"Apakah Pak Rizki juga nggak mendengarkan keluarganya?"Mendengar ini, ekspresi Cahya menjadi murung."Nggak. Kalau ya, keadaannya nggak akan sampai seperti ini.""Benar juga."Membicarakan masalah ini, suasananya pun menjadi berat.Tiba-tiba, anak magang itu terpikirkan sesuatu. Matanya berbinar."Bagaimana dengan Nona Hana? Bukankah katanya selama bertahun-tahun ini, di sisi Pak Rizki nggak ada orang lain selain dia? Apakah Pak Rizki juga nggak mendengarkan Nona Hana?""Kamu membicarakan Hana Adelia?" tanya Cahya.Cahya pun menghela napasnya. "Nggak usah membicarakannya. Awalnya, aku juga mengira itu akan berhasil dan meminta bantuan Nona Hana. Tapi ternyata cara itu juga sia-sia.""Nona Hana bahkan juga nggak bisa .... Kalau begitu, sepertinya memang nggak ada cara. Kalau dibiarkan seperti ini terus, Pak Rizki nggak akan mati cepat, 'kan?""Bah bah bah, omong kosong apa itu! Kamu hanya anak magang, jangan kutuk orang seperti itu!"Anak magang itu pun mengerucutkan bibirnya dengan ke
Satu hari telah berlalu sejak dia tidak membalas pesan wanita itu.Sekarang hari sudah mendekati larut malam.Akun kedua anak kecil itu tampak ditangani dengan sangat baik. Halaman beranda mereka sangat bersih, kalimat perkenalannya juga sangat sederhana. Bahkan mereka jarang mengunggah.Terkadang, ada beberapa video yang disunting dengan baik dan diunggah dengan tambahan musik dan teks.Jelas bahwa orang yang menangani akun ini tidak memiliki banyak waktu luang.Rizki mengetuk salah satu video. Dengan cepat, senyum kedua anak tersebut muncul di layar ponsel.Melihat senyum kedua anak ini, seketika Rizki merasakan kegelisahan dan kekesalan di dadanya berkurang.Dia duduk bersandar di tepi tempat tidur, menggeser jari-jarinya, lalu diam-diam menonton kedua anak itu untuk waktu yang cukup lama.Suasana hatinya pun menjadi makin tenang.Ketika Cahya membuka pintu kamar untuk mencarinya, kegelisahan Rizki sudah mereda. Setelah meminum obat, dia juga merasa lebih baik."Pak Rizki, kenapa su
"Mama bilang kita harus merawat diri dengan baik. Makanlah tepat waktu supaya tubuhmu sehat. Jadi, semuanya harus makan tepat waktu."Ini adalah ... suara anak kecil bernama Maya itu.Dia tidak menyangka dirinya akan mengingat suara anak kecil ini sekarang. Apakah ini suatu pertanda?Meskipun dia sudah minum obat, perutnya masih sedikit sakit.Rizki merapatkan bibirnya. Sebelum Cahya keluar dari kamar, dia segera menghentikannya."Tunggu."Langkah Cahya terhenti. Cahya menoleh menatapnya dengan kepala tertunduk."Pak Rizki?""Tadi kamu bilang ada bubur kacang?"Mata Cahya yang telah kehilangan cahayanya itu pun kembali berbinar. Dia segera mengangguk seperti bawang yang ditumbuk. "Benar, Pak Rizki. Itu adalah bubur kacang yang disiapkan secara khusus oleh restoran di lantai bawah."Rizki berpikir sejenak. "Bawa masuk.""Baik, akan segera kuambilkan."Ketika Cahya keluar dari kamar, Dita menunggu di luar dengan gelisah."Pak Cahya, bagaimana? Apa Pak Rizki mau makan?""Mau. Ayo cepat, m
Sebenarnya, dilihat bagaimanapun juga balasan ini terasa agak aneh.Jika bukan karena orang ini telah lama diam-diam mengirimkan hadiah pada Maya dan Satya tanpa mengekspresikan niat apa pun, Alya mungkin akan langsung mengabaikan orang ini.Akan tetapi, dia sendirilah yang menghubungi orang ini lebih dulu.Waktu di larut malam juga sangat berharga dan Alya tidak ingin membuang-buangnya. Jadi, dia langsung menanyakan detail kontak orang tersebut.Dia langsung bertanya tanpa basa-basi: "Bisakah kamu memberikan kontakmu supaya kita lebih bisa mudah berbicara?"Rizki cukup lama menatap kalimat pertanyaan tersebut. Kemudian, dia pun mengirimkan informasi kontaknya.Alya melihat informasi kontak yang dikirimkan padanya itu lalu segera menambahkannya ke LINE.Akun LINE orang itu sangat sederhana. Orang itu menggunakan huruf R yang sederhana sebagai namanya, sementara foto profilnya adalah pemandangan malam di tepi laut.Sangat cocok dengan nama akun TikTok miliknya.Alya dengan cepat menamba
