Home / Romansa / Jejak di Antara Kita / Bayang-Bayang Masa Lalu

Share

Bayang-Bayang Masa Lalu

Author: WorldOne
last update Last Updated: 2024-09-28 10:09:27

Keesokan paginya, Ezra terbangun dengan perasaan berat. Udara di kamar yang dulu pernah menjadi tempat perlindungannya kini terasa hampa, seolah waktu telah membawa pergi semua kehangatan yang pernah ada. Ia melangkah ke jendela, membiarkan sinar matahari pagi masuk, tapi yang ia rasakan bukan kehangatan melainkan kekosongan. Ada sesuatu yang tertinggal di kota ini, sebuah bagian dari dirinya yang belum ia temukan kembali.

Setelah sarapan singkat bersama ibunya, Ezra memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kota. Ia butuh waktu untuk meresapi semua perubahan yang terjadi selama bertahun-tahun ia pergi, dan mungkin, untuk menemukan jawabannya sendiri. Langkah kakinya membawanya ke tempat-tempat yang dulu akrab: taman kecil di pusat kota, kafe tempat ia dan teman-temannya berkumpul, dan lapangan basket tempat ia menghabiskan masa remajanya.

Namun, semua terasa berbeda sekarang. Orang-orang yang ia temui di sepanjang jalan hanya melemparkan pandangan singkat—tidak ada lagi sapaan akrab seperti dulu. Waktu memang telah mengubah banyak hal, termasuk dirinya.

Ketika langkah kakinya membawa Ezra kembali ke stasiun tempat ia bertemu Kaira kemarin, pikirannya berputar kembali pada pertemuan itu. Wajah Kaira, senyumnya yang pahit, dan tatapan matanya yang penuh pertanyaan. Ezra tahu bahwa pertemuan singkat itu belum menyelesaikan apa pun. Sebaliknya, itu hanya membuka kembali luka lama yang belum sembuh. Dia harus menghadapi Kaira, harus memberikan penjelasan yang seharusnya ia berikan bertahun-tahun lalu.

Dengan tekad baru, Ezra mulai berjalan menuju toko bunga keluarga Kaira. Setibanya di sana, ia berhenti sejenak di luar pintu, mengumpulkan keberanian. Saat hendak mengetuk pintu, tiba-tiba suara yang sangat ia kenal terdengar dari belakangnya.

"Ezra?"

Ezra berbalik, dan di sana, Kaira berdiri dengan pakaian kerja dan tangan yang penuh dengan bunga mawar merah segar. Tatapannya penuh rasa ingin tahu, namun juga kehati-hatian. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya, suaranya datar, tak ingin menunjukkan emosi apa pun.

Ezra tersenyum kaku. "Aku hanya ingin bicara. Kita belum selesai kemarin."

Kaira menatapnya untuk beberapa detik, sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Aku sedang sibuk, Ezra. Ada banyak hal yang harus kuselesaikan."

"Aku tahu," jawab Ezra cepat, tidak ingin melewatkan kesempatan ini. "Tapi aku akan menunggu. Sampai kapan pun kamu punya waktu."

Kaira terdiam sesaat, sebelum akhirnya mengangguk singkat. "Tunggu di sini. Aku akan segera kembali."

Ezra menunggu di luar, mencoba menenangkan pikirannya. Waktu berjalan lambat, dan setiap detik rasanya seperti hukuman bagi kesalahan yang pernah ia buat. Ketika akhirnya Kaira keluar, ia masih memegang beberapa bunga yang hendak ditata di jendela toko.

"Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya tanpa basa-basi.

Ezra terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, "Aku ingin minta maaf, Kaira. Aku meninggalkanmu tanpa penjelasan. Aku tahu itu salah."

Kaira memandangnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Kamu tahu itu salah, tapi kamu tetap melakukannya. Apakah permintaan maaf ini akan memperbaiki segalanya?"

Ezra menggeleng pelan. "Aku tidak tahu. Tapi aku ingin mencoba."

Kaira menatapnya lama, seolah mencari sesuatu di dalam diri Ezra—mungkin jawaban, atau mungkin hanya kepastian bahwa pria yang berdiri di depannya bukan lagi pria yang sama yang dulu meninggalkannya.

"Aku tidak tahu, Ezra," katanya akhirnya. "Banyak yang telah berubah sejak kamu pergi. Aku juga berubah. Hidupku tidak lagi sama seperti dulu."

"Aku tahu. Dan aku tidak berharap semuanya kembali seperti dulu. Tapi aku ingin setidaknya memperbaiki hubungan kita, meski hanya sebagai teman."

Kaira terdiam lagi, lalu akhirnya mengangguk pelan. "Kita bisa mulai dari sana. Tapi jangan harap semuanya akan mudah."

