"Jadi, Kakak hanya takut akan buang-buang makanan? Bukan suka makan roti burger?"Satya tampak tak bisa memercayai adiknya, memangnya siapa yang suka makan rotinya saja?"Ya.""Maaf ya, Kakak. Mulai sekarang Maya akan makan sendiri rotinya."Mungkin karena memikirkan dirinya yang harus makan roti burger, wajah kecil Maya jadi mengkerut. Jangankan roti burger, dia bahkan selalu menyisihkan selada dari burgernya.Namun, kakaknya selalu menghabiskan sisa makanannya, jadi dia pun mengira kakaknya menyukai makanan itu.Kedua anak kecil itu mendiskusikan masalah ini, Rizki yang mendengarkan dari samping pun pada akhirnya tertawa."Kalau kalian nggak mau memakannya, Paman akan memakannya untuk kalian."Meskipun dia juga tidak menyukainya.Burger?Bagi Rizki, makanan semacam itu hanyalah makanan cepat saji. Akan tetapi, sepertinya banyak anak kecil dan anak muda yang menyukainya.Tentu saja, bila Cahya dapat mendengar isi pikirannya, asistennya itu pasti akan mencemooh, "Pak Rizki, memangnya k
"Maaf, kemarin aku ada urusan mendesak dan nggak bisa datang."Orang itu tidak datang, Alya juga tidak pergi.Alya minta maaf, orang itu juga minta maaf.Alya tidak bisa marah karena dia tidak punya dasar untuk melakukannya, dia pun hanya bisa bertanya: "Apa kamu masih butuh uang tunai ini? Bagaimana kalau aku transfer saja padamu?"Tadinya Alya kira orang itu akan menolak, tetapi ternyata kali ini orang itu setuju dan mengirimkannya sebuah nomor rekening dan nama."Wira Haryanto?"Marganya Haryanto?Alya tidak berpikir panjang dan mengirimkan uangnya ke rekening tersebut.Setelah itu, dia memberitahunya melalui pesan bahwa dia sudah mengirim uangnya. Kemudian Alya masuk ke ruang rapat.Begitu menerima pesannya, Rizki pun memberi tahu asistennya. Cahya segera menghubungi Wira. Setelah mengetahui hal ini, Wira langsung mengirimkan uang itu pada Cahya.Wira melihat banyaknya angka nol pada jumlah itu dengan iri.Akan tetapi, kejadian dalam 2 hari ini telah membuatnya bingung. Lagi pula,
Dibandingkan dengan kegembiraan Maya, Satya masih tampak sangat tenang.Sementara itu, Johan yang berada di samping mereka pun tak dapat menahan dirinya untuk menelan ludah.Meskipun keluarganya tidak miskin dan pendapatan orang tuanya cukup baik, kebanyakan dari uang mereka harus digunakan untuk membayar cicilan rumah yang mahal. Oleh karena itu, makanan-makanan seperti ini adalah hal yang cukup langka untuknya.Bahkan, dia belum tentu dapat memakannya sebulan sekali."Nih."Maya mengambil burger yang pertama dan memberikannya pada Johan.Tadinya Johan hendak menerimanya, tetapi dia terpikirkan sesuatu dan berhenti. Sebaliknya, dia malah menatap Rizki.Paman Cahya memang menyuruhnya untuk memanggil pria ini paman, tetapi sejak tadi pagi, dia masih belum berani memanggil pria itu.Dia selalu merasa bahwa Rizki itu galak. Jika dia membuat Rizki kesal, dia mungkin akan berada dalam masalah.Melihatnya ragu, Maya pun mengikuti arah pandangannya.Senyum Rizki untuk sesaat membeku.Kenapa a
Johan mengangguk."Nanti kamu naik saja mobilnya.""Baik, Paman."Setelah berpamitan pada anak-anak itu, Rizki pun meninggalkan sekolah.Begitu keluar gerbang, wajah Rizki menjadi agak pucat. Dia menutupi mulutnya dengan tangan dan mengerutkan keningnya.Cahya cepat-cepat memberikannya sebuah termos."Pak Rizki, lambungmu masih belum sembuh. Makan makanan cepat saji seperti itu nggak bagus untuk lambungmu."Rizki menerima termos tersebut dan meminumnya beberapa teguk dengan ekspresi dingin.Melihat ini, Cahya pun menyodorkan beberapa pil.Rizki menatap pil-pil itu, tetapi tidak mengambilnya."Pak Rizki, tolong minumlah obatmu. Kalau kamu sakit, nanti kamu nggak akan bisa melihat kedua anak itu.""...."Rizki pun terbujuk oleh ucapannya, tanpa berbicara dia pun mengambil pil-pil itu dan menelannya.Cahya diam-diam senang.Baguslah. Dulu Rizki selalu tidak mau minum obat dan merasa dirinya bisa menahan penyakitnya. Sekarang, setelah menemukan cara yang tepat untuk membujuknya minum obat,
Memikirkan hal ini, Alya melihat Johan dan dengan lembut bertanya, "Nak, namamu siapa?""Na ... namaku Johan Haryanto."Johan Haryanto?Marganya sama dengan marga orang yang dia kirimi uang siang tadi.Jika marganya sama, mereka pasti adalah kerabat dekat."Jadi orang yang Maya bicarakan tadi adalah ...?"Pertanyaan ini cukup mudah untuk Johan, karena Cahya sudah menyiapkan jawabannya untuknya."Pamanku."Paman?Pantas saja marga mereka sama.Memikirkan ini, Alya bertanya lagi dengan lembut, "Apakah nanti pamanmu akan datang menjemput?"Johan menggeleng."Paman sibuk, tapi dia akan menyuruh Sopir untuk menjemputku."Dia masih mengingat instruksi yang diberikan Rizki siang tadi. Biasanya Johan adalah anak yang pelupa, tetapi Rizki sangat menakutkan hingga dia pun mengingat semua yang Rizki katakan."Kapan kamu akan dijemput?""Nggak ... nggak tahu."Alya bukanlah orang yang antusias, tetapi rasa penasarannya terhadap RezekiMalam telah menguasainya. Dia pun bertanya, "Apakah kamu mau Bib
"Pak Wira, anak-anakku bilang mereka sudah bertemu denganmu?"Setelah pesan tersebut dikirim, orang itu sama sekali tidak membalasnya.Sepuluh menit pun berlalu, Alya melihat ponselnya lagi. RezekiMalam masih belum membalas pesannya.Alya tidak terburu-buru. Lagi pula, dia sudah melempar pertanyaannya dan orang itu cepat atau lambat harus menjawab.Memikirkan hal ini, Alya pun menambahkan: "Apa anakmu juga di sana?"Setelah mengirim pesan itu, sang pembantu memanggilnya. Alya pun merespons dan hendak meletakkan ponselnya, tetapi siapa sangka, ponselnya bergetar dan RezekiMalam langsung membalasnya."Itu bukan anakku."Kecepatan balasan ini mengejutkan Alya. Alya pun mengangkat alisnya.Orang itu seketika langsung membalasnya?Jadi, orang itu sudah melihat pesannya yang sebelumnya, tetapi memilih untuk tidak membalas?Kenapa dia tidak membalas?Apa yang sedang dia sembunyikan?Mata Alya yang indah pun menyipit. Tiba-tiba, dia sedikit penasaran dengan RezekiMalam ini. Sebenarnya apa yang
Orang itu meminta maaf dengan sangat cepat, Alya sama sekali tidak menduganya."Staf di sekolah."Jawaban ini membuat Alya terdiam. Di sekolah seperti itu, sepertinya wajar jika orang itu memiliki kenalan? Kemudian di antara kenalannya itu, jika mereka melihat RezekiMalam mengenal Maya dan Satya, sepertinya membicarakan tentang orang tua kedua anak itu dengannya juga merupakan hal yang wajar?Akan tetapi, bukankah orang-orang di sekolah mengira Irfan adalah ayahnya Maya dan Satya?Apakah orang itu juga mengetahui hal ini?Jika orang itu mengetahuinya, kenapa dia masih mau menemui dirinya?Makin dipikirkan, Alya pun makin merasa bahwa ada yang tidak beres. Hal ini tidak sesederhana seperti yang dikatakan orang itu. Akan tetapi, saat ini dia tidak ingin melanjutkan pertanyaannya dan memutuskan untuk meredakan kekhawatiran orang itu dulu.Dengan pikiran ini, Alya pun membalas: "Ternyata begitu. Ya, nggak apa-apa. Selamat beristirahat."Ternyata begitu?Rizki mengernyit, bibir tipisnya dik
