Dalam perjalan ke kantor catatan sipil, mereka berdua sama-sama terdiam.Suhu di dalam mobil sangat dingin. Sepertinya karena marah, Rizki lupa mengecilkan pendingin udaranya.Alya pergi dengan terburu-buru dan hanya mengenakan sebuah jaket.Awalnya dia duduk dan tidak merasakan apa-apa, tetapi lama-kelamaan, Alya makin merasa kedinginan. Dia refleks mengangkat bahunya dan mengencangkan jaketnya,Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Rizki yang duduk di kursi pengemudi, pria itu terus merapatkan bibirnya lurus.Dari ujung matanya, dia menyadari Alya yang sedang mengencangkan jaketnya. Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi dia mengecilkan pendingin udara mobil dengan ekspresi dingin.Tak lama kemudian, suhu di dalam mobil pun tidak sedingin tadi.Alya tidak dapat menahan dirinya dan menoleh untuk menatap Rizki.Profil Rizki yang ramping begitu indah, bagaikan suatu karya seni yang digambarkan oleh para seniman. Bahkan dari samping, fitur wajahnya sangat sempurna dan menawan.Satu-satunya
Sayangnya, apa yang dia katakan benar.Alya juga tidak tahu seperti apa pola pikirnya sekarang. Ketika dia mendengar gadis itu mengutuk Rizki, hatinya terasa ... cukup puas.Namun, setelah dipikir lagi, Rizki tidak sama dengan pria lain. Sejak awal, Rizki sudah menjelaskan padanya bahwa pernikahan ini palsu. Dia sendirilah yang diam-diam menyukai Rizki.Akan tetapi, dia tidak bisa menyalahkan Rizki karena terlalu sempurna, 'kan?Yah, karena dia sendiri tidak bisa mengutuknya, dia hanya bisa mendengar orang lain mengutuk."Hey, menurutku, kalian para pria bajingan. Kalau dirimu sendiri nggak benar, untuk apa menikah? Akhirnya sekarang hanya bisa bercerai. Lucu sekali."Gadis itu memperlakukan Rizki sebagai objek kebencian, dia mengejek dan mengutuknya mati-matian.Awalnya Rizki masih tidak berekspresi dan mengabaikannya.Akan tetapi, mulut gadis itu terlalu kasar. Rizki pun mengerutkan keningnya dengan tidak senang, lalu menatap ke arahnya dengan dingin.Di bawah tatapan sedingin es itu
Tampaknya dia tidak menduga akan mendengar jawaban seperti ini.Karyawan itu menatap Alya, lalu menatap Rizki. Kemudian dia dengan hati-hati bertanya, "Jadi, Pak, apa keputusanmu?"Ketika dia bertanya tadi, dia jelas melihat harapan di mata pria ini.Akan tetapi, sekarang pria ini bahkan tidak mengangkat kelopak matanya. Suaranya sangat dingin."Lakukan sesuai perkataannya."Sudahlah, sepertinya pasangan ini tidak bisa dibujuk.Sang karyawan pun tidak berbicara lagi dan memproses dokumen mereka dalam diam.Puk, puk!Setelah dicap, kedua akta cerai itu pun didorong ke depan mereka.Alya dan Rizki berdiri di sana dan melihat akta cerai mereka dengan tatapan kosong. Akhirnya, mereka mengambil akta mereka masing-masing.Kemudian, mereka meninggalkan kantor catatan sipil.Begitu melangkah keluar, Alya merasakan angin dingin menerpa wajahnya. Mengembuskan rambut panjangnya dan menusuk wajahnya bagaikan pisau.Dia memegang akta cerai tersebut di tangannya, lalu mengangkat tangan satunya lagi
Beberapa detik kemudian, sebuah mantel yang besar dan hangat tiba-tiba membungkus tubuhnya. Terdengar suara helaan napas."Menangis sampai seperti ini, kamu begitu menyukainya, ya?"Ini adalah ... suaranya Irfan.Alya mendongak lagi. Dengan berlinangan air mata, dia berkata sambil terisak, "Aku kira kamu orang asing."Mendengar ini, Irfan terkekeh dengan lembut. "Orang asing nggak akan sebaik ini dan memberimu mantel."Setelah itu, Irfan mengeluarkan sapu tangan dari sakunya dan mengelap air mata Alya dengan lembut.Setelah air matanya dilap, penglihatannya pun menjadi lebih jelas. Alya menatap wajah Irfan. Mata pria itu tampak sangat khawatir, di bibir dan dagunya terdapat memar dan luka akibat dihajar Rizki.Tak lama kemudian, penglihatan Alya menjadi kabur lagi.Karena air mata yang tadi baru saja dilap, sekarang sudah mengalir lagi.Ketika dia sendirian, dia tidak masalah. Sekarang dengan adanya Irfan di depannya, Alya merasa sangat malu.Sambil menangis, dia berkata pada Irfan, "M
