Dulu, ia meninggalkan semuanya dengan ambisi besar. Meninggalkan ibunya yang tinggal sendirian, teman-temannya, dan yang paling sulit, Kaira. Nama itu berputar dalam pikirannya seperti sebuah lagu lama yang tak bisa ia hentikan. Kaira Alyssa. Cinta pertamanya. Seseorang yang ia tinggalkan tanpa memberikan penjelasan, hanya demi mengejar mimpi besar di kota metropolitan.
view moreLangit senja di kota kecil itu selalu memberikan kesan tenang, meski kini terasa berbeda bagi Ezra Mahendra. Ia memandang keluar dari jendela kereta yang bergerak perlahan menuju stasiun terakhir. Pepohonan yang melambai di sepanjang jalan dan deretan rumah-rumah kecil di kejauhan membawa kembali kenangan yang selama ini ia coba tinggalkan. Sudah lebih dari sepuluh tahun sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di kota ini—kota kecil yang pernah ia sebut rumah.
Dulu, ia meninggalkan semuanya dengan ambisi besar. Meninggalkan ibunya yang tinggal sendirian, teman-temannya, dan yang paling sulit, Kaira. Nama itu berputar dalam pikirannya seperti sebuah lagu lama yang tak bisa ia hentikan. Kaira Alyssa. Cinta pertamanya. Seseorang yang ia tinggalkan tanpa memberikan penjelasan, hanya demi mengejar mimpi besar di kota metropolitan.
Ezra menghela napas panjang. Kereta akhirnya berhenti. Stasiun tua yang kini terlihat lebih kusam daripada yang ia ingat, dengan beberapa papan kayu yang sudah lapuk dimakan waktu. Ketika ia turun dari kereta, aroma udara kota kecil itu menyambutnya dengan perasaan nostalgia yang menyesakkan. Ada banyak hal yang berubah, tetapi perasaan asing dan akrab ini tetap sama.
Dia menatap sekeliling, mencari wajah yang dikenalnya, tetapi tidak ada satu pun yang tampak. Ibunya seharusnya sudah di rumah, menunggu kepulangannya. Sudah terlalu lama ia mengabaikan panggilan-panggilan telepon dari ibunya. Kini, kondisi kesehatannya yang memburuk menjadi alasan utama Ezra kembali. Bukan hanya untuk menebus kesalahannya sebagai anak, tetapi mungkin juga sebagai manusia.
"Ezra?"
Suara lembut itu menghentikan langkahnya. Suara yang begitu ia kenal, yang selama ini hanya menjadi bayangan di pikirannya. Ia berbalik perlahan, dan di sana, berdiri seseorang yang tidak pernah ia sangka akan dilihatnya secepat ini.
Kaira Alyssa.
Wanita itu berdiri di ambang pintu toko bunga kecil di seberang stasiun. Dia masih sama seperti yang Ezra ingat—lembut, namun kuat dalam caranya sendiri. Rambut hitamnya yang panjang tertiup angin lembut, dan mata hazel yang dulu pernah membuat Ezra merasa bahwa dia bisa menaklukkan dunia hanya dengan dukungan Kaira kini memandangnya dengan perasaan yang campur aduk.
"Kamu... benar-benar kembali," ucap Kaira pelan, suaranya penuh keraguan, seolah-olah ia tidak percaya pria yang berdiri di depannya adalah Ezra yang sama yang meninggalkannya bertahun-tahun lalu.
Ezra tidak tahu harus berkata apa. Di kepalanya, ia sudah mempersiapkan banyak kata-kata jika suatu hari mereka bertemu lagi. Namun, di saat ini, semua kata-kata itu lenyap.
"Ya, aku kembali," jawabnya, suaranya sedikit gemetar.
Kaira menatapnya untuk beberapa detik yang terasa seperti selamanya. Mata mereka bertemu, dan di sana, Ezra bisa melihat bayangan luka lama. Kaira tak pernah bertanya mengapa ia pergi tanpa kata perpisahan. Tidak ada penjelasan yang cukup untuk menutupi rasa sakit yang ditinggalkannya begitu saja.
"Toko ini masih milik keluargamu?" Ezra berusaha mencari percakapan kecil, meski tahu itu tidak akan menyelesaikan apapun.