Ezra tersenyum kecil. "Aku tidak mengharapkan itu. Aku hanya ingin kesempatan untuk memperbaiki apa yang pernah aku rusak."

Kaira menghela napas panjang, lalu menatap Ezra dengan pandangan lembut yang lama tak ia lihat. "Kita lihat saja nanti, Ezra. Waktu yang akan menentukan."

Ezra tersenyum tipis, rasa lega yang samar mulai mengisi hatinya. Walaupun permintaan maafnya diterima dengan hati-hati, itu sudah lebih dari yang ia harapkan. Mungkin ini adalah awal dari sebuah perjalanan panjang untuk memperbaiki masa lalu, tetapi ia merasa siap untuk melakukannya.

Setelah perbincangan singkat itu, Kaira kembali ke pekerjaannya di toko bunga. Ezra tidak ingin mendesaknya lebih jauh. Dia sadar butuh waktu agar kepercayaan di antara mereka bisa dibangun kembali. Dengan perlahan, Ezra melangkah pergi dari toko, berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan membuktikan niat baiknya melalui tindakan, bukan hanya kata-kata.

Hari-hari berikutnya dihabiskan Ezra dengan kembali menyesuaikan diri di kota kecil itu. Dia sering membantu ibunya mengurus rumah yang sudah lama tak terawat, mencoba mengembalikan kehangatan yang pernah ada di sana. Sesekali, dia mengunjungi toko bunga Kaira, membeli satu atau dua bunga hanya untuk melihatnya dari jauh. Meski interaksi mereka masih terbatas, setiap percakapan kecil mulai membuat dinding es di antara mereka perlahan mencair.

Namun, meskipun hubungan mereka mulai membaik, Kaira tetap menjaga jarak. Ada luka lama yang belum sepenuhnya sembuh di hatinya, dan Ezra paham betul bahwa butuh waktu lebih lama untuk itu. Hingga suatu hari, sebuah kesempatan datang.

Saat Ezra sedang duduk di taman kota, menikmati sore yang tenang, Kaira tiba-tiba muncul. Dia tampak lelah, dengan ekspresi wajah yang tidak biasa—seperti ada sesuatu yang membebaninya. Ezra yang melihatnya langsung merasa ada yang berbeda hari itu.

"Kaira? Kamu baik-baik saja?" tanya Ezra, menatapnya khawatir.

Kaira duduk di bangku di sampingnya, meletakkan tas kerjanya dan menarik napas panjang. "Aku sedang banyak pikiran, Ezra. Ada masalah di rumah... dan di pekerjaan. Rasanya semua menumpuk sekaligus."

Ezra terdiam sejenak, sebelum akhirnya menawarkan, "Kalau kamu butuh bantuan, kamu tahu aku ada di sini, kan?"

Kaira menoleh ke arah Ezra, matanya menyiratkan ketidakpastian. "Aku tidak ingin merepotkanmu lagi, Ezra. Setelah semua yang terjadi..."

"Jangan katakan itu," potong Ezra dengan lembut. "Apa yang terjadi di masa lalu adalah salahku, dan aku berusaha memperbaikinya. Kalau ada yang bisa kulakukan untuk membantu, aku akan melakukannya."

Kaira terdiam, menimbang kata-kata Ezra. Setelah beberapa saat, dia menghela napas panjang. "Ada satu hal... Bisakah kamu menemaniku malam ini? Aku harus menghadiri acara keluarga yang penting, tapi aku tidak ingin pergi sendirian."

Ezra tersenyum tipis, merasa ini adalah kesempatan langka untuk mendekatkan diri lagi. "Tentu saja, Kaira. Aku akan menemanimu."

Malam itu, Ezra menjemput Kaira di rumahnya. Ketika dia melihat Kaira keluar dari pintu depan, mengenakan gaun elegan berwarna merah lembut, Ezra hampir kehilangan kata-kata. Kaira tampak luar biasa, seperti cahaya yang menyinari seluruh ruangan.

Mereka berjalan berdua menuju acara keluarga Kaira, yang diadakan di sebuah hotel mewah di pinggiran kota. Sepanjang perjalanan, meskipun tidak banyak berbicara, Ezra merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara Kaira menatapnya malam itu. Seperti ada kepercayaan yang perlahan mulai tumbuh kembali, meskipun masih rapuh.

Di acara tersebut, Ezra berusaha sebaik mungkin untuk menjaga suasana tetap nyaman. Ia berbincang dengan anggota keluarga Kaira, tersenyum pada lelucon-lelucon ringan yang dilontarkan, dan memastikan Kaira tidak merasa canggung. Meski awalnya acara terasa formal dan penuh tekanan, lambat laun, Ezra dan Kaira mulai bisa menikmati malam itu.

