Akan tetapi, dengan bagaimana Alya terisak di telepon tadi, Citra pun merasa bingung.Sahabatnya sudah susah payah tertidur. Jika dia membangunkannya, apakah Alya akan menangis lagi?Memikirkan hal ini, Citra pun terjerumus dalam dilema.Saat ini, dia mendengar Irfan berkata, "Naiklah."Citra tertegun, lalu menoleh memandang Irfan.Irfan tersenyum tipis. "Ke mana kalian mau pergi? Aku akan mengantar kalian sekalian membiarkan Alya tidur sebentar."Mendengar perkataannya, Citra pun mengerti."Terima kasih."Dia cepat-cepat menyimpan ponselnya dan naik ke mobil.Karena Alya tertidur di kursi depan, Citra hanya bisa menatapnya dari kursi belakang.Setelah Irfan naik, mobil itu pun segera menghilang dari pintu masuk kantor catatan sipil.Setelah mobilnya melaju dengan stabil dan memastikan bahwa Alya tidak terbangun, Irfan bertanya dengan suara lembut, "Kalian mau ke mana?"Citra yang duduk di kursi belakang segera menjawab, "Bawa dia ke rumahku saja."Saat ini, mereka hanya bisa pergi ke
Begitu senja turun, Alya pun perlahan bangun dari tidurnya.Dia sudah tertidur cukup lama.Ketika terbangun, dia melihat kamar yang redup tetapi familier di sekelilingnya. Setelah melihat-lihat untuk beberapa waktu, dia sadar di mana dirinya berada. Kehangatan pun menyebar di dadanya.Rumahnya Citra.Ketika dia sedang melamun, sebuah suara terdengar dari luar. Citra mendorong pintu dan masuk ke dalam. Kamar tersebut masih sangat sunyi. Citra bergumam pada dirinya sendiri, "Kamu tidur lama sekali, kenapa kamu masih belum bangun? Apa telah terjadi sesuatu?"Begitu dia mengatakan itu, Citra mendengar Alya memanggilnya, "Citra."Mendengar ini, kegembiraan seketika muncul di wajah Citra. Dia segera menghampiri sahabatnya."Syukurlah, akhirnya kamu bangun."Sambil berbicara, Citra langsung menyalakan lampu di meja samping tempat tidur.Tadinya, Alya hanya melihat isi kamar dengan menggunakan cahaya dari luar. Jadi begitu lampunya dinyalakan. sumber cahaya yang tiba-tiba ini membuat Alya meny
"Aku tahu." Alya mengangguk. "Aku pernah baca penjelasannya. Kalau rasa sakitnya berlangsung lama, harus langsung pergi ke rumah sakit. Tapi bukankah sekarang aku baik-baik saja?""Apanya yang baik-baik saja? Rasa sakit adalah gejala. Kalau nggak, kenapa kamu bisa kesakitan? Akhir-akhir ini kamu pasti kurang istirahat atau terlalu stres. Nggak bisa. Dalam beberapa hari, aku harus menemanimu ke rumah sakit untuk pemeriksaan. Setelah itu barulah aku bisa merasa tenang.""Ya, ya, ya." Menghadapi omelannya, Alya hanya bisa setuju.Waktu itu dia tidak meminta Rizki untuk diperiksa, itu memang kurang bagus.Dia juga tidak tahu apakah setelah itu Rizki masih kesakitan atau tidak ....Memikirkan hal ini, ekspresi Alya tiba-tiba menjadi agak aneh. Dia menggigit bibirnya.Jelas-jelas mereka berdua sudah cerai, mulai sekarang mereka adalah orang asing yang tidak memiliki hubungan. Akan tetapi, kenapa sekarang dia masih memikirkannya?Ketika melihat Rizki hari ini di kantor catatan sipil, pria itu
"Sepasang kekasih?" Saat ini otak Citra tidak berfungsi, dia refleks bertanya, "Siapa?"Alya terdiam sejenak sebelum menjawab, "Rizki dan Hana."Citra tak bisa berkata-kata.Setelah beberapa saat, barulah dia berkata, "Benar-benar, sekarang aku hanya ingin mencekik diriku sendiri."Alya tertawa, mengerti kenapa sahabatnya mengatakan itu. Dia mengangkat kepalanya. "Oke, oke. Aku baik-baik saja. Apa yang dia katakan benar, mereka memang sepasang kekasih.""Sepasang kekasih tahi kucing." Citra menggertakkan giginya dan berkata, "Kalau Hana nggak menyelamatkan Rizki, memangnya Rizki akan meliriknya? Wanita itu hanya memanfaatkan utang budi orang lain."Mendengar ini, mata Alya meredup. Dia menurunkan tatapannya dan berkata, "Baiklah, jangan bicarakan masalah ini lagi. Biarkan saja seperti ini.""Aku salah." Citra menjulurkan lidahnya. "Kalau begitu, istirahatlah dulu. Nanti aku akan menghangatkan mi untukmu, makan saja setelah kamu bangun nanti.""Ya."Setelah Citra pergi, kamar itu pun ke
Ketika pergi, Sinta sadar bahwa dirinya sangat marah hingga keningnya sakit berkedut.Akan tetapi, dia segera menghentikan langkahnya, seolah teringat sesuatu.Rizki adalah anaknya. Sebagai ibu dari anaknya, dia tahu betul kepribadian anaknya. Dari Rizki kecil sampai sekarang, tentu saja Sinta pernah melihat anaknya marah. Namun, dia tidak pernah melihat anaknya semarah ini, ini adalah pertama kalinya.Anak itu bahkan melupakan sopan santunnya.Ekspresi Sinta seketika menjadi serius.Apakah ... telah terjadi sesuatu?...Setelah ibunya pergi, suasana ruang kerja tersebut menjadi sunyi. Rizki masih berdiri di tempat untuk beberapa saat sebelum akhirnya kembali ke tempatnya tadi.Meskipun dia duduk diam dengan wajah suram, perkataan ibunya sebelum pergi masih bergema di dalam benaknya."Kalau terjadi sesuatu padanya, sebaiknya kamu nggak menyesal."Seolah-olah ada suara dalam hatinya yang memberitahunya, bila sesuatu terjadi pada Alya, dia pasti akan menyesal. Seolah-olah suara itu menyu
Sang kepala pelayan menghela napas di dalam hati.Dengan keributan seperti ini, ditambah dengan sifat Rizki yang arogan dan keras kepala, sepertinya akan sulit untuk meminta tuannya pergi mencari seseorang.Salah satu pelayan berbisik, "Ketika Hana datang ke rumah kita waktu itu, aku merasa ada yang nggak beres dengan Tuan dan Nyonya. Kemudian mereka tampaknya baikan, tapi rasanya berbeda dengan dulu. Tuan dan nyonya kita ... nggak akan bercerai, 'kan?"Mendengar kata "bercerai", mata sang kepala pelayan pun seketika melotot dan langsung menegur, "Omong kosong apa itu? Mulai sekarang, jangan katakan kata itu sembarangan. Sangat wajar bila suami dan istri berselisih. Walaupun Tuan dan Nyonya hari ini bertengkar, besok mungkin mereka sudah berbaikan. Kalau kalian nggak ada kerjaan, sana bersihkan jendela lagi."Setelah diomeli Joko seperti ini, semua orang pun mengerucutkan bibirnya dan bubar.Joko juga frustrasi. Dia melambaikan tangannya seolah tidak lagi peduli dan kembali ke kamarnya
Sebelum dia dapat merenungkannya, sebuah panggilan telepon masuk ke ponselnya.Alya masih memegang ponselnya dan melihat bahwa yang meneleponnya adalah Rizki. Jantungnya pun berdebar.Di saat seperti ini, kenapa Rizki masih meneleponnya?Alya agak ragu, bertanya-tanya apakah dia harus mengangkat telepon ini atau tidak.Mereka sudah bercerai, pastinya tidak akan ada yang lebih buruk daripada ini. Mengangkat telepon saja sepertinya tidak apa-apa, 'kan?Karena dia terlalu lama mengambil keputusan, ketika dia akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon tersebut, ponselnya sudah berhenti berdering.Jadi Alya terpaksa menarik napas dalam-dalam dan meneleponnya kembali.Setelah teleponnya diangkat, dia pun menjelaskan, "Maaf, barusan aku sedang sibuk."Mendengar ini, lawan bicaranya terdiam sejenak sebelum mendengus dan berkata, "Oh, sedang sibuk dengan Irfan? Apa aku mengganggu kalian?"Alya terdiam.Karena sejak awal, tidak ada apa-apa di antara dia dan Irfan. Jadi ketika Rizki mengatakan
Tut tut ....Nada sibuk itu bergema di telinga Alya, menusuk hatinya bagaikan ratusan duri.Untuk sesaat, Alya benar-benar mempertimbangkan untuk tidak kembali dan membiarkan barang-barangnya.Namun, beberapa barang pribadinya benar-benar ada di sana. Sebaiknya dia mengambilnya ketika Rizki sedang tidak ada di rumah.Setelah sarapan, Alya memberitahukan idenya pada Citra."Kemarin malam bukankah kamu sudah mengatakannya padaku? Mobilku sudah siap, aku juga sudah memanggil beberapa temanku untuk pergi bersama dan membantumu berkemas. Kamu nggak usah khawatir, kemasi saja barang-barangmu."Dia tidak menyangka Citra sudah melakukan persiapan sematang ini demi dirinya."Citra, terima kasih banyak.""Aduh, untuk apa kata terima kasih di antara kita.""Tapi kamu nggak perlu meminta bantuan temanmu, barang-barang yang ingin aku kemas hanya sedikit. Aku bisa pergi sendiri."Mendengar ini, Citra segera meletakkan barang di tangannya. "Pergi sendiri? Nggak, aku harus menemanimu. Bagaimana kalau