Kaira tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. "Ya. Tidak banyak yang berubah di sini, Ezra. Kota ini tetap sama. Kami tetap menjalani hidup kami, meskipun beberapa dari kami harus belajar menjalani hidup tanpa kehadiran orang yang kami cintai."
Kata-katanya menusuk lebih dalam daripada yang Ezra bayangkan. Kaira tidak perlu mengatakan lebih. Ia tahu, luka yang ditinggalkannya padanya tidak pernah benar-benar sembuh.
"Aku... Aku datang untuk ibuku," Ezra menjelaskan, merasa perlu memberikan alasan meski tahu itu tidak akan mengurangi apa pun.
"Ya, aku dengar tentang ibumu. Aku harap dia baik-baik saja." Kaira berkata dengan nada yang lebih tenang, tapi tetap saja ada jarak yang jelas di antara mereka.
Ezra hanya mengangguk, tidak mampu menambahkan apa pun. Pertemuan ini terlalu cepat, terlalu tiba-tiba, dan emosinya terlalu banyak untuk ditangani sekaligus. Sebelum ia bisa mengatakan lebih banyak, Kaira mengangguk pelan dan kembali ke dalam tokonya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Ezra berdiri di sana, masih memandangi pintu toko bunga yang kini tertutup rapat. Langkah pertamanya di kota ini telah diwarnai dengan kenangan pahit yang dulu coba ia lupakan, tapi kini tak terhindarkan.
Dia kembali. Tapi pertanyaannya adalah, apakah dia benar-benar siap untuk menghadapi semua yang telah ditinggalkannya?
Ezra memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya menuju rumah ibunya, meskipun pertemuan singkat dengan Kaira tadi masih terus mengganggu pikirannya. Jalan menuju rumah itu terasa jauh lebih panjang dari yang dia ingat, meski ia tahu jaraknya tak pernah berubah. Setiap sudut kota kecil itu seakan mengingatkan Ezra pada kenangan lama, pada dirinya yang dulu, pada masa-masa ketika hidup terasa jauh lebih sederhana.
Rumah tua itu akhirnya terlihat dari kejauhan. Dindingnya sudah mulai kusam, cat putihnya mengelupas di beberapa bagian. Di halaman depan, taman yang dulu penuh dengan bunga kini terlihat tidak terawat. Rumput tumbuh liar, dan bunga-bunga mawar yang dulu selalu terawat rapi kini hampir mati. Ezra merasa bersalah. Seharusnya ia ada di sini, membantu ibunya menjaga rumah ini.
Dia melangkah masuk ke halaman, lalu berhenti sejenak di depan pintu kayu yang sudah mulai berderit. Di balik pintu itu, ibunya menunggunya—wanita yang selalu ada untuknya, meski dia seringkali absen dari kehidupannya. Ezra menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang berdebar, lalu mengetuk pintu perlahan.
Pintu terbuka, dan di sana berdiri ibunya, Sarah Mahendra. Wajahnya terlihat jauh lebih tua dari yang Ezra ingat, dengan garis-garis halus yang semakin dalam di sekitar matanya. Tapi senyum hangat itu masih ada, senyum yang selalu membuat Ezra merasa pulang.
"Ezra..." Suaranya lembut, penuh kelegaan sekaligus rasa rindu.
"Ibu..." Ezra hanya bisa berbisik saat memeluknya erat. Ia merasakan tubuh ibunya yang lemah di pelukannya, dan ia harus berjuang menahan air mata yang hampir jatuh.
"Sudah lama sekali," ucap ibunya pelan, sambil menepuk bahunya. "Aku tidak percaya kau benar-benar pulang."
Ezra mengangguk, masih memeluk ibunya. "Aku juga rindu, Bu."
Mereka berdua masuk ke dalam rumah, yang meski terlihat tua dari luar, di dalamnya masih sama hangatnya. Ruangan kecil itu dipenuhi perabotan kayu yang usang, namun tetap bersih dan terawat. Di sudut ruangan, ada foto keluarga mereka—foto Ezra bersama ayah dan ibunya, diambil bertahun-tahun lalu ketika semuanya masih terasa utuh.
Setelah beberapa saat dalam keheningan, Sarah mengajak Ezra duduk di meja makan. "Bagaimana pekerjaanmu di kota besar? Kamu tidak pernah banyak bercerita."