"Ya, pamannya Johan membeli makanan dan mampir untuk menemui Johan, Maya dan Satya juga ikut bersama mereka. Karena dia adalah paman dari anak itu, sekolah pun membolehkannya dan nggak mengatakan apa-apa."Setelah itu, Alya mencoba untuk mengumpulkan beberapa informasi, tetapi dia tidak dapat menemukan banyak dan terpaksa untuk menyerah dulu.Semuanya tampak berjalan dengan normal.Namun, entah kenapa, dia masih merasa gelisah. Ada yang mencurigakan dengan pamannya Johan ini, semuanya terasa tidak beres.Dalam perjalanan ke kantor, Alya membicarakan masalah ini dengan Citra. Setelah mendengarkannya, Citra memiliki pendapat yang berbeda."Mungkin kamu hanya berpikir berlebihan?""Begitukah?""Tapi meskipun dia menyelidikimu, mungkinkah dia melakukannya karena hal yang terjadi pada kalian ini terlalu kebetulan? Karena itulah dia jadi tertarik padamu dan menyelidikimu?"Alya tak tahu harus berkata apa.Setelah terdiam sejenak, Alya akhirnya tak dapat menahan diri untuk mengejek temannya,
Biasanya dalam situasi seperti ini, Hana akan berbalik dan pergi.Namun, sekarang Hana tidak punya apa-apa lagi. Dia maju beberapa langkah, lalu menggigit bibirnya dan berkata, "Apa maksudmu dengan bercanda menggunakan perasaanmu? Kamu nggak berpikir kalau perasaanmu padanya tulus, 'kan? Begitu tulus sampai-sampai kamu nggak peduli kalau dia jatuh ke dalam pelukan pria lain?"Irfan melihat ke arah asistennya. "Bawa dia keluar.""Irfan, Alya akan bersama dengan Rizki. Apa kamu akan membiarkan mereka bersama begitu saja? Aku tahu bahwa selama 5 tahun ini kamu terus menemani Alya, kamu telah menunggunya selama 5 tahun. Bukankah kamu ingin bersama dengannya? Apa kamu bersedia kalau hari ini dia diambil oleh orang lain?"Hana berteriak seperti orang gila dan hampir histeris, tetapi orang di depannya masih tetap tenang."Sudah cukup bicaranya?"Hana tercengang.Apa maksudnya? Dia sudah berbicara panjang lebar, tetapi Irfan bahkan tidak peduli sedikit pun?Ini tidak masuk akal. Bukankah pria
Setelah ibunya pergi, Hana jatuh ke tempat tidur rumah sakit, menutupi pipinya yang memar dan menangis kesakitan.Jangankan ibunya, dia bahkan ingin menampar dirinya sendiri.Baru sekaranglah dia sadar, bahwa dia harusnya berhenti sejak dulu ....Namun, tampaknya, sekarang sudah terlambat untuk melakukan apa pun.Apakah ada seseorang yang bisa menolongnya?Mungkin ... ada seseorang yang bisa menolongnya.Hana terpikirkan seseorang dan melompat turun dari tempat tidur. "Nanda, cepat, bawa aku mencari taksi."Malam ini adalah malam yang sibuk.Di teras yang hening.Hasan menuangkan secangkir teh panas untuk Irfan, uap teh mengepul di udara yang dingin. Hana berdiri di hadapannya, dengan Nanda yang menopangnya di samping.Dia sudah cukup lama berdiri sana, tetapi Irfan sama sekali tidak berbicara ataupun mempersilakannya duduk.Bahkan Hasan yang berada di sisinya hanya menuangkan secangkir teh panas.Dia berlari keluar dengan terburu-buru, sehingga dia masih mengenakan gaun rumah sakit da
"Sebenarnya apa yang terjadi?"Nanda secara singkat menjelaskan apa yang dia tahu."Apa? Rizki datang?" Kegembiraan melintas di mata Tesa, dia maju dan menggenggam tangan Hana. "Hana, kenapa kamu nggak memberitahuku kalau Rizki datang? Dia datang menjengukmu, 'kan?"Sayangnya, mata Hana penuh dengan keputusasaan. Dia terlihat seperti pecundang. Tesa memanggilnya berkali-kali, tetapi dia tidak merespons."Hana? Cepat bicara!"Melihatnya yang seperti ini membuat Tesa kesal.Kemudian barulah Hana mendongak, matanya penuh dengan air mata."Ibu, dia tahu, dia sudah tahu. Selanjutnya dia nggak akan membiarkanku, dia juga nggak akan membiarkan Keluarga Adelia."Tesa mengerutkan keningnya."Tahu apa? Bicaralah yang jelas.""Alya, Alya Kartika, ingatan dia sudah kembali. Dia memberi tahu Rizki kebenarannya. Sekarang Rizki sudah tahu bahwa bukan aku yang menyelamatkannya. Dia akan membereskanku, selanjutnya dia pasti akan membereskan kita. Ibu, kita harus bagaimana?"Meskipun perkataan Hana agak
Sekarang Hana pun gelisah.Namun, sekarang dia sudah menenangkan dirinya. Malam ini Rizki datang untuk mempermainkannya.Selama dia menolak untuk mengakuinya, tidak ada yang bisa melakukan apa pun padanya.Memikirkan hal ini, Hana menatap Rizki dan berkata, "Bukankah kamu nggak tahu terima kasih? Apa kamu ke sini untuk mempermainkanku dan memberikan bukti pada Alya? Rizki, biar kuberi tahu kamu, aku nggak akan memberimu apa yang kamu mau. Kamu diselamatkan olehku yang telah mempertaruhkan nyawa. Waktu itu, aku hampir tenggelam di sungai demi menyelamatkanmu. Sementara mengenai Alya, dia bukan urusanku. Tapi, nggak ada satu pun orang yang bisa merebut jasaku. Kalau kamu mau menjadi orang yang nggak tahu terima kasih, silakan. Tapi jangan harap kamu bisa memaksa atau menyogokku untuk mendapatkan bukti apa pun."Setelah mengatakan itu, Hana langsung berbalik dan berjalan ke tepi tempat tidur, dia melepaskan sepatunya, lalu naik ke tempat tidur."Selama belasan tahun ini, akulah yang telah
Jawaban ini membuat Hana benar-benar panik.Tadinya, dia kira Rizki menanyakan hal ini karena ingin mendengarnya menceritakan ulang kejadiannya. Namun, ternyata ....Begitu menyadari betapa buruknya nasib yang harus dia hadapi bila Rizki sampai mengetahui kebenarannya, Hana pun seketika menjadi panik dan mulai berbicara dengan tidak jelas."Rizki, waktu itu benar-benar aku yang menyelamatkanmu. Jangan dengarkan omong kosong Alya, dia hanya ingin membohongimu dan membuatmu membuangku."Dari ucapannya ini, Rizki akhirnya mendapatkan kata kunci yang dia cari-cari. Matanya menyipit dengan mengancam, suaranya juga menjadi sangat dingin."Memangnya aku sudah bilang siapa yang mengatakannya?"Hana pun tercengang."Waktu itu, bukankah hanya ada aku dan kamu di tepi sungai? Kenapa kamu mengira Alya yang mengatakan sesuatu padaku? Kalau dia nggak di sana, apa perkataannya itu penting?"Sampai di sini, nada bicara Rizki seketika berubah menjadi tajam."Atau maksudmu, waktu itu bukan hanya ada kit
Hana tertegun oleh pertanyaannya dan membeku di tempat, dia menatap Rizki dengan bingung.Setelah waktu yang lama, barulah dia menyadari sesuatu.Mungkinkah Rizki sudah mengetahui kebohongannya?Tidak, itu tidak mungkin.Saat diselamatkan, Rizki masih tidak sadarkan diri. Alya juga telah kehilangan ingatannya. Rizki tidak mungkin mengetahuinya, kecuali Alya mendapatkan ingatannya kembali.Namun, bertahun-tahun telah berlalu, jika Alya ingin mendapatkan kembali ingatannya dia pasti sudah lama melakukannya, kenapa harus menunggu sampai sekarang?Apalagi, jika Alya benar-benar telah mendapatkan kembali ingatannya, apakah dia bisa menahan diri untuk tidak segera datang ke sini dan menemuinya? Dia mungkin sudah memberi tahu seluruh dunia bahwa dialah yang menyelamatkan Rizki.Setelah memikirkan hal ini, Hana merasa bahwa dirinya mungkin hanya terlalu sensitif dan curiga karena mimpinya.Rizki yang sekarang menanyakan hal-hal ini, sebenarnya memberikan kesempatan yang sangat bagus untuknya.
Karena di depan Rizki, dia selalu tampil ramah dan lembut, tidak pernah bertingkah seperti perempuan jahat seperti sekarang.Hana panik, dia segera menyibakkan selimutnya dan turun dari tempat tidur."Rizki, kenapa kamu ke sini?"Sebelum Hana selesai bicara, air mata sudah mengalir di pipinya. Dia menangis dan bergegas menghampiri Rizki."Aku kira kamu nggak mau berbicara denganku lagi."Rizki menurunkan matanya, memandang pergelangan tangan Hana."Kenapa kamu marah sekali?"Mendengar ini, Hana buru-buru menjelaskan, "A ... aku kira kamu mengabaikanku, jadi suasana hatiku sangat jelek. Maaf ... aku nggak bermaksud begitu. Nanda, apa kamu baik-baik saja?"Nanda menggeleng. Sambil melangkah mundur, dia membenci Hana yang bermuka dua ini di dalam hatinya. "Kalau begitu aku keluar dulu, kalian berdua silakan mengobrol."Dia segera pergi, bahkan menutup pintu kamar tersebut untuk Hana.Hana tidak tahu sekarang pukul berapa, tetapi seharusnya sudah malam sekali. Dia tidak menyangka Rizki aka
Setelah Rizki pergi, Alya berdiri seorang diri di depan pintu, berusaha menenangkan napas dan perasaannya.Beberapa waktu kemudian, dia mengangkat tangan dan menyentuh pipinya.Masih hangat ....Jelas-jelas tadi hanya sebuah pelukan.Akan tetapi, dia tidak menyangka Rizki benar-benar memercayainya dan sama sekali tidak mempertanyakannya.Bukankah ini artinya, hati Rizki selalu lebih condong kepadanya?"Mama?"Tiba-tiba, terdengar suara anak kecil dari belakangnya.Alya kaget dan berbalik, menemukan bahwa Satya sudah bangun entah sejak kapan dan sedang berdiri di sana menatapnya.Melihat putranya, Alya pun terkejut."Satya, kenapa kamu bangun?"Bukankah dia sudah tidur?Mata Alya menghindari putranya. Sudah berapa lama Satya berdiri di sana? Barusan dia tidak melihatnya, 'kan?Sambil memikirkan hal itu, Alya berjalan menghampiri Satya, lalu berjongkok di depannya dan menggendongnya. "Kamu keluar tanpa pakai baju tebal, bagaimana kalau nanti kamu sakit?"Setelah digendong, Satya memeluk
"Ya sudahlah." Alya berbalik. "Lagi pula kejadian itu sudah sangat lama berlalu. Kalau aku nggak mengingatnya, siapa pun pasti akan mengira dia yang menyelamatkanmu."Melihat punggungnya, Rizki merapatkan bibir."Kamu tenang saja, aku nggak akan membiarkan pencapaianmu dicuri oleh orang lain tanpa alasan."Alya tertawa dengan dingin."Apa gunanya kamu mengatakan itu sekarang? Semua orang sudah mengira dia yang menyelamatkanmu, kejadiannya juga terjadi bertahun-tahun yang lalu. Apa sekarang kamu akan keluar dan berkata bahwa yang menyelamatkanmu adalah aku dan bukan dia? Apa kamu punya bukti?""Nggak.""Jadi ...."Bahunya terasa berat, Rizki tiba-tiba memegang bahunya dan menariknya, membuatnya bertatap muka dengan pria itu."Bukti adalah sesuatu yang, selama aku inginkan, pasti ada."Alya tertegun. "Apa?"Rizki berkata, "Tadinya, aku hanya ingin memutus hubungan dengannya, lagi pula dia telah menyelamatkanku. Tapi sekarang karena dia nggak menyelamatkanku, ini bukan lagi hanya tentang