"Bukan apa-apa."Alya tersenyum dan terkekeh, lalu mengangkat bahunya dan berkata, "Aku hanya mencoba memikirkan masalah ini dari sudut pandangmu, jadi aku bisa mengerti kenapa kamu mau meletakkan kesalahannya padaku. Kamu kasihan padanya, sehingga kamu berempati dengannya."Ketika dia mengucapkan kata-kata ini, Rizki terus menatapnya dengan intens."Jadi?" Rizki menggertakkan giginya, tatapannya menjadi berbahaya."Maksudku, wajar kalau kamu memprioritaskannya." Sampai di sini, Alya berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Jadi aku berpikir, seandainya aku adalah kamu, aku juga akan melakukan hal yang sama."Nyawa Alya belum pernah diselamatkan seseorang, dia juga belum pernah mengalami keputusasaan yang dirasakan Rizki. Akan tetapi, dia masih bisa berpikir. Walaupun emosi yang didalaminya mungkin tidak mencapai sepersepuluh yang dimiliki Rizki.Namun ketika kamu berada di ambang kematian dan hendak tercekik, lalu tiba-tiba ada seseorang yang mengulurkan tangannya untuk menolongmu.Rasany
Jarak mereka berdua sangat dekat. Rizki menunduk sekalian melirik Alya. Dia dapat melihat rambut halus dan bibir semerah ceri di kulit putih Alya.Dari tubuh Alya, samar-samar tercium aroma yang sangat tidak asing. Dia tahu Alya tidak menggunakan parfum, jadi ini adalah aroma sabun yang tercampur dengan aroma segar rambut Alya.Mencium aroma tersebut, Rizki impulsif ingin memeluknya.Karena dulu dia bisa melakukannya begitu saja. Namun ketika dia hendak mengangkat tangan untuk memeluk Alya, dia melihat Alya menarik tangannya kembali. Kemudian wanita itu mendongak menatapnya dan berkata, "Sudah selesai."Rasa tidak acuh yang sedingin es di matanya itu seketika menusuk hati Rizki.Dalam sekejap, seluruh kehangatan di benaknya pun menghilang.Rizki tersenyum, lalu mencibir dan berkata, "Kerja bagus, aktingmu sangat meyakinkan."Mendengar ini, Alya tertegun. Kemudian dia tersenyum dengan tak acuh. "Ini bukan apa-apa, memang seharusnya aku begini."Reaksinya seperti memukul setumpuk kapas,
Tanpa menggunakan sedikit pun emosi, Alya dengan mudah membuat Rizki marah.Saat pria itu pergi, wajahnya segelap pantat panci. Rizki pun membanting pintu dengan suara yang menggelegar.Alya mengangkat bahunya. Setelah pria itu pergi, dia dengan lembut menyentuh perutnya dan berbisik, "Sayang, jangan takut. Saat kamu sudah besar nanti kamu nggak boleh seperti dia, sifatnya benar-benar buruk."Selesai mengeluh, Alya pun merapikan barang-barangnya dan bersiap untuk pergi bekerja....Rizki baru saja memasuki garasi ketika ponselnya tiba-tiba berbunyi.Dia dibuat cukup kesal oleh Alya. Dengan wajah masam, dia pun mengeluarkan ponselnya. Setelah melihat nama pemanggilnya, emosinya perlahan mereda. Kemudian dia mengangkat telepon tersebut."Dokter Anto."Yang meneleponnya adalah Anto Murti, dokter yang bertanggung jawab atas Wulan."Pak Rizki, halo."Suara Anto lembut seperti orangnya sendiri. "Aku dokter yang bertanggung jawab atas Nyonya Wulan, Anto Murti. Mohon maaf bila mengganggu, tapi
"Sini." Rizki menghentikannya dan berkata dengan tak acuh, "Nanti kita bilang bersama-sama saja. Naiklah."Naik?Alya melirik kursi penumpang mobil pria itu. Jujur saja, dia sangat tidak ingin duduk di sana. Bukankah lebih baik dia membawa mobilnya sendiri?Melihat Alya yang hanya berdiam diri di tempat, Rizki mengerutkan kening. "Ada apa? Kamu nggak mau akur denganku? Bahkan naik ke mobilku juga nggak mau?"Mendengar ini, Alya tersadar dan tersenyum."Nggak, tadi aku hanya sedang berpikir kapan sebaiknya kita memberi tahu Nenek."Sambil berbicara, Alya membuka pintu mobil tersebut dan masuk. Ketika dia baru duduk dan belum memasang sabuk pengamannya, mobil Rizki sudah mulai melaju.Alya pun kaget, dia menoleh dan melihat bahwa pria itu mengemudi dengan wajah suram.Sudahlah, pokoknya begitu Nenek menyelesaikan operasinya, dia akan segera pergi dari sini. Memangnya kenapa kalau Rizki mengamuk sekarang? Di saat-saat yang penting seperti ini, dia harus tetap tenang dan menghindari masala
