Beberapa minggu telah berlalu sejak malam itu, dan perlahan hubungan Ezra dan Kaira mulai tumbuh kembali. Mereka tidak lagi menghindari satu sama lain, dan bahkan sesekali keluar bersama untuk makan siang atau sekadar berjalan-jalan di taman. Meski demikian, hubungan mereka tetap dilingkupi kehati-hatian—seperti dua orang yang sedang meniti jalan di atas es tipis.
Di sela-sela momen kebersamaan itu, Ezra terus bekerja keras untuk memperbaiki hidupnya. Ia mulai aktif membantu ibunya di rumah, dan bahkan mempertimbangkan untuk membuka usaha kecil-kecilan di kota. Namun, meski semua tampak berjalan baik, ada sesuatu yang terus menghantuinya—masa lalunya.
Suatu siang, ketika Ezra sedang membersihkan halaman belakang rumah ibunya, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Pesan itu datang dari nomor yang sudah lama tidak ia lihat—nomor dari seseorang yang pernah menjadi bagian penting dari hidupnya dulu. Dada Ezra mendadak terasa sesak, tangannya gemetar saat ia membuka pesan itu.
Pesan singkat itu berbunyi: "Kita perlu bicara. Aku kembali ke kota."
Pesan itu berasal dari Livia—mantan kekasih Ezra yang telah meninggalkannya tanpa penjelasan beberapa tahun lalu. Livia adalah wanita yang dulu menjadi alasan mengapa Ezra meninggalkan Kaira dan kota ini. Kehadirannya kembali di kota membawa gelombang kegelisahan dalam diri Ezra.
Ezra mencoba menenangkan diri, menatap ponselnya dengan rasa tidak percaya. Livia kembali? Mengapa sekarang, ketika hubungannya dengan Kaira mulai membaik?
Dia memutuskan untuk tidak menanggapi pesan itu segera. Namun, pikiran tentang Livia terus menghantuinya sepanjang hari. Apakah Kaira tahu Livia kembali? Bagaimana jika Kaira mengetahuinya dari orang lain? Ezra merasa dilematis, di satu sisi ingin jujur pada Kaira, namun di sisi lain takut mengacaukan hubungan yang baru saja mulai terbentuk.
Malamnya, ketika Ezra sedang duduk di ruang tamu, Kaira tiba-tiba menghubunginya. Suara Kaira terdengar ceria di telepon, "Hei, Ezra. Aku ingin tahu, besok ada acara di taman kota. Ada festival kecil, dan aku pikir kita bisa pergi bersama? Kalau kamu punya waktu, tentu saja."
Ezra terdiam sejenak. Festival kecil itu dulunya adalah acara yang sering mereka kunjungi bersama ketika masih remaja. Mendengar Kaira mengajaknya membuat perasaan nostalgia dan kebahagiaan membuncah di dalam dirinya, namun bayangan tentang Livia tetap menggelayut di benaknya.
"Aku bisa datang," jawab Ezra dengan suara yang berusaha terdengar normal. "Itu ide bagus."
"Bagus!" sahut Kaira, terdengar senang. "Aku akan jemput kamu jam lima sore, ya?"
Setelah menutup telepon, Ezra termenung. Dia tahu bahwa pertemuan dengan Livia tidak bisa dihindari. Mungkin bukan hari ini atau besok, tapi cepat atau lambat, dia harus berhadapan dengan masa lalunya. Bagaimanapun juga, Livia adalah bagian dari kisah hidupnya yang belum selesai.
Keesokan harinya, Ezra bersiap untuk festival. Ketika Kaira menjemputnya tepat pukul lima, dia tampak begitu cantik dan ceria, seolah tak ada yang bisa mengganggu kebahagiaan mereka hari itu. Mereka berjalan bersama menuju taman kota, berbincang santai sambil menikmati suasana festival yang ramai dengan musik dan lampu warna-warni.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, langkah Ezra tiba-tiba terhenti ketika matanya menangkap sosok familiar di kerumunan. Livia.
Livia berdiri tidak jauh dari mereka, mengenakan gaun hitam sederhana, namun tetap terlihat mencolok di antara kerumunan. Dia menatap Ezra dengan ekspresi yang sulit ditebak—campuran antara rasa bersalah dan penyesalan. Hatinya seketika berdebar kencang, dan pikirannya menjadi kacau.
“Kamu kenapa, Ezra?” tanya Kaira, menyadari perubahan tiba-tiba di wajahnya.
Ezra berusaha untuk tetap tenang, tetapi pandangannya masih terpaku pada Livia yang kini mulai mendekat. “Aku… aku melihat seseorang,” jawabnya dengan gugup.
Kaira mengikuti pandangan Ezra, dan dalam sekejap matanya juga menemukan sosok Livia. Wajah Kaira berubah, menyadari siapa wanita itu. Keduanya diam, seolah terjebak dalam momen yang tak terhindarkan.
Livia akhirnya tiba di depan mereka. Dengan senyum tipis yang jelas dipaksakan, dia berkata, “Ezra, kita harus bicara.”
Ezra merasa waktu seakan berhenti. Dia berdiri di antara dua wanita yang masing-masing memiliki sejarah dengan dirinya—Kaira, cinta yang baru saja ia coba perbaiki, dan Livia, masa lalu yang belum sepenuhnya berakhir. Situasi ini tidak bisa dihindari lagi.
“Aku tidak ingin mengganggu,” lanjut Livia, melihat Kaira dengan pandangan penuh pengertian. “Tapi kita punya urusan yang belum selesai, Ezra. Aku pikir kita perlu berbicara.”
Kaira tetap diam, tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Ezra tahu ini adalah saat yang kritis. Satu langkah salah, dan semuanya bisa hancur. Bagaimana ia harus menghadapi kenyataan ini tanpa melukai hati Kaira?
Ezra berdiri di tengah situasi yang rumit, mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk meredakan ketegangan. Pandangannya bergantian antara Kaira dan Livia, dua wanita yang begitu penting dalam hidupnya, tapi dalam cara yang sangat berbeda.
Kaira tetap diam, namun matanya berbicara banyak—ada keraguan, sedikit luka, dan juga kecemasan. Ia tahu siapa Livia dan peran wanita itu dalam kehidupan Ezra dulu. Tapi Ezra melihat bahwa Kaira berusaha menahan emosinya, menunggu bagaimana Ezra akan menanganinya.
Ezra menarik napas panjang, mencoba mengendalikan pikirannya. Akhirnya, dengan suara yang tenang namun tegas, dia berbicara, "Livia, aku mengerti bahwa kita punya banyak hal yang belum terselesaikan. Tapi ini bukan waktunya, dan tidak di tempat ini."
Livia tampak terpukul oleh penolakan halus itu, tapi dia mengangguk, mencoba memahami. "Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini sekarang, Ezra. Ketika kamu siap, kita bisa bicara."
Ezra mengangguk singkat. “Kita akan bicara, tapi nanti. Sekarang aku ingin menikmati waktu ini bersama Kaira.”
Livia mengerti isyaratnya, dan dengan anggukan kecil, ia berbalik meninggalkan mereka. Ezra memperhatikan saat Livia menjauh, rasa bersalah menghantui pikirannya. Meski ada banyak hal yang ingin ia bicarakan dengan Livia, ia tahu bahwa malam ini bukan waktunya.
Setelah Livia menghilang di tengah kerumunan, Ezra menoleh ke Kaira, yang masih tampak terpaku pada tempatnya. Ada kecanggungan di antara mereka yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ezra tahu ia harus berbicara sebelum situasi ini merusak apa yang sudah mereka bangun.
