Dulu, ia meninggalkan semuanya dengan ambisi besar. Meninggalkan ibunya yang tinggal sendirian, teman-temannya, dan yang paling sulit, Kaira. Nama itu berputar dalam pikirannya seperti sebuah lagu lama yang tak bisa ia hentikan. Kaira Alyssa. Cinta pertamanya. Seseorang yang ia tinggalkan tanpa memberikan penjelasan, hanya demi mengejar mimpi besar di kota metropolitan.
View MorePagi itu, suasana terasa berbeda. Langit yang biasanya cerah tampak kelabu, seolah mencerminkan suasana hati Ezra dan Kaira. Meskipun mereka duduk di meja makan yang sama, jarak di antara mereka terasa seperti jurang yang dalam.“Bagaimana tidurnya?” Ezra mencoba memecah keheningan, suaranya terdengar datar.Kaira mengangkat bahu, matanya menatap secangkir teh di depannya. “Cukup baik, aku rasa.”Ezra mengangguk pelan, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Tetapi setiap kalimat yang ia pikirkan terasa tidak cukup. Ia tahu, ini bukan hanya tentang perasaan sesaat—ada sesuatu yang lebih dalam yang membuat mereka terjebak dalam situasi ini.Setelah beberapa saat, Kaira akhirnya berbicara. “Ezra, aku ingin kita jujur. Aku ingin kita bicara, bukan saling menghindar seperti ini.”Ezra menatapnya, matanya menunjukkan campuran harapan dan kecemasan. “Aku setuju. Tapi... aku tidak tahu harus mulai dari mana.”Kaira menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. “Aku me
Langit malam mulai gelap ketika Kaira tiba di depan apartemen Ezra. Ia berdiri di depan pintu, mencoba mengatur napas. Tangannya gemetar saat hendak memutar kenop pintu. Hatinya terasa berat dengan semua percakapan yang baru saja ia lalui bersama Adrian.Ezra yang sedang duduk di ruang tamu mendongak ketika Kaira masuk. Ia langsung menyadari perubahan di wajah Kaira—ekspresi penuh kebingungan dan kecemasan. “Kaira? Kamu nggak apa-apa?”Kaira terdiam beberapa saat sebelum menjawab. “Aku... aku butuh bicara sama kamu, Ezra.”Nada suaranya membuat Ezra berhenti. Ia menaruh buku yang sedang dibacanya ke meja dan berdiri, mendekati Kaira. “Ada apa? Apa yang terjadi?”Kaira menatap mata Ezra, mencoba mencari keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya. “Aku tadi ketemu Adrian.”Ezra tertegun sejenak. Ia menatap Kaira, berusaha memahami maksud kata-katanya. “Adrian? Maksudmu... mantan kamu?”Kaira mengangguk pelan. “Dia... dia bilang ingin bicara tentang masa lalu. Aku pikir aku sudah selesa
Pagi itu, mentari menyapa dengan hangat, menyinari setiap sudut apartemen Ezra. Di meja makan, Kaira sedang menuangkan secangkir kopi untuk Ezra, sementara pria itu sibuk membaca koran digital di tablet miliknya. Suasana terasa nyaman, seperti pagi-pagi lainnya sejak mereka memutuskan untuk melangkah bersama lagi.Namun, di dalam hati Kaira, ada pergolakan yang tak bisa ia abaikan. Pesan dari Adrian yang belum dibacanya malam itu masih menjadi bayangan yang mengganggu pikirannya. Pertanyaan-pertanyaan tentang maksud Adrian dan apa yang ia inginkan terus mengisi benaknya.“Kaira, kamu baik-baik saja?” tanya Ezra tiba-tiba, memecah keheningan. Ia meletakkan tabletnya dan menatap Kaira dengan alis sedikit terangkat.Kaira tersentak, lalu buru-buru tersenyum. “Iya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit melamun.”Ezra memiringkan kepalanya, mencoba membaca ekspresi Kaira. “Kamu kelihatan seperti memikirkan sesuatu yang berat. Kalau ada apa-apa, kamu tahu kan kamu bisa cerita ke aku?”Kaira men