Ketika malam semakin larut dan acara hampir selesai, Kaira akhirnya menarik Ezra ke sudut ruangan yang sepi. "Terima kasih sudah menemaniku malam ini, Ezra. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana jadinya kalau harus datang sendirian."

Ezra tersenyum lembut, menatap Kaira dengan penuh perhatian. "Aku senang bisa menemanimu. Kaira, aku tahu hubungan kita belum seperti dulu, tapi aku harap malam ini bisa jadi awal yang baik."

Kaira menunduk sejenak, lalu menatap Ezra dengan mata yang penuh makna. "Mungkin... mungkin kita memang bisa mulai lagi, Ezra. Tapi perlahan-lahan, ya?"

Ezra mengangguk pelan, merasa hatinya hangat oleh kata-kata itu. "Aku akan bersabar, Kaira. Sebisa mungkin aku akan menjaga hubungan ini."

Malam semakin larut, dan Ezra serta Kaira meninggalkan acara dengan perasaan yang lebih ringan. Mereka berjalan berdampingan menuju mobil Ezra, di bawah langit yang dipenuhi bintang. Suasana malam itu terasa magis—udara sejuk, suara alam yang tenang, dan langkah-langkah mereka yang selaras.

Sesampainya di mobil, mereka saling berpandangan sejenak sebelum Kaira membuka suara, “Aku sudah lama tidak merasa senyaman ini, Ezra. Sejujurnya, aku tidak mengira bahwa kita bisa berbicara seperti ini lagi.”

Ezra tersenyum, menghela napas panjang, merasa lega bahwa sedikit demi sedikit jarak di antara mereka mulai hilang. “Aku juga merasakannya. Rasanya seperti kita mendapat kesempatan kedua, dan aku tidak ingin menyia-nyiakannya.”

Kaira tertawa kecil, meskipun ada kehangatan dalam tawanya. “Kesempatan kedua, ya? Semoga kali ini kita tidak membuat kesalahan yang sama.”

Di dalam mobil, mereka berbincang ringan, membicarakan hal-hal kecil yang dulu sering mereka bicarakan—tentang musik, film, dan mimpi-mimpi mereka di masa depan. Malam itu terasa seolah mereka kembali ke masa-masa ketika semuanya masih sederhana dan bebas dari luka.

Namun, di tengah pembicaraan yang nyaman itu, tiba-tiba sebuah telepon masuk ke ponsel Kaira. Wajahnya berubah serius ketika melihat nama di layar. “Ini dari ibuku,” katanya pelan, sebelum menjawab panggilan.

Ezra duduk diam, menunggu, mendengarkan Kaira berbicara dengan nada khawatir. Dari percakapan itu, Ezra bisa mendengar bahwa ada sesuatu yang serius terjadi.

Setelah menutup telepon, Kaira menatap Ezra dengan wajah cemas. “Ibuku jatuh sakit. Ayahku sedang tidak di rumah, dan aku harus segera pulang.”

Ezra langsung menawarkan diri. “Aku akan mengantarmu. Ayo, kita berangkat sekarang.”

Mereka segera melaju menuju rumah Kaira. Di sepanjang perjalanan, Kaira terdiam, jelas terlihat cemas. Ezra mencoba menenangkan pikirannya dengan berkonsentrasi pada jalan, tapi dia tidak bisa mengabaikan rasa khawatir yang terus tumbuh di dalam dirinya. Di tengah segala kemajuan hubungan mereka, tantangan baru muncul begitu saja.

Sesampainya di rumah, mereka langsung menuju kamar ibunya. Wanita itu berbaring lemah di tempat tidurnya, wajahnya pucat namun masih tersenyum saat melihat Kaira datang.

“Ibu, apa yang terjadi?” tanya Kaira, suara lembutnya penuh kekhawatiran.

Ibunya menggeleng lemah. “Aku hanya merasa sedikit pusing, sayang. Tidak perlu khawatir.”

Ezra yang berdiri di belakang, merasa tidak nyaman menyaksikan momen keluarga yang begitu pribadi, tapi dia tidak ingin meninggalkan Kaira sendirian dalam situasi ini. Kaira dengan cepat merawat ibunya, memberikan obat dan memastikan dia merasa lebih baik sebelum akhirnya duduk di samping tempat tidur.

“Terima kasih, Ezra, untuk segalanya,” kata Kaira setelah ibunya mulai tertidur. “Aku tahu ini bukan bagian dari rencanamu malam ini.”

Ezra menggeleng. “Kaira, apapun situasinya, aku akan selalu ada di sini. Kamu tidak perlu minta maaf.”