“Kaira,” kata Ezra lembut, mendekatinya sedikit, “aku tahu ini mungkin mengejutkanmu, tapi aku tidak ingin ada rahasia di antara kita. Livia adalah masa laluku, dan dia kembali tanpa aku duga. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak akan membiarkan masa lalu itu merusak kita.”
Kaira menatap Ezra dalam-dalam, mencari ketulusan dalam ucapannya. Setelah beberapa saat, ia menghela napas, suaranya tenang namun bergetar sedikit. “Aku tidak ingin menjadi orang yang cemburu atau membicarakan masa lalu. Tapi kamu harus mengerti, Ezra, ini bukan hal kecil. Livia pernah menjadi alasan kita berpisah dulu.”
Ezra mengangguk, merasa beratnya situasi ini. “Aku tahu, dan aku menyesal atas semua yang terjadi di masa lalu. Tapi sekarang, aku ingin memperbaiki kesalahan itu. Kamu adalah orang yang penting bagiku sekarang, Kaira.”
Kaira menunduk sejenak, memikirkan kata-kata Ezra, lalu tersenyum tipis. “Aku ingin percaya itu, Ezra. Tapi aku butuh waktu. Jangan harapkan semuanya langsung baik-baik saja.”
Ezra merasakan sedikit kelegaan, meskipun ia tahu bahwa kepercayaan Kaira belum sepenuhnya pulih. “Aku tidak akan memaksa, Kaira. Aku akan menunggu, selama itu butuh.”
Mereka melanjutkan festival dengan sedikit ketegangan, meski Ezra berusaha membuat suasana menjadi lebih santai dengan mengajak Kaira menikmati berbagai permainan dan makanan yang ditawarkan. Namun, bayangan Livia terus menghantui pikirannya, membuat malam itu terasa tak seutuhnya menyenangkan.
Di tengah festival, ketika mereka duduk di bangku taman, menikmati musik dan suara tawa orang-orang di sekitar mereka, Kaira tiba-tiba berkata, “Ezra, aku ingin tahu satu hal. Kalau Livia kembali untuk meminta maaf, apa yang akan kamu lakukan?”
Pertanyaan itu menohok Ezra. Dia tidak bisa menghindarinya lagi. Menatap mata Kaira, dia menjawab dengan jujur, “Aku akan mendengarkan apa yang dia katakan. Tapi apapun itu, aku tidak akan membiarkan masa lalu kita menghancurkan apa yang sedang kita bangun sekarang.”
Kaira terdiam sejenak, merenung. "Aku hanya ingin tahu, Ezra, apakah aku orang yang benar-benar ingin kamu perjuangkan sekarang?"
Ezra meraih tangan Kaira dengan lembut, memegangnya erat. “Kamu adalah orang yang ingin aku perjuangkan, Kaira. Itu sudah pasti.”
Kaira tersenyum kecil, meski ada sedikit keraguan yang masih tersisa. Malam itu mungkin tidak sepenuhnya sempurna, tapi setidaknya, Kaira tahu bahwa Ezra bersedia berjuang untuk hubungan mereka. Meski begitu, ia juga tahu bahwa masa lalu Ezra dengan Livia masih menjadi ancaman, dan hanya waktu yang bisa menjawab apakah hubungan mereka bisa bertahan menghadapi tantangan ini.
