"Oke, 3 hari."Setelah mendapatkan jawaban yang diinginkannya, Irfan akhirnya melepas Alya. Kemudian, dia kembali memasang senyumnya yang biasa."Sepertinya ada yang ingin kamu bicarakan dengan Pak Angga, aku akan memanggilnya ke sini."Setelah itu, Irfan pergi.Begitu dia pergi, ketegangan di tubuh Alya pun seketika menghilang. Di saat yang sama, Alya menghela napas lega.Ketika dapat bernapas dengan normal lagi, Alya merasa bagaikan ikan sekarat di tepi pantai yang berhasil kembali ke laut.Alya duduk dan bersandar di sofa, lalu memejamkan matanya dengan lelah.Irfan ... benar-benar sudah sangat berubah.Dulu, dia kira pria itu lembut dan mudah diajak bicara.Namun, hari ini, Irfan sangat mendominasi. Membuatnya merasa bahwa bila dia tidak setuju, pria itu tidak akan dilepaskan begitu saja.Terdengar suara dari luar dan Angga pun masuk."Bos?"Setelah masuk, Angga diam-diam melirik ke arah luar. Dia ingin mengatakan sesuatu pada Alya, tetapi dia takut orang lain akan mendengarnya. Ja
Di malam yang amat tenang.Di rumah sakit.Cahya duduk di samping tempat tidur, mengerutkan keningnya sambil memandang beberapa makanan yang terdapat di atas meja, lalu melihat Rizki yang menolak untuk memakannya. Dia menghela napas dan berkata, "Pak Rizki, kamu harus makan, oke?"Akan tetapi, Rizki sedang memakai bluetooth earphone. Dia hanya diam menonton layar ponselnya, sambil duduk bersandar pada kepala tempat tidur.Cahya mendekat untuk melihat.Di layar ponsel tersebut, dua anak kecil yang menggemaskan sedang melakukan siaran langsung.Dia pun tak bisa berkata-kata, Rizki lebih memilih menonton siaran langsung dua anak kecil dibandingkan makan. Cahya menatap layar ponsel itu dengan wajah datar, tiba-tiba dia memiliki ide.Bagaimana kalau dia membuat akun baru untuk mengirim pesan pada kedua anak itu, lalu mengatakan bahwa temannya yang sangat menyukai siaran langsung mereka sedang sakit dan tidak mau makan ataupun diobati, sehingga dia ingin mereka membujuk temannya? Apakah cara
"Semoga kamu cepat sembuh!"Semua orang di ruang siaran sangat baik hati.Satya mendekat untuk melihat.Sebuah wajah yang menggemaskan dan tampan tiba-tiba muncul di depan kamera."Wow!"Cahya yang sedang memegang ponselnya, tidak dapat menahan dirinya dan berseru. Dia sangat terkejut melihat wajah kecil ini dari dekat.Entah apakah ini hanya imajinasinya saja atau tidak, tetapi dia merasa bahwa wajah ini adalah versi kecil dari Rizki!Jadi, setelah itu, Cahya sesekali melihat Rizki, lalu menunduk dan melihat Satya di ponselnya.Makin dilihat, rasanya makin aneh.Pada akhirnya, dia pun tak bisa berkata-kata.Sebelumnya, dia hanya tahu bahwa Rizki terus menonton siaran langsung kedua anak kecil ini, juga bagaimana anak-anak ini mirip dengan Rizki.Namun, ini adalah pertama kalinya dia melihat anak kecil itu sedekat ini. Anak itu berwajah sangat tampan dan masih tampak polos, tetapi anak itu juga sudah memberikan kesan yang dingin dan tenang. Kemiripan anak itu dengan perangai Rizki sang