Kaira tersenyum kecil, matanya penuh dengan rasa terima kasih. “Kamu benar-benar berubah, Ezra. Aku mulai percaya bahwa mungkin kita bisa... memulai sesuatu yang baru.”

Perkataan Kaira membuat hati Ezra berdegup kencang. Ini adalah momen yang telah lama ia harapkan—momen di mana Kaira mulai membuka hatinya lagi. Tapi Ezra tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang. Meski ada secercah harapan, ia tidak ingin tergesa-gesa dan merusak apa yang sudah mulai terbangun.

Malam itu, setelah memastikan ibunya dalam kondisi stabil, Kaira mengantarkan Ezra keluar rumah. Sebelum berpisah, Kaira menatap Ezra dalam-dalam, seolah mencari sesuatu di matanya.

“Ezra,” panggilnya lembut, “aku tahu ini tidak akan mudah bagi kita berdua. Tapi aku ingin mencoba.”

Ezra tersenyum, penuh kelegaan. “Aku juga, Kaira. Aku siap menunggu berapa lama pun itu butuh.”

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Kaira mencondongkan tubuhnya sedikit, memberi Ezra ciuman ringan di pipi, lalu berbalik masuk ke rumah. Ezra terpaku di tempatnya sejenak, merasakan hangatnya sentuhan Kaira yang singkat namun penuh makna.

Ketika akhirnya ia berjalan kembali ke mobil, hati Ezra terasa lebih ringan dari sebelumnya. Hubungan mereka yang dulu rapuh kini perlahan mulai terjalin kembali, meski masih belum sempurna. Tapi malam ini, di bawah langit penuh bintang, ia merasa ada harapan baru yang tumbuh—sebuah awal yang baru bagi keduanya.

Related chapters

  • Jejak di Antara Kita   Kejutan dari Masa Lalu

    Beberapa minggu telah berlalu sejak malam itu, dan perlahan hubungan Ezra dan Kaira mulai tumbuh kembali. Mereka tidak lagi menghindari satu sama lain, dan bahkan sesekali keluar bersama untuk makan siang atau sekadar berjalan-jalan di taman. Meski demikian, hubungan mereka tetap dilingkupi kehati-hatian—seperti dua orang yang sedang meniti jalan di atas es tipis.Di sela-sela momen kebersamaan itu, Ezra terus bekerja keras untuk memperbaiki hidupnya. Ia mulai aktif membantu ibunya di rumah, dan bahkan mempertimbangkan untuk membuka usaha kecil-kecilan di kota. Namun, meski semua tampak berjalan baik, ada sesuatu yang terus menghantuinya—masa lalunya.Suatu siang, ketika Ezra sedang membersihkan halaman belakang rumah ibunya, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Pesan itu datang dari nomor yang sudah lama tidak ia lihat—nomor dari seseorang yang pernah menjadi bagian penting dari hidupnya dulu. Dada Ezra mendadak terasa sesak, tangannya gemetar saat ia me

    Last Updated : 2024-09-29
  • Jejak di Antara Kita   Ujian Kepercayaan

    Keesokan harinya, Ezra bangun dengan perasaan campur aduk. Malam sebelumnya di festival bersama Kaira berakhir dengan baik, tapi pertemuan tak terduga dengan Livia masih menghantui pikirannya. Meski Ezra telah berjanji pada dirinya sendiri dan Kaira bahwa masa lalunya dengan Livia tidak akan mengganggu mereka, perasaan tak menentu itu tetap ada.Ezra memutuskan untuk melanjutkan rutinitasnya seperti biasa, berusaha menenangkan pikirannya dengan tetap fokus pada pekerjaannya. Namun, saat dia duduk di meja kerjanya dan membuka ponsel, ada pesan lain dari Livia."Ezra, aku menunggu di kafe di sudut jalan. Aku harap kita bisa bicara."Ezra menatap pesan itu lama, mencoba memutuskan apakah dia harus menemuinya. Meski ia merasa ragu, bagian dari dirinya tahu bahwa ada hal-hal yang harus diselesaikan. Dia tidak bisa lari dari masa lalu selamanya.Dengan berat hati, Ezra memutuskan untuk menemui Livia, tapi kali ini dia bertekad untuk memperjelas semuanya. Tidak akan ada ruang abu-abu; dia ha