Keesokan harinya, Ezra bangun dengan perasaan campur aduk. Malam sebelumnya di festival bersama Kaira berakhir dengan baik, tapi pertemuan tak terduga dengan Livia masih menghantui pikirannya. Meski Ezra telah berjanji pada dirinya sendiri dan Kaira bahwa masa lalunya dengan Livia tidak akan mengganggu mereka, perasaan tak menentu itu tetap ada.Ezra memutuskan untuk melanjutkan rutinitasnya seperti biasa, berusaha menenangkan pikirannya dengan tetap fokus pada pekerjaannya. Namun, saat dia duduk di meja kerjanya dan membuka ponsel, ada pesan lain dari Livia."Ezra, aku menunggu di kafe di sudut jalan. Aku harap kita bisa bicara."Ezra menatap pesan itu lama, mencoba memutuskan apakah dia harus menemuinya. Meski ia merasa ragu, bagian dari dirinya tahu bahwa ada hal-hal yang harus diselesaikan. Dia tidak bisa lari dari masa lalu selamanya.Dengan berat hati, Ezra memutuskan untuk menemui Livia, tapi kali ini dia bertekad untuk memperjelas semuanya. Tidak akan ada ruang abu-abu; dia ha
Pagi itu, Ezra terbangun dengan semangat baru. Setelah menyelesaikan semua yang membebani pikirannya, hari ini terasa berbeda. Ia merasakan kebebasan yang sudah lama tak ia rasakan, seolah rantai masa lalu yang membelenggunya kini telah terlepas.Ezra menyiapkan kopi pagi di dapur sambil memikirkan langkah selanjutnya dengan Kaira. Hari ini adalah kesempatan untuk memulai hubungan mereka dari awal, tanpa bayang-bayang masa lalu yang mengganggu. Saat ia menyesap kopi, pikirannya melayang pada sebuah ide: bagaimana jika dia dan Kaira menghabiskan waktu akhir pekan bersama untuk lebih mengenal satu sama lain, jauh dari kesibukan kota?Seiring dengan itu, ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan dari Kaira muncul di layar, "Good morning, Ezra. Aku punya kejutan kecil untuk kita hari ini. Bisa ketemu nanti?"Ezra tersenyum, hatinya berdebar-debar. Kejutan? Rasa penasaran menyelimuti pikirannya. "Tentu, aku tak sabar menunggu," balasnya dengan penuh antusias.
Ezra duduk di kafe tempat biasanya ia dan Kaira bertemu, namun kali ini sendirian. Kopinya sudah dingin, tetapi pikirannya sibuk berputar, mencoba mencerna perubahan sikap Kaira dalam beberapa hari terakhir. Meski hubungan mereka baru mulai berkembang, Ezra bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang ia tidak mengerti.Sementara itu, Kaira berdiri di tengah deretan bunga mawar dan anggrek yang menghiasi toko bunganya. Tangan Kaira menggenggam ponsel yang baru saja ia matikan, setelah menerima panggilan tak terjawab dari mantan kekasihnya, Dimas. Kaira menarik napas panjang, mencoba menyingkirkan perasaan gugup yang terus mengganggunya. Kehadiran Dimas kembali, meski hanya melalui telepon, membuatnya teringat pada masa-masa kelam yang ingin ia lupakan.Di tengah suasana toko bunga yang seharusnya membawa ketenangan, pikiran Kaira kacau. Dimas adalah masa lalunya—sosok yang seharusnya sudah terkubur bersama kenangan pahit. Namun, entah mengapa, ia merasa semakin sulit untuk be