Alya menunggu cukup lama hingga dia akhirnya menerima balasan dari orang tersebut.Dia kira orang tersebut tadi sedang mencari nomor rekening, tetapi ternyata, beberapa menit kemudian orang itu hanya membalas dengan dua kata: "Nggak usah."Alya terdiamSejak awal percakapan, orang itu sangat pelit dengan kata-katanya.Entah apakah orang tersebut memang tidak banyak bicara atau memang tidak ingin berbicara dengannya.Akan tetapi, dilihat dari sikapnya sejak awal, sepertinya orang itu memang tidak mau banyak bicara dengan Alya.Lagi pula saat Alya mengirimkannya pesan, dapat terlihat bahwa pesan tersebut sudah lama dibaca olehnya. Namun, orang itu tidak segera membalas pesan Alya.Orang itu baru membalasnya di malam hari, mungkinkah dia merasa tidak sopan kalau tidak membalas pesannya?Setelah memikirkannya, Alya pun menghilangkan niatnya untuk mengobrol lebih lama dengan orang itu. Alya terdiam sejenak, lalu meninggalkan pesan pada orang itu: "Waktu sudah larut, Pak Rizki. Cepatlah isti
Jadi, Irfan pun mendapatkan sandi pintu rumah Alya dengan seperti ini.Setelah itu, dia sering datang sendiri untuk membawakan sarapan.Dengan kedatangannya yang makin sering, Alya pun jadi merasa tidak enak dan berkata padanya, "Sebenarnya, kamu bisa saja menyuruh anak buahmu datang untuk mengantar makanan ini."Irfan mengacak-acak rambut Alya dan membalas, "Bukankah kamu ingin tidur sedikit lebih lama? Kalau aku suruh mereka yang antar, kamu akan dibangunkan oleh telepon lagi.""Bukankah kamu punya sandi pintunya?"Mendengar ini, Irfan menghela napas. "Kamu pikir aku akan memercayai sandi rumahmu pada orang lain?""Bawahanmu juga nggak?""Bawahanku juga nggak."Jadi kecuali Irfan sedang benar-benar sibuk, tidak peduli sedang hujan atau badai, dia akan datang untuk mengurus Alya."Kamu sudah mandi?"Alya sedang melamun ketika dia tiba-tiba mendengar suara Irfan yang menanyakannya.Setelah tersadar kembali, dia menggeleng. "Belum. Aku mendengar suara di ruang tengah, makanya aku bangun
Alya merasa agak canggung. "Selama 5 tahun ini kamu sudah banyak membantuku, aku nggak bisa selalu bergantung padamu.""Bergantung padaku?" Pernyataan ini membuat Irfan terkekeh. "Alya, bila selama 5 tahun ini kamu benar-benar telah bergantung padaku, aku nggak akan perlu sampai seperti ini."Meskipun sekarang Alya membolehkan Irfan untuk membawakannya sarapan, ini adalah hasil dari usaha Irfan sendiri. Tanpa Irfan melakukan hal-hal ini pun, Alya masih bisa menjalani hidupnya dengan sangat baik."Jangan bilang begitu, kamu sudah sangat banyak membantuku. Kalau kamu melakukan lebih banyak dari ini, aku nggak akan bisa membalasmu.""Siapa yang mau kamu balas?"Irfan menatapnya agak dalam, suaranya juga terdengar rendah. "Pokoknya, aku sendiri yang mau melakukannya. Walaupun kamu nggak bisa membalasku, aku nggak akan bisa berbuat apa-apa padamu."Alya tidak berbicara.Irfan tidak mungkin berbuat apa pun padanya. Lagi pula, Irfan selalu menghormatinya.Namun, makin Alya berutang, makin mer
Setelah mengatakan itu, Alya mengembalikan undangan tersebut.Irfan menerima undangan itu, tetapi dia tidak langsung menarik tangannya kembali. Sebaliknya, dia memegang sampul undangan itu, lalu menatap Alya dan berkata, "Hadiah yang paling diinginkan oleh kakekku mungkin adalah seorang cucu menantu."Mendengar ini, Alya tercengang.Dia merasa bahwa Irfan sedang memberi kode padanya. Ketika dia hendak berbicara, dia mendengar Irfan melanjutkan, "Sayangnya, untuk sementara aku nggak memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaannya ini. Jadi saat ini, aku hanya bisa membelikannya barang antik yang dia suka."Bersamaan dengan ucapan itu, Irfan pun juga mengambil kembali undangan tersebut.Melihat Alya yang membeku di tempat, dia tersenyum sambil bertanya, "Kamu kenapa?"Alya tersadar kembali dan tersenyum dengan canggung. "Nggak apa-apa.""Benarkah? Kamu nggak mengira kalau barusan aku sedang memberi kode padamu, 'kan?".... Nggak, bukan kok. Bagaimana bisa aku berpikir seperti itu?" jawab