Keesokan paginya, Ezra terbangun dengan perasaan berat. Udara di kamar yang dulu pernah menjadi tempat perlindungannya kini terasa hampa, seolah waktu telah membawa pergi semua kehangatan yang pernah ada. Ia melangkah ke jendela, membiarkan sinar matahari pagi masuk, tapi yang ia rasakan bukan kehangatan melainkan kekosongan. Ada sesuatu yang tertinggal di kota ini, sebuah bagian dari dirinya yang belum ia temukan kembali.
Setelah sarapan singkat bersama ibunya, Ezra memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kota. Ia butuh waktu untuk meresapi semua perubahan yang terjadi selama bertahun-tahun ia pergi, dan mungkin, untuk menemukan jawabannya sendiri. Langkah kakinya membawanya ke tempat-tempat yang dulu akrab: taman kecil di pusat kota, kafe tempat ia dan teman-temannya berkumpul, dan lapangan basket tempat ia menghabiskan masa remajanya.
Namun, semua terasa berbeda sekarang. Orang-orang yang ia temui di sepanjang jalan hanya melemparkan pandangan singkat—tidak ada lagi sapaan akrab seperti dulu. Waktu memang telah mengubah banyak hal, termasuk dirinya.
Ketika langkah kakinya membawa Ezra kembali ke stasiun tempat ia bertemu Kaira kemarin, pikirannya berputar kembali pada pertemuan itu. Wajah Kaira, senyumnya yang pahit, dan tatapan matanya yang penuh pertanyaan. Ezra tahu bahwa pertemuan singkat itu belum menyelesaikan apa pun. Sebaliknya, itu hanya membuka kembali luka lama yang belum sembuh. Dia harus menghadapi Kaira, harus memberikan penjelasan yang seharusnya ia berikan bertahun-tahun lalu.
Dengan tekad baru, Ezra mulai berjalan menuju toko bunga keluarga Kaira. Setibanya di sana, ia berhenti sejenak di luar pintu, mengumpulkan keberanian. Saat hendak mengetuk pintu, tiba-tiba suara yang sangat ia kenal terdengar dari belakangnya.
"Ezra?"
Ezra berbalik, dan di sana, Kaira berdiri dengan pakaian kerja dan tangan yang penuh dengan bunga mawar merah segar. Tatapannya penuh rasa ingin tahu, namun juga kehati-hatian. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya, suaranya datar, tak ingin menunjukkan emosi apa pun.
Ezra tersenyum kaku. "Aku hanya ingin bicara. Kita belum selesai kemarin."
Kaira menatapnya untuk beberapa detik, sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Aku sedang sibuk, Ezra. Ada banyak hal yang harus kuselesaikan."
"Aku tahu," jawab Ezra cepat, tidak ingin melewatkan kesempatan ini. "Tapi aku akan menunggu. Sampai kapan pun kamu punya waktu."
Kaira terdiam sesaat, sebelum akhirnya mengangguk singkat. "Tunggu di sini. Aku akan segera kembali."
Ezra menunggu di luar, mencoba menenangkan pikirannya. Waktu berjalan lambat, dan setiap detik rasanya seperti hukuman bagi kesalahan yang pernah ia buat. Ketika akhirnya Kaira keluar, ia masih memegang beberapa bunga yang hendak ditata di jendela toko.
"Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya tanpa basa-basi.
Ezra terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, "Aku ingin minta maaf, Kaira. Aku meninggalkanmu tanpa penjelasan. Aku tahu itu salah."
Kaira memandangnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Kamu tahu itu salah, tapi kamu tetap melakukannya. Apakah permintaan maaf ini akan memperbaiki segalanya?"
Ezra menggeleng pelan. "Aku tidak tahu. Tapi aku ingin mencoba."
Kaira menatapnya lama, seolah mencari sesuatu di dalam diri Ezra—mungkin jawaban, atau mungkin hanya kepastian bahwa pria yang berdiri di depannya bukan lagi pria yang sama yang dulu meninggalkannya.
"Aku tidak tahu, Ezra," katanya akhirnya. "Banyak yang telah berubah sejak kamu pergi. Aku juga berubah. Hidupku tidak lagi sama seperti dulu."
"Aku tahu. Dan aku tidak berharap semuanya kembali seperti dulu. Tapi aku ingin setidaknya memperbaiki hubungan kita, meski hanya sebagai teman."
Kaira terdiam lagi, lalu akhirnya mengangguk pelan. "Kita bisa mulai dari sana. Tapi jangan harap semuanya akan mudah."