Esok harinya, Ezra terbangun dengan perasaan gelisah yang belum juga hilang. Pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan semalam dengan Kaira. Meski ia yakin Kaira tulus, bayangan tentang Dimas tak mau pergi dari benaknya. Apakah pria itu akan kembali dalam kehidupan Kaira dengan cara yang lebih mengganggu?Ezra meraih ponselnya dan mengetik pesan singkat kepada Kaira: “Apa kau baik-baik saja hari ini?” Ia menunggu beberapa saat, berharap Kaira segera membalas, tapi yang diterimanya hanyalah tanda pesan terkirim. Ezra menghela napas dan memutuskan untuk keluar rumah, mencoba mengalihkan pikirannya dari kegelisahan.Sementara itu, Kaira sedang sibuk di toko bunganya, menata rangkaian bunga untuk seorang pelanggan yang akan menikah akhir pekan ini. Namun, pikirannya jauh dari pekerjaan. Percakapan dengan Ezra tadi malam membuatnya merasa lega, tetapi kehadiran Dimas kembali membawa begitu banyak kenangan yang ia coba lupakan selama ini.Ponselnya bergetar. Kaira melihat layar, ada pesan d
Hari itu Kaira tiba lebih awal di toko bunganya. Pagi ini terasa berbeda, seolah udara lebih segar dan matahari lebih cerah dari biasanya. Meski semalam ia merasa sangat lelah, perasaan lega yang muncul setelah menutup bab tentang Dimas membuatnya memiliki semangat baru. Ia sibuk merapikan beberapa bunga mawar yang baru datang, menyiapkan pesanan untuk pernikahan yang akan diantarkan sore nanti.Sementara Kaira sibuk bekerja, pintu toko terbuka pelan. Ezra masuk dengan langkah ringan, membawa secangkir kopi untuknya."Selamat pagi, sang wanita sibuk," Ezra menyapa dengan senyum hangat.Kaira mendongak dan tersenyum lebar melihat kedatangan Ezra. "Pagi, kamu bawa kopi lagi? Kamu tahu caraku untuk tetap semangat.""Kamu pantas mendapatkannya," Ezra meletakkan kopi itu di meja. "Bagaimana tidurmu? Setelah semua yang terjadi kemarin."Kaira menghela napas, lalu tersenyum. "Aku tidur dengan sangat nyenyak. Rasanya beban yang sudah lama aku bawa akhirnya hilang."Ezra menatapnya penuh perha
Pagi itu, udara terasa lebih sejuk dari biasanya. Kaira menata bunga-bunga yang baru tiba di tokonya sambil merenungkan percakapan terakhirnya dengan Ezra. Kata-kata pria itu masih terngiang di benaknya. Perasaan yang semula samar kini mulai lebih jelas, seakan hati kecilnya mulai memberikan jawaban, meski ia belum sepenuhnya siap untuk mengambil keputusan.Saat Kaira sedang sibuk, pintu toko terbuka dan seorang pelanggan masuk. Kaira mengangkat wajahnya dan mendapati seorang wanita paruh baya, tersenyum ramah padanya."Selamat pagi, apa ada yang bisa saya bantu?" Kaira menyapa dengan hangat."Pagi, saya sedang mencari bunga yang spesial untuk ulang tahun pernikahan saya," jawab wanita itu. "Saya ingin sesuatu yang sederhana tapi bermakna."Kaira berpikir sejenak. "Bagaimana kalau mawar putih yang melambangkan kesetiaan dan kebersihan cinta? Kami juga bisa menggabungkannya dengan lavender yang melambangkan ketenangan dan kesucian hubungan."Wanita itu tersenyum, jelas terkesan dengan
Kaira berlari menyusuri trotoar dengan hati yang diliputi kegelisahan. Surat di tangannya terasa berat, bukan karena materi yang tertulis di dalamnya, melainkan oleh kenangan yang terpendam. Surat itu membuka luka lama, kenangan pahit yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam. Ia menuju taman kecil di dekat toko bunganya, tempat ia sering mencari ketenangan.Setibanya di sana, ia duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang. Angin sepoi-sepoi berhembus, seakan mencoba menenangkan gejolak dalam hatinya. Ia membuka surat itu lagi, membaca setiap kata dengan seksama. Surat itu berasal dari seorang pria bernama Adrian—nama yang tak asing baginya, seseorang dari masa lalunya yang telah ia hindari selama bertahun-tahun.Kaira,Aku tahu ini mendadak. Tapi aku perlu bertemu denganmu. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan. Hal ini tidak bisa ditunda lagi. Aku akan menunggumu di kafe di ujung jalan utama, pukul 5 sore besok. Tolong datang.Kaira meremas surat itu dengan emosi yang campur aduk. A
