Memikirkan bagaimana Johan mungkin akan membuat kedua anak itu memiliki kesan yang buruk tentangnya, Rizki makin mengerutkan alisnya.Dia sudah berusaha keras, berharap Satya akan menurunkan kewaspadaannya terhadap dirinya, dengan begitu dia pun bisa lebih dekat dengan kedua anaknya.Namun, bila hasilnya malah berlawanan dengan bayangannya, maka untuk apa dia membawa anak ini ke sini?Memikirkan hal ini, Rizki menatap Johan dengan makin intens.Johan yang duduk di sana merasa seolah-olah punggungnya membeku.Seram sekali, dia ingin pulang.Cahya yang duduk di depan tidak bisa menahan dirinya lagi, dia pun dengan sendirinya berkata, "Pak Rizki, jangan terburu-buru. Johan hanya anak 5 tahun. Kalau kamu terus berwajah suram seperti itu, tentu saja dia akan takut padamu."Mendengar ini, Rizki berhenti bergerak. "Begitukah?"Cahya membalas, "Siapa bilang nggak? Kalau kamu memperlakukan Maya dan Satya seperti ini, bukankah mereka akan takut padamu seperti Johan sekarang?"Ucapan Cahya membua
Maya dengan cepat menerima permen itu.Rizki juga memberikan sebuah permen pada Satya. Satya menerimanya dengan lebih menahan diri, dia tidak langsung memakannya.Sebaliknya, dia menatap Johan yang tiba-tiba muncul di samping Rizki.Johan juga menatap Satya dan Maya. Baginya, kedua anak ini terlihat sangat elok dan cantik. Meskipun dia hanya berusia 5 tahun, beberapa perasaan sudah terbentuk di dalam benaknya.Kedua anak di depannya ini terlihat lebih "berharga" dibandingkan dia.Dia pun menurunkan pandangannya dan tanpa sadar bergerak ke belakang Rizki."Eh??"Gerakan Johan telah menangkap perhatian Maya. "Paman, apakah ini anakmu?"Rizki terdiam.Dia merapatkan bibirnya, lalu dengan tak berdaya menyangkal, "Kurang lebih begitu. Tapi dia bukan anakku, dia anak kerabatku."Mendengar ini, mata Maya yang besar dan berkilauan pun melebar. "Apa dia anak yang waktu itu Paman bilang akan bersekolah di sini?""Ya. Orang tuanya sibuk, jadi mereka memintaku untuk mencarikan sekolahnya."Dulu, R
"Jadi, Kakak hanya takut akan buang-buang makanan? Bukan suka makan roti burger?"Satya tampak tak bisa memercayai adiknya, memangnya siapa yang suka makan rotinya saja?"Ya.""Maaf ya, Kakak. Mulai sekarang Maya akan makan sendiri rotinya."Mungkin karena memikirkan dirinya yang harus makan roti burger, wajah kecil Maya jadi mengkerut. Jangankan roti burger, dia bahkan selalu menyisihkan selada dari burgernya.Namun, kakaknya selalu menghabiskan sisa makanannya, jadi dia pun mengira kakaknya menyukai makanan itu.Kedua anak kecil itu mendiskusikan masalah ini, Rizki yang mendengarkan dari samping pun pada akhirnya tertawa."Kalau kalian nggak mau memakannya, Paman akan memakannya untuk kalian."Meskipun dia juga tidak menyukainya.Burger?Bagi Rizki, makanan semacam itu hanyalah makanan cepat saji. Akan tetapi, sepertinya banyak anak kecil dan anak muda yang menyukainya.Tentu saja, bila Cahya dapat mendengar isi pikirannya, asistennya itu pasti akan mencemooh, "Pak Rizki, memangnya k
"Maaf, kemarin aku ada urusan mendesak dan nggak bisa datang."Orang itu tidak datang, Alya juga tidak pergi.Alya minta maaf, orang itu juga minta maaf.Alya tidak bisa marah karena dia tidak punya dasar untuk melakukannya, dia pun hanya bisa bertanya: "Apa kamu masih butuh uang tunai ini? Bagaimana kalau aku transfer saja padamu?"Tadinya Alya kira orang itu akan menolak, tetapi ternyata kali ini orang itu setuju dan mengirimkannya sebuah nomor rekening dan nama."Wira Haryanto?"Marganya Haryanto?Alya tidak berpikir panjang dan mengirimkan uangnya ke rekening tersebut.Setelah itu, dia memberitahunya melalui pesan bahwa dia sudah mengirim uangnya. Kemudian Alya masuk ke ruang rapat.Begitu menerima pesannya, Rizki pun memberi tahu asistennya. Cahya segera menghubungi Wira. Setelah mengetahui hal ini, Wira langsung mengirimkan uang itu pada Cahya.Wira melihat banyaknya angka nol pada jumlah itu dengan iri.Akan tetapi, kejadian dalam 2 hari ini telah membuatnya bingung. Lagi pula,