Ezra tersenyum kecil. "Aku tidak mengharapkan itu. Aku hanya ingin kesempatan untuk memperbaiki apa yang pernah aku rusak."
Kaira menghela napas panjang, lalu menatap Ezra dengan pandangan lembut yang lama tak ia lihat. "Kita lihat saja nanti, Ezra. Waktu yang akan menentukan."
Ezra tersenyum tipis, rasa lega yang samar mulai mengisi hatinya. Walaupun permintaan maafnya diterima dengan hati-hati, itu sudah lebih dari yang ia harapkan. Mungkin ini adalah awal dari sebuah perjalanan panjang untuk memperbaiki masa lalu, tetapi ia merasa siap untuk melakukannya.
Setelah perbincangan singkat itu, Kaira kembali ke pekerjaannya di toko bunga. Ezra tidak ingin mendesaknya lebih jauh. Dia sadar butuh waktu agar kepercayaan di antara mereka bisa dibangun kembali. Dengan perlahan, Ezra melangkah pergi dari toko, berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan membuktikan niat baiknya melalui tindakan, bukan hanya kata-kata.
Hari-hari berikutnya dihabiskan Ezra dengan kembali menyesuaikan diri di kota kecil itu. Dia sering membantu ibunya mengurus rumah yang sudah lama tak terawat, mencoba mengembalikan kehangatan yang pernah ada di sana. Sesekali, dia mengunjungi toko bunga Kaira, membeli satu atau dua bunga hanya untuk melihatnya dari jauh. Meski interaksi mereka masih terbatas, setiap percakapan kecil mulai membuat dinding es di antara mereka perlahan mencair.
Namun, meskipun hubungan mereka mulai membaik, Kaira tetap menjaga jarak. Ada luka lama yang belum sepenuhnya sembuh di hatinya, dan Ezra paham betul bahwa butuh waktu lebih lama untuk itu. Hingga suatu hari, sebuah kesempatan datang.
Saat Ezra sedang duduk di taman kota, menikmati sore yang tenang, Kaira tiba-tiba muncul. Dia tampak lelah, dengan ekspresi wajah yang tidak biasa—seperti ada sesuatu yang membebaninya. Ezra yang melihatnya langsung merasa ada yang berbeda hari itu.
"Kaira? Kamu baik-baik saja?" tanya Ezra, menatapnya khawatir.
Kaira duduk di bangku di sampingnya, meletakkan tas kerjanya dan menarik napas panjang. "Aku sedang banyak pikiran, Ezra. Ada masalah di rumah... dan di pekerjaan. Rasanya semua menumpuk sekaligus."
Ezra terdiam sejenak, sebelum akhirnya menawarkan, "Kalau kamu butuh bantuan, kamu tahu aku ada di sini, kan?"
Kaira menoleh ke arah Ezra, matanya menyiratkan ketidakpastian. "Aku tidak ingin merepotkanmu lagi, Ezra. Setelah semua yang terjadi..."
"Jangan katakan itu," potong Ezra dengan lembut. "Apa yang terjadi di masa lalu adalah salahku, dan aku berusaha memperbaikinya. Kalau ada yang bisa kulakukan untuk membantu, aku akan melakukannya."
Kaira terdiam, menimbang kata-kata Ezra. Setelah beberapa saat, dia menghela napas panjang. "Ada satu hal... Bisakah kamu menemaniku malam ini? Aku harus menghadiri acara keluarga yang penting, tapi aku tidak ingin pergi sendirian."
Ezra tersenyum tipis, merasa ini adalah kesempatan langka untuk mendekatkan diri lagi. "Tentu saja, Kaira. Aku akan menemanimu."
Malam itu, Ezra menjemput Kaira di rumahnya. Ketika dia melihat Kaira keluar dari pintu depan, mengenakan gaun elegan berwarna merah lembut, Ezra hampir kehilangan kata-kata. Kaira tampak luar biasa, seperti cahaya yang menyinari seluruh ruangan.
Mereka berjalan berdua menuju acara keluarga Kaira, yang diadakan di sebuah hotel mewah di pinggiran kota. Sepanjang perjalanan, meskipun tidak banyak berbicara, Ezra merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara Kaira menatapnya malam itu. Seperti ada kepercayaan yang perlahan mulai tumbuh kembali, meskipun masih rapuh.