Pagi itu, mentari menyapa dengan hangat, menyinari setiap sudut apartemen Ezra. Di meja makan, Kaira sedang menuangkan secangkir kopi untuk Ezra, sementara pria itu sibuk membaca koran digital di tablet miliknya. Suasana terasa nyaman, seperti pagi-pagi lainnya sejak mereka memutuskan untuk melangkah bersama lagi.Namun, di dalam hati Kaira, ada pergolakan yang tak bisa ia abaikan. Pesan dari Adrian yang belum dibacanya malam itu masih menjadi bayangan yang mengganggu pikirannya. Pertanyaan-pertanyaan tentang maksud Adrian dan apa yang ia inginkan terus mengisi benaknya.“Kaira, kamu baik-baik saja?” tanya Ezra tiba-tiba, memecah keheningan. Ia meletakkan tabletnya dan menatap Kaira dengan alis sedikit terangkat.Kaira tersentak, lalu buru-buru tersenyum. “Iya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit melamun.”Ezra memiringkan kepalanya, mencoba membaca ekspresi Kaira. “Kamu kelihatan seperti memikirkan sesuatu yang berat. Kalau ada apa-apa, kamu tahu kan kamu bisa cerita ke aku?”Kaira men
Hari-hari setelah pertemuan Kaira dengan Adrian berlalu dengan tenang, tetapi bukan tanpa tantangan. Meskipun Adrian telah menghilang dari kehidupan mereka, bayangan masa lalu dan kekhawatiran yang tersisa masih menyelimuti hubungan Kaira dan Ezra.Ezra semakin sibuk dengan pekerjaannya, sering pulang larut malam karena proyek besar yang tengah ia tangani. Di sisi lain, Kaira merasa waktu kebersamaan mereka semakin sedikit, meskipun ia memahami bahwa Ezra melakukannya untuk masa depan mereka. Namun, jarak yang perlahan terbentuk itu membuat Kaira mulai merasakan kekosongan.Suatu malam, Ezra pulang lebih lambat dari biasanya. Kaira yang sudah menunggu di ruang tamu dengan secangkir teh hangat terlihat lelah. Saat Ezra membuka pintu, ia mencoba tersenyum, tetapi Kaira tahu ada sesuatu yang tidak beres.“Kamu baik-baik saja?” tanya Kaira, meletakkan cangkir tehnya di meja.Ezra mengangguk sambil melepas jasnya. “Hanya lelah. Hari ini sangat berat.”Kaira berdiri, mendekat untuk memelukn
Hari-hari berlalu dengan cepat setelah perbincangan jujur itu. Ezra dan Kaira mulai membangun kembali kepercayaan yang sempat terguncang. Hubungan mereka tampak lebih kokoh, tetapi kehidupan tidak pernah berhenti memberikan ujian.Pagi itu, Ezra sedang bersiap untuk pergi ke kantor ketika sebuah telepon datang dari nomor tak dikenal. Ia menjawab dengan santai, tetapi suaranya berubah serius setelah beberapa detik mendengar isi pembicaraan di ujung sana.“Aku akan segera ke sana,” jawab Ezra singkat sebelum menutup panggilan.Kaira, yang baru saja keluar dari dapur dengan secangkir teh di tangannya, memperhatikan ekspresi Ezra yang berubah tegang. “Ada apa, Ezra?” tanyanya, cemas.Ezra menarik napas panjang sebelum menjawab. “Ada masalah di kantor. Salah satu proyek besar yang aku tangani mengalami kendala. Mereka butuh aku di sana segera.”Kaira mendekatinya dan menyentuh lengannya dengan lembut. “Apa aku bisa membantu?”Ezra tersenyum tipis, meskipun ada kekhawatiran di matanya. “Kam
Pagi itu, sinar matahari mengintip dari sela-sela tirai kamar Kaira, menandakan awal dari hari yang baru. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Sebuah pesan masuk di ponselnya dari Adrian. Meski ragu, Kaira akhirnya membaca pesan itu:"Aku ingin bicara lagi, Kaira. Hanya sebentar, tolong."Kaira menggigit bibirnya. Ia tahu ini bukan keputusan mudah. Setelah pertemuan terakhir mereka, Kaira merasa hubungannya dengan Adrian sudah menemukan titik akhir. Tapi pesan itu menyalakan percikan rasa penasaran—atau mungkin rasa tanggung jawab—untuk memberi kejelasan.Sementara itu, Ezra sedang sibuk mempersiapkan kejutan kecil untuk Kaira. Setelah percakapan mendalam mereka beberapa malam lalu, ia merasa perlu memastikan bahwa Kaira tahu betapa seriusnya ia terhadap hubungan mereka. Ia menyiapkan makan siang piknik di taman favorit Kaira, lengkap dengan bunga-bunga yang ia pilih sendiri dari toko Kaira tanpa sepengetahuannya.Ketika Ezra akhirnya menghubungi Kaira untuk mengajaknya bertemu, suara di