Dibandingkan dengan kegembiraan Maya, Satya masih tampak sangat tenang.Sementara itu, Johan yang berada di samping mereka pun tak dapat menahan dirinya untuk menelan ludah.Meskipun keluarganya tidak miskin dan pendapatan orang tuanya cukup baik, kebanyakan dari uang mereka harus digunakan untuk membayar cicilan rumah yang mahal. Oleh karena itu, makanan-makanan seperti ini adalah hal yang cukup langka untuknya.Bahkan, dia belum tentu dapat memakannya sebulan sekali."Nih."Maya mengambil burger yang pertama dan memberikannya pada Johan.Tadinya Johan hendak menerimanya, tetapi dia terpikirkan sesuatu dan berhenti. Sebaliknya, dia malah menatap Rizki.Paman Cahya memang menyuruhnya untuk memanggil pria ini paman, tetapi sejak tadi pagi, dia masih belum berani memanggil pria itu.Dia selalu merasa bahwa Rizki itu galak. Jika dia membuat Rizki kesal, dia mungkin akan berada dalam masalah.Melihatnya ragu, Maya pun mengikuti arah pandangannya.Senyum Rizki untuk sesaat membeku.Kenapa a
Johan mengangguk."Nanti kamu naik saja mobilnya.""Baik, Paman."Setelah berpamitan pada anak-anak itu, Rizki pun meninggalkan sekolah.Begitu keluar gerbang, wajah Rizki menjadi agak pucat. Dia menutupi mulutnya dengan tangan dan mengerutkan keningnya.Cahya cepat-cepat memberikannya sebuah termos."Pak Rizki, lambungmu masih belum sembuh. Makan makanan cepat saji seperti itu nggak bagus untuk lambungmu."Rizki menerima termos tersebut dan meminumnya beberapa teguk dengan ekspresi dingin.Melihat ini, Cahya pun menyodorkan beberapa pil.Rizki menatap pil-pil itu, tetapi tidak mengambilnya."Pak Rizki, tolong minumlah obatmu. Kalau kamu sakit, nanti kamu nggak akan bisa melihat kedua anak itu.""...."Rizki pun terbujuk oleh ucapannya, tanpa berbicara dia pun mengambil pil-pil itu dan menelannya.Cahya diam-diam senang.Baguslah. Dulu Rizki selalu tidak mau minum obat dan merasa dirinya bisa menahan penyakitnya. Sekarang, setelah menemukan cara yang tepat untuk membujuknya minum obat,
Memikirkan hal ini, Alya melihat Johan dan dengan lembut bertanya, "Nak, namamu siapa?""Na ... namaku Johan Haryanto."Johan Haryanto?Marganya sama dengan marga orang yang dia kirimi uang siang tadi.Jika marganya sama, mereka pasti adalah kerabat dekat."Jadi orang yang Maya bicarakan tadi adalah ...?"Pertanyaan ini cukup mudah untuk Johan, karena Cahya sudah menyiapkan jawabannya untuknya."Pamanku."Paman?Pantas saja marga mereka sama.Memikirkan ini, Alya bertanya lagi dengan lembut, "Apakah nanti pamanmu akan datang menjemput?"Johan menggeleng."Paman sibuk, tapi dia akan menyuruh Sopir untuk menjemputku."Dia masih mengingat instruksi yang diberikan Rizki siang tadi. Biasanya Johan adalah anak yang pelupa, tetapi Rizki sangat menakutkan hingga dia pun mengingat semua yang Rizki katakan."Kapan kamu akan dijemput?""Nggak ... nggak tahu."Alya bukanlah orang yang antusias, tetapi rasa penasarannya terhadap RezekiMalam telah menguasainya. Dia pun bertanya, "Apakah kamu mau Bib
"Pak Wira, anak-anakku bilang mereka sudah bertemu denganmu?"Setelah pesan tersebut dikirim, orang itu sama sekali tidak membalasnya.Sepuluh menit pun berlalu, Alya melihat ponselnya lagi. RezekiMalam masih belum membalas pesannya.Alya tidak terburu-buru. Lagi pula, dia sudah melempar pertanyaannya dan orang itu cepat atau lambat harus menjawab.Memikirkan hal ini, Alya pun menambahkan: "Apa anakmu juga di sana?"Setelah mengirim pesan itu, sang pembantu memanggilnya. Alya pun merespons dan hendak meletakkan ponselnya, tetapi siapa sangka, ponselnya bergetar dan RezekiMalam langsung membalasnya."Itu bukan anakku."Kecepatan balasan ini mengejutkan Alya. Alya pun mengangkat alisnya.Orang itu seketika langsung membalasnya?Jadi, orang itu sudah melihat pesannya yang sebelumnya, tetapi memilih untuk tidak membalas?Kenapa dia tidak membalas?Apa yang sedang dia sembunyikan?Mata Alya yang indah pun menyipit. Tiba-tiba, dia sedikit penasaran dengan RezekiMalam ini. Sebenarnya apa yang