Di acara tersebut, Ezra berusaha sebaik mungkin untuk menjaga suasana tetap nyaman. Ia berbincang dengan anggota keluarga Kaira, tersenyum pada lelucon-lelucon ringan yang dilontarkan, dan memastikan Kaira tidak merasa canggung. Meski awalnya acara terasa formal dan penuh tekanan, lambat laun, Ezra dan Kaira mulai bisa menikmati malam itu.
Ketika malam semakin larut dan acara hampir selesai, Kaira akhirnya menarik Ezra ke sudut ruangan yang sepi. "Terima kasih sudah menemaniku malam ini, Ezra. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana jadinya kalau harus datang sendirian."
Ezra tersenyum lembut, menatap Kaira dengan penuh perhatian. "Aku senang bisa menemanimu. Kaira, aku tahu hubungan kita belum seperti dulu, tapi aku harap malam ini bisa jadi awal yang baik."
Kaira menunduk sejenak, lalu menatap Ezra dengan mata yang penuh makna. "Mungkin... mungkin kita memang bisa mulai lagi, Ezra. Tapi perlahan-lahan, ya?"
Ezra mengangguk pelan, merasa hatinya hangat oleh kata-kata itu. "Aku akan bersabar, Kaira. Sebisa mungkin aku akan menjaga hubungan ini."
Malam semakin larut, dan Ezra serta Kaira meninggalkan acara dengan perasaan yang lebih ringan. Mereka berjalan berdampingan menuju mobil Ezra, di bawah langit yang dipenuhi bintang. Suasana malam itu terasa magis—udara sejuk, suara alam yang tenang, dan langkah-langkah mereka yang selaras.
Sesampainya di mobil, mereka saling berpandangan sejenak sebelum Kaira membuka suara, “Aku sudah lama tidak merasa senyaman ini, Ezra. Sejujurnya, aku tidak mengira bahwa kita bisa berbicara seperti ini lagi.”
Ezra tersenyum, menghela napas panjang, merasa lega bahwa sedikit demi sedikit jarak di antara mereka mulai hilang. “Aku juga merasakannya. Rasanya seperti kita mendapat kesempatan kedua, dan aku tidak ingin menyia-nyiakannya.”
Kaira tertawa kecil, meskipun ada kehangatan dalam tawanya. “Kesempatan kedua, ya? Semoga kali ini kita tidak membuat kesalahan yang sama.”
Di dalam mobil, mereka berbincang ringan, membicarakan hal-hal kecil yang dulu sering mereka bicarakan—tentang musik, film, dan mimpi-mimpi mereka di masa depan. Malam itu terasa seolah mereka kembali ke masa-masa ketika semuanya masih sederhana dan bebas dari luka.
Namun, di tengah pembicaraan yang nyaman itu, tiba-tiba sebuah telepon masuk ke ponsel Kaira. Wajahnya berubah serius ketika melihat nama di layar. “Ini dari ibuku,” katanya pelan, sebelum menjawab panggilan.
Ezra duduk diam, menunggu, mendengarkan Kaira berbicara dengan nada khawatir. Dari percakapan itu, Ezra bisa mendengar bahwa ada sesuatu yang serius terjadi.
Setelah menutup telepon, Kaira menatap Ezra dengan wajah cemas. “Ibuku jatuh sakit. Ayahku sedang tidak di rumah, dan aku harus segera pulang.”
Ezra langsung menawarkan diri. “Aku akan mengantarmu. Ayo, kita berangkat sekarang.”
Mereka segera melaju menuju rumah Kaira. Di sepanjang perjalanan, Kaira terdiam, jelas terlihat cemas. Ezra mencoba menenangkan pikirannya dengan berkonsentrasi pada jalan, tapi dia tidak bisa mengabaikan rasa khawatir yang terus tumbuh di dalam dirinya. Di tengah segala kemajuan hubungan mereka, tantangan baru muncul begitu saja.
Sesampainya di rumah, mereka langsung menuju kamar ibunya. Wanita itu berbaring lemah di tempat tidurnya, wajahnya pucat namun masih tersenyum saat melihat Kaira datang.
“Ibu, apa yang terjadi?” tanya Kaira, suara lembutnya penuh kekhawatiran.
Ibunya menggeleng lemah. “Aku hanya merasa sedikit pusing, sayang. Tidak perlu khawatir.”
Ezra yang berdiri di belakang, merasa tidak nyaman menyaksikan momen keluarga yang begitu pribadi, tapi dia tidak ingin meninggalkan Kaira sendirian dalam situasi ini. Kaira dengan cepat merawat ibunya, memberikan obat dan memastikan dia merasa lebih baik sebelum akhirnya duduk di samping tempat tidur.
