"Sini." Rizki menghentikannya dan berkata dengan tak acuh, "Nanti kita bilang bersama-sama saja. Naiklah."Naik?Alya melirik kursi penumpang mobil pria itu. Jujur saja, dia sangat tidak ingin duduk di sana. Bukankah lebih baik dia membawa mobilnya sendiri?Melihat Alya yang hanya berdiam diri di tempat, Rizki mengerutkan kening. "Ada apa? Kamu nggak mau akur denganku? Bahkan naik ke mobilku juga nggak mau?"Mendengar ini, Alya tersadar dan tersenyum."Nggak, tadi aku hanya sedang berpikir kapan sebaiknya kita memberi tahu Nenek."Sambil berbicara, Alya membuka pintu mobil tersebut dan masuk. Ketika dia baru duduk dan belum memasang sabuk pengamannya, mobil Rizki sudah mulai melaju.Alya pun kaget, dia menoleh dan melihat bahwa pria itu mengemudi dengan wajah suram.Sudahlah, pokoknya begitu Nenek menyelesaikan operasinya, dia akan segera pergi dari sini. Memangnya kenapa kalau Rizki mengamuk sekarang? Di saat-saat yang penting seperti ini, dia harus tetap tenang dan menghindari masala
Setelah kembali ke tempat kerja mereka masing-masing, Alya dengan sungguh-sungguh menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan.Sebelum naik ke atas, dia dan Rizki sudah setuju untuk membawa Wulan ke rumah sakit besok. Malam ini setelah pulang kerja, mereka akan membicarakannya dengan sang nenek. Akan tetapi, mereka berdua sama-sama menghindar untuk membicarakan masalah perceraian mereka.Waktu itu karena kesal, pagi-pagi mereka berdua sudah pergi ke kantor catatan sipil. Namun operasi Wulan sama sekali tidak berjalan lancar dan malah menghadapi rintangan.Kali ini Alya pun tidak akan terburu-buru. Dia memutuskan untuk menunggu sang nenek menyelesaikan operasinya dan pulih, setelah itu barulah dia pergi ke kantor catatan sipil lagi untuk mengambil akta cerai.Hal ini untuk mencegah terjadinya situasi yang tidak terduga.Dia memang berpikir seperti ini, tetapi mungkin Rizki juga berpikiran sama....Di siang hari, Alya seperti biasa turun ke lantai bawah untuk membeli bubur. Hari ini dia ingi
Setelah orang-orang itu pergi, Irfan membukakan pintu mobilnya untuk Alya."Ayo naik, Gadis Kecil."Mendengar panggilannya, Alya pun hanya melirik Irfan dan tidak segera naik ke mobil."Bukankah sudah kubilang untuk nggak memanggilku dengan nama panggilan itu?"Saat dia masih kecil, sebagai teman, Alya tidak keberatan bila Irfan memanggilnya seperti itu. Namun di umurnya yang sekarang, dipanggil seperti itu lagi oleh Irfan terasa aneh."Oke. Kalau begitu, Aci?"Alya mengerutkan keningnya."Nama ini juga nggak boleh.""Kenapa?" Balasan Alya membuat Irfan mengangkat alis. "Kalau aku memanggilmu Aci, apakah kamu akan teringat dengan seseorang?"Alya tak bisa berkata-kata."Kalau memang seperti itu, maka kamu harus lebih sering mendengarnya." Sambil berbicara, Irfan melihat Alya yang masih berdiri di tempat. Kemudian dia mengetuk kepala wanita itu dan melanjutkan, "Kenapa masih belum naik ke mobil? Kamu menunggu aku minta?"Alya pun terpaksa naik ke mobilnya.Setelah duduk, Alya berbicara
Suasana di dalam mobil pun menjadi hening. Irfan melihat-lihat tempat di sekitar mereka. Dia tidak lagi melanjutkan topik pembicaraan tadi, melainkan bertanya apa yang ingin Alya makan.Alya sama sekali tidak nafsu untuk makan daging atau ikan, siang ini dia ingin makan bubur.Akan tetapi, malam itu Irfan sudah makan bubur dengannya. Sepertinya tidak baik bila hari ini dia mengusulkan untuk makan bubur lagi.Akhirnya dia berkata, "Terserah kamu saja."Irfan terdiam sejenak, dia tampak terkejut dengan keputusan Alya."Kamu yakin? Aku sudah lama sekali nggak tinggal di negara ini."Alya membalas dengan tak acuh, "Nggak apa-apa."Lagi pula, dia nggak akan makan banyak.Teringat sesuatu, Alya pun menambahkan, "Aku akan mentraktirmu apa pun yang kamu mau.""Benarkah?" Irfan tersenyum. "Kalau begitu aku harus memilih dengan baik-baik."Akhirnya Irfan memilih sebuah restoran yang menyajikan makanan daerah.Saat turun dari mobil, Alya sengaja memperhatikan dekorasi restoran tersebut. Restoran