Berhasil!Ketika Cahya melihat kehangatan itu, dia merasa usahanya berhasil.Dia pun dengan gembira bertanya, "Pak Rizki, bagaimana kalau kita makan?"Siapa sangka, sesaat berikutnya, dia bagaikan disiram seember air es."Apa aku bilang aku mau makan? Bukankah aku menyuruhmu untuk nggak macam-macam?"Cahya tercengang."Kenapa? Bukankah barusan kamu ...."Rizki yang tadinya bermata hangat, sekarang kembali ke dirinya yang biasa, dingin dan jauh.RIzki sudah malas untuk berurusan dengan asistennya. Mengingat kedua anak kecil yang mendoakan kesembuhannya, hatinya pun terasa hangat.Sungguh luar biasa, dia bisa disembuhkan oleh dua anak asing melalui layar ponselnya.Jari Rizki bergerak, dia lagi-lagi memberi hadiah pada kedua anak itu."Eh?" Maya melihat notifikasi hadiah di layar ponselnya, matanya yang berbinar terbuka lebar saat dia berkata dengan suaranya yang menggemaskan, "Paman RezekiMalam juga di sini. Paman, halo, terima kasih atas hadiahnya."Suara dan sikap kekanak-kanakan gadi
"Nona Alya, ponselmu bunyi, biar aku saja yang mengerjakan sisanya.""Baiklah."Alya terpaksa mengambil ponselnya dan pergi ke luar untuk mengangkat telepon."Halo.""Nona Alya."Suara yang tak asing ini mengagetkan Alya. "Pak Cahya?"Kenapa pria ini meneleponnya lagi?"Nona Alya, maaf sudah meneleponmu malam-malam, apa aku mengganggu?"Alya merapatkan bibirnya, lalu bertanya dengan nada tenang, "Ada apa?"Cahya hendak berbicara ketika Rizki sedikit mengangkat dagu, mengisyaratkannya untuk menyalakan pengeras suara.Di bawah tatapan pria itu, Cahya pun terpaksa menyalakan pengeras suara, lalu dengan terbata-bata berkata, "Jadi, begini, Pa-Pak Rizki masih nggak mau makan, jadi bisakah aku minta tolong kamu ....""Pak Cahya."Sebelum dia bisa menyelesaikan perkataannya, Alya segera menyela, "Pak Rizki sudah dewasa, apakah dia harus makan atau nggak, butuh makan atau nggak, dia bisa menilainya sendiri. Kalau dia nggak mau makan, artinya dia tahu kondisi tubuhnya sendiri."Setelah mengatak
Kota Juwana?Ketika melihat bahwa orang itu juga berada di Kota Juwana, Alya tertegun.Beberapa detik kemudian, dia pun menghela napas. Belakangan ini terlalu banyak kebetulan yang terjadi.Sebelum ke sini, dia kira Kota Juwana adalah kota yang tenang, dia seharusnya tidak bertemu dengan siapa pun yang dia kenal saat mendirikan perusahaan di sini.Namun, ternyata ....Memikirkan seseorang, Alya pun menaruh kembali ponselnya.Lupakan saja, memangnya kenapa kalau mereka bertemu? Kota Juwana sangat besar. Dia ingin mendirikan perusahaan untuk mencari nafkah, sekarang orang itu telah berinvestasi di perusahaannya dan dia menerimanya. Hanya seperti itu.Dia hanya perlu memperlakukan pria itu layaknya mitra bisnis.Akan tetapi, meskipun berpikir seperti ini, malam itu Alya tidak bisa tidur.Dia terus membolak-balikkan tubuhnya di ranjang, teringat dengan apa yang Dokter dan Cahya katakan padanya.Pria itu jelas-jelas memiliki masalah lambung yang serius, tetapi dia tidak mau minum obat. Ini
Namun, karena mobil putih itu mengebut, mobil hitam itu pun tidak sengaja tergores.Meskipun itu hanya goresan kecil, Alya tahu sebuah pertengkaran akan segera dimulai.Tentu saja setelah mobil itu terserempet, kedua belah pihak segera turun dari mobil dan mulai bertengkar mengenai tempat parkir dan goresan tersebut.Alya sudah terbiasa dengan kejadian semacam ini, jadi dia hanya menggelengkan kepalanya dan pergi ke lantai atas.Biasanya hanya dia yang naik lift, tetapi hari ini ada beberapa orang yang juga naik bersamanya.Salah satunya adalah seorang pemuda berkacamata, pemuda itu tampak lembut dan rapi. Melihat penampilan cantik dan perangai Alya yang unik, dia pun tak dapat menahan diri dan menyapa Alya, "Hai, apa kamu ke sini untuk melamar kerja juga?"Mendengar ini, Alya agak kaget."Kamu berbicara padaku?""Ya." Pemuda berkacamata itu mengangguk dan tersenyum. "Kamu sangat cantik."Ini adalah pertama kalinya Alya menerima pujian seterus terang ini di Negara Surya.Namun, pujiann