Setelah kembali ke tempat kerja mereka masing-masing, Alya dengan sungguh-sungguh menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan.Sebelum naik ke atas, dia dan Rizki sudah setuju untuk membawa Wulan ke rumah sakit besok. Malam ini setelah pulang kerja, mereka akan membicarakannya dengan sang nenek. Akan tetapi, mereka berdua sama-sama menghindar untuk membicarakan masalah perceraian mereka.Waktu itu karena kesal, pagi-pagi mereka berdua sudah pergi ke kantor catatan sipil. Namun operasi Wulan sama sekali tidak berjalan lancar dan malah menghadapi rintangan.Kali ini Alya pun tidak akan terburu-buru. Dia memutuskan untuk menunggu sang nenek menyelesaikan operasinya dan pulih, setelah itu barulah dia pergi ke kantor catatan sipil lagi untuk mengambil akta cerai.Hal ini untuk mencegah terjadinya situasi yang tidak terduga.Dia memang berpikir seperti ini, tetapi mungkin Rizki juga berpikiran sama....Di siang hari, Alya seperti biasa turun ke lantai bawah untuk membeli bubur. Hari ini dia ingi
Setelah orang-orang itu pergi, Irfan membukakan pintu mobilnya untuk Alya."Ayo naik, Gadis Kecil."Mendengar panggilannya, Alya pun hanya melirik Irfan dan tidak segera naik ke mobil."Bukankah sudah kubilang untuk nggak memanggilku dengan nama panggilan itu?"Saat dia masih kecil, sebagai teman, Alya tidak keberatan bila Irfan memanggilnya seperti itu. Namun di umurnya yang sekarang, dipanggil seperti itu lagi oleh Irfan terasa aneh."Oke. Kalau begitu, Aci?"Alya mengerutkan keningnya."Nama ini juga nggak boleh.""Kenapa?" Balasan Alya membuat Irfan mengangkat alis. "Kalau aku memanggilmu Aci, apakah kamu akan teringat dengan seseorang?"Alya tak bisa berkata-kata."Kalau memang seperti itu, maka kamu harus lebih sering mendengarnya." Sambil berbicara, Irfan melihat Alya yang masih berdiri di tempat. Kemudian dia mengetuk kepala wanita itu dan melanjutkan, "Kenapa masih belum naik ke mobil? Kamu menunggu aku minta?"Alya pun terpaksa naik ke mobilnya.Setelah duduk, Alya berbicara
Suasana di dalam mobil pun menjadi hening. Irfan melihat-lihat tempat di sekitar mereka. Dia tidak lagi melanjutkan topik pembicaraan tadi, melainkan bertanya apa yang ingin Alya makan.Alya sama sekali tidak nafsu untuk makan daging atau ikan, siang ini dia ingin makan bubur.Akan tetapi, malam itu Irfan sudah makan bubur dengannya. Sepertinya tidak baik bila hari ini dia mengusulkan untuk makan bubur lagi.Akhirnya dia berkata, "Terserah kamu saja."Irfan terdiam sejenak, dia tampak terkejut dengan keputusan Alya."Kamu yakin? Aku sudah lama sekali nggak tinggal di negara ini."Alya membalas dengan tak acuh, "Nggak apa-apa."Lagi pula, dia nggak akan makan banyak.Teringat sesuatu, Alya pun menambahkan, "Aku akan mentraktirmu apa pun yang kamu mau.""Benarkah?" Irfan tersenyum. "Kalau begitu aku harus memilih dengan baik-baik."Akhirnya Irfan memilih sebuah restoran yang menyajikan makanan daerah.Saat turun dari mobil, Alya sengaja memperhatikan dekorasi restoran tersebut. Restoran
"Tolong berikan nona ini segelas jus dulu.""Baik, Tuan."Mendengar ini, Alya tertegun."Bagaimana kamu bisa tahu?""Kamu lupa? Di pesta penyambutanku waktu itu, kamu sendiri minum dua gelas jus. Tapi hari ini aku nggak akan memberimu sebanyak itu, satu gelas saja cukup, 'kan?"Sebelum ke sini, sebenarnya Alya sama sekali tidak berniat untuk minum jus, dia bahkan tidak melihat-lihat menunya dengan benar. Tanpa diduga, Irfan ternyata menyadarinya."Terima kasih.""Nggak perlu berterima kasih, lagi pula yang bayar 'kan kamu."Alya terdiam.Dia hampir lupa, hari ini dialah yang mentraktir Irfan. Restoran seperti ini, satu hidangan saja sudah menghabiskan banyak uang.Untuk Alya yang dulu, uang sebanyak ini bukanlah masalahSebenarnya dengan gajinya yang sekarang pun, dia mampu untuk makan di restoran ini. Akan tetapi ... jika nantinya dia akan punya bayi, dia akan mengeluarkan banyak uang.Pakaian, makanan, rumah, transportasi, juga pengeluaran untuk pendidikan. Dia harus menabung dari ja