Ezra terdiam sejenak. Pekerjaannya di kota besar memang sukses, namun harga yang ia bayar begitu tinggi—ia kehilangan hubungan dengan keluarganya, dan lebih dari itu, kehilangan cinta dalam hidupnya. "Semua berjalan baik, Bu. Tapi aku merasa ada yang hilang di sana."
Ibunya menatapnya dengan pandangan penuh pengertian. "Dan itulah kenapa kau kembali?"
Ezra mengangguk. "Ya, Ibu. Dan... aku ingin menebus banyak hal, termasuk waktu yang sudah hilang."
Sarah tersenyum lembut. "Kau selalu punya tempat di sini, Ezra. Kota ini, rumah ini, selalu akan menjadi rumahmu."
Ezra merasa hangat mendengar kata-kata itu. Namun di sudut hatinya, ia tahu bahwa kepulangannya ini tidak akan sesederhana itu. Terlalu banyak yang telah berubah, terlalu banyak yang harus ia perbaiki—bukan hanya hubungan dengan ibunya, tetapi juga dengan Kaira.
Saat malam tiba, Ezra berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar yang sudah lama tidak ia tempati. Kenangan masa lalu mulai kembali menghantuinya. Bayangan wajah Kaira, senyumnya, dan momen-momen indah mereka dulu mengalir seperti film di benaknya. Tapi bersamaan dengan itu, muncul pula rasa bersalah yang tak kunjung hilang. Ia tahu, keputusannya meninggalkan Kaira tanpa penjelasan adalah kesalahan besar.
Ezra memejamkan mata, berharap tidur bisa membantunya melupakan sejenak semua perasaan yang berkecamuk. Namun, ia tahu, cepat atau lambat, dia harus menghadapi semua yang ditinggalkannya.
Bab 57: Akhir yang kacauKesibukan di kamp semakin terasa. Di bawah redupnya sinar obor, orang-orang berkumpul dengan senjata sederhana di tangan mereka, ketegangan memuncak di udara malam. Ezra berdiri di tengah lingkaran, suaranya tegas dan penuh keyakinan saat ia memberi arahan terakhir kepada para pejuang."Kita mungkin tidak tahu apa yang akan kita hadapi," katanya sambil menatap mata mereka satu per satu. "Tapi yang pasti, kita tidak akan menyerah. Tetap waspada. Bertahan hidup adalah prioritas kita."Raka berdiri di samping Ezra, pandangannya tajam mengamati persiapan. "Pemanah sudah di posisi tinggi. Kalau musuh mendekat, kita bisa menghentikan mereka sebelum mereka mencapai kamp."Ezra mengangguk. Namun, rasa gelisah tak kunjung surut dari dadanya. Bayangan di hutan terus mengusik pikirannya, terlebih ancaman pengkhianatan yang perlahan menjadi nyata.Tiba-tiba, suara jeritan menggema dari sisi utara kamp. Semua mata langsung tertuju ke arah itu."Musuh datang!" teriak salah
Kesibukan di kamp semakin terasa. Orang-orang berkumpul dengan senjata sederhana di tangan mereka, siap menghadapi ancaman yang mendekat. Ezra berdiri di tengah lingkaran, memberi arahan terakhir dengan suara tegas."Kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi," katanya sambil menatap tajam ke wajah para pejuangnya. "Tapi satu hal yang pasti: kita tidak akan menyerah begitu saja. Tetap waspada dan jangan bertindak gegabah."Raka berdiri di sampingnya, mengamati persiapan dengan cermat. "Aku sudah menempatkan pemanah di posisi tinggi. Kalau mereka mendekat, kita bisa menjatuhkan mereka sebelum mereka mencapai kamp."Ezra mengangguk, tapi rasa gelisah di dadanya tak kunjung reda. Pikirannya terus memikirkan bayangan di hutan dan kemungkinan pengkhianatan dari kelompok Sinta.Belum sempat mereka menyusun strategi lebih jauh, suara jeritan tiba-tiba terdengar dari sisi utara kamp. Semua orang langsung memandang ke arah suara itu dengan waspada."Musuh datang!" teriak salah satu penjaga.Ezr