    Last Updated : 2024-09-29
  • Jejak di Antara Kita   Awal yang Baru

    Pagi itu, Ezra terbangun dengan semangat baru. Setelah menyelesaikan semua yang membebani pikirannya, hari ini terasa berbeda. Ia merasakan kebebasan yang sudah lama tak ia rasakan, seolah rantai masa lalu yang membelenggunya kini telah terlepas.Ezra menyiapkan kopi pagi di dapur sambil memikirkan langkah selanjutnya dengan Kaira. Hari ini adalah kesempatan untuk memulai hubungan mereka dari awal, tanpa bayang-bayang masa lalu yang mengganggu. Saat ia menyesap kopi, pikirannya melayang pada sebuah ide: bagaimana jika dia dan Kaira menghabiskan waktu akhir pekan bersama untuk lebih mengenal satu sama lain, jauh dari kesibukan kota?Seiring dengan itu, ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan dari Kaira muncul di layar, "Good morning, Ezra. Aku punya kejutan kecil untuk kita hari ini. Bisa ketemu nanti?"Ezra tersenyum, hatinya berdebar-debar. Kejutan? Rasa penasaran menyelimuti pikirannya. "Tentu, aku tak sabar menunggu," balasnya dengan penuh antusias.

    Last Updated : 2024-09-30
  • Jejak di Antara Kita   Bayang-Bayang Masa Lalu

    Ezra duduk di kafe tempat biasanya ia dan Kaira bertemu, namun kali ini sendirian. Kopinya sudah dingin, tetapi pikirannya sibuk berputar, mencoba mencerna perubahan sikap Kaira dalam beberapa hari terakhir. Meski hubungan mereka baru mulai berkembang, Ezra bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang ia tidak mengerti.Sementara itu, Kaira berdiri di tengah deretan bunga mawar dan anggrek yang menghiasi toko bunganya. Tangan Kaira menggenggam ponsel yang baru saja ia matikan, setelah menerima panggilan tak terjawab dari mantan kekasihnya, Dimas. Kaira menarik napas panjang, mencoba menyingkirkan perasaan gugup yang terus mengganggunya. Kehadiran Dimas kembali, meski hanya melalui telepon, membuatnya teringat pada masa-masa kelam yang ingin ia lupakan.Di tengah suasana toko bunga yang seharusnya membawa ketenangan, pikiran Kaira kacau. Dimas adalah masa lalunya—sosok yang seharusnya sudah terkubur bersama kenangan pahit. Namun, entah mengapa, ia merasa semakin sulit untuk be

    Last Updated : 2024-10-01
  • Jejak di Antara Kita   Pertemuan yang Tak Terduga

    Esok harinya, Ezra terbangun dengan perasaan gelisah yang belum juga hilang. Pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan semalam dengan Kaira. Meski ia yakin Kaira tulus, bayangan tentang Dimas tak mau pergi dari benaknya. Apakah pria itu akan kembali dalam kehidupan Kaira dengan cara yang lebih mengganggu?Ezra meraih ponselnya dan mengetik pesan singkat kepada Kaira: “Apa kau baik-baik saja hari ini?” Ia menunggu beberapa saat, berharap Kaira segera membalas, tapi yang diterimanya hanyalah tanda pesan terkirim. Ezra menghela napas dan memutuskan untuk keluar rumah, mencoba mengalihkan pikirannya dari kegelisahan.Sementara itu, Kaira sedang sibuk di toko bunganya, menata rangkaian bunga untuk seorang pelanggan yang akan menikah akhir pekan ini. Namun, pikirannya jauh dari pekerjaan. Percakapan dengan Ezra tadi malam membuatnya merasa lega, tetapi kehadiran Dimas kembali membawa begitu banyak kenangan yang ia coba lupakan selama ini.Ponselnya bergetar. Kaira melihat layar, ada pesan d

    Last Updated : 2024-10-02
  • Jejak di Antara Kita   Cinta yang Semakin Tumbuh

    Hari itu Kaira tiba lebih awal di toko bunganya. Pagi ini terasa berbeda, seolah udara lebih segar dan matahari lebih cerah dari biasanya. Meski semalam ia merasa sangat lelah, perasaan lega yang muncul setelah menutup bab tentang Dimas membuatnya memiliki semangat baru. Ia sibuk merapikan beberapa bunga mawar yang baru datang, menyiapkan pesanan untuk pernikahan yang akan diantarkan sore nanti.Sementara Kaira sibuk bekerja, pintu toko terbuka pelan. Ezra masuk dengan langkah ringan, membawa secangkir kopi untuknya."Selamat pagi, sang wanita sibuk," Ezra menyapa dengan senyum hangat.Kaira mendongak dan tersenyum lebar melihat kedatangan Ezra. "Pagi, kamu bawa kopi lagi? Kamu tahu caraku untuk tetap semangat.""Kamu pantas mendapatkannya," Ezra meletakkan kopi itu di meja. "Bagaimana tidurmu? Setelah semua yang terjadi kemarin."Kaira menghela napas, lalu tersenyum. "Aku tidur dengan sangat nyenyak. Rasanya beban yang sudah lama aku bawa akhirnya hilang."Ezra menatapnya penuh perha

    Last Updated : 2024-10-03
  • Jejak di Antara Kita   Langkah Kecil, Harapan Besar

    Pagi itu, udara terasa lebih sejuk dari biasanya. Kaira menata bunga-bunga yang baru tiba di tokonya sambil merenungkan percakapan terakhirnya dengan Ezra. Kata-kata pria itu masih terngiang di benaknya. Perasaan yang semula samar kini mulai lebih jelas, seakan hati kecilnya mulai memberikan jawaban, meski ia belum sepenuhnya siap untuk mengambil keputusan.Saat Kaira sedang sibuk, pintu toko terbuka dan seorang pelanggan masuk. Kaira mengangkat wajahnya dan mendapati seorang wanita paruh baya, tersenyum ramah padanya."Selamat pagi, apa ada yang bisa saya bantu?" Kaira menyapa dengan hangat."Pagi, saya sedang mencari bunga yang spesial untuk ulang tahun pernikahan saya," jawab wanita itu. "Saya ingin sesuatu yang sederhana tapi bermakna."Kaira berpikir sejenak. "Bagaimana kalau mawar putih yang melambangkan kesetiaan dan kebersihan cinta? Kami juga bisa menggabungkannya dengan lavender yang melambangkan ketenangan dan kesucian hubungan."Wanita itu tersenyum, jelas terkesan dengan

    Last Updated : 2024-10-06
  • Jejak di Antara Kita   Jejak Masa Lalu

    Kaira berlari menyusuri trotoar dengan hati yang diliputi kegelisahan. Surat di tangannya terasa berat, bukan karena materi yang tertulis di dalamnya, melainkan oleh kenangan yang terpendam. Surat itu membuka luka lama, kenangan pahit yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam. Ia menuju taman kecil di dekat toko bunganya, tempat ia sering mencari ketenangan.Setibanya di sana, ia duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang. Angin sepoi-sepoi berhembus, seakan mencoba menenangkan gejolak dalam hatinya. Ia membuka surat itu lagi, membaca setiap kata dengan seksama. Surat itu berasal dari seorang pria bernama Adrian—nama yang tak asing baginya, seseorang dari masa lalunya yang telah ia hindari selama bertahun-tahun.Kaira,Aku tahu ini mendadak. Tapi aku perlu bertemu denganmu. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan. Hal ini tidak bisa ditunda lagi. Aku akan menunggumu di kafe di ujung jalan utama, pukul 5 sore besok. Tolong datang.Kaira meremas surat itu dengan emosi yang campur aduk. A

    Last Updated : 2024-11-28

Latest chapter

  • Jejak di Antara Kita   Akhir yang kacau

    Bab 57: Akhir yang kacauKesibukan di kamp semakin terasa. Di bawah redupnya sinar obor, orang-orang berkumpul dengan senjata sederhana di tangan mereka, ketegangan memuncak di udara malam. Ezra berdiri di tengah lingkaran, suaranya tegas dan penuh keyakinan saat ia memberi arahan terakhir kepada para pejuang."Kita mungkin tidak tahu apa yang akan kita hadapi," katanya sambil menatap mata mereka satu per satu. "Tapi yang pasti, kita tidak akan menyerah. Tetap waspada. Bertahan hidup adalah prioritas kita."Raka berdiri di samping Ezra, pandangannya tajam mengamati persiapan. "Pemanah sudah di posisi tinggi. Kalau musuh mendekat, kita bisa menghentikan mereka sebelum mereka mencapai kamp."Ezra mengangguk. Namun, rasa gelisah tak kunjung surut dari dadanya. Bayangan di hutan terus mengusik pikirannya, terlebih ancaman pengkhianatan yang perlahan menjadi nyata.Tiba-tiba, suara jeritan menggema dari sisi utara kamp. Semua mata langsung tertuju ke arah itu."Musuh datang!" teriak salah

  • Jejak di Antara Kita   Serangan Tak Terduga

    Kesibukan di kamp semakin terasa. Orang-orang berkumpul dengan senjata sederhana di tangan mereka, siap menghadapi ancaman yang mendekat. Ezra berdiri di tengah lingkaran, memberi arahan terakhir dengan suara tegas."Kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi," katanya sambil menatap tajam ke wajah para pejuangnya. "Tapi satu hal yang pasti: kita tidak akan menyerah begitu saja. Tetap waspada dan jangan bertindak gegabah."Raka berdiri di sampingnya, mengamati persiapan dengan cermat. "Aku sudah menempatkan pemanah di posisi tinggi. Kalau mereka mendekat, kita bisa menjatuhkan mereka sebelum mereka mencapai kamp."Ezra mengangguk, tapi rasa gelisah di dadanya tak kunjung reda. Pikirannya terus memikirkan bayangan di hutan dan kemungkinan pengkhianatan dari kelompok Sinta.Belum sempat mereka menyusun strategi lebih jauh, suara jeritan tiba-tiba terdengar dari sisi utara kamp. Semua orang langsung memandang ke arah suara itu dengan waspada."Musuh datang!" teriak salah satu penjaga.Ezr

  • Jejak di Antara Kita   Dalam Jebakan

    Malam semakin larut, namun Ezra dan Raka masih sibuk mematangkan strategi mereka. Di bawah sinar redup lentera minyak, mereka membentangkan peta di atas meja kayu sederhana. Setiap titik dan rute yang digambar di peta diperiksa dengan saksama. Suara binatang malam terdengar dari kejauhan, namun itu tidak cukup untuk meredakan ketegangan di antara mereka."Patroli Ryan biasanya lewat sekitar fajar," Raka berkata sambil menunjuk sebuah jalur di peta. "Jika kita ingin menyerang, kita harus memanfaatkan kegelapan malam untuk mendekati mereka."Ezra mengangguk, matanya masih terpaku pada peta. "Kita harus memblokir rute mundur mereka. Kalau tidak, mereka bisa memanggil bala bantuan, dan kita akan kewalahan."Raka mengusap dagunya, berpikir keras. "Kelompok Sinta memiliki beberapa pemanah yang cukup terlatih. Kita bisa memposisikan mereka di titik-titik strategis untuk menjatuhkan musuh dari kejauhan.""Tapi kita tetap butuh lebih dari itu," Ezra menimpali. "Mereka membawa suplai penting, j

  • Jejak di Antara Kita   Bayang-Bayang Pengkhianatan

    Malam itu, di tengah dinginnya udara dan sinar redup dari api unggun, Ezra duduk termenung. Suara angin yang berdesir di sela-sela pepohonan seakan membawa bisikan-bisikan masa lalu yang tak henti mengganggu pikirannya. Di depannya, Sinta masih sibuk berdiskusi dengan para pemimpin kelompok perlawanan, sementara Raka duduk tak jauh darinya, tampak sibuk dengan catatan mereka.Namun, sesuatu terasa aneh. Ezra bisa merasakan ketegangan yang lebih dari sekadar tekanan akibat perang yang akan mereka hadapi. Beberapa orang dari kelompok itu sering kali meliriknya dengan tatapan tak bersahabat. Bahkan Sinta, meskipun sudah menunjukkan penerimaan terhadap rencana mereka, masih tampak menjaga jarak."Ezra," suara Raka memecah keheningan, membuat Ezra menoleh. "Kamu baik-baik saja?"Ezra mengangguk pelan, meski raut wajahnya menunjukkan sebaliknya. "Aku hanya... merasa ada yang salah di sini. Kamu tidak merasakannya?"Raka menatap sekeliling dengan hati-hati, lalu mencondongkan tubuhnya mendek

  • Jejak di Antara Kita   Cahaya dalam Kegelapan

    Kaira duduk di tepi danau kecil yang tersembunyi di dalam hutan, jauh dari tempat persembunyian utama. Air yang tenang memantulkan bayangan langit malam yang kelam, seolah menjadi cermin bagi kegelisahannya. Tangannya meremas ujung selendang yang melilit bahunya, sementara pikirannya terus-menerus memikirkan Ezra.Dia tahu Ezra selalu mengambil keputusan yang bijaksana, tapi kali ini hatinya dipenuhi rasa takut. Ancaman Ryan bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan, dan meskipun Kaira percaya pada kemampuan Ezra, bayang-bayang kekalahan terus menghantui pikirannya.“Kaira,” suara lembut seorang wanita memanggil dari belakang.Kaira menoleh dan melihat Bu Hana, wanita tua bijaksana yang sering memberinya nasihat. “Bu Hana,” kata Kaira, mencoba tersenyum meski matanya masih dipenuhi kecemasan.Bu Hana duduk di samping Kaira, mengamati air danau yang berkilauan samar di bawah sinar bulan. “Kau memikirkan Ezra, bukan?” tanyanya lembut.Kaira mengangguk pelan. “Aku tahu dia kuat, Bu Hana. Tapi

  • Jejak di Antara Kita   Pertemuan Tanpa Ampun

    Ezra berdiri di depan pintu gudang tua, napasnya perlahan namun berat. Udara malam terasa dingin menusuk, namun ia tidak merasakannya. Yang memenuhi pikirannya hanyalah wajah Kaira dan ancaman yang baru saja diterimanya. Ia tahu ini adalah saat yang tidak bisa dihindari lagi.Pintu gudang itu terbuka perlahan, suara berdecitnya memenuhi kesunyian malam. Di dalam, beberapa pria bersandar di dinding dengan ekspresi dingin. Di tengah ruangan, Ryan duduk di sebuah kursi kayu, kakinya terangkat ke meja, menunjukkan sikap santai namun penuh kesombongan.“Ah, Ezra,” sapa Ryan dengan nada sinis. “Akhirnya kau datang. Aku tahu kau tidak akan mengabaikan undanganku.”Ezra melangkah masuk tanpa gentar, menatap Ryan dengan tajam. “Kita selesaikan ini sekarang. Jangan libatkan Kaira atau siapa pun lagi.”Ryan tertawa kecil, mengguncangkan kepala seolah mendengar lelucon lucu. “Kau ini terlalu serius, Ezra. Kau tahu dunia ini tidak bekerja seperti itu. Jika kau berani menantangku, maka segalanya—or

  • Jejak di Antara Kita   Badai di Ambang Pintu

    Pagi itu, Ezra memutuskan untuk mengambil tindakan. Ia sudah cukup lama menghindar dari masalah yang berhubungan dengan Ryan, tapi kali ini, dia tahu tidak ada pilihan lain selain menghadapi pria itu. Ancaman Ryan bukan hanya tentang dirinya lagi; kini Kaira juga terlibat, dan Ezra tidak akan membiarkan orang yang ia cintai berada dalam bahaya.“Ezra, apa kau yakin ini langkah yang benar?” tanya Kaira, mengerutkan kening saat melihat Ezra bersiap untuk pergi. Di atas meja, ponsel Ezra terus berbunyi, menunjukkan pesan-pesan dari kontak yang jarang ia hubungi.Ezra mengangguk, meski wajahnya tampak tegang. “Aku harus melakukannya, Kaira. Jika aku tidak menghadapi dia sekarang, dia akan terus mendekati kita. Dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa kuterima.”Kaira meraih tangan Ezra, mencoba mencari keberanian di balik ketakutan yang meliputi dirinya. “Tapi jangan lakukan ini sendirian. Aku tahu kau kuat, Ezra, tapi Ryan bukan orang biasa. Dia licik dan tidak terduga.”Ezra memandang Kai

  • Jejak di Antara Kita   Dendam Masa Lalu

    Ezra merasa darahnya mengalir lebih cepat ketika mengenali wajah orang di hadapannya. Itu adalah seseorang yang dulu menjadi bagian dari hidupnya, bagian dari masa lalu yang sudah lama ia kubur. Wajah itu, dengan sorot mata tajam penuh amarah, adalah milik Ryan—teman lama yang pernah menjadi rekan terdekatnya sebelum segalanya berubah.“Ryan...” Ezra akhirnya berkata dengan nada bergetar. “Kau... Aku pikir kita sudah menyelesaikan semua ini bertahun-tahun lalu.”Ryan tersenyum tipis, tapi ada api dendam di balik senyuman itu. “Menyelesaikan? Tidak, Ezra. Kau yang memilih untuk pergi, meninggalkan semuanya dan memulai hidup baru. Tapi aku? Aku yang menanggung semua akibatnya.”Ezra mengerutkan kening. “Aku tidak pernah meninggalkanmu begitu saja. Aku harus pergi karena keadaan memaksa. Kau tahu itu.”“Keadaan?” Ryan mendekatkan tubuhnya ke meja, menatap Ezra dengan intens. “Kau bisa saja tetap tinggal, Ezra. Kau bisa membantuku. Tapi kau memilih kabur. Dan sekarang, aku di sini untuk m

  • Jejak di Antara Kita   Jejak Luka yang Tersisa

    Matahari pagi perlahan muncul di balik tirai jendela kamar Ezra, memberikan cahaya hangat yang menyinari ruangan yang masih dipenuhi suasana hening. Ezra bangun lebih awal dari biasanya, membawa secangkir kopi hitam ke balkon apartemennya. Ia memandang ke kejauhan, menyaksikan hiruk-pikuk kota yang mulai menggeliat. Namun pikirannya tetap tertuju pada Kaira.Kaira, di sisi lain, juga terbangun lebih pagi. Ia memutuskan untuk berjalan kaki di taman dekat apartemennya. Langkah-langkahnya kecil, tetapi cukup untuk membuatnya merasa lebih dekat dengan dirinya sendiri. Pikiran tentang Ezra dan pesan singkat mereka malam tadi terus terngiang di benaknya. Itu memberinya perasaan tenang, meski ada kekhawatiran yang tetap mengendap.Saat itu, ponsel Kaira bergetar di sakunya. Pesan dari Ezra masuk."Pagi, Kaira. Aku harap hari ini lebih baik untukmu. Kalau kau punya waktu, bagaimana kalau kita bertemu sore ini di kafe biasa? Aku ingin berbicara."Kaira membaca pesan itu dengan hati-hati. Kata-

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status