"Tolong berikan nona ini segelas jus dulu.""Baik, Tuan."Mendengar ini, Alya tertegun."Bagaimana kamu bisa tahu?""Kamu lupa? Di pesta penyambutanku waktu itu, kamu sendiri minum dua gelas jus. Tapi hari ini aku nggak akan memberimu sebanyak itu, satu gelas saja cukup, 'kan?"Sebelum ke sini, sebenarnya Alya sama sekali tidak berniat untuk minum jus, dia bahkan tidak melihat-lihat menunya dengan benar. Tanpa diduga, Irfan ternyata menyadarinya."Terima kasih.""Nggak perlu berterima kasih, lagi pula yang bayar 'kan kamu."Alya terdiam.Dia hampir lupa, hari ini dialah yang mentraktir Irfan. Restoran seperti ini, satu hidangan saja sudah menghabiskan banyak uang.Untuk Alya yang dulu, uang sebanyak ini bukanlah masalahSebenarnya dengan gajinya yang sekarang pun, dia mampu untuk makan di restoran ini. Akan tetapi ... jika nantinya dia akan punya bayi, dia akan mengeluarkan banyak uang.Pakaian, makanan, rumah, transportasi, juga pengeluaran untuk pendidikan. Dia harus menabung dari ja
Setelah itu, Alya berhasil menemukan kesempatan untuk pergi ke toilet dan meredakan rasa malunya.Ketika dia keluar, tanpa disangka dia bertemu dengan seseorang yang tidak asing di koridor di luar toilet.Alya menghentikan langkahnya, melihat wajah sedih gadis di depannya itu. Sebenarnya gadis itu tidak bisa dianggap tidak asing dengannya, mereka hanya pernah bertemu sekali di rumah sakit.Gadis itu adalah putrinya Ratna, yaitu Intan.Saat dia waktu itu pergi ke rumah sakit untuk aborsi, dia bertemu dengan Ratna. Jika bukan karena situasi putrinya ini, mungkin Ratna sudah lama menyebarkan rahasianya.Melihatnya, Alya teringat saat gadis ini dengan tegas berkata pada Ratna, "Aku menyukainya."Gadis tersebut tidak sendirian di sini, di depannya terdapat seorang pria berwajah tampan dengan tubuh yang tinggi dan ramping.Pria itu sedang membungkuk dan memegang bahu Intan, dia tampak membicarakan sesuatu dengan wajah memohon."Intan, anggap ini sebagai permohonanku. Tolong aborsi anak ini.
"... Siapa yang mau menambahkanmu di WhatsApp?""Jadi?""Kita sudah membicarakannya bahwa aku yang akan mentraktirmu." Alya mengangkat dagunya, menunjuk ke arah ponsel Irfan. "Nggak usah sampai menambahkan teman di WhatsApp, kamu tunjukkan saja kode pembayarannya lalu aku tinggal memindainya."Setelah mengatakan itu, tangan Alya yang sedang terulur pun disentil oleh Irfan. Alya berkata, "Waktu itu kamu sudah bersikeras membayar makanannya, sekarang kalau aku membiarkanmu melakukannya lagi, di mana aku bisa menaruh mukaku?"Alya mengerutkan keningnya."Kalau kamu merasa nggak enak, berhentilah dari pekerjaanmu dan bergabunglah dengan perusahaanku," balas Irfan."... Bukankah pembicaraan ini terlalu mendadak?""Mendadak?" Irfan menurunkan pandangannya, seolah-olah dia sedang merenung. "Tapi seperti yang kamu bilang, aku memang ingin merebut seseorang.""Hanya dengan satu kali makan bersama, kamu mau aku ganti pekerjaan? Kamu terlalu optimis."Setelah itu, Alya menyimpan kembali ponselnya
Pria tinggi dan ramping itu memandang Alya dengan terkejut. Rasa kagum melintas di dalam matanya.Walaupun wanita di depannya ini sangat cantik, dia sama sekali tidak mengenalnya.Ketika wanita dewasa di sampingnya melihat Alya, tatapan wanita itu menegang. Kemudian, wanita bernama Dinda itu menatap Alya dengan waspada."Siapa dia? Apa kamu menemukan orang lain lagi di belakangku?"Pria itu hanya bisa buru-buru menjelaskan, "Nggak, Kak Dinda, aku juga nggak mengenal dia. Siapa yang tahu kenapa dia tiba-tiba datang kemari dan berbicara padaku? Ka-Kamu siapa?"Sebenarnya, pria tinggi dan ramping ini mudah marah. Ketika Alya tiba-tiba datang dan berbicara seperti ini, dia sangat ingin menunjukkan amarahnya. Akan tetapi begitu melihat betapa cantiknya Alya, dia pun merasa tidak enak untuk memarahinya."Mau kamu mengenalku atau nggak, memangnya itu penting?" Alya menatapnya dengan tatapan dingin. "Yang penting adalah ucapanmu itu. Kamu mencintainya, tapi kamu malah punya anak dengan wanita