Malam semakin larut, namun Ezra dan Raka masih sibuk mematangkan strategi mereka. Di bawah sinar redup lentera minyak, mereka membentangkan peta di atas meja kayu sederhana. Setiap titik dan rute yang digambar di peta diperiksa dengan saksama. Suara binatang malam terdengar dari kejauhan, namun itu tidak cukup untuk meredakan ketegangan di antara mereka."Patroli Ryan biasanya lewat sekitar fajar," Raka berkata sambil menunjuk sebuah jalur di peta. "Jika kita ingin menyerang, kita harus memanfaatkan kegelapan malam untuk mendekati mereka."Ezra mengangguk, matanya masih terpaku pada peta. "Kita harus memblokir rute mundur mereka. Kalau tidak, mereka bisa memanggil bala bantuan, dan kita akan kewalahan."Raka mengusap dagunya, berpikir keras. "Kelompok Sinta memiliki beberapa pemanah yang cukup terlatih. Kita bisa memposisikan mereka di titik-titik strategis untuk menjatuhkan musuh dari kejauhan.""Tapi kita tetap butuh lebih dari itu," Ezra menimpali. "Mereka membawa suplai penting, j
Malam itu, di tengah dinginnya udara dan sinar redup dari api unggun, Ezra duduk termenung. Suara angin yang berdesir di sela-sela pepohonan seakan membawa bisikan-bisikan masa lalu yang tak henti mengganggu pikirannya. Di depannya, Sinta masih sibuk berdiskusi dengan para pemimpin kelompok perlawanan, sementara Raka duduk tak jauh darinya, tampak sibuk dengan catatan mereka.Namun, sesuatu terasa aneh. Ezra bisa merasakan ketegangan yang lebih dari sekadar tekanan akibat perang yang akan mereka hadapi. Beberapa orang dari kelompok itu sering kali meliriknya dengan tatapan tak bersahabat. Bahkan Sinta, meskipun sudah menunjukkan penerimaan terhadap rencana mereka, masih tampak menjaga jarak."Ezra," suara Raka memecah keheningan, membuat Ezra menoleh. "Kamu baik-baik saja?"Ezra mengangguk pelan, meski raut wajahnya menunjukkan sebaliknya. "Aku hanya... merasa ada yang salah di sini. Kamu tidak merasakannya?"Raka menatap sekeliling dengan hati-hati, lalu mencondongkan tubuhnya mendek
Kaira duduk di tepi danau kecil yang tersembunyi di dalam hutan, jauh dari tempat persembunyian utama. Air yang tenang memantulkan bayangan langit malam yang kelam, seolah menjadi cermin bagi kegelisahannya. Tangannya meremas ujung selendang yang melilit bahunya, sementara pikirannya terus-menerus memikirkan Ezra.Dia tahu Ezra selalu mengambil keputusan yang bijaksana, tapi kali ini hatinya dipenuhi rasa takut. Ancaman Ryan bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan, dan meskipun Kaira percaya pada kemampuan Ezra, bayang-bayang kekalahan terus menghantui pikirannya.“Kaira,” suara lembut seorang wanita memanggil dari belakang.Kaira menoleh dan melihat Bu Hana, wanita tua bijaksana yang sering memberinya nasihat. “Bu Hana,” kata Kaira, mencoba tersenyum meski matanya masih dipenuhi kecemasan.Bu Hana duduk di samping Kaira, mengamati air danau yang berkilauan samar di bawah sinar bulan. “Kau memikirkan Ezra, bukan?” tanyanya lembut.Kaira mengangguk pelan. “Aku tahu dia kuat, Bu Hana. Tapi
Ezra berdiri di depan pintu gudang tua, napasnya perlahan namun berat. Udara malam terasa dingin menusuk, namun ia tidak merasakannya. Yang memenuhi pikirannya hanyalah wajah Kaira dan ancaman yang baru saja diterimanya. Ia tahu ini adalah saat yang tidak bisa dihindari lagi.Pintu gudang itu terbuka perlahan, suara berdecitnya memenuhi kesunyian malam. Di dalam, beberapa pria bersandar di dinding dengan ekspresi dingin. Di tengah ruangan, Ryan duduk di sebuah kursi kayu, kakinya terangkat ke meja, menunjukkan sikap santai namun penuh kesombongan.“Ah, Ezra,” sapa Ryan dengan nada sinis. “Akhirnya kau datang. Aku tahu kau tidak akan mengabaikan undanganku.”Ezra melangkah masuk tanpa gentar, menatap Ryan dengan tajam. “Kita selesaikan ini sekarang. Jangan libatkan Kaira atau siapa pun lagi.”Ryan tertawa kecil, mengguncangkan kepala seolah mendengar lelucon lucu. “Kau ini terlalu serius, Ezra. Kau tahu dunia ini tidak bekerja seperti itu. Jika kau berani menantangku, maka segalanya—or