“Terima kasih, Ezra, untuk segalanya,” kata Kaira setelah ibunya mulai tertidur. “Aku tahu ini bukan bagian dari rencanamu malam ini.”
Ezra menggeleng. “Kaira, apapun situasinya, aku akan selalu ada di sini. Kamu tidak perlu minta maaf.”
Kaira tersenyum kecil, matanya penuh dengan rasa terima kasih. “Kamu benar-benar berubah, Ezra. Aku mulai percaya bahwa mungkin kita bisa... memulai sesuatu yang baru.”
Perkataan Kaira membuat hati Ezra berdegup kencang. Ini adalah momen yang telah lama ia harapkan—momen di mana Kaira mulai membuka hatinya lagi. Tapi Ezra tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang. Meski ada secercah harapan, ia tidak ingin tergesa-gesa dan merusak apa yang sudah mulai terbangun.
Malam itu, setelah memastikan ibunya dalam kondisi stabil, Kaira mengantarkan Ezra keluar rumah. Sebelum berpisah, Kaira menatap Ezra dalam-dalam, seolah mencari sesuatu di matanya.
“Ezra,” panggilnya lembut, “aku tahu ini tidak akan mudah bagi kita berdua. Tapi aku ingin mencoba.”
Ezra tersenyum, penuh kelegaan. “Aku juga, Kaira. Aku siap menunggu berapa lama pun itu butuh.”
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Kaira mencondongkan tubuhnya sedikit, memberi Ezra ciuman ringan di pipi, lalu berbalik masuk ke rumah. Ezra terpaku di tempatnya sejenak, merasakan hangatnya sentuhan Kaira yang singkat namun penuh makna.
Ketika akhirnya ia berjalan kembali ke mobil, hati Ezra terasa lebih ringan dari sebelumnya. Hubungan mereka yang dulu rapuh kini perlahan mulai terjalin kembali, meski masih belum sempurna. Tapi malam ini, di bawah langit penuh bintang, ia merasa ada harapan baru yang tumbuh—sebuah awal yang baru bagi keduanya.
Beberapa minggu telah berlalu sejak malam itu, dan perlahan hubungan Ezra dan Kaira mulai tumbuh kembali. Mereka tidak lagi menghindari satu sama lain, dan bahkan sesekali keluar bersama untuk makan siang atau sekadar berjalan-jalan di taman. Meski demikian, hubungan mereka tetap dilingkupi kehati-hatian—seperti dua orang yang sedang meniti jalan di atas es tipis.Di sela-sela momen kebersamaan itu, Ezra terus bekerja keras untuk memperbaiki hidupnya. Ia mulai aktif membantu ibunya di rumah, dan bahkan mempertimbangkan untuk membuka usaha kecil-kecilan di kota. Namun, meski semua tampak berjalan baik, ada sesuatu yang terus menghantuinya—masa lalunya.Suatu siang, ketika Ezra sedang membersihkan halaman belakang rumah ibunya, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Pesan itu datang dari nomor yang sudah lama tidak ia lihat—nomor dari seseorang yang pernah menjadi bagian penting dari hidupnya dulu. Dada Ezra mendadak terasa sesak, tangannya gemetar saat ia me
Keesokan harinya, Ezra bangun dengan perasaan campur aduk. Malam sebelumnya di festival bersama Kaira berakhir dengan baik, tapi pertemuan tak terduga dengan Livia masih menghantui pikirannya. Meski Ezra telah berjanji pada dirinya sendiri dan Kaira bahwa masa lalunya dengan Livia tidak akan mengganggu mereka, perasaan tak menentu itu tetap ada.Ezra memutuskan untuk melanjutkan rutinitasnya seperti biasa, berusaha menenangkan pikirannya dengan tetap fokus pada pekerjaannya. Namun, saat dia duduk di meja kerjanya dan membuka ponsel, ada pesan lain dari Livia."Ezra, aku menunggu di kafe di sudut jalan. Aku harap kita bisa bicara."Ezra menatap pesan itu lama, mencoba memutuskan apakah dia harus menemuinya. Meski ia merasa ragu, bagian dari dirinya tahu bahwa ada hal-hal yang harus diselesaikan. Dia tidak bisa lari dari masa lalu selamanya.Dengan berat hati, Ezra memutuskan untuk menemui Livia, tapi kali ini dia bertekad untuk memperjelas semuanya. Tidak akan ada ruang abu-abu; dia ha
Pagi itu, Ezra terbangun dengan semangat baru. Setelah menyelesaikan semua yang membebani pikirannya, hari ini terasa berbeda. Ia merasakan kebebasan yang sudah lama tak ia rasakan, seolah rantai masa lalu yang membelenggunya kini telah terlepas.Ezra menyiapkan kopi pagi di dapur sambil memikirkan langkah selanjutnya dengan Kaira. Hari ini adalah kesempatan untuk memulai hubungan mereka dari awal, tanpa bayang-bayang masa lalu yang mengganggu. Saat ia menyesap kopi, pikirannya melayang pada sebuah ide: bagaimana jika dia dan Kaira menghabiskan waktu akhir pekan bersama untuk lebih mengenal satu sama lain, jauh dari kesibukan kota?Seiring dengan itu, ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan dari Kaira muncul di layar, "Good morning, Ezra. Aku punya kejutan kecil untuk kita hari ini. Bisa ketemu nanti?"Ezra tersenyum, hatinya berdebar-debar. Kejutan? Rasa penasaran menyelimuti pikirannya. "Tentu, aku tak sabar menunggu," balasnya dengan penuh antusias.
Ezra duduk di kafe tempat biasanya ia dan Kaira bertemu, namun kali ini sendirian. Kopinya sudah dingin, tetapi pikirannya sibuk berputar, mencoba mencerna perubahan sikap Kaira dalam beberapa hari terakhir. Meski hubungan mereka baru mulai berkembang, Ezra bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang ia tidak mengerti.Sementara itu, Kaira berdiri di tengah deretan bunga mawar dan anggrek yang menghiasi toko bunganya. Tangan Kaira menggenggam ponsel yang baru saja ia matikan, setelah menerima panggilan tak terjawab dari mantan kekasihnya, Dimas. Kaira menarik napas panjang, mencoba menyingkirkan perasaan gugup yang terus mengganggunya. Kehadiran Dimas kembali, meski hanya melalui telepon, membuatnya teringat pada masa-masa kelam yang ingin ia lupakan.Di tengah suasana toko bunga yang seharusnya membawa ketenangan, pikiran Kaira kacau. Dimas adalah masa lalunya—sosok yang seharusnya sudah terkubur bersama kenangan pahit. Namun, entah mengapa, ia merasa semakin sulit untuk be
Esok harinya, Ezra terbangun dengan perasaan gelisah yang belum juga hilang. Pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan semalam dengan Kaira. Meski ia yakin Kaira tulus, bayangan tentang Dimas tak mau pergi dari benaknya. Apakah pria itu akan kembali dalam kehidupan Kaira dengan cara yang lebih mengganggu?Ezra meraih ponselnya dan mengetik pesan singkat kepada Kaira: “Apa kau baik-baik saja hari ini?” Ia menunggu beberapa saat, berharap Kaira segera membalas, tapi yang diterimanya hanyalah tanda pesan terkirim. Ezra menghela napas dan memutuskan untuk keluar rumah, mencoba mengalihkan pikirannya dari kegelisahan.Sementara itu, Kaira sedang sibuk di toko bunganya, menata rangkaian bunga untuk seorang pelanggan yang akan menikah akhir pekan ini. Namun, pikirannya jauh dari pekerjaan. Percakapan dengan Ezra tadi malam membuatnya merasa lega, tetapi kehadiran Dimas kembali membawa begitu banyak kenangan yang ia coba lupakan selama ini.Ponselnya bergetar. Kaira melihat layar, ada pesan d
Hari itu Kaira tiba lebih awal di toko bunganya. Pagi ini terasa berbeda, seolah udara lebih segar dan matahari lebih cerah dari biasanya. Meski semalam ia merasa sangat lelah, perasaan lega yang muncul setelah menutup bab tentang Dimas membuatnya memiliki semangat baru. Ia sibuk merapikan beberapa bunga mawar yang baru datang, menyiapkan pesanan untuk pernikahan yang akan diantarkan sore nanti.Sementara Kaira sibuk bekerja, pintu toko terbuka pelan. Ezra masuk dengan langkah ringan, membawa secangkir kopi untuknya."Selamat pagi, sang wanita sibuk," Ezra menyapa dengan senyum hangat.Kaira mendongak dan tersenyum lebar melihat kedatangan Ezra. "Pagi, kamu bawa kopi lagi? Kamu tahu caraku untuk tetap semangat.""Kamu pantas mendapatkannya," Ezra meletakkan kopi itu di meja. "Bagaimana tidurmu? Setelah semua yang terjadi kemarin."Kaira menghela napas, lalu tersenyum. "Aku tidur dengan sangat nyenyak. Rasanya beban yang sudah lama aku bawa akhirnya hilang."Ezra menatapnya penuh perha
Pagi itu, udara terasa lebih sejuk dari biasanya. Kaira menata bunga-bunga yang baru tiba di tokonya sambil merenungkan percakapan terakhirnya dengan Ezra. Kata-kata pria itu masih terngiang di benaknya. Perasaan yang semula samar kini mulai lebih jelas, seakan hati kecilnya mulai memberikan jawaban, meski ia belum sepenuhnya siap untuk mengambil keputusan.Saat Kaira sedang sibuk, pintu toko terbuka dan seorang pelanggan masuk. Kaira mengangkat wajahnya dan mendapati seorang wanita paruh baya, tersenyum ramah padanya."Selamat pagi, apa ada yang bisa saya bantu?" Kaira menyapa dengan hangat."Pagi, saya sedang mencari bunga yang spesial untuk ulang tahun pernikahan saya," jawab wanita itu. "Saya ingin sesuatu yang sederhana tapi bermakna."Kaira berpikir sejenak. "Bagaimana kalau mawar putih yang melambangkan kesetiaan dan kebersihan cinta? Kami juga bisa menggabungkannya dengan lavender yang melambangkan ketenangan dan kesucian hubungan."Wanita itu tersenyum, jelas terkesan dengan
