"Tuan Irfan, selanjutnya kita akan pergi ke mana?"Irfan meliriknya, tatapannya itu seolah-olah berkata, 'Bahkan pergi ke mana pun kamu masih perlu bertanya padaku?'Sopir yang menerima tatapan itu seketika menjadi panik dan menelan ludahnya. Beberapa saat kemudian, dia mendengar Irfan berkata, "Pergi ke rumah sakit terdekat.""Baik, dimengerti."Setelah mendengar tujuan mereka, sang sopir pun tidak berani untuk berlama-lama lagi dan segera menjalankan mobilnya.Namun, karena ada Alya di dalam mobil, sopir itu pun tidak berani mengebut. Dia mengemudi selambat yang dia bisa.Beberapa menit kemudian, Irfan mendorong kacamata di hidungnya dan berkata tanpa ekspresi, "Kalau kamu terus mengemudi seperti ini dan lukanya jadi terlambat untuk diobati, apa kamu bsia menanggung akibatnya?"Mendengar ini, raut wajah sopir itu pun berubah. Keringat dingin mulai keluar di punggungnya. "Baik, baik. Aku akan segera menambah kecepatan."Sepuluh menit kemudian, mobil itu berhenti di depan pintu masuk r
Di balik kacamatanya yang berbingkai emas, Alya dapat melihat sepasang mata yang dalam dan berkabut. Alya tidak dapat mengerti apa yang sedang dipikirkannya.Sementara itu, Irfan masih mempertahankan senyum di wajahnya.Setelah bertatapan dengan Alya untuk beberapa saat, Irfan pun mengangkat alisnya."Ada apa?"Alya menunduk dan tidak menjawab pertanyaan tersebut.Namun, dia juga tidak lagi meminta untuk menemui sang nenek. Dia dengan tenang membiarkan suster tersebut memasangkannya infus lagi. Rasa sakit yang menyebar dari tangannya pun membuat Alya menjadi lebih awas.Setelah suster itu pergi, hanya mereka berdualah yang ada di dalam kamar. Ini merupakan waktu yang tepat untuk membicarakan beberapa hal.Saat Alya sedang merasa bingung dan tidak tahu bagaimana dia harus memulai pembicaraan, Irfan tiba-tiba membungkuk di depannya. Pria itu mengeluarkan selembar sapu tangan bersih dari dalam sakunya, lalu dengan lembut mengelap bekas darah yang tadi mengucur keluar saat infusnya tidak s
Namun sekarang dia malah ....Untuk sesaat, Alya pun lupa dengan apa yang ingin dia katakan. Pikirannya kacau."Tenang saja, aku akan membantumu."Perkataan Irfan malah membuat pikiran Alya makin kacau. Wajah kecilnya mendongak menatap pria itu, bertanya, "Membantuku?"Irfan tersenyum tipis. "Sekalian membantu sepasang kekasih itu, Rizki dan Hana."Kata-kata "sepasang kekasih" membuat hati Alya sakit. Akhirnya, Alya mengangguk dengan lesu.Walaupun pikirannya masih kacau, begitu dia mendengar bahwa Irfan akan menjaga rahasianya, Alya pun merasa lega."Apa yang terjadi di antara kalian?"Setelah memastikan bahwa mereka berdua memiliki tujuan yang sama, Irfan akhirnya mengambil kesempatan untuk menanyakannya pertanyaan lain, "Kamu selalu menghabiskan waktu dengannya siang dan malam, tapi dia nggak mengetahui kehamilanmu?"Tanpa sadar Alya mengepalkan tangannya."Dia tahu."Mendengar jawaban Alya, mata Irfan yang tersembunyi di balik kacamata pun menggelap dan berkilat. Nada bicaranya jug
Saat ini rambut Rizki berantakan, wajahnya tampak gelisah dan tubuhnya masih membawa udara dingin dari luar.Meskipun telah melihat Rizki yang bergegas datang karena dirinya, Alya tahu bahwa sebelum Rizki datang ke sini untuk menemuinya, Rizki mungkin sudah lama berada di luar untuk mencari Hana.Selain itu, Rizki sangat sibuk hingga tidak sempat mengangkat teleponnya.Atau mungkin, Rizki hanya merasa repot. Mengenai kenapa pria itu merasa repot, Alya tidak ingin terlalu memikirkannya.Jadi ketika melihat pria itu berlari mencarinya, Alya sama sekali tidak merasa tersentuh.Namun, dia masih harus mempertahankan hubungan mereka berdua dari luar, jadi dia menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Tenang saja, aku nggak apa-apa."Nada bicara Alya sangat tenang, seolah-olah tidak ada alasan baginya untuk takut, seolah-olah dia tidak kecewa dengan Rizki yang tidak mengangkat teleponnya.Akan tetapi, saat ini Rizki tidak memiliki waktu luang untuk meributkan hal-hal ini. Dia membungkuk dan sege