Pagi di toko bunga terasa lebih tenang dari biasanya. Kaira berdiri di sudut ruangan, menata buket mawar merah dengan tangan yang sedikit gemetar. Pikirannya masih penuh dengan surat dari Adrian dan dokumen-dokumen yang ia baca semalam. Kenyataan bahwa orang tuanya mungkin memiliki alasan lebih besar untuk meninggalkannya terus mengusik hatinya.Di luar toko, Ezra sedang memarkirkan motornya. Setelah pertemuan mereka di taman malam itu, Ezra merasa dorongan kuat untuk memastikan Kaira tidak menghadapi semua ini sendirian. Ia masuk ke toko dengan langkah mantap, membawa kotak kecil berisi donat favorit Kaira."Kaira," panggil Ezra lembut sambil meletakkan kotak donat di meja dekat kasir. "Aku tahu kamu pasti lelah, jadi aku pikir ini bisa sedikit mencerahkan harimu."Kaira tersenyum kecil, meski sorot matanya masih menunjukkan kelelahan. "Terima kasih, Ezra. Kamu selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik."Ezra memperhatikan wajah Kaira yang terlihat lebih pucat dari biasanya. "Kamu
Kaira dan Ezra melangkah cepat keluar dari rumah tua itu, napas mereka tersengal-sengal setelah pria misterius yang mengaku sebagai ayah Kaira mendesak mereka untuk pergi. Suasana malam yang tadinya sunyi kini terasa dipenuhi ketegangan, seolah ada sesuatu yang mengikuti mereka dari balik bayangan.“Kaira, kau yakin dia benar-benar ayahmu?” Ezra bertanya sambil membuka pintu mobil, suaranya dipenuhi keraguan.Kaira menatap Ezra dengan mata yang masih berkaca-kaca. “Aku... aku tidak tahu. Tapi matanya, suaranya... itu semua terasa begitu familiar.”Ezra mengangguk pelan. “Kalau begitu, kita harus cari tahu kebenarannya. Tapi tidak malam ini. Kita perlu tenang dulu.”Keesokan PaginyaKaira duduk di meja kecil di apartemennya, menatap secangkir teh yang hampir dingin. Pikirannya terus berputar, mencoba menyusun potongan-potongan kenangan masa kecilnya dengan apa yang baru saja terjadi.Ezra datang membawa map cokelat di tangannya. “Aku meminta bantuan seorang teman untuk mencari tahu ten
Pagi di toko bunga terasa lebih tenang dari biasanya. Kaira berdiri di sudut ruangan, menata buket mawar merah dengan tangan yang sedikit gemetar. Pikirannya masih penuh dengan surat dari Adrian dan dokumen-dokumen yang ia baca semalam. Kenyataan bahwa orang tuanya mungkin memiliki alasan lebih besar untuk meninggalkannya terus mengusik hatinya.Di luar toko, Ezra sedang memarkirkan motornya. Setelah pertemuan mereka di taman malam itu, Ezra merasa dorongan kuat untuk memastikan Kaira tidak menghadapi semua ini sendirian. Ia masuk ke toko dengan langkah mantap, membawa kotak kecil berisi donat favorit Kaira."Kaira," panggil Ezra lembut sambil meletakkan kotak donat di meja dekat kasir. "Aku tahu kamu pasti lelah, jadi aku pikir ini bisa sedikit mencerahkan harimu."Kaira tersenyum kecil, meski sorot matanya masih menunjukkan kelelahan. "Terima kasih, Ezra. Kamu selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik."Ezra memperhatikan wajah Kaira yang terlihat lebih pucat dari biasanya. "Kamu