Kaira berlari menyusuri trotoar dengan hati yang diliputi kegelisahan. Surat di tangannya terasa berat, bukan karena materi yang tertulis di dalamnya, melainkan oleh kenangan yang terpendam. Surat itu membuka luka lama, kenangan pahit yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam. Ia menuju taman kecil di dekat toko bunganya, tempat ia sering mencari ketenangan.Setibanya di sana, ia duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang. Angin sepoi-sepoi berhembus, seakan mencoba menenangkan gejolak dalam hatinya. Ia membuka surat itu lagi, membaca setiap kata dengan seksama. Surat itu berasal dari seorang pria bernama Adrian—nama yang tak asing baginya, seseorang dari masa lalunya yang telah ia hindari selama bertahun-tahun.Kaira,Aku tahu ini mendadak. Tapi aku perlu bertemu denganmu. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan. Hal ini tidak bisa ditunda lagi. Aku akan menunggumu di kafe di ujung jalan utama, pukul 5 sore besok. Tolong datang.Kaira meremas surat itu dengan emosi yang campur aduk. A
Pagi itu, Kaira sibuk merapikan bunga-bunga di toko, tetapi pikirannya melayang. Langit yang cerah tak mampu menyembunyikan awan gelap yang menggantung di hatinya. Setiap kelopak bunga yang ia sentuh terasa seperti pengingat akan percakapan terakhirnya dengan Ezra. Suaranya yang penuh emosi masih terngiang di telinganya, menyakitkan sekaligus membingungkan.Sementara itu, Ezra duduk di ruangannya, mencoba mengalihkan diri dengan pekerjaannya. Namun, setiap goresan pena di kertas hanya membawa pikirannya kembali pada Kaira. Ia tahu ada sesuatu yang salah—sesuatu yang tidak mereka ungkapkan satu sama lain. Tapi bagaimana ia bisa menjelaskan semuanya ketika ia sendiri belum memahami seluruh situasinya?Telepon Ezra berdering, memecah lamunannya. "Ezra Mahendra," sapanya dengan nada profesional.Suara di seberang terdengar akrab, tetapi nada dinginnya membuat Ezra menegakkan punggung. "Ezra, aku rasa kita perlu bicara. Ada sesuatu yang mungkin ingin kau tahu tentang Kaira," kata pria itu,
Pagi itu, suasana terasa berbeda. Langit yang biasanya cerah tampak kelabu, seolah mencerminkan suasana hati Ezra dan Kaira. Meskipun mereka duduk di meja makan yang sama, jarak di antara mereka terasa seperti jurang yang dalam.“Bagaimana tidurnya?” Ezra mencoba memecah keheningan, suaranya terdengar datar.Kaira mengangkat bahu, matanya menatap secangkir teh di depannya. “Cukup baik, aku rasa.”Ezra mengangguk pelan, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Tetapi setiap kalimat yang ia pikirkan terasa tidak cukup. Ia tahu, ini bukan hanya tentang perasaan sesaat—ada sesuatu yang lebih dalam yang membuat mereka terjebak dalam situasi ini.Setelah beberapa saat, Kaira akhirnya berbicara. “Ezra, aku ingin kita jujur. Aku ingin kita bicara, bukan saling menghindar seperti ini.”Ezra menatapnya, matanya menunjukkan campuran harapan dan kecemasan. “Aku setuju. Tapi... aku tidak tahu harus mulai dari mana.”Kaira menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. “Aku me