Memang.Alya tidak bisa membantah poin ini.Jadi, dia pun teringat akan seseorang yang saat ini masih berbaring di rumah sakit.Akan tetapi, pikiran tersebut segera disingkirkan oleh Alya.Dia tidak boleh memikirkannya lagi. Setelah bertahan 5 tahun dan kembali ke negara ini, pikirannya tidak boleh dikacaukan oleh pria ituDia harus mengikuti jalannya sendiri.Ponselnya tiba-tiba berbunyi, Alya pun mengeluarkannya dan mengecek."Ini Felix.""Pak Felix? Kenapa dia meneleponmu? Jangan bilang dia juga ingin ....""Sepertinya nggak, biar kuangkat dulu."Angga mengangguk dan keluar dari kantor tersebut."Pak Felix?"Sejak meninggalkan Perusahaan Darmawan pada hari itu, Alya belum berbicara dengan pria itu lagi. Setelah mengetahui bahwa pria itu tidak akan berinvestasi di perusahaannya, Alya merasa dia tidak perlu membuang-buang waktu lagi. Akan tetapi, bila Alya ingin mengembangkan perusahaannya di Kota juwana, maka dia juga tidak mau menjadi musuh Felix."Nona Alya, bagaimana perusahaanmu
Biasanya dalam situasi seperti ini, Hana akan berbalik dan pergi.Namun, sekarang Hana tidak punya apa-apa lagi. Dia maju beberapa langkah, lalu menggigit bibirnya dan berkata, "Apa maksudmu dengan bercanda menggunakan perasaanmu? Kamu nggak berpikir kalau perasaanmu padanya tulus, 'kan? Begitu tulus sampai-sampai kamu nggak peduli kalau dia jatuh ke dalam pelukan pria lain?"Irfan melihat ke arah asistennya. "Bawa dia keluar.""Irfan, Alya akan bersama dengan Rizki. Apa kamu akan membiarkan mereka bersama begitu saja? Aku tahu bahwa selama 5 tahun ini kamu terus menemani Alya, kamu telah menunggunya selama 5 tahun. Bukankah kamu ingin bersama dengannya? Apa kamu bersedia kalau hari ini dia diambil oleh orang lain?"Hana berteriak seperti orang gila dan hampir histeris, tetapi orang di depannya masih tetap tenang."Sudah cukup bicaranya?"Hana tercengang.Apa maksudnya? Dia sudah berbicara panjang lebar, tetapi Irfan bahkan tidak peduli sedikit pun?Ini tidak masuk akal. Bukankah pria
Setelah ibunya pergi, Hana jatuh ke tempat tidur rumah sakit, menutupi pipinya yang memar dan menangis kesakitan.Jangankan ibunya, dia bahkan ingin menampar dirinya sendiri.Baru sekaranglah dia sadar, bahwa dia harusnya berhenti sejak dulu ....Namun, tampaknya, sekarang sudah terlambat untuk melakukan apa pun.Apakah ada seseorang yang bisa menolongnya?Mungkin ... ada seseorang yang bisa menolongnya.Hana terpikirkan seseorang dan melompat turun dari tempat tidur. "Nanda, cepat, bawa aku mencari taksi."Malam ini adalah malam yang sibuk.Di teras yang hening.Hasan menuangkan secangkir teh panas untuk Irfan, uap teh mengepul di udara yang dingin. Hana berdiri di hadapannya, dengan Nanda yang menopangnya di samping.Dia sudah cukup lama berdiri sana, tetapi Irfan sama sekali tidak berbicara ataupun mempersilakannya duduk.Bahkan Hasan yang berada di sisinya hanya menuangkan secangkir teh panas.Dia berlari keluar dengan terburu-buru, sehingga dia masih mengenakan gaun rumah sakit da
"Sebenarnya apa yang terjadi?"Nanda secara singkat menjelaskan apa yang dia tahu."Apa? Rizki datang?" Kegembiraan melintas di mata Tesa, dia maju dan menggenggam tangan Hana. "Hana, kenapa kamu nggak memberitahuku kalau Rizki datang? Dia datang menjengukmu, 'kan?"Sayangnya, mata Hana penuh dengan keputusasaan. Dia terlihat seperti pecundang. Tesa memanggilnya berkali-kali, tetapi dia tidak merespons."Hana? Cepat bicara!"Melihatnya yang seperti ini membuat Tesa kesal.Kemudian barulah Hana mendongak, matanya penuh dengan air mata."Ibu, dia tahu, dia sudah tahu. Selanjutnya dia nggak akan membiarkanku, dia juga nggak akan membiarkan Keluarga Adelia."Tesa mengerutkan keningnya."Tahu apa? Bicaralah yang jelas.""Alya, Alya Kartika, ingatan dia sudah kembali. Dia memberi tahu Rizki kebenarannya. Sekarang Rizki sudah tahu bahwa bukan aku yang menyelamatkannya. Dia akan membereskanku, selanjutnya dia pasti akan membereskan kita. Ibu, kita harus bagaimana?"Meskipun perkataan Hana agak