Kaira berlari menyusuri trotoar dengan hati yang diliputi kegelisahan. Surat di tangannya terasa berat, bukan karena materi yang tertulis di dalamnya, melainkan oleh kenangan yang terpendam. Surat itu membuka luka lama, kenangan pahit yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam. Ia menuju taman kecil di dekat toko bunganya, tempat ia sering mencari ketenangan.Setibanya di sana, ia duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang. Angin sepoi-sepoi berhembus, seakan mencoba menenangkan gejolak dalam hatinya. Ia membuka surat itu lagi, membaca setiap kata dengan seksama. Surat itu berasal dari seorang pria bernama Adrian—nama yang tak asing baginya, seseorang dari masa lalunya yang telah ia hindari selama bertahun-tahun.Kaira,Aku tahu ini mendadak. Tapi aku perlu bertemu denganmu. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan. Hal ini tidak bisa ditunda lagi. Aku akan menunggumu di kafe di ujung jalan utama, pukul 5 sore besok. Tolong datang.Kaira meremas surat itu dengan emosi yang campur aduk. A
Pagi itu, udara terasa lebih sejuk dari biasanya. Kaira menata bunga-bunga yang baru tiba di tokonya sambil merenungkan percakapan terakhirnya dengan Ezra. Kata-kata pria itu masih terngiang di benaknya. Perasaan yang semula samar kini mulai lebih jelas, seakan hati kecilnya mulai memberikan jawaban, meski ia belum sepenuhnya siap untuk mengambil keputusan.Saat Kaira sedang sibuk, pintu toko terbuka dan seorang pelanggan masuk. Kaira mengangkat wajahnya dan mendapati seorang wanita paruh baya, tersenyum ramah padanya."Selamat pagi, apa ada yang bisa saya bantu?" Kaira menyapa dengan hangat."Pagi, saya sedang mencari bunga yang spesial untuk ulang tahun pernikahan saya," jawab wanita itu. "Saya ingin sesuatu yang sederhana tapi bermakna."Kaira berpikir sejenak. "Bagaimana kalau mawar putih yang melambangkan kesetiaan dan kebersihan cinta? Kami juga bisa menggabungkannya dengan lavender yang melambangkan ketenangan dan kesucian hubungan."Wanita itu tersenyum, jelas terkesan dengan
Hari itu Kaira tiba lebih awal di toko bunganya. Pagi ini terasa berbeda, seolah udara lebih segar dan matahari lebih cerah dari biasanya. Meski semalam ia merasa sangat lelah, perasaan lega yang muncul setelah menutup bab tentang Dimas membuatnya memiliki semangat baru. Ia sibuk merapikan beberapa bunga mawar yang baru datang, menyiapkan pesanan untuk pernikahan yang akan diantarkan sore nanti.Sementara Kaira sibuk bekerja, pintu toko terbuka pelan. Ezra masuk dengan langkah ringan, membawa secangkir kopi untuknya."Selamat pagi, sang wanita sibuk," Ezra menyapa dengan senyum hangat.Kaira mendongak dan tersenyum lebar melihat kedatangan Ezra. "Pagi, kamu bawa kopi lagi? Kamu tahu caraku untuk tetap semangat.""Kamu pantas mendapatkannya," Ezra meletakkan kopi itu di meja. "Bagaimana tidurmu? Setelah semua yang terjadi kemarin."Kaira menghela napas, lalu tersenyum. "Aku tidur dengan sangat nyenyak. Rasanya beban yang sudah lama aku bawa akhirnya hilang."Ezra menatapnya penuh perha
Esok harinya, Ezra terbangun dengan perasaan gelisah yang belum juga hilang. Pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan semalam dengan Kaira. Meski ia yakin Kaira tulus, bayangan tentang Dimas tak mau pergi dari benaknya. Apakah pria itu akan kembali dalam kehidupan Kaira dengan cara yang lebih mengganggu?Ezra meraih ponselnya dan mengetik pesan singkat kepada Kaira: “Apa kau baik-baik saja hari ini?” Ia menunggu beberapa saat, berharap Kaira segera membalas, tapi yang diterimanya hanyalah tanda pesan terkirim. Ezra menghela napas dan memutuskan untuk keluar rumah, mencoba mengalihkan pikirannya dari kegelisahan.Sementara itu, Kaira sedang sibuk di toko bunganya, menata rangkaian bunga untuk seorang pelanggan yang akan menikah akhir pekan ini. Namun, pikirannya jauh dari pekerjaan. Percakapan dengan Ezra tadi malam membuatnya merasa lega, tetapi kehadiran Dimas kembali membawa begitu banyak kenangan yang ia coba lupakan selama ini.Ponselnya bergetar. Kaira melihat layar, ada pesan d