Kaira berdiri di depan cermin, memandangi bayangan dirinya sendiri. Pikirannya penuh dengan keraguan. Pesan dari Adrian masih menghantui benaknya, meskipun Ezra sudah berusaha menenangkannya. Di satu sisi, ia ingin menutup bab masa lalunya, tetapi di sisi lain, ia tahu pertemuan itu mungkin hanya akan memperkeruh keadaan.Ezra duduk di sofa ruang tamu Kaira, memainkan mug berisi teh hangat di tangannya. Ia tampak tenang, tetapi matanya mengamati setiap gerakan Kaira dengan penuh perhatian. "Kaira, aku tidak akan memaksamu mengambil keputusan. Tapi aku ingin kamu tahu, apa pun yang kamu putuskan, aku ada di sini."Kaira berbalik, menatap Ezra dengan ragu. "Aku hanya takut... Jika aku bertemu dengannya, itu akan menyakiti kita. Tapi jika aku tidak menemuinya, aku merasa tidak adil untuk mengabaikannya begitu saja."Ezra mengangguk perlahan. "Aku mengerti. Mungkin yang terpenting adalah apa yang kamu inginkan, bukan apa yang dia inginkan. Pertanyaan yang harus kamu tanyakan adalah: Apaka
Pagi itu, Ezra bangun lebih awal dari biasanya. Pikirannya tidak pernah berhenti memutar ulang momen terakhirnya bersama Kaira. Keputusan untuk memberikan waktu pada Kaira seharusnya menjadi pilihan yang bijak, tetapi hati kecilnya terus mendesaknya untuk mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.Ia mengambil jaketnya dan berjalan keluar. Tidak ada tujuan pasti, hanya ingin mengusir kekalutan yang terus menghantuinya. Langkah-langkahnya membawanya ke taman kota, tempat yang sering ia kunjungi untuk menenangkan diri. Namun, kali ini, ketenangan itu terasa jauh.Di sisi lain, Kaira duduk di meja kecil di dapurnya. Secangkir teh di hadapannya sudah dingin, belum sempat ia sentuh. Pikirannya kacau, mencoba mencari cara untuk mengungkapkan apa yang sedang ia alami pada Ezra. Ia tahu ia tidak bisa terus menyimpan semuanya sendiri.Teleponnya bergetar, mengejutkannya dari lamunannya. Pesan dari Ezra masuk."Kaira, aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Jika ada sesuatu yang kamu sem
Langit senja di kota kecil itu selalu memberikan kesan tenang, meski kini terasa berbeda bagi Ezra Mahendra. Ia memandang keluar dari jendela kereta yang bergerak perlahan menuju stasiun terakhir. Pepohonan yang melambai di sepanjang jalan dan deretan rumah-rumah kecil di kejauhan membawa kembali kenangan yang selama ini ia coba tinggalkan. Sudah lebih dari sepuluh tahun sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di kota ini—kota kecil yang pernah ia sebut rumah.Dulu, ia meninggalkan semuanya dengan ambisi besar. Meninggalkan ibunya yang tinggal sendirian, teman-temannya, dan yang paling sulit, Kaira. Nama itu berputar dalam pikirannya seperti sebuah lagu lama yang tak bisa ia hentikan. Kaira Alyssa. Cinta pertamanya. Seseorang yang ia tinggalkan tanpa memberikan penjelasan, hanya demi mengejar mimpi besar di kota metropolitan.Ezra menghela napas panjang. Kereta akhirnya berhenti. Stasiun tua yang kini terlihat lebih kusam daripada yang ia ingat, dengan beberapa papan kayu yang sudah ...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments