""Nggak ... nggak usah, ini hanya luka b
Dilihat dari situasi akhir-akhir ini, sepertinya yang paling mungkin adalah kemungkinan yang pertama.Jika kemungkinan yang terakhir, sekarang adalah jam istirahat, bagaimana mungkin orang itu tidak punya waktu untuk mengecek pesan di ponselnya?Setelah memikirkannya, Alya memutuskan untuk beristirahat.Keesokan harinya.Karena Angga adalah orang lokal di sini, Alya pun membicarakan keinginannya untuk menyewa rumah pada pria itu. Alya ingin bertanya apakah dia mengetahui beberapa pilihan tempat tinggal.Mendengar ini, Angga berkata, "Kamu mau menyewa rumah? Tiba-tiba sekali? Seharusnya kamu mengurus semua ini sebelum ke Juwana."Alya tidak berniat untuk memberitahukan masalah pribadinya pada Angga, jadi dia hanya tersenyum tipis."Aku punya alasanku, pokoknya beri tahu saja apa yang kamu tahu."Angga sejak dulu adalah orang yang cerdik, begitu mendengar ucapan Alya, dia mengangkat alisnya dan berkata, "Jangan-jangan, tempat yang sebelumnya kamu tinggali itu disiapkan oleh Pak Irfan, ya
Memikirkan bagaimana Johan mungkin akan membuat kedua anak itu memiliki kesan yang buruk tentangnya, Rizki makin mengerutkan alisnya.Dia sudah berusaha keras, berharap Satya akan menurunkan kewaspadaannya terhadap dirinya, dengan begitu dia pun bisa lebih dekat dengan kedua anaknya.Namun, bila hasilnya malah berlawanan dengan bayangannya, maka untuk apa dia membawa anak ini ke sini?Memikirkan hal ini, Rizki menatap Johan dengan makin intens.Johan yang duduk di sana merasa seolah-olah punggungnya membeku.Seram sekali, dia ingin pulang.Cahya yang duduk di depan tidak bisa menahan dirinya lagi, dia pun dengan sendirinya berkata, "Pak Rizki, jangan terburu-buru. Johan hanya anak 5 tahun. Kalau kamu terus berwajah suram seperti itu, tentu saja dia akan takut padamu."Mendengar ini, Rizki berhenti bergerak. "Begitukah?"Cahya membalas, "Siapa bilang nggak? Kalau kamu memperlakukan Maya dan Satya seperti ini, bukankah mereka akan takut padamu seperti Johan sekarang?"Ucapan Cahya membua
Maya dengan cepat menerima permen itu.Rizki juga memberikan sebuah permen pada Satya. Satya menerimanya dengan lebih menahan diri, dia tidak langsung memakannya.Sebaliknya, dia menatap Johan yang tiba-tiba muncul di samping Rizki.Johan juga menatap Satya dan Maya. Baginya, kedua anak ini terlihat sangat elok dan cantik. Meskipun dia hanya berusia 5 tahun, beberapa perasaan sudah terbentuk di dalam benaknya.Kedua anak di depannya ini terlihat lebih "berharga" dibandingkan dia.Dia pun menurunkan pandangannya dan tanpa sadar bergerak ke belakang Rizki."Eh??"Gerakan Johan telah menangkap perhatian Maya. "Paman, apakah ini anakmu?"Rizki terdiam.Dia merapatkan bibirnya, lalu dengan tak berdaya menyangkal, "Kurang lebih begitu. Tapi dia bukan anakku, dia anak kerabatku."Mendengar ini, mata Maya yang besar dan berkilauan pun melebar. "Apa dia anak yang waktu itu Paman bilang akan bersekolah di sini?""Ya. Orang tuanya sibuk, jadi mereka memintaku untuk mencarikan sekolahnya."Dulu, R
"Jadi, Kakak hanya takut akan buang-buang makanan? Bukan suka makan roti burger?"Satya tampak tak bisa memercayai adiknya, memangnya siapa yang suka makan rotinya saja?"Ya.""Maaf ya, Kakak. Mulai sekarang Maya akan makan sendiri rotinya."Mungkin karena memikirkan dirinya yang harus makan roti burger, wajah kecil Maya jadi mengkerut. Jangankan roti burger, dia bahkan selalu menyisihkan selada dari burgernya.Namun, kakaknya selalu menghabiskan sisa makanannya, jadi dia pun mengira kakaknya menyukai makanan itu.Kedua anak kecil itu mendiskusikan masalah ini, Rizki yang mendengarkan dari samping pun pada akhirnya tertawa."Kalau kalian nggak mau memakannya, Paman akan memakannya untuk kalian."Meskipun dia juga tidak menyukainya.Burger?Bagi Rizki, makanan semacam itu hanyalah makanan cepat saji. Akan tetapi, sepertinya banyak anak kecil dan anak muda yang menyukainya.Tentu saja, bila Cahya dapat mendengar isi pikirannya, asistennya itu pasti akan mencemooh, "Pak Rizki, memangnya k
"Maaf, kemarin aku ada urusan mendesak dan nggak bisa datang."Orang itu tidak datang, Alya juga tidak pergi.Alya minta maaf, orang itu juga minta maaf.Alya tidak bisa marah karena dia tidak punya dasar untuk melakukannya, dia pun hanya bisa bertanya: "Apa kamu masih butuh uang tunai ini? Bagaimana kalau aku transfer saja padamu?"Tadinya Alya kira orang itu akan menolak, tetapi ternyata kali ini orang itu setuju dan mengirimkannya sebuah nomor rekening dan nama."Wira Haryanto?"Marganya Haryanto?Alya tidak berpikir panjang dan mengirimkan uangnya ke rekening tersebut.Setelah itu, dia memberitahunya melalui pesan bahwa dia sudah mengirim uangnya. Kemudian Alya masuk ke ruang rapat.Begitu menerima pesannya, Rizki pun memberi tahu asistennya. Cahya segera menghubungi Wira. Setelah mengetahui hal ini, Wira langsung mengirimkan uang itu pada Cahya.Wira melihat banyaknya angka nol pada jumlah itu dengan iri.Akan tetapi, kejadian dalam 2 hari ini telah membuatnya bingung. Lagi pula,