Pagi itu, Ezra memutuskan untuk mengambil tindakan. Ia sudah cukup lama menghindar dari masalah yang berhubungan dengan Ryan, tapi kali ini, dia tahu tidak ada pilihan lain selain menghadapi pria itu. Ancaman Ryan bukan hanya tentang dirinya lagi; kini Kaira juga terlibat, dan Ezra tidak akan membiarkan orang yang ia cintai berada dalam bahaya.“Ezra, apa kau yakin ini langkah yang benar?” tanya Kaira, mengerutkan kening saat melihat Ezra bersiap untuk pergi. Di atas meja, ponsel Ezra terus berbunyi, menunjukkan pesan-pesan dari kontak yang jarang ia hubungi.Ezra mengangguk, meski wajahnya tampak tegang. “Aku harus melakukannya, Kaira. Jika aku tidak menghadapi dia sekarang, dia akan terus mendekati kita. Dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa kuterima.”Kaira meraih tangan Ezra, mencoba mencari keberanian di balik ketakutan yang meliputi dirinya. “Tapi jangan lakukan ini sendirian. Aku tahu kau kuat, Ezra, tapi Ryan bukan orang biasa. Dia licik dan tidak terduga.”Ezra memandang Kai
Ezra merasa darahnya mengalir lebih cepat ketika mengenali wajah orang di hadapannya. Itu adalah seseorang yang dulu menjadi bagian dari hidupnya, bagian dari masa lalu yang sudah lama ia kubur. Wajah itu, dengan sorot mata tajam penuh amarah, adalah milik Ryan—teman lama yang pernah menjadi rekan terdekatnya sebelum segalanya berubah.“Ryan...” Ezra akhirnya berkata dengan nada bergetar. “Kau... Aku pikir kita sudah menyelesaikan semua ini bertahun-tahun lalu.”Ryan tersenyum tipis, tapi ada api dendam di balik senyuman itu. “Menyelesaikan? Tidak, Ezra. Kau yang memilih untuk pergi, meninggalkan semuanya dan memulai hidup baru. Tapi aku? Aku yang menanggung semua akibatnya.”Ezra mengerutkan kening. “Aku tidak pernah meninggalkanmu begitu saja. Aku harus pergi karena keadaan memaksa. Kau tahu itu.”“Keadaan?” Ryan mendekatkan tubuhnya ke meja, menatap Ezra dengan intens. “Kau bisa saja tetap tinggal, Ezra. Kau bisa membantuku. Tapi kau memilih kabur. Dan sekarang, aku di sini untuk m
Matahari pagi perlahan muncul di balik tirai jendela kamar Ezra, memberikan cahaya hangat yang menyinari ruangan yang masih dipenuhi suasana hening. Ezra bangun lebih awal dari biasanya, membawa secangkir kopi hitam ke balkon apartemennya. Ia memandang ke kejauhan, menyaksikan hiruk-pikuk kota yang mulai menggeliat. Namun pikirannya tetap tertuju pada Kaira.Kaira, di sisi lain, juga terbangun lebih pagi. Ia memutuskan untuk berjalan kaki di taman dekat apartemennya. Langkah-langkahnya kecil, tetapi cukup untuk membuatnya merasa lebih dekat dengan dirinya sendiri. Pikiran tentang Ezra dan pesan singkat mereka malam tadi terus terngiang di benaknya. Itu memberinya perasaan tenang, meski ada kekhawatiran yang tetap mengendap.Saat itu, ponsel Kaira bergetar di sakunya. Pesan dari Ezra masuk."Pagi, Kaira. Aku harap hari ini lebih baik untukmu. Kalau kau punya waktu, bagaimana kalau kita bertemu sore ini di kafe biasa? Aku ingin berbicara."Kaira membaca pesan itu dengan hati-hati. Kata-
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments