"Maaf, kemarin aku ada urusan mendesak dan nggak bisa datang."Orang itu tidak datang, Alya juga tidak pergi.Alya minta maaf, orang itu juga minta maaf.Alya tidak bisa marah karena dia tidak punya dasar untuk melakukannya, dia pun hanya bisa bertanya: "Apa kamu masih butuh uang tunai ini? Bagaimana kalau aku transfer saja padamu?"Tadinya Alya kira orang itu akan menolak, tetapi ternyata kali ini orang itu setuju dan mengirimkannya sebuah nomor rekening dan nama."Wira Haryanto?"Marganya Haryanto?Alya tidak berpikir panjang dan mengirimkan uangnya ke rekening tersebut.Setelah itu, dia memberitahunya melalui pesan bahwa dia sudah mengirim uangnya. Kemudian Alya masuk ke ruang rapat.Begitu menerima pesannya, Rizki pun memberi tahu asistennya. Cahya segera menghubungi Wira. Setelah mengetahui hal ini, Wira langsung mengirimkan uang itu pada Cahya.Wira melihat banyaknya angka nol pada jumlah itu dengan iri.Akan tetapi, kejadian dalam 2 hari ini telah membuatnya bingung. Lagi pula,
Dibandingkan dengan kegembiraan Maya, Satya masih tampak sangat tenang.Sementara itu, Johan yang berada di samping mereka pun tak dapat menahan dirinya untuk menelan ludah.Meskipun keluarganya tidak miskin dan pendapatan orang tuanya cukup baik, kebanyakan dari uang mereka harus digunakan untuk membayar cicilan rumah yang mahal. Oleh karena itu, makanan-makanan seperti ini adalah hal yang cukup langka untuknya.Bahkan, dia belum tentu dapat memakannya sebulan sekali."Nih."Maya mengambil burger yang pertama dan memberikannya pada Johan.Tadinya Johan hendak menerimanya, tetapi dia terpikirkan sesuatu dan berhenti. Sebaliknya, dia malah menatap Rizki.Paman Cahya memang menyuruhnya untuk memanggil pria ini paman, tetapi sejak tadi pagi, dia masih belum berani memanggil pria itu.Dia selalu merasa bahwa Rizki itu galak. Jika dia membuat Rizki kesal, dia mungkin akan berada dalam masalah.Melihatnya ragu, Maya pun mengikuti arah pandangannya.Senyum Rizki untuk sesaat membeku.Kenapa a
Johan mengangguk."Nanti kamu naik saja mobilnya.""Baik, Paman."Setelah berpamitan pada anak-anak itu, Rizki pun meninggalkan sekolah.Begitu keluar gerbang, wajah Rizki menjadi agak pucat. Dia menutupi mulutnya dengan tangan dan mengerutkan keningnya.Cahya cepat-cepat memberikannya sebuah termos."Pak Rizki, lambungmu masih belum sembuh. Makan makanan cepat saji seperti itu nggak bagus untuk lambungmu."Rizki menerima termos tersebut dan meminumnya beberapa teguk dengan ekspresi dingin.Melihat ini, Cahya pun menyodorkan beberapa pil.Rizki menatap pil-pil itu, tetapi tidak mengambilnya."Pak Rizki, tolong minumlah obatmu. Kalau kamu sakit, nanti kamu nggak akan bisa melihat kedua anak itu.""...."Rizki pun terbujuk oleh ucapannya, tanpa berbicara dia pun mengambil pil-pil itu dan menelannya.Cahya diam-diam senang.Baguslah. Dulu Rizki selalu tidak mau minum obat dan merasa dirinya bisa menahan penyakitnya. Sekarang, setelah menemukan cara yang tepat untuk membujuknya minum obat,
Memikirkan hal ini, Alya melihat Johan dan dengan lembut bertanya, "Nak, namamu siapa?""Na ... namaku Johan Haryanto."Johan Haryanto?Marganya sama dengan marga orang yang dia kirimi uang siang tadi.Jika marganya sama, mereka pasti adalah kerabat dekat."Jadi orang yang Maya bicarakan tadi adalah ...?"Pertanyaan ini cukup mudah untuk Johan, karena Cahya sudah menyiapkan jawabannya untuknya."Pamanku."Paman?Pantas saja marga mereka sama.Memikirkan ini, Alya bertanya lagi dengan lembut, "Apakah nanti pamanmu akan datang menjemput?"Johan menggeleng."Paman sibuk, tapi dia akan menyuruh Sopir untuk menjemputku."Dia masih mengingat instruksi yang diberikan Rizki siang tadi. Biasanya Johan adalah anak yang pelupa, tetapi Rizki sangat menakutkan hingga dia pun mengingat semua yang Rizki katakan."Kapan kamu akan dijemput?""Nggak ... nggak tahu."Alya bukanlah orang yang antusias, tetapi rasa penasarannya terhadap RezekiMalam telah menguasainya. Dia pun bertanya, "Apakah kamu mau Bib
"Pak Wira, anak-anakku bilang mereka sudah bertemu denganmu?"Setelah pesan tersebut dikirim, orang itu sama sekali tidak membalasnya.Sepuluh menit pun berlalu, Alya melihat ponselnya lagi. RezekiMalam masih belum membalas pesannya.Alya tidak terburu-buru. Lagi pula, dia sudah melempar pertanyaannya dan orang itu cepat atau lambat harus menjawab.Memikirkan hal ini, Alya pun menambahkan: "Apa anakmu juga di sana?"Setelah mengirim pesan itu, sang pembantu memanggilnya. Alya pun merespons dan hendak meletakkan ponselnya, tetapi siapa sangka, ponselnya bergetar dan RezekiMalam langsung membalasnya."Itu bukan anakku."Kecepatan balasan ini mengejutkan Alya. Alya pun mengangkat alisnya.Orang itu seketika langsung membalasnya?Jadi, orang itu sudah melihat pesannya yang sebelumnya, tetapi memilih untuk tidak membalas?Kenapa dia tidak membalas?Apa yang sedang dia sembunyikan?Mata Alya yang indah pun menyipit. Tiba-tiba, dia sedikit penasaran dengan RezekiMalam ini. Sebenarnya apa yang
Orang itu meminta maaf dengan sangat cepat, Alya sama sekali tidak menduganya."Staf di sekolah."Jawaban ini membuat Alya terdiam. Di sekolah seperti itu, sepertinya wajar jika orang itu memiliki kenalan? Kemudian di antara kenalannya itu, jika mereka melihat RezekiMalam mengenal Maya dan Satya, sepertinya membicarakan tentang orang tua kedua anak itu dengannya juga merupakan hal yang wajar?Akan tetapi, bukankah orang-orang di sekolah mengira Irfan adalah ayahnya Maya dan Satya?Apakah orang itu juga mengetahui hal ini?Jika orang itu mengetahuinya, kenapa dia masih mau menemui dirinya?Makin dipikirkan, Alya pun makin merasa bahwa ada yang tidak beres. Hal ini tidak sesederhana seperti yang dikatakan orang itu. Akan tetapi, saat ini dia tidak ingin melanjutkan pertanyaannya dan memutuskan untuk meredakan kekhawatiran orang itu dulu.Dengan pikiran ini, Alya pun membalas: "Ternyata begitu. Ya, nggak apa-apa. Selamat beristirahat."Ternyata begitu?Rizki mengernyit, bibir tipisnya dik
"Ya, pamannya Johan membeli makanan dan mampir untuk menemui Johan, Maya dan Satya juga ikut bersama mereka. Karena dia adalah paman dari anak itu, sekolah pun membolehkannya dan nggak mengatakan apa-apa."Setelah itu, Alya mencoba untuk mengumpulkan beberapa informasi, tetapi dia tidak dapat menemukan banyak dan terpaksa untuk menyerah dulu.Semuanya tampak berjalan dengan normal.Namun, entah kenapa, dia masih merasa gelisah. Ada yang mencurigakan dengan pamannya Johan ini, semuanya terasa tidak beres.Dalam perjalanan ke kantor, Alya membicarakan masalah ini dengan Citra. Setelah mendengarkannya, Citra memiliki pendapat yang berbeda."Mungkin kamu hanya berpikir berlebihan?""Begitukah?""Tapi meskipun dia menyelidikimu, mungkinkah dia melakukannya karena hal yang terjadi pada kalian ini terlalu kebetulan? Karena itulah dia jadi tertarik padamu dan menyelidikimu?"Alya tak tahu harus berkata apa.Setelah terdiam sejenak, Alya akhirnya tak dapat menahan diri untuk mengejek temannya,
Mungkin karena menyadari dirinya salah, Maya segera menundukkan kepalanya saat ditanyai oleh Alya. Jari-jari kecilnya bergerak dengan gelisah."Maaf, Mama. Maya serakah."Satya juga terlibat dalam masalah ini, jadi saat ini pun dia tidak bisa mengatakan apa-apa.Melihat Satya yang seperti ini, Alya hampir tertawa di tengah amarahnya."Satya, apa kamu juga serakah?"Begitu mendengar kata "serakah", wajah tampan Satya seketika memerah. "Bu-Bukan begitu, Mama ....""Huf."Alya menghela napas dan dengan lembut berkata, "Ada apa dengan kalian berdua? Bukankah Mama selalu bilang pada kalian untuk nggak makan makanan dari orang asing?""Ta-Tapi Mama, kemarin Mama bilang kami dan Jojo berteman. Mama juga memberikan Jojo permen."Alya terdiam.Dia kehabisan kata-kata setelah dibalas oleh putrinya.Benar, jika dia menganggap pamannya Johan sebagai orang asing untuk Maya dan Satya, maka bukankah dia adalah orang asing untuk Johan?Setelah berpikir sejenak, Alya terpaksa berkata, "Mama salah menje