Langit malam mulai gelap ketika Kaira tiba di depan apartemen Ezra. Ia berdiri di depan pintu, mencoba mengatur napas. Tangannya gemetar saat hendak memutar kenop pintu. Hatinya terasa berat dengan semua percakapan yang baru saja ia lalui bersama Adrian.Ezra yang sedang duduk di ruang tamu mendongak ketika Kaira masuk. Ia langsung menyadari perubahan di wajah Kaira—ekspresi penuh kebingungan dan kecemasan. “Kaira? Kamu nggak apa-apa?”Kaira terdiam beberapa saat sebelum menjawab. “Aku... aku butuh bicara sama kamu, Ezra.”Nada suaranya membuat Ezra berhenti. Ia menaruh buku yang sedang dibacanya ke meja dan berdiri, mendekati Kaira. “Ada apa? Apa yang terjadi?”Kaira menatap mata Ezra, mencoba mencari keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya. “Aku tadi ketemu Adrian.”Ezra tertegun sejenak. Ia menatap Kaira, berusaha memahami maksud kata-katanya. “Adrian? Maksudmu... mantan kamu?”Kaira mengangguk pelan. “Dia... dia bilang ingin bicara tentang masa lalu. Aku pikir aku sudah selesa
Pagi itu, mentari menyapa dengan hangat, menyinari setiap sudut apartemen Ezra. Di meja makan, Kaira sedang menuangkan secangkir kopi untuk Ezra, sementara pria itu sibuk membaca koran digital di tablet miliknya. Suasana terasa nyaman, seperti pagi-pagi lainnya sejak mereka memutuskan untuk melangkah bersama lagi.Namun, di dalam hati Kaira, ada pergolakan yang tak bisa ia abaikan. Pesan dari Adrian yang belum dibacanya malam itu masih menjadi bayangan yang mengganggu pikirannya. Pertanyaan-pertanyaan tentang maksud Adrian dan apa yang ia inginkan terus mengisi benaknya.“Kaira, kamu baik-baik saja?” tanya Ezra tiba-tiba, memecah keheningan. Ia meletakkan tabletnya dan menatap Kaira dengan alis sedikit terangkat.Kaira tersentak, lalu buru-buru tersenyum. “Iya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit melamun.”Ezra memiringkan kepalanya, mencoba membaca ekspresi Kaira. “Kamu kelihatan seperti memikirkan sesuatu yang berat. Kalau ada apa-apa, kamu tahu kan kamu bisa cerita ke aku?”Kaira men
Pagi itu, mentari menyapa dengan hangat, menyinari setiap sudut apartemen Ezra. Di meja makan, Kaira sedang menuangkan secangkir kopi untuk Ezra, sementara pria itu sibuk membaca koran digital di tablet miliknya. Suasana terasa nyaman, seperti pagi-pagi lainnya sejak mereka memutuskan untuk melangkah bersama lagi.Namun, di dalam hati Kaira, ada pergolakan yang tak bisa ia abaikan. Pesan dari Adrian yang belum dibacanya malam itu masih menjadi bayangan yang mengganggu pikirannya. Pertanyaan-pertanyaan tentang maksud Adrian dan apa yang ia inginkan terus mengisi benaknya.“Kaira, kamu baik-baik saja?” tanya Ezra tiba-tiba, memecah keheningan. Ia meletakkan tabletnya dan menatap Kaira dengan alis sedikit terangkat.Kaira tersentak, lalu buru-buru tersenyum. “Iya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit melamun.”Ezra memiringkan kepalanya, mencoba membaca ekspresi Kaira. “Kamu kelihatan seperti memikirkan sesuatu yang berat. Kalau ada apa-apa, kamu tahu kan kamu bisa cerita ke aku?”Kaira men