Rizki juga ingin mengetahui proses kejadian ini, jadi dia pun mendengarkan dengan tenang.Ketika Irfan selesai berbicara, Rizki mengerutkan keningnya. "Bagaimana dengan pelakunya?""Sudah ditangkap.""Siapa?" Rizki tidak mengerti. Alya tidak memiliki musuh, jadi siapa yang saat ini ingin menyerangnya?Begitu mendengar pertanyaan Rizki, Irfan pun terdiam.Melihat ini, Rizki mengerutkan keningnya lagi. "Irfan?"Irfan akhirnya mengangkat kepalanya. Pria itu tampak tenggelam dalam pikirannya dan berkata, "Kamu benar-benar ingin tahu?"Pertanyaan ini membuat Rizki makin bingung.Meskipun sekarang Alya tampak baik-baik saja, penculikan adalah hal yang amat serius. Bagaimana bisa dia tidak peduli ketika seseorang memiliki niat buruk pada Alya?Irfan memakai kacamatanya kembali dan berkata dengan ekspresi serius, "Pelaku penculikannya mungkin akan sangat nggak terduga untukmu. Kamu harus bersiap untuk membuat pilihan."Saat mendengar kata-kata "membuat pilihan", Rizki seketika mendapatkan fira
Pikiran Rizki benar-benar kacau.Sejak kecil, dia selalu merasa ada yang tidak beres dengan Irfan. Irfan selalu dekat dengan Alya, selalu suka mengelus kepala Alya dan memanggil Alya gadis kecil.Namun, Irfan selalu berkata, bahwa Alya hanyalah seorang gadis kecil yang belum dewasa.Jadi Rizki pun mengira bahwa Irfan hanya menganggap Alya sebagai seorang adik.Meskipun Rizki memiliki kesan seperti itu terhadap temannya, jauh di dalam lubuk hatinya, dia selalu merasa ada yang tidak beres.Perasaan aneh itu terus berlanjut sampai Irfan pergi ke luar negeri, lalu kontak mereka berdua pun terputus.Dia tidak menduga bahwa hari ini ....Irfan benar-benar mengakuinya. Dia juga mengakuinya dengan sangat cepat."Kaget?" Irfan terkekeh. "Aku sudah menyukainya sejak kecil, bukannya kelihatan sekali? Aku kira kamu sudah tahu."Rizki terdiam merapatkan bibirnya."Sepertinya kamu baru tahu. Nggak apa-apa, nggak terlambat untuk mengetahuinya sekarang."Terpikirkan sesuatu, Irfan pun bertanya, "Sekar
"Aku bukan memintamu untuk membiarkannya. Maksudku karena sudah begini, nggak ada gunanya kamu marah. Kita pelan-pelan saja.""Pelan-pelan saja? Semuanya sudah seperti ini dan kita masih mau pelan-pelan saja? Bagaimana kalau kamu saja yang pedulikan anakmu itu? Aku nggak peduli lagi."Reza menghela napasnya tak berdaya."Kamu tahu kalau aku selalu mendengarkanmu. Sementara mengenai anak kita, kalau kamu adalah dia, apa yang akan kamu lakukan? Begitu mendengar bahwa orang yang telah menyelamatkan nyawamu menghilang, bisakah kamu duduk diam di ruang operasi dan menunggu?"Sinta terdiam."Berada dalam dilema seperti itu, bagaimana kamu ingin dia memilih?""Aku nggak bilang dia nggak boleh pergi mencari wanita itu, tapi haruskah dia pergi selama ini? Bahkan Alya juga .... Syukurlah Irfan menemukannya. Kalau nggak, situasi Alya akan berbahaya sekali. Meskipun dia berada dalam dilema, apa gunanya?""Benar, untung saja ada Irfan. Kamu juga jangan salahkan Rizki lagi. Dia sendiri mungkin juga
Awalnya Hana terkejut melihat Rizki. Kemudian, dia segera memasang ekspresi gembira. Dia turun dari tempat tidurnya dan menghampiri Rizki."Rizki, kenapa kamu tiba-tiba datang? Bagaimana dengan kondisi Nenek? Apakah operasinya berhasil?"Namun saat menghampirinya, Hana menyadari bahwa Rizki memiliki wajah pucat dan tatapan yang sedingin es.Mengingat apa yang dilakukan Astrid dan David, Hana pun takut ketahuan. Namun, dia tidak berani menunjukkannya sedikit pun.Dia tidak boleh panik.Saat ini, dia harus tetap tenang.Dia tidak boleh membiarkan Rizki menemukan masalah apa pun padanya.Suara Rizki terdengar sangat dingin."Nenek baik-baik saja, bagaimana denganmu?""Apa?" Jantung Hana berdegap kencang. Dia kita dia sudah salah dengar.Barusan Rizki menanyakan tentang dirinya?"Lalu, teman-temanmu?" Mata Rizki menyapu kamar tersebut. "Apa kamu tahu ke mana mereka pergi?""Nggak tahu." Hana menggeleng, lalu menggigit bibirnya. "Tadi aku pergi, mungkin mereka semua pergi mencariku.""Begit