Ezra duduk di kafe tempat biasanya ia dan Kaira bertemu, namun kali ini sendirian. Kopinya sudah dingin, tetapi pikirannya sibuk berputar, mencoba mencerna perubahan sikap Kaira dalam beberapa hari terakhir. Meski hubungan mereka baru mulai berkembang, Ezra bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang ia tidak mengerti.Sementara itu, Kaira berdiri di tengah deretan bunga mawar dan anggrek yang menghiasi toko bunganya. Tangan Kaira menggenggam ponsel yang baru saja ia matikan, setelah menerima panggilan tak terjawab dari mantan kekasihnya, Dimas. Kaira menarik napas panjang, mencoba menyingkirkan perasaan gugup yang terus mengganggunya. Kehadiran Dimas kembali, meski hanya melalui telepon, membuatnya teringat pada masa-masa kelam yang ingin ia lupakan.Di tengah suasana toko bunga yang seharusnya membawa ketenangan, pikiran Kaira kacau. Dimas adalah masa lalunya—sosok yang seharusnya sudah terkubur bersama kenangan pahit. Namun, entah mengapa, ia merasa semakin sulit untuk be
Pagi itu, Ezra terbangun dengan semangat baru. Setelah menyelesaikan semua yang membebani pikirannya, hari ini terasa berbeda. Ia merasakan kebebasan yang sudah lama tak ia rasakan, seolah rantai masa lalu yang membelenggunya kini telah terlepas.Ezra menyiapkan kopi pagi di dapur sambil memikirkan langkah selanjutnya dengan Kaira. Hari ini adalah kesempatan untuk memulai hubungan mereka dari awal, tanpa bayang-bayang masa lalu yang mengganggu. Saat ia menyesap kopi, pikirannya melayang pada sebuah ide: bagaimana jika dia dan Kaira menghabiskan waktu akhir pekan bersama untuk lebih mengenal satu sama lain, jauh dari kesibukan kota?Seiring dengan itu, ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan dari Kaira muncul di layar, "Good morning, Ezra. Aku punya kejutan kecil untuk kita hari ini. Bisa ketemu nanti?"Ezra tersenyum, hatinya berdebar-debar. Kejutan? Rasa penasaran menyelimuti pikirannya. "Tentu, aku tak sabar menunggu," balasnya dengan penuh antusias.
Keesokan harinya, Ezra bangun dengan perasaan campur aduk. Malam sebelumnya di festival bersama Kaira berakhir dengan baik, tapi pertemuan tak terduga dengan Livia masih menghantui pikirannya. Meski Ezra telah berjanji pada dirinya sendiri dan Kaira bahwa masa lalunya dengan Livia tidak akan mengganggu mereka, perasaan tak menentu itu tetap ada.Ezra memutuskan untuk melanjutkan rutinitasnya seperti biasa, berusaha menenangkan pikirannya dengan tetap fokus pada pekerjaannya. Namun, saat dia duduk di meja kerjanya dan membuka ponsel, ada pesan lain dari Livia."Ezra, aku menunggu di kafe di sudut jalan. Aku harap kita bisa bicara."Ezra menatap pesan itu lama, mencoba memutuskan apakah dia harus menemuinya. Meski ia merasa ragu, bagian dari dirinya tahu bahwa ada hal-hal yang harus diselesaikan. Dia tidak bisa lari dari masa lalu selamanya.Dengan berat hati, Ezra memutuskan untuk menemui Livia, tapi kali ini dia bertekad untuk memperjelas semuanya. Tidak akan ada ruang abu-abu; dia ha