Hari-hari setelah pertemuan Kaira dengan Adrian berlalu dengan tenang, tetapi bukan tanpa tantangan. Meskipun Adrian telah menghilang dari kehidupan mereka, bayangan masa lalu dan kekhawatiran yang tersisa masih menyelimuti hubungan Kaira dan Ezra.Ezra semakin sibuk dengan pekerjaannya, sering pulang larut malam karena proyek besar yang tengah ia tangani. Di sisi lain, Kaira merasa waktu kebersamaan mereka semakin sedikit, meskipun ia memahami bahwa Ezra melakukannya untuk masa depan mereka. Namun, jarak yang perlahan terbentuk itu membuat Kaira mulai merasakan kekosongan.Suatu malam, Ezra pulang lebih lambat dari biasanya. Kaira yang sudah menunggu di ruang tamu dengan secangkir teh hangat terlihat lelah. Saat Ezra membuka pintu, ia mencoba tersenyum, tetapi Kaira tahu ada sesuatu yang tidak beres.“Kamu baik-baik saja?” tanya Kaira, meletakkan cangkir tehnya di meja.Ezra mengangguk sambil melepas jasnya. “Hanya lelah. Hari ini sangat berat.”Kaira berdiri, mendekat untuk memelukn
Hari-hari berlalu dengan cepat setelah perbincangan jujur itu. Ezra dan Kaira mulai membangun kembali kepercayaan yang sempat terguncang. Hubungan mereka tampak lebih kokoh, tetapi kehidupan tidak pernah berhenti memberikan ujian.Pagi itu, Ezra sedang bersiap untuk pergi ke kantor ketika sebuah telepon datang dari nomor tak dikenal. Ia menjawab dengan santai, tetapi suaranya berubah serius setelah beberapa detik mendengar isi pembicaraan di ujung sana.“Aku akan segera ke sana,” jawab Ezra singkat sebelum menutup panggilan.Kaira, yang baru saja keluar dari dapur dengan secangkir teh di tangannya, memperhatikan ekspresi Ezra yang berubah tegang. “Ada apa, Ezra?” tanyanya, cemas.Ezra menarik napas panjang sebelum menjawab. “Ada masalah di kantor. Salah satu proyek besar yang aku tangani mengalami kendala. Mereka butuh aku di sana segera.”Kaira mendekatinya dan menyentuh lengannya dengan lembut. “Apa aku bisa membantu?”Ezra tersenyum tipis, meskipun ada kekhawatiran di matanya. “Kam
Pagi itu, sinar matahari mengintip dari sela-sela tirai kamar Kaira, menandakan awal dari hari yang baru. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Sebuah pesan masuk di ponselnya dari Adrian. Meski ragu, Kaira akhirnya membaca pesan itu:"Aku ingin bicara lagi, Kaira. Hanya sebentar, tolong."Kaira menggigit bibirnya. Ia tahu ini bukan keputusan mudah. Setelah pertemuan terakhir mereka, Kaira merasa hubungannya dengan Adrian sudah menemukan titik akhir. Tapi pesan itu menyalakan percikan rasa penasaran—atau mungkin rasa tanggung jawab—untuk memberi kejelasan.Sementara itu, Ezra sedang sibuk mempersiapkan kejutan kecil untuk Kaira. Setelah percakapan mendalam mereka beberapa malam lalu, ia merasa perlu memastikan bahwa Kaira tahu betapa seriusnya ia terhadap hubungan mereka. Ia menyiapkan makan siang piknik di taman favorit Kaira, lengkap dengan bunga-bunga yang ia pilih sendiri dari toko Kaira tanpa sepengetahuannya.Ketika Ezra akhirnya menghubungi Kaira untuk mengajaknya bertemu, suara di
Kaira berdiri di depan cermin, memandangi bayangan dirinya sendiri. Pikirannya penuh dengan keraguan. Pesan dari Adrian masih menghantui benaknya, meskipun Ezra sudah berusaha menenangkannya. Di satu sisi, ia ingin menutup bab masa lalunya, tetapi di sisi lain, ia tahu pertemuan itu mungkin hanya akan memperkeruh keadaan.Ezra duduk di sofa ruang tamu Kaira, memainkan mug berisi teh hangat di tangannya. Ia tampak tenang, tetapi matanya mengamati setiap gerakan Kaira dengan penuh perhatian. "Kaira, aku tidak akan memaksamu mengambil keputusan. Tapi aku ingin kamu tahu, apa pun yang kamu putuskan, aku ada di sini."Kaira berbalik, menatap Ezra dengan ragu. "Aku hanya takut... Jika aku bertemu dengannya, itu akan menyakiti kita. Tapi jika aku tidak menemuinya, aku merasa tidak adil untuk mengabaikannya begitu saja."Ezra mengangguk perlahan. "Aku mengerti. Mungkin yang terpenting adalah apa yang kamu inginkan, bukan apa yang dia inginkan. Pertanyaan yang harus kamu tanyakan adalah: Apaka