Sekarang Hana pun gelisah.Namun, sekarang dia sudah menenangkan dirinya. Malam ini Rizki datang untuk mempermainkannya.Selama dia menolak untuk mengakuinya, tidak ada yang bisa melakukan apa pun padanya.Memikirkan hal ini, Hana menatap Rizki dan berkata, "Bukankah kamu nggak tahu terima kasih? Apa kamu ke sini untuk mempermainkanku dan memberikan bukti pada Alya? Rizki, biar kuberi tahu kamu, aku nggak akan memberimu apa yang kamu mau. Kamu diselamatkan olehku yang telah mempertaruhkan nyawa. Waktu itu, aku hampir tenggelam di sungai demi menyelamatkanmu. Sementara mengenai Alya, dia bukan urusanku. Tapi, nggak ada satu pun orang yang bisa merebut jasaku. Kalau kamu mau menjadi orang yang nggak tahu terima kasih, silakan. Tapi jangan harap kamu bisa memaksa atau menyogokku untuk mendapatkan bukti apa pun."Setelah mengatakan itu, Hana langsung berbalik dan berjalan ke tepi tempat tidur, dia melepaskan sepatunya, lalu naik ke tempat tidur."Selama belasan tahun ini, akulah yang telah
Jawaban ini membuat Hana benar-benar panik.Tadinya, dia kira Rizki menanyakan hal ini karena ingin mendengarnya menceritakan ulang kejadiannya. Namun, ternyata ....Begitu menyadari betapa buruknya nasib yang harus dia hadapi bila Rizki sampai mengetahui kebenarannya, Hana pun seketika menjadi panik dan mulai berbicara dengan tidak jelas."Rizki, waktu itu benar-benar aku yang menyelamatkanmu. Jangan dengarkan omong kosong Alya, dia hanya ingin membohongimu dan membuatmu membuangku."Dari ucapannya ini, Rizki akhirnya mendapatkan kata kunci yang dia cari-cari. Matanya menyipit dengan mengancam, suaranya juga menjadi sangat dingin."Memangnya aku sudah bilang siapa yang mengatakannya?"Hana pun tercengang."Waktu itu, bukankah hanya ada aku dan kamu di tepi sungai? Kenapa kamu mengira Alya yang mengatakan sesuatu padaku? Kalau dia nggak di sana, apa perkataannya itu penting?"Sampai di sini, nada bicara Rizki seketika berubah menjadi tajam."Atau maksudmu, waktu itu bukan hanya ada kit
Hana tertegun oleh pertanyaannya dan membeku di tempat, dia menatap Rizki dengan bingung.Setelah waktu yang lama, barulah dia menyadari sesuatu.Mungkinkah Rizki sudah mengetahui kebohongannya?Tidak, itu tidak mungkin.Saat diselamatkan, Rizki masih tidak sadarkan diri. Alya juga telah kehilangan ingatannya. Rizki tidak mungkin mengetahuinya, kecuali Alya mendapatkan ingatannya kembali.Namun, bertahun-tahun telah berlalu, jika Alya ingin mendapatkan kembali ingatannya dia pasti sudah lama melakukannya, kenapa harus menunggu sampai sekarang?Apalagi, jika Alya benar-benar telah mendapatkan kembali ingatannya, apakah dia bisa menahan diri untuk tidak segera datang ke sini dan menemuinya? Dia mungkin sudah memberi tahu seluruh dunia bahwa dialah yang menyelamatkan Rizki.Setelah memikirkan hal ini, Hana merasa bahwa dirinya mungkin hanya terlalu sensitif dan curiga karena mimpinya.Rizki yang sekarang menanyakan hal-hal ini, sebenarnya memberikan kesempatan yang sangat bagus untuknya.
Karena di depan Rizki, dia selalu tampil ramah dan lembut, tidak pernah bertingkah seperti perempuan jahat seperti sekarang.Hana panik, dia segera menyibakkan selimutnya dan turun dari tempat tidur."Rizki, kenapa kamu ke sini?"Sebelum Hana selesai bicara, air mata sudah mengalir di pipinya. Dia menangis dan bergegas menghampiri Rizki."Aku kira kamu nggak mau berbicara denganku lagi."Rizki menurunkan matanya, memandang pergelangan tangan Hana."Kenapa kamu marah sekali?"Mendengar ini, Hana buru-buru menjelaskan, "A ... aku kira kamu mengabaikanku, jadi suasana hatiku sangat jelek. Maaf ... aku nggak bermaksud begitu. Nanda, apa kamu baik-baik saja?"Nanda menggeleng. Sambil melangkah mundur, dia membenci Hana yang bermuka dua ini di dalam hatinya. "Kalau begitu aku keluar dulu, kalian berdua silakan mengobrol."Dia segera pergi, bahkan menutup pintu kamar tersebut untuk Hana.Hana tidak tahu sekarang pukul berapa, tetapi seharusnya sudah malam sekali. Dia tidak menyangka Rizki aka
Setelah Rizki pergi, Alya berdiri seorang diri di depan pintu, berusaha menenangkan napas dan perasaannya.Beberapa waktu kemudian, dia mengangkat tangan dan menyentuh pipinya.Masih hangat ....Jelas-jelas tadi hanya sebuah pelukan.Akan tetapi, dia tidak menyangka Rizki benar-benar memercayainya dan sama sekali tidak mempertanyakannya.Bukankah ini artinya, hati Rizki selalu lebih condong kepadanya?"Mama?"Tiba-tiba, terdengar suara anak kecil dari belakangnya.Alya kaget dan berbalik, menemukan bahwa Satya sudah bangun entah sejak kapan dan sedang berdiri di sana menatapnya.Melihat putranya, Alya pun terkejut."Satya, kenapa kamu bangun?"Bukankah dia sudah tidur?Mata Alya menghindari putranya. Sudah berapa lama Satya berdiri di sana? Barusan dia tidak melihatnya, 'kan?Sambil memikirkan hal itu, Alya berjalan menghampiri Satya, lalu berjongkok di depannya dan menggendongnya. "Kamu keluar tanpa pakai baju tebal, bagaimana kalau nanti kamu sakit?"Setelah digendong, Satya memeluk
"Ya sudahlah." Alya berbalik. "Lagi pula kejadian itu sudah sangat lama berlalu. Kalau aku nggak mengingatnya, siapa pun pasti akan mengira dia yang menyelamatkanmu."Melihat punggungnya, Rizki merapatkan bibir."Kamu tenang saja, aku nggak akan membiarkan pencapaianmu dicuri oleh orang lain tanpa alasan."Alya tertawa dengan dingin."Apa gunanya kamu mengatakan itu sekarang? Semua orang sudah mengira dia yang menyelamatkanmu, kejadiannya juga terjadi bertahun-tahun yang lalu. Apa sekarang kamu akan keluar dan berkata bahwa yang menyelamatkanmu adalah aku dan bukan dia? Apa kamu punya bukti?""Nggak.""Jadi ...."Bahunya terasa berat, Rizki tiba-tiba memegang bahunya dan menariknya, membuatnya bertatap muka dengan pria itu."Bukti adalah sesuatu yang, selama aku inginkan, pasti ada."Alya tertegun. "Apa?"Rizki berkata, "Tadinya, aku hanya ingin memutus hubungan dengannya, lagi pula dia telah menyelamatkanku. Tapi sekarang karena dia nggak menyelamatkanku, ini bukan lagi hanya tentang