Mobil tersebut terparkir di tepi jalan pintu masuk kantor catatan sipil. Irfan menatap Alya dengan cukup lama. Ketika dia hendak menjalankan mobilnya, ponsel di pelukan Alya tiba-tiba berbunyi.Akan tetapi, Alya yang sedang nyenyak tertidur sama sekali tidak mendengarnya.Irfan terpaksa mengambil ponsel tersebut dan mengangkat teleponnya."Alya, aku sudah sampai di pintu masuk kantor catatan sipil, tapi aku nggak melihatmu. Kamu di mana?"Suara wanita yang lembut dan jernih terdengar dari ujung telepon.Mendengar ini, Irfan pun melihat ke arah pintu masuk kantor catatan sipil.Memang, dia bisa melihat seorang wanita yang mengenakan sebuah jaket bulu angsa berwarna hitam dan membawa tas kerja berdiri di pintu masuk. Wanita itu melihat-lihat ke sekelilingnya, mencari sosok Alya.Irfan mengingatnya.Wanita itu adalah Citra, sahabatnya Alya.Setelah mengenalinya, Irfan merendahkan suaranya dan berkata, "Halo, aku Irfan."Citra yang tadinya berdiri di pintu masuk sambil melihat ke sekelilin
Akan tetapi, dengan bagaimana Alya terisak di telepon tadi, Citra pun merasa bingung.Sahabatnya sudah susah payah tertidur. Jika dia membangunkannya, apakah Alya akan menangis lagi?Memikirkan hal ini, Citra pun terjerumus dalam dilema.Saat ini, dia mendengar Irfan berkata, "Naiklah."Citra tertegun, lalu menoleh memandang Irfan.Irfan tersenyum tipis. "Ke mana kalian mau pergi? Aku akan mengantar kalian sekalian membiarkan Alya tidur sebentar."Mendengar perkataannya, Citra pun mengerti."Terima kasih."Dia cepat-cepat menyimpan ponselnya dan naik ke mobil.Karena Alya tertidur di kursi depan, Citra hanya bisa menatapnya dari kursi belakang.Setelah Irfan naik, mobil itu pun segera menghilang dari pintu masuk kantor catatan sipil.Setelah mobilnya melaju dengan stabil dan memastikan bahwa Alya tidak terbangun, Irfan bertanya dengan suara lembut, "Kalian mau ke mana?"Citra yang duduk di kursi belakang segera menjawab, "Bawa dia ke rumahku saja."Saat ini, mereka hanya bisa pergi ke
Begitu senja turun, Alya pun perlahan bangun dari tidurnya.Dia sudah tertidur cukup lama.Ketika terbangun, dia melihat kamar yang redup tetapi familier di sekelilingnya. Setelah melihat-lihat untuk beberapa waktu, dia sadar di mana dirinya berada. Kehangatan pun menyebar di dadanya.Rumahnya Citra.Ketika dia sedang melamun, sebuah suara terdengar dari luar. Citra mendorong pintu dan masuk ke dalam. Kamar tersebut masih sangat sunyi. Citra bergumam pada dirinya sendiri, "Kamu tidur lama sekali, kenapa kamu masih belum bangun? Apa telah terjadi sesuatu?"Begitu dia mengatakan itu, Citra mendengar Alya memanggilnya, "Citra."Mendengar ini, kegembiraan seketika muncul di wajah Citra. Dia segera menghampiri sahabatnya."Syukurlah, akhirnya kamu bangun."Sambil berbicara, Citra langsung menyalakan lampu di meja samping tempat tidur.Tadinya, Alya hanya melihat isi kamar dengan menggunakan cahaya dari luar. Jadi begitu lampunya dinyalakan. sumber cahaya yang tiba-tiba ini membuat Alya meny
"Aku tahu." Alya mengangguk. "Aku pernah baca penjelasannya. Kalau rasa sakitnya berlangsung lama, harus langsung pergi ke rumah sakit. Tapi bukankah sekarang aku baik-baik saja?""Apanya yang baik-baik saja? Rasa sakit adalah gejala. Kalau nggak, kenapa kamu bisa kesakitan? Akhir-akhir ini kamu pasti kurang istirahat atau terlalu stres. Nggak bisa. Dalam beberapa hari, aku harus menemanimu ke rumah sakit untuk pemeriksaan. Setelah itu barulah aku bisa merasa tenang.""Ya, ya, ya." Menghadapi omelannya, Alya hanya bisa setuju.Waktu itu dia tidak meminta Rizki untuk diperiksa, itu memang kurang bagus.Dia juga tidak tahu apakah setelah itu Rizki masih kesakitan atau tidak ....Memikirkan hal ini, ekspresi Alya tiba-tiba menjadi agak aneh. Dia menggigit bibirnya.Jelas-jelas mereka berdua sudah cerai, mulai sekarang mereka adalah orang asing yang tidak memiliki hubungan. Akan tetapi, kenapa sekarang dia masih memikirkannya?Ketika melihat Rizki hari ini di kantor catatan sipil, pria itu